Pagi masih gelap. Di dalam ruangan itu semburat pekat masih menyelimuti segala sisi dan mengendap. Di salah satu sudut ruang tahanan, Adnan duduk bersila dan menghadap ke arah barat. Usai shalat subuh Adnan menghabiskan waktu pagi dengan berdzikir. Samar-samar dapat terdengar lantunan dzikir yang terucap dari bibirnya, terasa begitu sendu namun syahdu. Lafadz-lafadz yang terucap itu ibarat aliran Waw an Namus yang menyegarkan gersangnya Sahara. Setelah dirasa cukup Adnan bangkit dan melepas seulas senyum untuk Sumargo. Sahabat baik yang sejak dari tadi menantinya. Sumargo membalas senyum itu dan lekas bangkit dari ranjang. Ia mengambil semangkuk air jernih yang telah ia siapkan sebelumnya. Ia kemudian duduk di sisi yang berlawanan dengan tempat yang biasa Adnan gunakan untuk shalat. Tempat itu adalah wilayah otoritasnya sealama beribadah di ruang tahanan. Meski ia dan Adnan sebelumnya tidak pernah membuat perjanjian, semua rutinitas bisa berjalan dengan baik karena adanya sikap sali
Ashmir masih berusaha untuk memecahkan misteri yang terdapat dalam kasus tersebut. Ada ratusan berkas yang bertumpuk di meja kerjanya. Sudah berulang kali ia memeriksa bertumpuk-tumpuk berkas yang sama, namun ia belum juga menemukan titik terang. Ia bahkan tak peduli dengan kantuk dan penat yang menyerangnya akibat kurangnya waktu istirahat selama beberapa minggu ke belakang. Sejauh ini metode yang Ashmir gunakan adalah dengan mencocokkan setiap nama orang tua korban dan mengelompokkannya dalam beberapa rentang waktu kejadian. Hipotesisnya adalah semua peristiwa yang menimpa anak-anak itu bermotif balas dendam. Oleh karena itu, ia coba mencari berkas perkara di mana semua orang tua korban berada dalam satu rantai korelasi yang sama. Ia berpendapat demikian sebab terdapat begitu banyak kebetulan dalam kasus itu; profesi orang tua yang berkaitan, semua korban berusia delapan tahun dan berbagai bukti lain yang menunjukkan kalau kejahatan tersebut sudah direncanakan dengan sangat matang.
Zenith telah salah menduga, ternyata bukan Albern yang menghubunginya. Tapi, Ashmir. Dan sekarang Ashmir ingin bertemu dengannya. Jika pemuda berambut ikal itu telah menemukan lebih banyak petunjuk, itu artinya ia telah mendapatkan lebih banyak bukti yang semakin menyudutkan posisi Albern sebagai tersangka utama dan satu-satunya. Ingin rasanya Zenith menolak ajakan Ashmir untuk bertemu. Terlalu sakit dan berat rasanya untuk mengetahui semakin banyak kenyataan pahit yang menyudutkan mantan tunangannya itu. Walau bagaimanapun ia masih mencintai Albern, masih sangat mencintainya. Tapi, akhirnya ia menyadari jika semua itu sudah menjadi bagian dan komitmen dari keputusan yantg telah dibuat olehnya. Sebuah konsekuensi yang mesti ia jalani seutuhnya. Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya dengan seksama, Zenith memutuskan untuk menemui Ashmir di Tamani Express, kafe tempat di mana mereka biasa mengadakan janji temu. Tidak seperti biasanya, kali ini ia tampil dengan riasan yang cukup te
Petang ini, usai Adnan dan Sumargo masing-masing selesai beribadah. Keduanya berbincang-bincang sambil menyantap makan malam bersama. "Sekarang saya mengerti kenapa mereka menempatkan kita pada satu sel dan memberikan kita perlakuan yang agak berbeda." "Maksudmu?" "Kenapa Anda tidak pernah bilang kalau Anda adalah seorang doktor?" Sumargo tersedak. Ia lekas meminum air yang sudah Adnan siapkan untuknya. "Kamu ini ada-ada saja. Mana mungkin ada doktor yang mau mencuri hanya demi sesuap nasi." "Menjadi mungkin jika Anda memiliki alasan lain." Sumargo diam sejenak. Mungkin memang ini adalah saat yang tepat baginya untuk berterus terang. Ia kemudian meletakkan piring nasinya. Usai membersihkan tangan ia berkata, "Apakah kamu pernah melihat pencuri ayam dicium tangannya? Apakah kamu pernah menyaksikan koruptor dipukuli badannya?" Adnan tidak menjawabnya. Kedua hal itu adalah fakta yang diputarbalikkan. "Kamu tahu, masih banyak di antara kita yang menilai orang lain berdasarkan strat
Knock... knock... knock... Ketukan jari Albern di atas meja memecah kesunyian. Tatapan matanya kosong, memandang bias sinar mentari pagi yang menembus dinding kaca. Ia tercenung. Ia melamun, setengah merenung. Sudah berjam-jam Albern duduk terpaku di kursi itu. Ia tidak bisa tidur sepanjang malam. Masalah yang sedang ia hadapi sekarang terasa sangat berat. Overload dan sarat. Hari di mana semestinya ia merasa bahagia malah berganti dengan kepedihan yang menyesakkan dada. Albern terus menghentakkan jari-jemarinya. Hanya untuk membuatnya tetap terjaga. Agar ia tidak larut terlalu jauh dalam lamunannya. Setelah cukup lama ia merenungkan segala sesuatunya, akhirnya ia sampai pada satu kesimpulan. Ia harus menghubungi seseorang. Albern bangkit dan berjalan menuju kamarnya. Ia mengambil ponsel yang masih terhubung dengan port charger di atas meja rias. Ia mencari kontak salah seorang kawan lama dan menekan tombol dial begitu menemukan namanya. Cukup lama ia menunggu sampai akhirnya ada r
Walaupun hasratnya terus memburu, pria itu mencoba untuk tetap mengendalikan dirinya. Ia masih membiarkan Nayla, belum waktunya untuk melaksanakan perbuatan kejinya. Ia akan menunggu hingga malam tiba. Sebagaimana biasanya, saat di mana gelap dan keheningan bersenggama.Sejenak ia menengok keadaan Nayla yang masih terkurung di ruang isolasi. Ruang yang sama yang ia gunakan untuk menyekap dan mencabuli korban-korban sebelumnya. Di dalam ruangan itu, Nayla terikat di sebuah kursi kayu dengan mulut terbungkam lakban. Raut wajah gadis kecil itu datar, tanpa ekspresi. Entah ia sedang tertidur atau tetap terjaga, tak ada yang tahu pasti.Mengetahui kondisi Nayla masih baik-baik saja, pria itu tersenyum lega. Ia kemudian beranjak kembali ke ruang keluarga, menonton TV dan bersantai ria. Usai menyalakan televisi, ia pergi ke dapur; mengambil kudapan dan sekaleng Pepsi. Setelah semuanya siap sedia, ia menghempaskan tubuhnya ke sofa. Sepasang matanya menatap layar kaca, menikmati sajian informas
Hanya berselang tiga hari usai peristiwa nahas itu terjadi, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan resmi agar kasus kejahatan Julian segera diusut hingga benar-benar tuntas. Ia tidak ingin efek dari kasus itu semakin menimbulkan keresahan pada masyarakat luas. Izin KPAN dibekukan sementara selama masa penyidikan dan baru akan dinormalkan kembali usai semua perkara yang berkaitan dinyatakan selesai. Presiden juga mendesak agar DPR segera membahas dan menyetujui draft revisi UU Perlindungan Anak yang diajukan beberapa pihak. Ia tidak ingin peristiwa serupa terjadi lagi di masa depan. Julian memang sudah tewas, tapi perbuatannya akan selalu diingat sebagai kejahatan paling keji yang pernah terjadi. Ia adalah pelaku utama dan satu-satunya dari kasus kejahatan yang paling kompleks di negeri ini. Ia dituduh melakukan tindak pembunuhan, penculikan serta pencabulan terhadap anak-anak di bawah umur. Ia didakwa bertanggung jawab atas menghilangnya 4 orang, terbunuhnya 18 orang; 12 di antarany
Terang dan pusing. Itulah dua hal yang Albern lihat dan rasakan saat pertama kali membuka mata. Ia menengok tangan kirinya, infuse cartheter masih tertancap dengan sempurna. Ia tahu kalau ia sedang berada di salah satu ruang perawatan di rumah sakit. Tapi, ia tidak tahu entah sudah berapa lama ia berada di sana. Ia mengamati seisi ruangan. Retinanya menangkap citra seorang wanita bermukena yang sedang tertidur di sofa. Lamat-lamat ia memfokuskan lensa matanya, wajah wanita itu tampak tidak asing baginya. Albern tak sedikit pun mengalihkan pandangannya. Dan entah kenapa, tiba-tiba pikirannya bergejolak dan mengajaknya untuk berkelana. Ia kembali teringat dengan beberapa momen yang pernah terjadi sebelumnya. "Sepertinya Bora cemburu melihat kemesraan kita." "Kamu terlalu sentimentil. Kita tidak sedang berada di Krimea." ___ "Kamu tahu kalau aku Vegetarian, kan?" "Aku tidak pernah melupakan apa pun tentang kamu." ___ "... Aku ingin menjadi suami yang baik untuk kamu dan juga ayah