“Aku nggak mau ikut,” ucap cowok berkacamata dengan tinggi 179 cm ini.
“Kamu harus ikut, karena semuanya ikut. Kamu akan sendirian di rumah,” Pak Jaka terlihat gusar dengan kekeraskepalaan putra sulungnya ini.
“Nggak apa-apa. Aku sudah besar, sudah kuliah, bisa urus diri sendiri.”
“Ya, yang ada kamu nggak makan tiga hari, cuma minum air putih aja,” timpal Syifa. Dia sudah selesai makan dan baru saja membawa piring kotor ke bak cuci piring.
“Nggak makan nggak akan mati.”
“Nggak akan mati, tapi habis itu kamu harus dirawat di rumah sakit. Tangan kamu diinfus, ditusuk jarum. Mau?” ucap Syifa lagi, merasa sangat gemas dengan adik sepupunya ini.
“Itu nggak akan terjadi. Aku akan baik-baik saja.”
“Dipa Arya!” Pak Jaka menarik napas dalam-dalam, “Kamu kenapa sih, segitu tidak maunya bertemu kakek-nenekmu? Di sana kamu bisa bertemu sepupu yang lain. Kamu pasti akan senang bertemu banyak saudara.”
“Aku nggak mengenal mereka, jadi kenapa Papa berpikir aku akan senang bertemu mereka?”
“Sudahlah. Suka atau tidak suka, pokoknya kamu harus ikut. Akhir pekan ini kita berangkat! Tidak ada tapi-tapian atau alasan apa pun!” Keputusan Pak Jaka tak bisa dibantah.
“Kalau begitu, sejak awal untuk apa Papa bertanya? Papa tinggal bilang Jumat ini kita berangkat pukul sekian, kalian harus siap.”
“Dipaaa!” keluh Syifa yang ikutan stres dengan kelakuan sepupunya ini, “Sejak awal Om Jaka memang bilang begitu. Kamunya aja yang terlalu defensif! Belum selesai bicara sudah kamu potong nggak mau ikut! Udah gitu pakai ngotot lagi!”
Bibir cowok berkulit sawo matang ini mengerucut, merasa malu karena sadar sudah bersikap bodoh dan keras kepala.
“Kalau begitu kita nggak usah datang aja sekalian. Biasanya juga kita nggak pernah datang. Kenapa sekarang harus repot-repot datang?” ucap Dipa lagi.
“Justru karena tahun-tahun kemarin kita tidak datang, tahun ini harus datang. Tahun ini sangat penting, karena ada pembagian warisan yang harus diurus. Papa diancam Pak De Irwan harus datang tahun ini,” jelas Pak Jaka sambil membetulkan kacamatanya yang melorot.
Secara keseluruhan, wajahh Dipa mirip ibunya. Tapi karena dia dan Pak Jaka sama-sama memakai kacamata dan postur mereka mirip jika dilihat dari belakang, meskipun Dipa lebih tinggi lima sentimeter, orang yang melihatnya pertama kali pasti mengatakan Dipa mirip dengan Pak Jaka.
Akhirnya setelah berdebat panjang, Dipa tidak bisa menolak untuk tidak ikut. Selesai sarapan dia segera bersiap-siap berangkat kuliah pagi. Dia diantar Pak Jaka yang kebetulan akan berangkat ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dekat Stasiun Cikini. Dipa pun turun di Metropole. Dari sana dia berjalan kaki, sementara Pak Jaka meneruskan menuju rumah sakit.
Jalanan pagi ini sudah cukup ramai, di beberapa titik terbentuk kemacetan, namun cepat terurai kembali. Dipa berjalan bersama orang-orang lain menuju stasiun. Ranselnya cukup berat, karena berisi laptop dan beberapa buku kuliah yang cukup tebal.
Dia merasa mendengar dering telepon, tapi tidak menemukan teleponnya di saku jaket maupun celana. Dia baru ingat kalau tadi sebelum turun dari mobil, dia memasukkan teleponnya ke ransel.
Dia melepaskan satu tali ransel dan menariknya ke depan tubuh untuk mencari telepon. Isi tasnya banyak sekali, sehingga agak sulit baginya menemukan yang dicarinya. Terpaksa dia meletakkan tasnya di jalan, kemudian berjongkok untuk mencari. Telepon genggamnya berada di dasar ransel, tertumpuk buku-bukunya. Begitu dia menariknya, panggilan itu terhenti.
Dari Syifa, dia membaca sebaris nama di layar telepon genggam. Ada apa kakak sepupunya itu menelepon? Dipa pun menekan tombol panggil, seraya bangkit sementara tasnya masih tergeletak di jalan. Orang-orang melewatinya yang berdiri di tengah trotoar. Tak lama telepon diangkat.
“Halo, Syifa, ada apa?” tanyanya sambil memunggungi ransel.
Tiba-tiba seseorang menyambar ransel itu dan membawanya kabur. Awalnya Dipa hanya diam mematung, lalu tersadar orang itu pencuri.
“Dipa, bekal kamu ketinggalan,” ucap Syifa di seberang telepon.
Dipa sama sekali tidak mendengarnya, karena detik berikutnya dia berseru kencang. “Pencuri!” Dengan agak kerepotan, dia memasukkan telepon genggamnya ke saku celana dan langsung berlari mengejar pencuri itu. “Pencuri!” serunya lagi sambil mengerahkan seluruh volume udara di rongga dadanya.
Namun bukannya menolong, orang-orang yang lewat kebanyakan hanya berhenti berjalan dan menoleh untuk menonton Dipa tunggang-langgang mengejar pencuri itu.
Dada Dipa terasa sesak. Dia tidak pernah menyukai olah raga, jadi berlari seperti ini benar-benar di luar batas kemampuannya. Belum lagi dia sampai menginjak tali sepatu sendiri, sehingga jatuh terjerembap. Hidungnya berdarah karena menghantam jalanan, tapi sakit yang dirasakannya tidak seberapa dibandingkan malu yang dirasakannya. Tentu saja banyak orang yang melihatnya terjatuh menertawakan dirinya.
Pencuri yang berpenampilan seperti mahasiswa itu semakin jauh dan nyaris lenyap di belokan. Jika saja dia berjalan santai sambil membawa ransel Dipa, tidak akan ada yang mengira itu tas curian. Tapi, kenapa tidak ada satu pun yang menolong Dipa? Apakah orang-orang sudah tidak memiliki perasaan empati lagi di dunia ini? Atau itu lebih disebabkan karena Dipa laki-laki?
Dipa berusaha bangkit dan kembali berlari. Dia tidak bisa berteriak karena dadanya sesak sekali. Ketika dia nyaris pingsan, dari balik kacamatanya yang tertutup embun napasnya sendiri, dia melihat seseorang berlari melewatinya dan mengejar pencuri itu.
Entah itu hanya khayalannya atau bukan, langkah kaki gadis pengejar itu sangat ringan dan lebar. Dengan cepat, dia sudah berada di belakang si pencuri dan menjegalnya.
Dipa bangkit dari tanah, membetulkan letak kacamatanya agar dapat melihat lebih jelas apa yang terjadi. Dia berlari mendekati gadis itu. Sialnya, setelah tas berhasil direnggut, si pencuri kabur. Namun kali ini, gadis itu tidak repot-repot mengejar.
“I got your bag,” ucapnya dengan logat India yang kental.
Dipa terdiam beberapa saat. Matanya tidak bisa berkedip melihat kecantikan yang ada di depannya saat ini. Mata gadis itu bulat indah, berwarna hijau zaitun dan bulu matanya lentik. Kulitnya yang cokelat tampak berkilau sehat, hidungnya mancung dan bibirnya tebal. Rambutnya yang hitam tebal dan panjang dibiarkan tergerai di punggung. Bahkan angin bertiup nakal memainkan beberapa helai rambutnya, hingga menyentuh lembut wajah Dipa, dan dia pun mencium aroma lavender dari perempuan itu.
“Hei-hei!”
Dipa terkejut ketika gadis itu menjentikkan jemari di depan wajahnya. Kesadarannya langsung kembali, Dipa merasa malu baru saja melakukan hal yang benar-benar bodoh.
“Kenapa kamu membiarkan pencuri itu kabur?” sergahnya. “Kita harus membawanya ke kantor polisi. Apa kamu nggak mengerti?”
Sesaat gadis itu terheran-heran melihat reaksi Dipa. “Well, I got your bag. Bukankah itu yang paling penting?”
Dipa mencebik. “Aku bisa melakukannya sendiri. Aku nggak butuh bantuanmu!” balasnya seraya mengambil tas itu dari tangan si gadis.
Gadis itu terkejut melihat sikap Dipa yang kurang ajar. “Oh ya? Aku juga yakin kok kamu pasti bisa mengejar pencuri itu sendiri, kalau saja kamu tidak pura-pura terjatuh sampai menghantam wajahmu sendiri begitu!” balas gadis itu sarkastis.
Dipa mengerutkan alis. Dia tahu sikapnya tidak sopan, tapi tetap saja mendengar gadis itu bicara ketus kepadanya membuatnya kesal.
“Ya, aku bisa mengurus diriku sendiri. Dan sekarang kalau nggak ada hal penting lainnya, aku harus pergi. Aku bisa ketinggalan kereta kalau begini!” Dipa berbalik. Dia tidak bisa berlama-lama berada di dekat gadis itu, detak jantungnya membuatnya sesak napas.
Namun belum lagi dia melangkah, tubuhnya sudah dihalangi gadis itu. Dipa sempat heran bagaimana gadis itu bisa bergerak begitu cepat.
“Not so fast, hot shot! Kamu boleh saja merasa tidak memerlukan bantuanku. Tapi aku paling tidak suka melihat orang sok, lemah badannya tapi tidak tahu terima kasih kayak kamu. Okelah salahku karena sudah membiarkan pencuri itu pergi begitu saja. Tapi mau kamu akui atau tidak, aku telah membantumu mendapatkan kembali tas itu! Dan aku tidak tahu bagaimana caramu dibesarkan, tapi aku yakin sekali ibumu pasti mengajarkanmu mengucapkan terima kasih dan bukan main kabur begitu sa−“
Ucapan gadis itu langsung terhenti ketika kedua tangan Dipa menutup mulutnya. Namun bukannya kesal, gadis itu terdiam ketika merasakan aliran listrik mengalir saat kulit mereka bersentuhan. Matanya terbelalak menatap wajah cowok di depannya, yang juga sedang memandang dirinya.
Dipa sendiri tidak bisa memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Ada ketertarikan yang dia rasakan ketika kulit mereka bersentuhan dan itu membuatnya terpaku. Seperti orang bodoh, dia hanya terdiam menatap wajah gadis itu. Apalagi ketika mata mereka bertatapan.
Setelah beberapa saat yang cukup lama, kedua tangan gadis itu menepis tangan Dipa dari mulutnya.
“Apa yang baru saja kamu lakukan?” omelnya. Untung saja kulitnya cokelat, sehingga Dipa tidak menyadari kalau wajahnya terasa panas saat ini.
“So-sorry, aku nggak bermaksud−“ Namun Dipa tidak bisa menyelesaikan ucapannya sendiri. Dia tidak tahu harus mengatakan apa.
Gadis itu bergerak salah tingkah, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Dipa ingin sekali mengatakan sesuatu, namun lidahnya kaku. Akhirnya dia berbalik, sedetik lagi berada di dekat gadis itu, entah apa yang akan dilakukan olehnya. Tapi kali ini dia tidak lupa berkata, “Te-terima kasih.”
Dipa melangkah cepat, jantungnya masih berdegup kencang, getaran itu masih terasa olehnya. Bukan berarti dia tidak pernah menyentuh seorang gadis selain Syifa. Dia pernah bersalaman dengan bu guru atau teman-teman wanitanya di sekolah dan kampus. Namun bersentuhan dengan gadis itu terasa berbeda. Bayangan gadis itu terus berputar-putar dalam ingatannya. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Oh, sial! Dia sama sekali lupa menanyakan namanya.
Bodoh-bodoh-bodoh! makinya dalam hati. Dia berbalik, berharap masih melihat gadis itu. Namun gadis itu sudah tidak ada di sana. Entah kenapa Dipa merasa kecewa.
Dia menarik napas dalam-dalam, mungkin takdir mereka memang hanya sampai di sana. Kemudian dia melangkah kembali. Dia sudah ketinggalan kereta jam tujuh dan sebaiknya tidak ketinggalan kereta selanjutnya, karena bisa-bisa dia terlambat masuk kuliah pagi ini. Diam-diam, di sudut hati dia berharap bisa bertemu lagi dengan gadis itu.[]
Waktu sudah hampir menunjukkan pukul delapan. Blythe mengencangkan ikatan rambutnya. Rambutnya yang berwarna perak dan bola matanya yang biru membuat penampilannya sangat menonjol di antara ratusan mahasiswa di kampus ini. Di mana pun dia berjalan, banyak pasang mata melirik ke arahnya, sebagian merasa iri dan sebagian memujanya. Namun Blythe sudah terbiasa. She’s the perfect girl. Apa pun yang diinginkannya, semua pasti berlomba mewujudkannya. Kemudian dia bertemu cowok itu, kepercayaan dirinya tercabik ketika cowok itu sama sekali tidak menatapnya saat mereka berbicara. Rasa penasarannya semakin bertambah ketika dia merasakan energi yang tidak biasa terasa di seluruh permukaan kulit cowok itu. Dia pun berusaha mendekatinya, namun entah mengapa, rasanya sulit sekali. Seperti biasa, Blythe menunggu di dekat stasiun kereta tempat Dipa biasanya turun. Cowok itu tidak turun dari kereta yang biasa. Rasanya aneh, karena biasanya cowok itu sangat te
Akhirnya perjalanan ke Surabaya dimulai. Mereka berangkat tepat setelah sarapan pukul tujuh pagi, dan bergantian menyetir, meskipun sebagian besar perjalanan Jaka-lah yang mengendarainya. Berangkat dari rumah Dipa yang membawa mobil. Kemudian sehabis beristirahat setelah keluar dari tol Cikampek, gantian dengan Jaka. Setiap lima jam, mereka berhenti untuk beristirahat. Setelah perjalanan hampir sepuluh jam, mereka akhirnya sampai di Semarang dan memutuskan untuk mampir di salah satu tempat peristirahatan. Begitu mobil diparkir, Dipa bergegas keluar karena kebelet kencing. Begitu sampai di toilet, antreannya lumayan panjang. Dipa tidak masalah dengan mengantre, hanya saja yang membuatnya tidak tahan mengantre di toilet umum seperti ini, adalah bau amonia yang menyengat. Dipa menahan napas. Untung saja antrean laki-laki tidak memakan waktu lama. Dengan cepat dia sudah berada di antrean terdepan. Jaka juga terlihat mengantre di belakang. B
“Syifa, lakukan seperti yang biasa kamu latih. Dan apakah kamu bisa… mendatangkan kabut untuk menghalangi mereka?” ucap Jaka tanpa sedetik pun berpaling dari jalan. Dipa keheranan mendengar permintaan ayahnya. Mendatangkan kabut? Kabut merupakan salah satu fenomena alam di mana uap air yang berada dekat permukaan tanah berkondensasi dan menjadi mirip awan. Hal ini biasanya terbentuk karena hawa dingin membuat uap air berkondensasi dan kadar kelembaban menjadi seratus persen. Jadi, bagaimana caranya gadis itu bisa membuatnya? “Akan aku usahakan, Om,” Syifa mulai mengatur napasnya kembali. Bagaimanapun, tidak seperti Dipa, Syifa sudah cukup terlatih. Dipa melongo, dia benar-benar seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. “Lalu, apa yang harus aku lakukan, Pa?” Mobil bergetar kembali, tapi kali ini disertai hawa dingin dan bau yang menusuk. Dipa menutup hidung, lagi-lagi merasa mual. “Kamu … bisa menyelamatkan kita dari situasi
“Apakah di sini tempatnya?” tanya Jaka begitu menepikan mobil di tengah hutan entah di mana. Dipa terdiam dan mendengarkan suara-suara yang sejak tadi berbisik-bisik padanya. “Iya, di sini. Mereka bilang, area di sini terlalu tertutup lebatnya pepohonan, sehingga para pemburu tidak akan bisa merasakan kita di sini.” Jaka tersenyum. Setelah memarkir mobil, beliau merebahkan kepalanya sebentar dan memejamkan mata. Mata tuanya sudah terlalu lama tidak melihat dalam kondisi seperti tadi, sehingga ia cukup kelelahan. Syifa sama lelahnya seperti Jaka, dia sudah mengerahkan segenap kekuatan, jadi sama sekali tidak bisa bersuara. Dia hanya diam saja sambil memejamkan mata. “Dipa, bisa kau cek situasi sekitar? Mungkin ada air ada buah yang bisa dijadikan makanan,” pinta Jaka dengan mata masih tertutup. Dipa tidak menjawab. Setelah diminta mencarikan tempat persembunyian sementara, dia tidak merasa aneh ataupun takut ketika diminta mencarikan mak
Menunggu merupakan kegiatan yang tidak disukai oleh Dipa. Kalaupun dia biasa menunggu Syifa, dia memiliki hal lain yang bisa dilakukan sambil menunggu, mengerjakan tugas kuliah misalnya. Bukan hanya diam saja tanpa ada kejelasan selanjutnya. “Pa, ayo kita jalan aja sekarang!” desak Dipa ketika mereka sudah menunggu selama lima jam dan matahari sudah berada di puncaknya. Dia sudah bosan bermain game di ponselnya atau melafalkan deret aritmatika di dalam otaknya. Dia bahkan sudah sempat tertidur, namun saat dia terbangun bantuan belum juga tiba. “Sabar, Dipa, pertolongan sedang dalam perjalanan. Papa khawatir mereka masih berada di sekitar sini, menunggu sampai kita keluar dari persembunyian ini. Kalau sampai kita dikejar kembali. Papa tidak yakin kita bisa selamat dari mereka untuk kedua kalinya.” Tentu saja di tengah hutan ini tidak ada sinyal telepon. Oleh sebab itu Pak Jaka memakai gelombang radio untuk meminta bantuan. Untun
“Jadi, kau mewarisi bakat dari klan ibumu?” ucap Eyang Adipramana menatap dirinya seolah sedang menyidik dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dipa mengernyitkan dahinya demi mendengar nada suara yang berkesan menyangsikan dirinya. Melihat Dipa yang tidak menjawab pertanyaan pemimpin keluarga ini, Syifa menyenggol bahu Dipa. Dipa menoleh memandang wajah Syifa dengan heran. “Jawab.” Syifa memberi isyarat dengan gerakan bibir dan matanya. Dipa berdecak, namun dia memilih menuruti kakak sepupunya, “Sepertinya begitu, Eyang.” Kemudian setelah beberapa saat Eyang Adipramana hanya berdiam diri, beliau berbalik dan masuk kembali ke dalam jeep. Dipa menoleh pada Syifa untuk bertanya apa yang baru saja terjadi. Syifa pun hanya mengedikkan bahunya. “Syifa, Dipa, masuk ke mobil. Kita akan jalan sekarang,” perintah Jaka. Beliau pun masuk ke kursi penumpang di sebelah supir. Sebagai gantinya Bagas yang akan mengendarai mobil s
Puluhan kilometer jauhnya, kembali ke ibu kota Jakarta, Taeyang berniat pulang ke rumah keluarganya di Sukabumi. Dia tidak pernah repot membawa pakaian ganti, karena semuanya sudah tersedia di rumahnya. Yang dibawanya hanya laptop dan telepon genggam. Saat awal kuliah, dia indekos tak jauh dari kampus dan Syifa mengetahui tempat kosnya. Namun sejak setahun yang lalu, Taeyang pindah ke apartemen miliknya sendiri. Dan Syifa selalu lupa tentang hal itu. Cowok berpotongan rambut mullet ini baru saja mengetuk kartu parkirnya dan melajukan mobilnya keluar dari areal parkir. Namun sedetik kemudian dia langsung menginjak pedal rem sedalamnya karena seorang gadis tiba-tiba muncul di depan mobilnya. Dia hampir saja menabrak seorang perempuan yang berparas cukup menarik, berkulit coklat eksotis, dengan bibir yang tebal dan bola mata berwarna hazel. Matanya tidak lepas dari menatap wajah perempuan itu. Perempuan itu pun melakukan hal yang sama. Untuk sesaat mereka saling
Dipa ragu-ragu menemui eyang buyutnya. Namun, Syifa yang mendengar permintaan eyang agar Dipa menemui dirinya setelah makan malam, tidak bisa membiarkan cowok itu mangkir. “Aku akan mengantarmu.” Begitu ucap Syifa. Gadis itu menggamit tangan Dipa dan menariknya menuju sisi rumah bagian Timur. Kantor Eyang Adipramana jauh dari ruangan lain, sehingga wilayah rumah ini begitu tenang dan sunyi. Hanya terdengar suara gemericik air dari kolam ikan yang berada di taman dan tepat berada di samping kantor. “Masuk,” ucap Syifa memberi isyarat dengan kepalanya agar Dipa membuka pintu dan masuk ke dalamnya. “Kenapa aku harus masuk? Aku nggak tahu aku salah apa sampai eyang memutuskan untuk mengajakku bicara!” protes Dipa. “Oh my God, Dipa, wake up! Eyang mengajakmu bicara bukan karena kamu melakukan kesalahan. Tapi karena kamu merupakan pewaris elemen. Saat kemampuanku pertama kali muncul, aku sangat ketakutan dan tidak tahu harus melakukan apa.
[Dipa, lo kok nggak kuliah-kuliah?]Begitu isi pesan yang dikirimkan oleh Hendra salah satu teman kuliahnya.[Ada masalah keluarga, Dra. Kuliah gue ketinggalan jauh ya?]Dipa membalas pesan itu. Dia pun gelisah karena pasti ada banyak tugas dan materi yang ketinggalan dia pelajari beberapa hari ini.[Nggak juga, sih! Kalau lo pasti bisa nyusul kok. Cuma lo ditanyain sama dosen. Oh iya, lo juga ditanyain sama Blythe sih!]Dipa menarik napas lega membaca pesan itu. Kalau dipikir-pikir, dia memang selalu dua sampai tiga bab lebih cepat mempelajari materi yang akan dipelajari di kampusnya.[Ada tugas apa aja?][Nanti gue email ke lo. Oh ya, Blythe kayaknya bener-bener khawatir sama lo. Sekarang dia lagi ada di samping gue nih. Mau ngobrol sama dia nggak? Eh, kalian nggak saling tukar nomor hape ya?][Ngobrol sama gue? Ngobrolin apa? Nggak usah deh, jangan! Gue lagi males ngomong. Ya
“Kau pasti tidak mempercayai semua itu?” ucap Jaka tersenyum pada putranya yang saat ini sedang mengernyitkan dahinya, penuh keraguan. “Kalau para penguasa elemen memang sudah ada sejak masa Atlantis, kenapa Atlantis bisa tenggelam? Kan ada pengendali air dan tanah,” tanya Dipa. Jaka menganggukkan kepalanya, Syifa diam-diam menyetujui pertanyaan adik sepupunya. “Alam bisa dikendalikan oleh manusia, tapi bukan berarti alam tunduk pada manusia, karena manusia bukan penciptanya,” jawab Jaka. Dipa terdiam, dia tidak bisa membantah jawaban ayahnya. Hanya saja, dia masih belum merasa puas. “Tapi, apa sebabnya Atlantis tenggelam? Apa yang terjadi pada masa itu?” tanya Syifa kali ini gantian dia yang bertanya. Dia memang pernah mendengar ceritanya, namun saat itu, dia hanya menelan semua legenda yang didengarnya bulat-bulat. Padahal dia tipikal anak yang kritis, namun entah saat itu dia tidak memiliki keinginan untuk menyanggah apapun. Karena
“Pa, kenapa kita ke apartemen?” tanya Dipa saat taksi malah berhenti di depan gedung apartemen jauh dari lokasi rumah mereka. “Ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita. Jadi untuk jaga-jaga, kita akan tinggal di tempat ini. Apartemen ini tidak terdaftar sebagai milik ayah atau kamu. Jadi pasti mereka tidak akan bisa melacaknya,” jawab Jaka membayar taksi dengan dua lembar seratus ribuan. Setelah itu, mereka bertiga turun dari taksi dan menurunkan koper dari bagasi. “Tapi, bagaimana kami bisa kuliah? Semua buku-buku kami ada di rumah,” protes Syifa. Saat ini masih pukul sebelas siang, dia pikir dia masih bisa menghadiri kuliah siang. “Siapa bilang kalian boleh kuliah? Hari ini kalian diam saja di dalam apartemen. Biar Papa yang mengurus semuanya. Papa akan pulang ke rumah dan membawa semua kebutuhan kalian.” “Papa nggak salah ngomong? Bukannya tadi Papa bilang ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita dan pasti sedang mengawa
“Dipa, setelah mendengar kisah ini, bagaimana kalau kau tinggal di sini untuk sementara?” ucap Eyang Adipramana. Dipa terdiam, pikirannya masih fokus dengan kisah cinta segitiga yang baru saja diceritakan oleh kakek buyutnya. Basundari, Erion dan Avanindra. Lalu, hubungannya sama dia apa? Kata Eyang, aku keturunan langsung Basundari dan Avanindra. How cool is that? I don’t know. I never knew about them before. Dipa mengedikkan bahunya, tidak menyadari pandangan heran dari kakek buyutnya. “Bagaimana, Dipa?” tanya Eyang kembali. “Eh, ng,” Dipa pun tersadar. Dia sempat ragu bagaimana menjawabnya. Dia memahami pentingnya pengajaran yang akan diberikan oleh kakek buyutnya. Hanya saja, dia sama sekali tidak menyukai ide tinggal di rumah ini terlalu lama. Tapi selama ada Papa dan Syifa, sepertinya tidak akan ada masalah. “Dipa, udah mau aja. Masalah kuliah kamu gampang, nanti aku yang urus,” ucap Syifa. Dipa
Dipa ragu-ragu menemui eyang buyutnya. Namun, Syifa yang mendengar permintaan eyang agar Dipa menemui dirinya setelah makan malam, tidak bisa membiarkan cowok itu mangkir. “Aku akan mengantarmu.” Begitu ucap Syifa. Gadis itu menggamit tangan Dipa dan menariknya menuju sisi rumah bagian Timur. Kantor Eyang Adipramana jauh dari ruangan lain, sehingga wilayah rumah ini begitu tenang dan sunyi. Hanya terdengar suara gemericik air dari kolam ikan yang berada di taman dan tepat berada di samping kantor. “Masuk,” ucap Syifa memberi isyarat dengan kepalanya agar Dipa membuka pintu dan masuk ke dalamnya. “Kenapa aku harus masuk? Aku nggak tahu aku salah apa sampai eyang memutuskan untuk mengajakku bicara!” protes Dipa. “Oh my God, Dipa, wake up! Eyang mengajakmu bicara bukan karena kamu melakukan kesalahan. Tapi karena kamu merupakan pewaris elemen. Saat kemampuanku pertama kali muncul, aku sangat ketakutan dan tidak tahu harus melakukan apa.
Puluhan kilometer jauhnya, kembali ke ibu kota Jakarta, Taeyang berniat pulang ke rumah keluarganya di Sukabumi. Dia tidak pernah repot membawa pakaian ganti, karena semuanya sudah tersedia di rumahnya. Yang dibawanya hanya laptop dan telepon genggam. Saat awal kuliah, dia indekos tak jauh dari kampus dan Syifa mengetahui tempat kosnya. Namun sejak setahun yang lalu, Taeyang pindah ke apartemen miliknya sendiri. Dan Syifa selalu lupa tentang hal itu. Cowok berpotongan rambut mullet ini baru saja mengetuk kartu parkirnya dan melajukan mobilnya keluar dari areal parkir. Namun sedetik kemudian dia langsung menginjak pedal rem sedalamnya karena seorang gadis tiba-tiba muncul di depan mobilnya. Dia hampir saja menabrak seorang perempuan yang berparas cukup menarik, berkulit coklat eksotis, dengan bibir yang tebal dan bola mata berwarna hazel. Matanya tidak lepas dari menatap wajah perempuan itu. Perempuan itu pun melakukan hal yang sama. Untuk sesaat mereka saling
“Jadi, kau mewarisi bakat dari klan ibumu?” ucap Eyang Adipramana menatap dirinya seolah sedang menyidik dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dipa mengernyitkan dahinya demi mendengar nada suara yang berkesan menyangsikan dirinya. Melihat Dipa yang tidak menjawab pertanyaan pemimpin keluarga ini, Syifa menyenggol bahu Dipa. Dipa menoleh memandang wajah Syifa dengan heran. “Jawab.” Syifa memberi isyarat dengan gerakan bibir dan matanya. Dipa berdecak, namun dia memilih menuruti kakak sepupunya, “Sepertinya begitu, Eyang.” Kemudian setelah beberapa saat Eyang Adipramana hanya berdiam diri, beliau berbalik dan masuk kembali ke dalam jeep. Dipa menoleh pada Syifa untuk bertanya apa yang baru saja terjadi. Syifa pun hanya mengedikkan bahunya. “Syifa, Dipa, masuk ke mobil. Kita akan jalan sekarang,” perintah Jaka. Beliau pun masuk ke kursi penumpang di sebelah supir. Sebagai gantinya Bagas yang akan mengendarai mobil s
Menunggu merupakan kegiatan yang tidak disukai oleh Dipa. Kalaupun dia biasa menunggu Syifa, dia memiliki hal lain yang bisa dilakukan sambil menunggu, mengerjakan tugas kuliah misalnya. Bukan hanya diam saja tanpa ada kejelasan selanjutnya. “Pa, ayo kita jalan aja sekarang!” desak Dipa ketika mereka sudah menunggu selama lima jam dan matahari sudah berada di puncaknya. Dia sudah bosan bermain game di ponselnya atau melafalkan deret aritmatika di dalam otaknya. Dia bahkan sudah sempat tertidur, namun saat dia terbangun bantuan belum juga tiba. “Sabar, Dipa, pertolongan sedang dalam perjalanan. Papa khawatir mereka masih berada di sekitar sini, menunggu sampai kita keluar dari persembunyian ini. Kalau sampai kita dikejar kembali. Papa tidak yakin kita bisa selamat dari mereka untuk kedua kalinya.” Tentu saja di tengah hutan ini tidak ada sinyal telepon. Oleh sebab itu Pak Jaka memakai gelombang radio untuk meminta bantuan. Untun
“Apakah di sini tempatnya?” tanya Jaka begitu menepikan mobil di tengah hutan entah di mana. Dipa terdiam dan mendengarkan suara-suara yang sejak tadi berbisik-bisik padanya. “Iya, di sini. Mereka bilang, area di sini terlalu tertutup lebatnya pepohonan, sehingga para pemburu tidak akan bisa merasakan kita di sini.” Jaka tersenyum. Setelah memarkir mobil, beliau merebahkan kepalanya sebentar dan memejamkan mata. Mata tuanya sudah terlalu lama tidak melihat dalam kondisi seperti tadi, sehingga ia cukup kelelahan. Syifa sama lelahnya seperti Jaka, dia sudah mengerahkan segenap kekuatan, jadi sama sekali tidak bisa bersuara. Dia hanya diam saja sambil memejamkan mata. “Dipa, bisa kau cek situasi sekitar? Mungkin ada air ada buah yang bisa dijadikan makanan,” pinta Jaka dengan mata masih tertutup. Dipa tidak menjawab. Setelah diminta mencarikan tempat persembunyian sementara, dia tidak merasa aneh ataupun takut ketika diminta mencarikan mak