Home / Fantasi / Elements / 2. Syifa dan Taeyang

Share

2. Syifa dan Taeyang

last update Last Updated: 2021-09-14 16:31:31

Perjalanan ke kampus pagi ini berjalan lancar. Jalanan tidak terlalu macet, langit cerah dengan sinar matahari yang tidak terlalu terik, sehingga dia tidak perlu kepanasan di balik helm dan jaket motor. Pukul setengah sepuluh, dia sudah sampai di kampus. Masih ada waktu setengah jam sampai kuliah dimulai.

Dia berjalan menyusuri koridor, menuju ruangan kelas. Pagi ini, kelompoknya akan presentasi dengan tema anatomi jantung dan penyakit-penyakit yang kemungkinan muncul darinya. Semua bahan sudah selesai, teman satu kelompoknya, Taeyang, berjanji akan mencetak tugas kuliah tersebut sekaligus menjilid dan menjadikannya sepuluh rangkap, untuk dibagikan kepada kelompok lain juga dosen.

Syifa meletakkan tas di meja paling depan dekat papan tulis. Tak lama masuk Taeyang, orang yang sudah ditunggu olehnya.

“Morning,” sapa cowok itu.

“Morning,” balas Syifa. “Mana makalahnya?” tanyanya langsung.

Raut wajah Taeyang langsung berubah, dia terlihat kebingungan. Namun detik berikutnya, dia langsung ingat. Dengan cepat dia mengecek telepon genggamnya dan mendapati beberapa telepon dan pesan yang masuk.

“Mana makalahnya?” tanya Syifa lagi ketika Taeyang tidak kunjung menjawab.

“Ng…” wajah cowok itu terlihat khawatir, “sepertinya akan butuh waktu lebih panjang, masih di jalan.”

“Apa?” tanya Syifa belum paham.

“Begini, kamu kan tahu aku ngekos. Nah, di tempat kos memang ada printer, tapi kemarin tintanya habis, dan kebetulan kemarin jadwal aku pulang ke Sukabumi, jadilah aku nge-print di sana. Jadi, saat ini, makalahnya masih dalam perjalanan menuju Jakarta.”

“Apa?!” kali ini Syifa histeris. “Kamu meninggalkan tugas kita? Kamu lupa membawanya?” dia mulai diserang panik.

No-no, chill. Sudah dalam perjalanan kok!”

“Ya, tapi mau sampai sini jam berapa? Oh my God, Taeyang, setengah jam lagi kuliah dimulai! Sukabumi-Jakarta itu bukan dari Rawamangun ke Salemba, butuh tiga jam paling cepat dari sana!”

Teriakan Syifa sukses menarik perhatian teman sekelas yang sudah ada dalam ruangan.

“Kamu meninggalkannya? Tapi bawa soft copy-nya, kan?” tanya Ummie, salah satu teman sekelas yang angkatannya lebih tua setahun.

Soft copy-nya ada di laptopku,” jawab Syifa.

“Untuk presentasi masih aman kalau begitu. Bilang aja ke dosen makalahnya baru bisa dikumpulkan siang nanti. Dosennya baik kok!” ucap gadis bertubuh mungil itu dengan yakin.

“Nah, ternyata nggak masalah tuh!” ucap Taeyang merasa sangat lega, sampai-sampai cengiran di wajahnya tidak bisa hilang.

Syifa sebenarnya sudah merasa lega juga, hanya saja, rasa kesalnya kepada Taeyang masih belum hilang.

“Oh iya, makasih ya, Kak!” balasnya kepada kakak seniornya.

Ummie pun kembali ke bangkunya. Setelah itu, Syifa langsung menatap wajah Taeyang tajam, “Pastikan sopir kamu mengantarkan ke sini lebih cepat!”

“Yes, boss!”

***

Tepat saat makan siang, makalah itu sudah sampai di tangannya dalam kondisi sangat rapi. Presentasi tadi pun berjalan lancar, tentu saja karena Syifa sudah belajar semalaman, dan materi yang akan dipresentasikan sudah dihafal luar kepala.

Setelah memberikan makalah itu ke dosen yang bersangkutan, mereka berjalan menuju kantin untuk makan siang.

“Mau makan apa siang ini?” tanya Taeyang.

“Kayaknya sih soto ayam enak.”

“Oh, jangan makan soto ayam di kantin sana. Terakhir aku dengar, rasanya nggak jelas.”

“Tahu dari mana? Kamu biang gosip juga, ya!”

“Seriusan, Syi. Banyak anak-anak yang bilang gitu kok!”

“Ya udah, aku mau makan pasta aja.”

“Pasta instan begitu? Aku bisa bikin yang lebih enak. Oh, kita makan di seberang aja yuk!”

Ketika mereka melewati taman di dalam kampus, seketika bulu tangan Syifa meremang. Dia menghentikan langkah dan menatap langit.

“Ada apa?” tanya Taeyang terheran-heran.

“Sebentar lagi hujan.”

Taeyang ikut menoleh ke langit. “Cerah begini kok!”

“Terserah kamu.”

“Jadi kita makan di seberang?”

“Kamu aja. Aku nggak bawa payung, nanti baliknya bisa kehujanan.”

Taeyang berdecak. “Terus kalau kehujanan kenapa? Masih air, belum batu.”

“Yeah, says a boy who cried while watching Coco.”

“Hei, aku nggak nangis. Mataku kelilipan!”

“Kelilipan di dalam gedung bioskop?” Syifa tersenyum mengejek. “Aku duduk tepat di sebelahmu. Jadi aku bisa ngebedain mana air mata karena kelilipan sama yang bukan.” Syifa tertawa renyah.

Taeyang berdecak kesal. “Don't you dare telling this to anybody!”

Syifa hanya tertawa puas. “Sudahlah, aku lapar. Mau makan di kantin yang ada di dalam kampus aja.” Setelah mengucapkan itu, Syifa berjalan cepat meninggalkan Taeyang.

Taeyang sedang tidak ingin makan di kantin, jadi dia memutuskan untuk makan di restoran cepat saji yang terletak di seberang kampus. Namun, baru saja dia melangkah melewati gerbang kampus, mendadak langit mendung dan detik berikutnya, air tercurah deras tanpa memberikan jeda bagi siapa pun untuk mencari tempat berteduh.

Taeyang diguyur tetesan hujan. Untung saja kemampuan berlarinya terlatih dengan baik, sehingga dia cepat sampai di lobi kampus sebelum tubuhnya benar-benar basah kuyup.

“Sial, bagaimana cewek itu bisa tahu?” begitu batin Taeyang.

Agar tidak terserang flu, dia segera ke toilet untuk mengeringkan kemejanya. Di toilet tidak ada siapa-siapa. Benar-benar kebetulan. Dia membuka kancing kemeja dan meletakkannya di meja wastafel. Kemudian dengan mengerahkan panas tubuhnya, tangannya berubah merah seperti bara api. Tangannya bergerak menyusuri permukaan kemeja yang basah, menguapkan air hingga membentuk gumpalan asap tipis. Tidak membutuhkan waktu lama, kemejanya sudah nyaris kering kembali.

Tiba-tiba pintu toilet terbuka, dan seorang petugas kebersihan masuk. Tubuh Taeyang menegang, karena saat itu tangannya masih merah membara, dan uap tipis masih mengepul di dalam toilet.

“Lho, ada apa ini ya, kok berasap gini di dalam toilet,” ucap petugas itu terheran-heran.

Buru-buru Taeyang menyembunyikan tangan kanannya dan mengenakan kemejanya kembali.

“Mungkin asap rokok, Mas. Tadi pas saya masuk sudah seperti ini,” balasnya.

“Oh, iya toh. Tapi tidak seperti bau rokok.”

“Ya, saya nggak tahu juga.”

“Aneh, ya!”

“Mungkin asap vape, baunya kan nggak kayak rokok.”

“Oooh, yang rokok elektrik itu, ya! Mahasiswa kedokteran tapi ngerokok juga ternyata.”

“Namanya juga anak muda. Sedang masanya coba-coba.”

Petugas itu manggut-manggut, setelah itu dia mulai membersihkan bilik-bilik toilet. Taeyang menarik napas lega, karena mudah sekali meyakinkan petugas itu.

“Saya duluan ya, Mas,” pamitnya.

Taeyang berjalan menuju kantin kampus, perutnya keroncongan. Dia melihat Syifa masih di sana, sedang menerima telepon, dan makanannya baru habis separuh.

“Oh iya, Om, akhir bulan ini kan acara keluarganya. Kita bakalan ke Surabaya dong! Jalan darat aja, ya, Om! Please!... Yes! Oh, iya, nanti sepertinya aku pulang bareng Dipa. Tadi dia WA akan sampai di sini jam empat sore. Ya, Om. Iya. Makasih ya, Om. Bye.” Setelah itu, dia menutup telepon.

Shifa bermaksud menyuap makanannya kembali ketika menyadari kehadiran Taeyang di dekatnya.

“Kamu kehujanan?” tanyanya melihat rambut basah cowok di depannya. Alisnya berkerut terheran-heran, karena kemeja Taeyang terlihat kering, sedangkan celananya basah di beberapa tempat.

“Dari mana kamu tahu?” Taeyang langsung menarik kursi di depan Syifa dan duduk.

“Apa?”

“Dari mana kamu tahu bakal hujan padahal langit sedang cerah secerah-cerahnya?”

Syifa mengangkat bahu. “Feeling aja.”

Taeyang mendengkus, tapi tidak memperpanjang. “Jadi kamu akan dijemput adik sepupu, Dipa namanya, kan?” Tentu saja dia mengenal sepupu Syifa, walaupun tidak akrab. Berbeda dengan cewek di depannya yang sangat luwes bergaul, Dipa terlihat sangat pendiam dan sulit didekati.

Syifa mengangguk, namun tidak mengatakan apa-apa.

“Kamu akrab banget dengan adik sepupumu itu.”

“Nggak apa-apa dong! Wajar.”

Taeyang mengangguk, dia sendiri merasa heran, kenapa harus terganggu dengan kedekatan Syifa dengan cowok selain dirinya. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, dia juga tidak terlalu rukun dengan gadis ini. Mereka bahkan lebih sering adu mulut.

“Sebenarnya hujan kayak gini, aku bermaksud nganterin kamu pulang. Tapi karena kamu harus nungguin cowok itu, kamu pasti nggak mau.”

“Taeyang, kamu ngomong apa sih? Walaupun Dipa nggak menjemputku, aku tetap nggak akan mau dianterin pulang sama kamu. Aku kan bawa motor sendiri. Kalau aku dianterin kamu, motorku siapa yang bawa?” ucap Syifa, merasa geli sendiri mendengar ucapan temannya.

Seketika wajah Taeyang memerah, cepat dia memalingkan wajah. “Aku hanya bercanda! Tentu saja aku tahu kamu bawa motor. Ya sudah, aku mau pesan makanan dulu.” Setelah itu dia langsung bangkit dan berjalan menuju stan makanan.

Syifa masih tersenyum melihat kelakuan temannya ini. Entah kenapa, walaupun nada bicara Taeyang ketus dan seenaknya, dia senang karena bisa melihat wajah itu memerah. Tadinya dia masih kesal karena cowok itu sudah meninggalkan makalah kelompok di Sukabumi. Tapi saat ini, rasa kesalnya sudah menghilang, dan dia merasa senang bersama dengannya.[]

Related chapters

  • Elements   3. Gadis Asing

    “Aku nggak mau ikut,” ucap cowok berkacamata dengan tinggi 179 cm ini.“Kamu harus ikut, karena semuanya ikut. Kamu akan sendirian di rumah,” Pak Jaka terlihat gusar dengan kekeraskepalaan putra sulungnya ini.“Nggak apa-apa. Aku sudah besar, sudah kuliah, bisa urus diri sendiri.”“Ya, yang ada kamu nggak makan tiga hari, cuma minum air putih aja,” timpal Syifa. Dia sudah selesai makan dan baru saja membawa piring kotor ke bak cuci piring.“Nggak makan nggak akan mati.”“Nggak akan mati, tapi habis itu kamu harus dirawat di rumah sakit. Tangan kamu diinfus, ditusuk jarum. Mau?” ucap Syifa lagi, merasa sangat gemas dengan adik sepupunya ini.“Itu nggak akan terjadi. Aku akan baik-baik saja.”“Dipa Arya!” Pak Jaka menarik napas dalam-dalam, “Kamu kenapa sih, segitu tidak maunya bertemu kakek-nenekmu? Di sana kamu bisa bertemu sepupu yan

    Last Updated : 2021-09-14
  • Elements   4. BLYTHE

    Waktu sudah hampir menunjukkan pukul delapan. Blythe mengencangkan ikatan rambutnya. Rambutnya yang berwarna perak dan bola matanya yang biru membuat penampilannya sangat menonjol di antara ratusan mahasiswa di kampus ini. Di mana pun dia berjalan, banyak pasang mata melirik ke arahnya, sebagian merasa iri dan sebagian memujanya. Namun Blythe sudah terbiasa. She’s the perfect girl. Apa pun yang diinginkannya, semua pasti berlomba mewujudkannya. Kemudian dia bertemu cowok itu, kepercayaan dirinya tercabik ketika cowok itu sama sekali tidak menatapnya saat mereka berbicara. Rasa penasarannya semakin bertambah ketika dia merasakan energi yang tidak biasa terasa di seluruh permukaan kulit cowok itu. Dia pun berusaha mendekatinya, namun entah mengapa, rasanya sulit sekali. Seperti biasa, Blythe menunggu di dekat stasiun kereta tempat Dipa biasanya turun. Cowok itu tidak turun dari kereta yang biasa. Rasanya aneh, karena biasanya cowok itu sangat te

    Last Updated : 2021-09-15
  • Elements   5. Perjalanan Jauh

    Akhirnya perjalanan ke Surabaya dimulai. Mereka berangkat tepat setelah sarapan pukul tujuh pagi, dan bergantian menyetir, meskipun sebagian besar perjalanan Jaka-lah yang mengendarainya. Berangkat dari rumah Dipa yang membawa mobil. Kemudian sehabis beristirahat setelah keluar dari tol Cikampek, gantian dengan Jaka. Setiap lima jam, mereka berhenti untuk beristirahat. Setelah perjalanan hampir sepuluh jam, mereka akhirnya sampai di Semarang dan memutuskan untuk mampir di salah satu tempat peristirahatan. Begitu mobil diparkir, Dipa bergegas keluar karena kebelet kencing. Begitu sampai di toilet, antreannya lumayan panjang. Dipa tidak masalah dengan mengantre, hanya saja yang membuatnya tidak tahan mengantre di toilet umum seperti ini, adalah bau amonia yang menyengat. Dipa menahan napas. Untung saja antrean laki-laki tidak memakan waktu lama. Dengan cepat dia sudah berada di antrean terdepan. Jaka juga terlihat mengantre di belakang. B

    Last Updated : 2021-09-16
  • Elements   6. Pengejaran

    “Syifa, lakukan seperti yang biasa kamu latih. Dan apakah kamu bisa… mendatangkan kabut untuk menghalangi mereka?” ucap Jaka tanpa sedetik pun berpaling dari jalan. Dipa keheranan mendengar permintaan ayahnya. Mendatangkan kabut? Kabut merupakan salah satu fenomena alam di mana uap air yang berada dekat permukaan tanah berkondensasi dan menjadi mirip awan. Hal ini biasanya terbentuk karena hawa dingin membuat uap air berkondensasi dan kadar kelembaban menjadi seratus persen. Jadi, bagaimana caranya gadis itu bisa membuatnya? “Akan aku usahakan, Om,” Syifa mulai mengatur napasnya kembali. Bagaimanapun, tidak seperti Dipa, Syifa sudah cukup terlatih. Dipa melongo, dia benar-benar seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. “Lalu, apa yang harus aku lakukan, Pa?” Mobil bergetar kembali, tapi kali ini disertai hawa dingin dan bau yang menusuk. Dipa menutup hidung, lagi-lagi merasa mual. “Kamu … bisa menyelamatkan kita dari situasi

    Last Updated : 2021-09-17
  • Elements   7. Sidang di Tengah Hutan

    “Apakah di sini tempatnya?” tanya Jaka begitu menepikan mobil di tengah hutan entah di mana. Dipa terdiam dan mendengarkan suara-suara yang sejak tadi berbisik-bisik padanya. “Iya, di sini. Mereka bilang, area di sini terlalu tertutup lebatnya pepohonan, sehingga para pemburu tidak akan bisa merasakan kita di sini.” Jaka tersenyum. Setelah memarkir mobil, beliau merebahkan kepalanya sebentar dan memejamkan mata. Mata tuanya sudah terlalu lama tidak melihat dalam kondisi seperti tadi, sehingga ia cukup kelelahan. Syifa sama lelahnya seperti Jaka, dia sudah mengerahkan segenap kekuatan, jadi sama sekali tidak bisa bersuara. Dia hanya diam saja sambil memejamkan mata. “Dipa, bisa kau cek situasi sekitar? Mungkin ada air ada buah yang bisa dijadikan makanan,” pinta Jaka dengan mata masih tertutup. Dipa tidak menjawab. Setelah diminta mencarikan tempat persembunyian sementara, dia tidak merasa aneh ataupun takut ketika diminta mencarikan mak

    Last Updated : 2021-09-18
  • Elements   8. Pewaris Elemen Tanah

    Menunggu merupakan kegiatan yang tidak disukai oleh Dipa. Kalaupun dia biasa menunggu Syifa, dia memiliki hal lain yang bisa dilakukan sambil menunggu, mengerjakan tugas kuliah misalnya. Bukan hanya diam saja tanpa ada kejelasan selanjutnya. “Pa, ayo kita jalan aja sekarang!” desak Dipa ketika mereka sudah menunggu selama lima jam dan matahari sudah berada di puncaknya. Dia sudah bosan bermain game di ponselnya atau melafalkan deret aritmatika di dalam otaknya. Dia bahkan sudah sempat tertidur, namun saat dia terbangun bantuan belum juga tiba. “Sabar, Dipa, pertolongan sedang dalam perjalanan. Papa khawatir mereka masih berada di sekitar sini, menunggu sampai kita keluar dari persembunyian ini. Kalau sampai kita dikejar kembali. Papa tidak yakin kita bisa selamat dari mereka untuk kedua kalinya.” Tentu saja di tengah hutan ini tidak ada sinyal telepon. Oleh sebab itu Pak Jaka memakai gelombang radio untuk meminta bantuan. Untun

    Last Updated : 2021-09-18
  • Elements   9. Keluarga Besar

    “Jadi, kau mewarisi bakat dari klan ibumu?” ucap Eyang Adipramana menatap dirinya seolah sedang menyidik dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dipa mengernyitkan dahinya demi mendengar nada suara yang berkesan menyangsikan dirinya. Melihat Dipa yang tidak menjawab pertanyaan pemimpin keluarga ini, Syifa menyenggol bahu Dipa. Dipa menoleh memandang wajah Syifa dengan heran. “Jawab.” Syifa memberi isyarat dengan gerakan bibir dan matanya. Dipa berdecak, namun dia memilih menuruti kakak sepupunya, “Sepertinya begitu, Eyang.” Kemudian setelah beberapa saat Eyang Adipramana hanya berdiam diri, beliau berbalik dan masuk kembali ke dalam jeep. Dipa menoleh pada Syifa untuk bertanya apa yang baru saja terjadi. Syifa pun hanya mengedikkan bahunya. “Syifa, Dipa, masuk ke mobil. Kita akan jalan sekarang,” perintah Jaka. Beliau pun masuk ke kursi penumpang di sebelah supir. Sebagai gantinya Bagas yang akan mengendarai mobil s

    Last Updated : 2021-09-20
  • Elements   10. Pertemuan

    Puluhan kilometer jauhnya, kembali ke ibu kota Jakarta, Taeyang berniat pulang ke rumah keluarganya di Sukabumi. Dia tidak pernah repot membawa pakaian ganti, karena semuanya sudah tersedia di rumahnya. Yang dibawanya hanya laptop dan telepon genggam. Saat awal kuliah, dia indekos tak jauh dari kampus dan Syifa mengetahui tempat kosnya. Namun sejak setahun yang lalu, Taeyang pindah ke apartemen miliknya sendiri. Dan Syifa selalu lupa tentang hal itu. Cowok berpotongan rambut mullet ini baru saja mengetuk kartu parkirnya dan melajukan mobilnya keluar dari areal parkir. Namun sedetik kemudian dia langsung menginjak pedal rem sedalamnya karena seorang gadis tiba-tiba muncul di depan mobilnya. Dia hampir saja menabrak seorang perempuan yang berparas cukup menarik, berkulit coklat eksotis, dengan bibir yang tebal dan bola mata berwarna hazel. Matanya tidak lepas dari menatap wajah perempuan itu. Perempuan itu pun melakukan hal yang sama. Untuk sesaat mereka saling

    Last Updated : 2021-09-21

Latest chapter

  • Elements   15. Keputusan

    [Dipa, lo kok nggak kuliah-kuliah?]Begitu isi pesan yang dikirimkan oleh Hendra salah satu teman kuliahnya.[Ada masalah keluarga, Dra. Kuliah gue ketinggalan jauh ya?]Dipa membalas pesan itu. Dia pun gelisah karena pasti ada banyak tugas dan materi yang ketinggalan dia pelajari beberapa hari ini.[Nggak juga, sih! Kalau lo pasti bisa nyusul kok. Cuma lo ditanyain sama dosen. Oh iya, lo juga ditanyain sama Blythe sih!]Dipa menarik napas lega membaca pesan itu. Kalau dipikir-pikir, dia memang selalu dua sampai tiga bab lebih cepat mempelajari materi yang akan dipelajari di kampusnya.[Ada tugas apa aja?][Nanti gue email ke lo. Oh ya, Blythe kayaknya bener-bener khawatir sama lo. Sekarang dia lagi ada di samping gue nih. Mau ngobrol sama dia nggak? Eh, kalian nggak saling tukar nomor hape ya?][Ngobrol sama gue? Ngobrolin apa? Nggak usah deh, jangan! Gue lagi males ngomong. Ya

  • Elements   14. Gaia

    “Kau pasti tidak mempercayai semua itu?” ucap Jaka tersenyum pada putranya yang saat ini sedang mengernyitkan dahinya, penuh keraguan. “Kalau para penguasa elemen memang sudah ada sejak masa Atlantis, kenapa Atlantis bisa tenggelam? Kan ada pengendali air dan tanah,” tanya Dipa. Jaka menganggukkan kepalanya, Syifa diam-diam menyetujui pertanyaan adik sepupunya. “Alam bisa dikendalikan oleh manusia, tapi bukan berarti alam tunduk pada manusia, karena manusia bukan penciptanya,” jawab Jaka. Dipa terdiam, dia tidak bisa membantah jawaban ayahnya. Hanya saja, dia masih belum merasa puas. “Tapi, apa sebabnya Atlantis tenggelam? Apa yang terjadi pada masa itu?” tanya Syifa kali ini gantian dia yang bertanya. Dia memang pernah mendengar ceritanya, namun saat itu, dia hanya menelan semua legenda yang didengarnya bulat-bulat. Padahal dia tipikal anak yang kritis, namun entah saat itu dia tidak memiliki keinginan untuk menyanggah apapun. Karena

  • Elements   13. Kembali ke Rumah

    “Pa, kenapa kita ke apartemen?” tanya Dipa saat taksi malah berhenti di depan gedung apartemen jauh dari lokasi rumah mereka. “Ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita. Jadi untuk jaga-jaga, kita akan tinggal di tempat ini. Apartemen ini tidak terdaftar sebagai milik ayah atau kamu. Jadi pasti mereka tidak akan bisa melacaknya,” jawab Jaka membayar taksi dengan dua lembar seratus ribuan. Setelah itu, mereka bertiga turun dari taksi dan menurunkan koper dari bagasi. “Tapi, bagaimana kami bisa kuliah? Semua buku-buku kami ada di rumah,” protes Syifa. Saat ini masih pukul sebelas siang, dia pikir dia masih bisa menghadiri kuliah siang. “Siapa bilang kalian boleh kuliah? Hari ini kalian diam saja di dalam apartemen. Biar Papa yang mengurus semuanya. Papa akan pulang ke rumah dan membawa semua kebutuhan kalian.” “Papa nggak salah ngomong? Bukannya tadi Papa bilang ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita dan pasti sedang mengawa

  • Elements   12. Perjalanan Pulang

    “Dipa, setelah mendengar kisah ini, bagaimana kalau kau tinggal di sini untuk sementara?” ucap Eyang Adipramana. Dipa terdiam, pikirannya masih fokus dengan kisah cinta segitiga yang baru saja diceritakan oleh kakek buyutnya. Basundari, Erion dan Avanindra. Lalu, hubungannya sama dia apa? Kata Eyang, aku keturunan langsung Basundari dan Avanindra. How cool is that? I don’t know. I never knew about them before. Dipa mengedikkan bahunya, tidak menyadari pandangan heran dari kakek buyutnya. “Bagaimana, Dipa?” tanya Eyang kembali. “Eh, ng,” Dipa pun tersadar. Dia sempat ragu bagaimana menjawabnya. Dia memahami pentingnya pengajaran yang akan diberikan oleh kakek buyutnya. Hanya saja, dia sama sekali tidak menyukai ide tinggal di rumah ini terlalu lama. Tapi selama ada Papa dan Syifa, sepertinya tidak akan ada masalah. “Dipa, udah mau aja. Masalah kuliah kamu gampang, nanti aku yang urus,” ucap Syifa. Dipa

  • Elements   11. Legenda

    Dipa ragu-ragu menemui eyang buyutnya. Namun, Syifa yang mendengar permintaan eyang agar Dipa menemui dirinya setelah makan malam, tidak bisa membiarkan cowok itu mangkir. “Aku akan mengantarmu.” Begitu ucap Syifa. Gadis itu menggamit tangan Dipa dan menariknya menuju sisi rumah bagian Timur. Kantor Eyang Adipramana jauh dari ruangan lain, sehingga wilayah rumah ini begitu tenang dan sunyi. Hanya terdengar suara gemericik air dari kolam ikan yang berada di taman dan tepat berada di samping kantor. “Masuk,” ucap Syifa memberi isyarat dengan kepalanya agar Dipa membuka pintu dan masuk ke dalamnya. “Kenapa aku harus masuk? Aku nggak tahu aku salah apa sampai eyang memutuskan untuk mengajakku bicara!” protes Dipa. “Oh my God, Dipa, wake up! Eyang mengajakmu bicara bukan karena kamu melakukan kesalahan. Tapi karena kamu merupakan pewaris elemen. Saat kemampuanku pertama kali muncul, aku sangat ketakutan dan tidak tahu harus melakukan apa.

  • Elements   10. Pertemuan

    Puluhan kilometer jauhnya, kembali ke ibu kota Jakarta, Taeyang berniat pulang ke rumah keluarganya di Sukabumi. Dia tidak pernah repot membawa pakaian ganti, karena semuanya sudah tersedia di rumahnya. Yang dibawanya hanya laptop dan telepon genggam. Saat awal kuliah, dia indekos tak jauh dari kampus dan Syifa mengetahui tempat kosnya. Namun sejak setahun yang lalu, Taeyang pindah ke apartemen miliknya sendiri. Dan Syifa selalu lupa tentang hal itu. Cowok berpotongan rambut mullet ini baru saja mengetuk kartu parkirnya dan melajukan mobilnya keluar dari areal parkir. Namun sedetik kemudian dia langsung menginjak pedal rem sedalamnya karena seorang gadis tiba-tiba muncul di depan mobilnya. Dia hampir saja menabrak seorang perempuan yang berparas cukup menarik, berkulit coklat eksotis, dengan bibir yang tebal dan bola mata berwarna hazel. Matanya tidak lepas dari menatap wajah perempuan itu. Perempuan itu pun melakukan hal yang sama. Untuk sesaat mereka saling

  • Elements   9. Keluarga Besar

    “Jadi, kau mewarisi bakat dari klan ibumu?” ucap Eyang Adipramana menatap dirinya seolah sedang menyidik dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dipa mengernyitkan dahinya demi mendengar nada suara yang berkesan menyangsikan dirinya. Melihat Dipa yang tidak menjawab pertanyaan pemimpin keluarga ini, Syifa menyenggol bahu Dipa. Dipa menoleh memandang wajah Syifa dengan heran. “Jawab.” Syifa memberi isyarat dengan gerakan bibir dan matanya. Dipa berdecak, namun dia memilih menuruti kakak sepupunya, “Sepertinya begitu, Eyang.” Kemudian setelah beberapa saat Eyang Adipramana hanya berdiam diri, beliau berbalik dan masuk kembali ke dalam jeep. Dipa menoleh pada Syifa untuk bertanya apa yang baru saja terjadi. Syifa pun hanya mengedikkan bahunya. “Syifa, Dipa, masuk ke mobil. Kita akan jalan sekarang,” perintah Jaka. Beliau pun masuk ke kursi penumpang di sebelah supir. Sebagai gantinya Bagas yang akan mengendarai mobil s

  • Elements   8. Pewaris Elemen Tanah

    Menunggu merupakan kegiatan yang tidak disukai oleh Dipa. Kalaupun dia biasa menunggu Syifa, dia memiliki hal lain yang bisa dilakukan sambil menunggu, mengerjakan tugas kuliah misalnya. Bukan hanya diam saja tanpa ada kejelasan selanjutnya. “Pa, ayo kita jalan aja sekarang!” desak Dipa ketika mereka sudah menunggu selama lima jam dan matahari sudah berada di puncaknya. Dia sudah bosan bermain game di ponselnya atau melafalkan deret aritmatika di dalam otaknya. Dia bahkan sudah sempat tertidur, namun saat dia terbangun bantuan belum juga tiba. “Sabar, Dipa, pertolongan sedang dalam perjalanan. Papa khawatir mereka masih berada di sekitar sini, menunggu sampai kita keluar dari persembunyian ini. Kalau sampai kita dikejar kembali. Papa tidak yakin kita bisa selamat dari mereka untuk kedua kalinya.” Tentu saja di tengah hutan ini tidak ada sinyal telepon. Oleh sebab itu Pak Jaka memakai gelombang radio untuk meminta bantuan. Untun

  • Elements   7. Sidang di Tengah Hutan

    “Apakah di sini tempatnya?” tanya Jaka begitu menepikan mobil di tengah hutan entah di mana. Dipa terdiam dan mendengarkan suara-suara yang sejak tadi berbisik-bisik padanya. “Iya, di sini. Mereka bilang, area di sini terlalu tertutup lebatnya pepohonan, sehingga para pemburu tidak akan bisa merasakan kita di sini.” Jaka tersenyum. Setelah memarkir mobil, beliau merebahkan kepalanya sebentar dan memejamkan mata. Mata tuanya sudah terlalu lama tidak melihat dalam kondisi seperti tadi, sehingga ia cukup kelelahan. Syifa sama lelahnya seperti Jaka, dia sudah mengerahkan segenap kekuatan, jadi sama sekali tidak bisa bersuara. Dia hanya diam saja sambil memejamkan mata. “Dipa, bisa kau cek situasi sekitar? Mungkin ada air ada buah yang bisa dijadikan makanan,” pinta Jaka dengan mata masih tertutup. Dipa tidak menjawab. Setelah diminta mencarikan tempat persembunyian sementara, dia tidak merasa aneh ataupun takut ketika diminta mencarikan mak

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status