Sepuluh Tahun yang Lalu
Napas memburu, keringat menetes, dan adrenalin mengalir deras. Namun bukan untuk menyambut kegembiraan, melainkan rasa takut yang semakin menekan saraf. Langkah kakinya semakin cepat, kerikil beterbangan saat dia berlari di atasnya.
Jalan di depannya buntu, langkahnya terhenti dan tubuhnya berbalik. Matanya nyalang memeriksa sekelilingnya. Detik sebelumnya dia melihat bayangan itu berada dua puluh meter di belakangnya, namun detik berikutnya bayangan itu tinggal beberapa meter di belakangnya.
“HIYAH!” Tangannya terangkat ke udara, membuat aspal jalan terangkat ke atas, pecah di udara, dan menyebar menyerang benda apa pun yang mencurigakan.
Namun pengejarnya bergerak sangat cepat, batu-batu itu sama sekali tidak melukainya. Mata gadis itu terbelalak melihat bayangan itu semakin mendekat dan berhasil melukai bahu kanannya. Dia pun menciptakan pusaran kerikil sebagai tameng di sekujur tubuhnya, membawanya terbang naik ke puncak bangunan berlantai lima di belakangnya.
Sesaat dia yakin telah berhasil melarikan diri. Matanya kembali nyalang memeriksa sekelilingnya. Merasa aman, dia duduk bersandar di dinding pembatas gedung. Tapi tiba-tiba pintu menjeblak terbuka, membuatnya kaget bukan main. Dia langsung waspada, namun tidak melihat apa pun, hanya kegelapan malam.
“Siapa kamu? Keluarlah, pengecut!” teriaknya.
Tubuhnya sangat lelah. Pengejaran ini sudah berlangsung nyaris satu jam. Dia telah menyerang sekuat tenaga, tapi rasanya sia-sia, karena si pengejar tak tampak terluka sedikit pun. Bahkan untuk melihat dengan jelas wajah penyerangnya saja sangat sulit. Yang terlihat hanya kilasan rambut berwarna perak dan mata biru terang. Di antara orang yang dikenalnya, hanya ada satu orang yang memiliki ciri seperti itu. Yang membuatnya ragu, dia mengenal orang itu sebagai pribadi yang rapuh dan ramah.
“Aku tahu siapa kamu! Jadi, berhentilah mengejarku dan biarkan aku pergi!” teriaknya kembali.
Sarafnya masih waspada, nyeri di bahunya semakin menggerogoti pertahanannya. Pusaran batu kerikil kembali dijadikan tameng. Kemudian entah bagaimana, ada pukulan menyerang bahu kirinya. Tubuhnya terhuyung ke belakang dan pusaran kerikil langsung buyar dan menyebar di jalanan. Dia bersandar di dinding pembatas gedung, napasnya terengah-engah. Saat itulah orang yang mengejarnya menampakkan diri, tepat di depan wajahnya.
“Jangan memberontak, aku membutuhkanmu untuk percobaan ini,” desis si penyerang. Dia mengeluarkan sesuatu seperti jarum suntik dan mengambil darah gadis itu. Namun, sebelum berhasil menusuknya, gadis itu menahan tangan si penyerang.
“Tidak… semudah itu.”
“Apa?”
Detik berikutnya, gadis itu menubruk tubuh lawannya. Dengan segenap kekuatan yang tersisa, dia membelah jalanan di bawah, bermaksud mengubur si penyerang. Sesaat dia merasa serangannya berhasil, namun satu detik kemudian, penyerang itu sudah tidak ada di bawah tubuhnya, sementara dia sendiri akhirnya terjatuh ke dalam lubang buatannya.
Dia terkapar dalam lubang sedalam tiga meter tersebut, tubuhnya sulit bergerak. Wajahnya penuh darah, kesadarannya nyaris hilang.
“Why would you do that?” teriak orang itu, terlihat sangat murka. “Oh, terserahlah. Yang aku butuhkan hanya darahmu!” Dia bermaksud masuk ke lubang, tapi ketika sisi-sisi dinding lubang bergetar, dia menghentikan langkah. “Apa yang−“
Gadis itu tersenyum, penyerangnya yang panik hanya berdiri di bibir lubang. Detik berikutnya dinding di sekelilingnya runtuh dan dirinya terkubur.
“Sialaaaan!” teriak sang penyerang merasa sangat murka.
*******
MASA KINI
Dipa membuka kedua matanya. Selama beberapa saat, dia hanya terdiam dalam keremangan, mencoba mengumpulkan kesadaran, sebelum akhirnya tersadar dia masih di kamarnya sendiri. Seberkas sinar matahari mengintip dari balik tirai jendela.
Terdengar nyanyian merdu dari halaman belakang, suara yang sangat familier di telinganya, suara saudara sepupunya, Syifa, yang sedang menyiram tanaman. Sudut bibir Dipa tertarik ke atas, seketika dia menjadi segar. Dia pun bangkit dari kasur, mengucek kedua matanya, dan menguap lebar. Tipikal pagi hari yang disukainya.
Dia beranjak menuju wastafel di sudut kamar dan mencuci muka. Setelah itu, dia kembali duduk menghadap layar komputer dan laptop yang sedang dalam mode stand by. Tidak lupa dia memakai kacamata yang diletakkan di atas keyboard. Begitu tangannya menyentuh mouse, layar komputer langsung memintanya memasukkan password.
Setelah mengetikkan sebaris huruf dalam kolom password, layar beralih pada halaman terakhir yang sedang dikerjakan olehnya. Terlihat sebaris angka dan kode-kode rumit yang masih menghitung cepat. Begitu perhitungan ini selesai, aplikasi yang sedang dikerjakannya akan bisa berfungsi walaupun masih sangat sederhana.
Dia meraih remote TV dan menyalakannya, tampaklah wajah pembaca berita yang sedang mengabarkan kondisi Lombok yang baru mengalami gempa bumi semalam, menelan ratusan korban jiwa dan masih terus bertambah. Dalam kondisi seperti itu, memang sulit sekali menemukan lokasi aman. Oleh sebab itu, dia bertekad menyelesaikan proyek pribadinya yang sudah berjalan selama enam bulan terakhir ini, sebuah aplikasi bernama “Safe Place”.
Cara kerja “Safe Place” sebenarnya lebih mirip GPS, dilengkapi lokasi-lokasi aman ketika sebuah bencana alam sedang berlangsung. Dia belum sempat menguji coba, tapi mulai hari ini, atau besok paling lambat, dia pasti bisa mengetesnya. Walaupun mungkin hanya akan berfungsi sebagai GPS biasa pada awalnya.
Terdengar ketukan di pintu. “Hei,” sapa Syifa. Kepalanya muncul begitu pintu terbuka. “Aku membawa sarapanmu.”
Namun tidak terdengar jawaban. Syifa membuka pintu lebih lebar dengan bahu karena kedua tangannya memegangi nampan makanan.
“Aku bikin nasi goreng ikan asin, kamu pasti suka. Kamu habiskan, ya! Aku nggak akan mau masak lagi kalau kamu menyisakan makanan seperti kemarin. Oh ya, juga ada jus jeruk kesukaan kamu. Setelah ini, aku akan langsung berangkat ke kampus.” Syifa terus berceloteh sambil menghampiri meja nakas di samping tempat tidur. Kemudian dia meletakkan nampan makanan tersebut di sana.
“Oh hati-hati,” balas Dipa tanpa mengalihkan matanya dari layar komputer yang sudah selesai menghitung. Sebagai gantinya, layar komputer mulai menampilkan peta kota Jakarta.
Syifa hanya menggeleng melihat kelakuan sepupunya. Tentu saja dia tahu cowok itu bukannya bersikap tidak sopan dengan tidak memandang dirinya sama sekali. Itu hanya karena Dipa memang Dipa.
“Kamu ke kampus hari ini?”
Dipa mengangguk.
“Sore nanti hubungi aku kalau mau pulang bareng.”
Dipa kembali mengangguk. Syifa memutuskan beranjak keluar kamar dan bersiap-siap pergi kuliah, sementara Dipa mulai membuka buku tugasnya. Dia baru teringat ada tugas mata kuliah Data dan Algoritma untuk siang nanti, ketika dia membaca jadwal kuliah yang tertempel di dinding yang ada di belakang layar komputer. Dia harus menyelesaikanya sampai dengan pukul sepuluh nanti, karena pukul sebelas dia sudah harus berangkat kuliah.
Tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi. Dari nada deringnya, dia tahu itu ayahnya, Pak Jaka.
“Halo, Pa?” sapanya.
“Halo, Dipa, kamu sudah sarapan?”
“Belum, Pa, tapi tadi Syifa sudah mengantarkan sarapan ke kamar. Syifa sudah berangkat kuliah sepuluh menit yang lalu.”
“Berarti sarapan kamu sudah dingin. Dipa, kamu harus menjaga kesehatan.”
“Iya, Pak Dokter.”
Terdengar tawa di seberang sana. “Dengarkan nasihat dokter pribadimu. Badan kamu terlalu kurus, dan kamu kurang terkena sinar matahari. Kamu sedang dalam masa pertumbuhan.”
“Pa, makanku sudah banyak, memang nggak jadi daging aja,” protesnya, merasa risi dicereweti.
“Ya, Papa tahu kok! Intinya, matikan komputer, letakkan pulpen, tutup bukumu, dan segera habiskan makananmu. Kamu tidak suka makanan dingin, tapi sering membiarkan makanan menjadi dingin. Sekarang lebih baik kamu habiskan kalau tidak mau kena marah Syifa lagi.”
Dipa menghela napas. “Oke, Dipa tutup sekarang teleponnya, ya! Lebih baik Papa fokus bekerja aja di rumah sakit, jangan sampai salah memberikan diagnosis.”
“Ya, Papa ada praktik jam sepuluh nanti. Sore juga ada, jadi mungkin hari ini akan pulang larut.”
“Iya, nggak apa-apa, di rumah ada Syifa kok, Pa. Bye!”
Setelah menutup telepon, dengan kaki dia mendorong kursinya yang beroda ke meja nakas dan mengambil piring makannya. Setelah itu, masih duduk di kursi, dia mendorong kembali ke meja belajar. Hampir saja dia memuntahkan makanannya. Nasi gorengnya memang sudah dingin, seperti baru keluar dari kulkas. Wajar, AC di kamarnya menyala. Hampir saja dia melempar makanannya ke tempat sampah kalau tidak teringat ancaman Syifa. Bisa saja dia berbohong dengan mengatakan sudah menghabiskannya, tapi dia tidak suka berbohong, terlebih kepada orang-orang yang disayanginya. Jadi dia memaksa diri dan melahap habis nasi goreng tersebut. Walaupun dingin, setidaknya itu nasi goreng kesukaannya dan rasanya enak.
Setelah menghabiskan sarapan, termasuk segelas jus jeruk, dia kembali fokus mengerjakan tugas kuliahnya. Pagi ini pun berjalan normal, tidak terjadi sesuatu yang aneh, malah cenderung membosankan. Namun dia tidak masalah dengan itu. Membosankan berarti semua baik-baik saja. Dan dia menyukai semua yang baik-baik saja.[]
Perjalanan ke kampus pagi ini berjalan lancar. Jalanan tidak terlalu macet, langit cerah dengan sinar matahari yang tidak terlalu terik, sehingga dia tidak perlu kepanasan di balik helm dan jaket motor. Pukul setengah sepuluh, dia sudah sampai di kampus. Masih ada waktu setengah jam sampai kuliah dimulai.Dia berjalan menyusuri koridor, menuju ruangan kelas. Pagi ini, kelompoknya akan presentasi dengan tema anatomi jantung dan penyakit-penyakit yang kemungkinan muncul darinya. Semua bahan sudah selesai, teman satu kelompoknya, Taeyang, berjanji akan mencetak tugas kuliah tersebut sekaligus menjilid dan menjadikannya sepuluh rangkap, untuk dibagikan kepada kelompok lain juga dosen.Syifa meletakkan tas di meja paling depan dekat papan tulis. Tak lama masuk Taeyang, orang yang sudah ditunggu olehnya.“Morning,” sapa cowok itu. “Morning,” balas Syifa. “Mana makalahnya?” tanyanya langsung.
“Aku nggak mau ikut,” ucap cowok berkacamata dengan tinggi 179 cm ini.“Kamu harus ikut, karena semuanya ikut. Kamu akan sendirian di rumah,” Pak Jaka terlihat gusar dengan kekeraskepalaan putra sulungnya ini.“Nggak apa-apa. Aku sudah besar, sudah kuliah, bisa urus diri sendiri.”“Ya, yang ada kamu nggak makan tiga hari, cuma minum air putih aja,” timpal Syifa. Dia sudah selesai makan dan baru saja membawa piring kotor ke bak cuci piring.“Nggak makan nggak akan mati.”“Nggak akan mati, tapi habis itu kamu harus dirawat di rumah sakit. Tangan kamu diinfus, ditusuk jarum. Mau?” ucap Syifa lagi, merasa sangat gemas dengan adik sepupunya ini.“Itu nggak akan terjadi. Aku akan baik-baik saja.”“Dipa Arya!” Pak Jaka menarik napas dalam-dalam, “Kamu kenapa sih, segitu tidak maunya bertemu kakek-nenekmu? Di sana kamu bisa bertemu sepupu yan
Waktu sudah hampir menunjukkan pukul delapan. Blythe mengencangkan ikatan rambutnya. Rambutnya yang berwarna perak dan bola matanya yang biru membuat penampilannya sangat menonjol di antara ratusan mahasiswa di kampus ini. Di mana pun dia berjalan, banyak pasang mata melirik ke arahnya, sebagian merasa iri dan sebagian memujanya. Namun Blythe sudah terbiasa. She’s the perfect girl. Apa pun yang diinginkannya, semua pasti berlomba mewujudkannya. Kemudian dia bertemu cowok itu, kepercayaan dirinya tercabik ketika cowok itu sama sekali tidak menatapnya saat mereka berbicara. Rasa penasarannya semakin bertambah ketika dia merasakan energi yang tidak biasa terasa di seluruh permukaan kulit cowok itu. Dia pun berusaha mendekatinya, namun entah mengapa, rasanya sulit sekali. Seperti biasa, Blythe menunggu di dekat stasiun kereta tempat Dipa biasanya turun. Cowok itu tidak turun dari kereta yang biasa. Rasanya aneh, karena biasanya cowok itu sangat te
Akhirnya perjalanan ke Surabaya dimulai. Mereka berangkat tepat setelah sarapan pukul tujuh pagi, dan bergantian menyetir, meskipun sebagian besar perjalanan Jaka-lah yang mengendarainya. Berangkat dari rumah Dipa yang membawa mobil. Kemudian sehabis beristirahat setelah keluar dari tol Cikampek, gantian dengan Jaka. Setiap lima jam, mereka berhenti untuk beristirahat. Setelah perjalanan hampir sepuluh jam, mereka akhirnya sampai di Semarang dan memutuskan untuk mampir di salah satu tempat peristirahatan. Begitu mobil diparkir, Dipa bergegas keluar karena kebelet kencing. Begitu sampai di toilet, antreannya lumayan panjang. Dipa tidak masalah dengan mengantre, hanya saja yang membuatnya tidak tahan mengantre di toilet umum seperti ini, adalah bau amonia yang menyengat. Dipa menahan napas. Untung saja antrean laki-laki tidak memakan waktu lama. Dengan cepat dia sudah berada di antrean terdepan. Jaka juga terlihat mengantre di belakang. B
“Syifa, lakukan seperti yang biasa kamu latih. Dan apakah kamu bisa… mendatangkan kabut untuk menghalangi mereka?” ucap Jaka tanpa sedetik pun berpaling dari jalan. Dipa keheranan mendengar permintaan ayahnya. Mendatangkan kabut? Kabut merupakan salah satu fenomena alam di mana uap air yang berada dekat permukaan tanah berkondensasi dan menjadi mirip awan. Hal ini biasanya terbentuk karena hawa dingin membuat uap air berkondensasi dan kadar kelembaban menjadi seratus persen. Jadi, bagaimana caranya gadis itu bisa membuatnya? “Akan aku usahakan, Om,” Syifa mulai mengatur napasnya kembali. Bagaimanapun, tidak seperti Dipa, Syifa sudah cukup terlatih. Dipa melongo, dia benar-benar seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. “Lalu, apa yang harus aku lakukan, Pa?” Mobil bergetar kembali, tapi kali ini disertai hawa dingin dan bau yang menusuk. Dipa menutup hidung, lagi-lagi merasa mual. “Kamu … bisa menyelamatkan kita dari situasi
“Apakah di sini tempatnya?” tanya Jaka begitu menepikan mobil di tengah hutan entah di mana. Dipa terdiam dan mendengarkan suara-suara yang sejak tadi berbisik-bisik padanya. “Iya, di sini. Mereka bilang, area di sini terlalu tertutup lebatnya pepohonan, sehingga para pemburu tidak akan bisa merasakan kita di sini.” Jaka tersenyum. Setelah memarkir mobil, beliau merebahkan kepalanya sebentar dan memejamkan mata. Mata tuanya sudah terlalu lama tidak melihat dalam kondisi seperti tadi, sehingga ia cukup kelelahan. Syifa sama lelahnya seperti Jaka, dia sudah mengerahkan segenap kekuatan, jadi sama sekali tidak bisa bersuara. Dia hanya diam saja sambil memejamkan mata. “Dipa, bisa kau cek situasi sekitar? Mungkin ada air ada buah yang bisa dijadikan makanan,” pinta Jaka dengan mata masih tertutup. Dipa tidak menjawab. Setelah diminta mencarikan tempat persembunyian sementara, dia tidak merasa aneh ataupun takut ketika diminta mencarikan mak
Menunggu merupakan kegiatan yang tidak disukai oleh Dipa. Kalaupun dia biasa menunggu Syifa, dia memiliki hal lain yang bisa dilakukan sambil menunggu, mengerjakan tugas kuliah misalnya. Bukan hanya diam saja tanpa ada kejelasan selanjutnya. “Pa, ayo kita jalan aja sekarang!” desak Dipa ketika mereka sudah menunggu selama lima jam dan matahari sudah berada di puncaknya. Dia sudah bosan bermain game di ponselnya atau melafalkan deret aritmatika di dalam otaknya. Dia bahkan sudah sempat tertidur, namun saat dia terbangun bantuan belum juga tiba. “Sabar, Dipa, pertolongan sedang dalam perjalanan. Papa khawatir mereka masih berada di sekitar sini, menunggu sampai kita keluar dari persembunyian ini. Kalau sampai kita dikejar kembali. Papa tidak yakin kita bisa selamat dari mereka untuk kedua kalinya.” Tentu saja di tengah hutan ini tidak ada sinyal telepon. Oleh sebab itu Pak Jaka memakai gelombang radio untuk meminta bantuan. Untun
“Jadi, kau mewarisi bakat dari klan ibumu?” ucap Eyang Adipramana menatap dirinya seolah sedang menyidik dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dipa mengernyitkan dahinya demi mendengar nada suara yang berkesan menyangsikan dirinya. Melihat Dipa yang tidak menjawab pertanyaan pemimpin keluarga ini, Syifa menyenggol bahu Dipa. Dipa menoleh memandang wajah Syifa dengan heran. “Jawab.” Syifa memberi isyarat dengan gerakan bibir dan matanya. Dipa berdecak, namun dia memilih menuruti kakak sepupunya, “Sepertinya begitu, Eyang.” Kemudian setelah beberapa saat Eyang Adipramana hanya berdiam diri, beliau berbalik dan masuk kembali ke dalam jeep. Dipa menoleh pada Syifa untuk bertanya apa yang baru saja terjadi. Syifa pun hanya mengedikkan bahunya. “Syifa, Dipa, masuk ke mobil. Kita akan jalan sekarang,” perintah Jaka. Beliau pun masuk ke kursi penumpang di sebelah supir. Sebagai gantinya Bagas yang akan mengendarai mobil s
[Dipa, lo kok nggak kuliah-kuliah?]Begitu isi pesan yang dikirimkan oleh Hendra salah satu teman kuliahnya.[Ada masalah keluarga, Dra. Kuliah gue ketinggalan jauh ya?]Dipa membalas pesan itu. Dia pun gelisah karena pasti ada banyak tugas dan materi yang ketinggalan dia pelajari beberapa hari ini.[Nggak juga, sih! Kalau lo pasti bisa nyusul kok. Cuma lo ditanyain sama dosen. Oh iya, lo juga ditanyain sama Blythe sih!]Dipa menarik napas lega membaca pesan itu. Kalau dipikir-pikir, dia memang selalu dua sampai tiga bab lebih cepat mempelajari materi yang akan dipelajari di kampusnya.[Ada tugas apa aja?][Nanti gue email ke lo. Oh ya, Blythe kayaknya bener-bener khawatir sama lo. Sekarang dia lagi ada di samping gue nih. Mau ngobrol sama dia nggak? Eh, kalian nggak saling tukar nomor hape ya?][Ngobrol sama gue? Ngobrolin apa? Nggak usah deh, jangan! Gue lagi males ngomong. Ya
“Kau pasti tidak mempercayai semua itu?” ucap Jaka tersenyum pada putranya yang saat ini sedang mengernyitkan dahinya, penuh keraguan. “Kalau para penguasa elemen memang sudah ada sejak masa Atlantis, kenapa Atlantis bisa tenggelam? Kan ada pengendali air dan tanah,” tanya Dipa. Jaka menganggukkan kepalanya, Syifa diam-diam menyetujui pertanyaan adik sepupunya. “Alam bisa dikendalikan oleh manusia, tapi bukan berarti alam tunduk pada manusia, karena manusia bukan penciptanya,” jawab Jaka. Dipa terdiam, dia tidak bisa membantah jawaban ayahnya. Hanya saja, dia masih belum merasa puas. “Tapi, apa sebabnya Atlantis tenggelam? Apa yang terjadi pada masa itu?” tanya Syifa kali ini gantian dia yang bertanya. Dia memang pernah mendengar ceritanya, namun saat itu, dia hanya menelan semua legenda yang didengarnya bulat-bulat. Padahal dia tipikal anak yang kritis, namun entah saat itu dia tidak memiliki keinginan untuk menyanggah apapun. Karena
“Pa, kenapa kita ke apartemen?” tanya Dipa saat taksi malah berhenti di depan gedung apartemen jauh dari lokasi rumah mereka. “Ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita. Jadi untuk jaga-jaga, kita akan tinggal di tempat ini. Apartemen ini tidak terdaftar sebagai milik ayah atau kamu. Jadi pasti mereka tidak akan bisa melacaknya,” jawab Jaka membayar taksi dengan dua lembar seratus ribuan. Setelah itu, mereka bertiga turun dari taksi dan menurunkan koper dari bagasi. “Tapi, bagaimana kami bisa kuliah? Semua buku-buku kami ada di rumah,” protes Syifa. Saat ini masih pukul sebelas siang, dia pikir dia masih bisa menghadiri kuliah siang. “Siapa bilang kalian boleh kuliah? Hari ini kalian diam saja di dalam apartemen. Biar Papa yang mengurus semuanya. Papa akan pulang ke rumah dan membawa semua kebutuhan kalian.” “Papa nggak salah ngomong? Bukannya tadi Papa bilang ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita dan pasti sedang mengawa
“Dipa, setelah mendengar kisah ini, bagaimana kalau kau tinggal di sini untuk sementara?” ucap Eyang Adipramana. Dipa terdiam, pikirannya masih fokus dengan kisah cinta segitiga yang baru saja diceritakan oleh kakek buyutnya. Basundari, Erion dan Avanindra. Lalu, hubungannya sama dia apa? Kata Eyang, aku keturunan langsung Basundari dan Avanindra. How cool is that? I don’t know. I never knew about them before. Dipa mengedikkan bahunya, tidak menyadari pandangan heran dari kakek buyutnya. “Bagaimana, Dipa?” tanya Eyang kembali. “Eh, ng,” Dipa pun tersadar. Dia sempat ragu bagaimana menjawabnya. Dia memahami pentingnya pengajaran yang akan diberikan oleh kakek buyutnya. Hanya saja, dia sama sekali tidak menyukai ide tinggal di rumah ini terlalu lama. Tapi selama ada Papa dan Syifa, sepertinya tidak akan ada masalah. “Dipa, udah mau aja. Masalah kuliah kamu gampang, nanti aku yang urus,” ucap Syifa. Dipa
Dipa ragu-ragu menemui eyang buyutnya. Namun, Syifa yang mendengar permintaan eyang agar Dipa menemui dirinya setelah makan malam, tidak bisa membiarkan cowok itu mangkir. “Aku akan mengantarmu.” Begitu ucap Syifa. Gadis itu menggamit tangan Dipa dan menariknya menuju sisi rumah bagian Timur. Kantor Eyang Adipramana jauh dari ruangan lain, sehingga wilayah rumah ini begitu tenang dan sunyi. Hanya terdengar suara gemericik air dari kolam ikan yang berada di taman dan tepat berada di samping kantor. “Masuk,” ucap Syifa memberi isyarat dengan kepalanya agar Dipa membuka pintu dan masuk ke dalamnya. “Kenapa aku harus masuk? Aku nggak tahu aku salah apa sampai eyang memutuskan untuk mengajakku bicara!” protes Dipa. “Oh my God, Dipa, wake up! Eyang mengajakmu bicara bukan karena kamu melakukan kesalahan. Tapi karena kamu merupakan pewaris elemen. Saat kemampuanku pertama kali muncul, aku sangat ketakutan dan tidak tahu harus melakukan apa.
Puluhan kilometer jauhnya, kembali ke ibu kota Jakarta, Taeyang berniat pulang ke rumah keluarganya di Sukabumi. Dia tidak pernah repot membawa pakaian ganti, karena semuanya sudah tersedia di rumahnya. Yang dibawanya hanya laptop dan telepon genggam. Saat awal kuliah, dia indekos tak jauh dari kampus dan Syifa mengetahui tempat kosnya. Namun sejak setahun yang lalu, Taeyang pindah ke apartemen miliknya sendiri. Dan Syifa selalu lupa tentang hal itu. Cowok berpotongan rambut mullet ini baru saja mengetuk kartu parkirnya dan melajukan mobilnya keluar dari areal parkir. Namun sedetik kemudian dia langsung menginjak pedal rem sedalamnya karena seorang gadis tiba-tiba muncul di depan mobilnya. Dia hampir saja menabrak seorang perempuan yang berparas cukup menarik, berkulit coklat eksotis, dengan bibir yang tebal dan bola mata berwarna hazel. Matanya tidak lepas dari menatap wajah perempuan itu. Perempuan itu pun melakukan hal yang sama. Untuk sesaat mereka saling
“Jadi, kau mewarisi bakat dari klan ibumu?” ucap Eyang Adipramana menatap dirinya seolah sedang menyidik dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dipa mengernyitkan dahinya demi mendengar nada suara yang berkesan menyangsikan dirinya. Melihat Dipa yang tidak menjawab pertanyaan pemimpin keluarga ini, Syifa menyenggol bahu Dipa. Dipa menoleh memandang wajah Syifa dengan heran. “Jawab.” Syifa memberi isyarat dengan gerakan bibir dan matanya. Dipa berdecak, namun dia memilih menuruti kakak sepupunya, “Sepertinya begitu, Eyang.” Kemudian setelah beberapa saat Eyang Adipramana hanya berdiam diri, beliau berbalik dan masuk kembali ke dalam jeep. Dipa menoleh pada Syifa untuk bertanya apa yang baru saja terjadi. Syifa pun hanya mengedikkan bahunya. “Syifa, Dipa, masuk ke mobil. Kita akan jalan sekarang,” perintah Jaka. Beliau pun masuk ke kursi penumpang di sebelah supir. Sebagai gantinya Bagas yang akan mengendarai mobil s
Menunggu merupakan kegiatan yang tidak disukai oleh Dipa. Kalaupun dia biasa menunggu Syifa, dia memiliki hal lain yang bisa dilakukan sambil menunggu, mengerjakan tugas kuliah misalnya. Bukan hanya diam saja tanpa ada kejelasan selanjutnya. “Pa, ayo kita jalan aja sekarang!” desak Dipa ketika mereka sudah menunggu selama lima jam dan matahari sudah berada di puncaknya. Dia sudah bosan bermain game di ponselnya atau melafalkan deret aritmatika di dalam otaknya. Dia bahkan sudah sempat tertidur, namun saat dia terbangun bantuan belum juga tiba. “Sabar, Dipa, pertolongan sedang dalam perjalanan. Papa khawatir mereka masih berada di sekitar sini, menunggu sampai kita keluar dari persembunyian ini. Kalau sampai kita dikejar kembali. Papa tidak yakin kita bisa selamat dari mereka untuk kedua kalinya.” Tentu saja di tengah hutan ini tidak ada sinyal telepon. Oleh sebab itu Pak Jaka memakai gelombang radio untuk meminta bantuan. Untun
“Apakah di sini tempatnya?” tanya Jaka begitu menepikan mobil di tengah hutan entah di mana. Dipa terdiam dan mendengarkan suara-suara yang sejak tadi berbisik-bisik padanya. “Iya, di sini. Mereka bilang, area di sini terlalu tertutup lebatnya pepohonan, sehingga para pemburu tidak akan bisa merasakan kita di sini.” Jaka tersenyum. Setelah memarkir mobil, beliau merebahkan kepalanya sebentar dan memejamkan mata. Mata tuanya sudah terlalu lama tidak melihat dalam kondisi seperti tadi, sehingga ia cukup kelelahan. Syifa sama lelahnya seperti Jaka, dia sudah mengerahkan segenap kekuatan, jadi sama sekali tidak bisa bersuara. Dia hanya diam saja sambil memejamkan mata. “Dipa, bisa kau cek situasi sekitar? Mungkin ada air ada buah yang bisa dijadikan makanan,” pinta Jaka dengan mata masih tertutup. Dipa tidak menjawab. Setelah diminta mencarikan tempat persembunyian sementara, dia tidak merasa aneh ataupun takut ketika diminta mencarikan mak