Home / Fantasi / Elements / 7. Sidang di Tengah Hutan

Share

7. Sidang di Tengah Hutan

last update Last Updated: 2021-09-18 11:43:28

“Apakah di sini tempatnya?” tanya Jaka begitu menepikan mobil di tengah hutan entah di mana.

Dipa terdiam dan mendengarkan suara-suara yang sejak tadi berbisik-bisik padanya. “Iya, di sini. Mereka bilang, area di sini terlalu tertutup lebatnya pepohonan, sehingga para pemburu tidak akan bisa merasakan kita di sini.”

Jaka tersenyum. Setelah memarkir mobil, beliau merebahkan kepalanya sebentar dan memejamkan mata. Mata tuanya sudah terlalu lama tidak melihat dalam kondisi seperti tadi, sehingga ia cukup kelelahan. Syifa sama lelahnya seperti Jaka, dia sudah mengerahkan segenap kekuatan, jadi sama sekali tidak bisa bersuara. Dia hanya diam saja sambil memejamkan mata.

“Dipa, bisa kau cek situasi sekitar? Mungkin ada air ada buah yang bisa dijadikan makanan,” pinta Jaka dengan mata masih tertutup.

Dipa tidak menjawab. Setelah diminta mencarikan tempat persembunyian sementara, dia tidak merasa aneh ataupun takut ketika diminta mencarikan makanan juga di tengah hutan seperti ini.

Dia keluar dari mobil, kakinya memijak tanah. Saat itu juga, untuk pertama kali dalam hidupnya, dia bisa merasakan tekanan yang sangat kuat dari tanah yang dipijaknya. Tubuhnya bergoyang, seperti baru mengalami gempa dahsyat. Setelah beberapa saat terdiam untuk menyeimbangkan tubuh, barulah dia bisa merasakan hubungan istimewa antara dirinya dan tanah yang baru saja diinjaknya.

“Akhirnya kau datang juga, Manusia kecil.”

Dipa terkejut. Bukan karena baru mendengar suara itu, tapi karena merasa suara itu sedang berdiri di sampingnya. Dia berusaha bereaksi senormal mungkin. “Terima kasih. Mohon bimbingannya.”

Sudah lumayan jauh Dipa melangkah memasuki hutan. Sebenarnya dia tidak ingin, tapi kakinya berjalan sendiri tanpa bisa dicegah. Dia merasa hutan ini tidak asing baginya. Sepertinya dia pernah berada di sini. Namun, sekuat apa pun dia berusaha mengingat, jawabannya tidak pernah terkuak.

Dipa tiba di tengah-tengah pepohonan raksasa, dan merasakan ikatan kuat dengan pohon beringin raksasa setinggi ratusan meter. Diameter batang pohon itu mencapai sepuluh meter, dengan bonggol-bonggol akar yang mencuat di permukaan tanah.

Walaupun terlihat menyeramkan berada di tengah-tengah susunan pohon raksana, entah mengapa dia merasa sangat tenang. Pikirannya semakin jernih seiring dengan banyaknya udara murni yang masuk ke dalam paru-parunya.

“Seorang anak laki-laki.”

Dipa menoleh, dia baru saja mendengar suara itu lagi. Suara yang sejak tadi berbicara kepadanya.

“Luar biasa, selama berabad-abad masa hidupku baru kali ini terlahir anak laki-laki sebagai pewaris elemen tanah ….”

Dipa menengadah dan melihat daun-daun bergerak. Entah bergerak sendiri ataukah karena tiupan angin. Kemudian dia menyadari pohon ini tidak sendiri. Pohon ini mungkin saja yang paling tua dan besar, namun seperti halnya pemimpin yang memerlukan wakil dan pengikut, pohon ini pun memilikinya. Mereka semua berjumlah lima pohon. Dan pohon-pohon itu mengelilinginya seolah sedang menilai dirinya.

“Manusia kecil, apa tujuanmu datang kemari?” tanya pohon jati emas yang berada di kanan pohon tetua.

Mata Dipa tidak mungkin salah. Ini memang pohon jati emas dan entah mengapa, dia bisa merasakan urat-urat kayu yang sudah begitu tua namun terasa sangat kuat dan indah. Tiba-tiba tebersit pikiran konyol di kepalanya, para kolektor pasti rela membayar dan melakukan apa saja demi mendapatkan kursi dari pohon ini.

“Manusia kecil, jawablah pertanyaan kami.”

Dipa terkejut ketika pohon itu kembali berbicara. “Kami ada urusan ke Surabaya, tapi mobil kami diserang tiga manusia asing. Mereka bermaksud mencelakakan kami. Mereka melempar bola api, jadi aku membawa Papa dan Syifa kemari agar bisa berlindung sebentar, setidaknya sampai matahari terbit,” jelas Dipa sesopan mungkin. Dia tidak berani menginggung kelima pohon raksasa tersebut.

Kelima pohon itu kembali saling bergumam. Dipa tidak paham apa yang sedang mereka perbincangkan karena mereka memakai bahasa kuno yang sudah punah dari dunia ini. Walaupun tidak tahu apa yang mereka bicarakan, Dipa bisa merasakan salah satu pohon tidak menyukainya. Pohon itu tepat berdiri di belakang tubuhnya.

Kemeresak dedaunan bertambah keras. Angin bertiup kencang, beberapa daun kering berjatuhan. Sesaat suasana itu berkesan magis di mata manusia Dipa. Dia merasakan pertempuran batin yang sedang dilakukan para roh pepohonan ini.

Walaupun hanya pohon, kekuatan mereka sanggup membuat kepala Dipa serasa akan pecah. Walaupun hanya pohon yang tidak bisa bergerak dan berpindah tempat, kekuatan mereka sanggup menggerakkan kehidupan dalam radius ratusan kilometer. Dipa bisa merasakan itu semua.

Tiba-tiba angin berembus sangat kencang dan menghantamnya sampai terjatuh. Tubuhnya nyaris retak menghantam batu kalau saja pohon ek di belakangnya tidak menghalau benturan itu. Salah satu dahan pohon ek itu bergerak dan mengangkatnya.

“Manusia ini tidak sama dengan pewaris-pewaris lainnya. Dia anak laki-laki! Anak laki-laki tidak memiliki perasaan lembut seperti halnya ibu pertiwi. Sedangkan perasaan lembut sangat dibutuhkan. Pohon-pohon tidak akan bisa tumbuh dengan baik kalau ditangani tangan kasar seorang anak laki-laki yang masih hijau dan emosional. Kita tidak bisa memprosesnya lebih lanjut! Kita harus menunggu pewaris lain!” ucap Ek dengan lantang, sama sekali tidak menghiraukan Dipa yang menahan sakit karena dahannya melilit pemuda itu dengan posisi kepala di bawah.

“Tetapi seperti kita semua ketahui, saat ini kelahiran pewaris elemen mulai sulit. Semua pewaris elemen terancam punah. Kalian pasti masih ingat kejadian sepuluh tahun yang lalu. Kita beruntung, setelah kehilangan pewaris elemen tanah sepuluh tahun yang lalu, penggantinya kini sudah terlahir!” bantah Jati Emas.

“Anak ini cukup unik. Dalam darahnya mengalir pewaris elemen lainnya. Mungkin saat ini kekuatannya masih lemah, emosinya labil. Namun masih tetap ada harapan!” kali ini beringin yang lebih kecil angkat bicara.

Pewaris apa? Kalian bicara apa? batin Dipa. Ia merasa pening karena darah mengalir membanjiri kepalanya.

“Benar, kemampuanmu berasal dari garis ibu. Namun dari garis ayah, kau mewarisi elemen lain. Hanya saja saat ini elemen tanah dalam dirimu lebih kuat. Dan benar, ada sesuatu dalam dirimu. Tapi saat ini, kau tidak cukup kuat. Kau masih lemah.” Kali ini pohon tertua yang berbicara.

Dipa tersinggung ketika dikatakan lemah. Namun, saat ini dia hanya ingin semuanya cepat berlalu. Kepalanya sakit bukan main.

Tiba-tiba terdengar gelak tawa Ek. Apa kubilang, anak laki-laki lebih emosional. Sekarang dalam hatinya tumbuh rasa marah dan dendam yang seharusnya tidak dimiliki pewaris elemen tanah. Mau jadi apa bumi ini kalau penguasanya pemarah dan pendendam?”

Mendengar sindiran Ek raksasa, Dipa bertambah marah. Sejak awal dia tidak pernah membayangkan mendapatkan warisan aneh seperti ini, berupa kemampuan menguasai elemen-elemen alam. Padahal tak sampai satu jam yang lalu dia sama sekali tidak tahu apa-apa. Dia hanya tahu dirinya anak lelaki normal dengan kehidupan membosankan dan itu bagus. Semua baik-baik saja.

“Kita tidak bisa memprosesnya lebih lanjut. Anak ini tidak memenuhi syarat!” tegas Ek raksasa itu lagi.

Kali ini tidak ada yang membantah. Sepertinya begitu membaca pikiran Dipa, pohon-pohon yang lain sepakat belum saatnya mereka membuka semua rahasia alam ini kepada pewaris elemen tanah yang ada di depan mereka.

Pohon-pohon ini merasakan kekuatan yang tersimpan dalam tubuh Dipa, namun dengan emosinya yang masih labil, mereka menjadi ragu, karena dalam hati yang penuh emosi, ada kecenderungan menggunakan kekuatan untuk hal-hal buruk. Mereka khawatir, kekuatan yang akan mereka wariskan kepada anak ini, malah akan dipakai untuk menghancurkan mereka. Apalagi kondisi bumi sudah sangat mengenaskan dan sedang membutuhkan bantuan. Kalau tidak, kiamat akan datang dan semua bakal hancur. Kehidupan ini akan hancur.

Dipa bisa merasakan kekhawatiran para pohon ini. Namun saat ini dia tidak peduli. Dia hanya ingin pohon ek sialan itu melepasnya, agar dia bisa berpijak lagi di atas tanah.

*

Setelah kejadian tidak mengenakkan itu, Dipa kembali berjalan ke mobil. Ternyata Jaka sudah terbangun dan sedang mencari dirinya.

“Dipa, kamu ke mana saja?” tanya beliau khawatir. “Kamu jangan pernah pergi ke mana pun tanpa seizin Papa. Kamu mengerti?”

Saat ini, kondisi emosinya belum stabil. Setelah kejadian tidak mengenakkan tadi, hal terakhir yang ingin didengarnya adalah ceramah Jaka atau siapa pun itu.

“Kan Papa sendiri yang menyuruhku mengecek situasi dan mencari makanan! Papa sendiri yang bilang aku pewaris elemen tanah. Dengan kata lain, aku menguasai tanah dan bebas berpijak di mana pun. Aku ingin pulang! Dan detik ini juga aku akan pulang!” sergah Dipa.

Mendengar ribut-ribut itu, Syifa terbangun dan keluar dari mobil. Begitu melihat wajah tegang keduanya, Syifa mendekati Dipa dan merangkul bahunya.

“Dipa, tenanglah. Semua akan baik-baik saja,” ucapnya. Diam-diam, gadis ini mengirimkan energi menenangkan padanya.

Pelan tapi pasti emosi Dipa mereda. Tiba-tiba dia menyadari satu hal, bahwa hidupnya tidak akan sama lagi.[]

Related chapters

  • Elements   8. Pewaris Elemen Tanah

    Menunggu merupakan kegiatan yang tidak disukai oleh Dipa. Kalaupun dia biasa menunggu Syifa, dia memiliki hal lain yang bisa dilakukan sambil menunggu, mengerjakan tugas kuliah misalnya. Bukan hanya diam saja tanpa ada kejelasan selanjutnya. “Pa, ayo kita jalan aja sekarang!” desak Dipa ketika mereka sudah menunggu selama lima jam dan matahari sudah berada di puncaknya. Dia sudah bosan bermain game di ponselnya atau melafalkan deret aritmatika di dalam otaknya. Dia bahkan sudah sempat tertidur, namun saat dia terbangun bantuan belum juga tiba. “Sabar, Dipa, pertolongan sedang dalam perjalanan. Papa khawatir mereka masih berada di sekitar sini, menunggu sampai kita keluar dari persembunyian ini. Kalau sampai kita dikejar kembali. Papa tidak yakin kita bisa selamat dari mereka untuk kedua kalinya.” Tentu saja di tengah hutan ini tidak ada sinyal telepon. Oleh sebab itu Pak Jaka memakai gelombang radio untuk meminta bantuan. Untun

    Last Updated : 2021-09-18
  • Elements   9. Keluarga Besar

    “Jadi, kau mewarisi bakat dari klan ibumu?” ucap Eyang Adipramana menatap dirinya seolah sedang menyidik dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dipa mengernyitkan dahinya demi mendengar nada suara yang berkesan menyangsikan dirinya. Melihat Dipa yang tidak menjawab pertanyaan pemimpin keluarga ini, Syifa menyenggol bahu Dipa. Dipa menoleh memandang wajah Syifa dengan heran. “Jawab.” Syifa memberi isyarat dengan gerakan bibir dan matanya. Dipa berdecak, namun dia memilih menuruti kakak sepupunya, “Sepertinya begitu, Eyang.” Kemudian setelah beberapa saat Eyang Adipramana hanya berdiam diri, beliau berbalik dan masuk kembali ke dalam jeep. Dipa menoleh pada Syifa untuk bertanya apa yang baru saja terjadi. Syifa pun hanya mengedikkan bahunya. “Syifa, Dipa, masuk ke mobil. Kita akan jalan sekarang,” perintah Jaka. Beliau pun masuk ke kursi penumpang di sebelah supir. Sebagai gantinya Bagas yang akan mengendarai mobil s

    Last Updated : 2021-09-20
  • Elements   10. Pertemuan

    Puluhan kilometer jauhnya, kembali ke ibu kota Jakarta, Taeyang berniat pulang ke rumah keluarganya di Sukabumi. Dia tidak pernah repot membawa pakaian ganti, karena semuanya sudah tersedia di rumahnya. Yang dibawanya hanya laptop dan telepon genggam. Saat awal kuliah, dia indekos tak jauh dari kampus dan Syifa mengetahui tempat kosnya. Namun sejak setahun yang lalu, Taeyang pindah ke apartemen miliknya sendiri. Dan Syifa selalu lupa tentang hal itu. Cowok berpotongan rambut mullet ini baru saja mengetuk kartu parkirnya dan melajukan mobilnya keluar dari areal parkir. Namun sedetik kemudian dia langsung menginjak pedal rem sedalamnya karena seorang gadis tiba-tiba muncul di depan mobilnya. Dia hampir saja menabrak seorang perempuan yang berparas cukup menarik, berkulit coklat eksotis, dengan bibir yang tebal dan bola mata berwarna hazel. Matanya tidak lepas dari menatap wajah perempuan itu. Perempuan itu pun melakukan hal yang sama. Untuk sesaat mereka saling

    Last Updated : 2021-09-21
  • Elements   11. Legenda

    Dipa ragu-ragu menemui eyang buyutnya. Namun, Syifa yang mendengar permintaan eyang agar Dipa menemui dirinya setelah makan malam, tidak bisa membiarkan cowok itu mangkir. “Aku akan mengantarmu.” Begitu ucap Syifa. Gadis itu menggamit tangan Dipa dan menariknya menuju sisi rumah bagian Timur. Kantor Eyang Adipramana jauh dari ruangan lain, sehingga wilayah rumah ini begitu tenang dan sunyi. Hanya terdengar suara gemericik air dari kolam ikan yang berada di taman dan tepat berada di samping kantor. “Masuk,” ucap Syifa memberi isyarat dengan kepalanya agar Dipa membuka pintu dan masuk ke dalamnya. “Kenapa aku harus masuk? Aku nggak tahu aku salah apa sampai eyang memutuskan untuk mengajakku bicara!” protes Dipa. “Oh my God, Dipa, wake up! Eyang mengajakmu bicara bukan karena kamu melakukan kesalahan. Tapi karena kamu merupakan pewaris elemen. Saat kemampuanku pertama kali muncul, aku sangat ketakutan dan tidak tahu harus melakukan apa.

    Last Updated : 2021-09-22
  • Elements   12. Perjalanan Pulang

    “Dipa, setelah mendengar kisah ini, bagaimana kalau kau tinggal di sini untuk sementara?” ucap Eyang Adipramana. Dipa terdiam, pikirannya masih fokus dengan kisah cinta segitiga yang baru saja diceritakan oleh kakek buyutnya. Basundari, Erion dan Avanindra. Lalu, hubungannya sama dia apa? Kata Eyang, aku keturunan langsung Basundari dan Avanindra. How cool is that? I don’t know. I never knew about them before. Dipa mengedikkan bahunya, tidak menyadari pandangan heran dari kakek buyutnya. “Bagaimana, Dipa?” tanya Eyang kembali. “Eh, ng,” Dipa pun tersadar. Dia sempat ragu bagaimana menjawabnya. Dia memahami pentingnya pengajaran yang akan diberikan oleh kakek buyutnya. Hanya saja, dia sama sekali tidak menyukai ide tinggal di rumah ini terlalu lama. Tapi selama ada Papa dan Syifa, sepertinya tidak akan ada masalah. “Dipa, udah mau aja. Masalah kuliah kamu gampang, nanti aku yang urus,” ucap Syifa. Dipa

    Last Updated : 2021-09-23
  • Elements   13. Kembali ke Rumah

    “Pa, kenapa kita ke apartemen?” tanya Dipa saat taksi malah berhenti di depan gedung apartemen jauh dari lokasi rumah mereka. “Ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita. Jadi untuk jaga-jaga, kita akan tinggal di tempat ini. Apartemen ini tidak terdaftar sebagai milik ayah atau kamu. Jadi pasti mereka tidak akan bisa melacaknya,” jawab Jaka membayar taksi dengan dua lembar seratus ribuan. Setelah itu, mereka bertiga turun dari taksi dan menurunkan koper dari bagasi. “Tapi, bagaimana kami bisa kuliah? Semua buku-buku kami ada di rumah,” protes Syifa. Saat ini masih pukul sebelas siang, dia pikir dia masih bisa menghadiri kuliah siang. “Siapa bilang kalian boleh kuliah? Hari ini kalian diam saja di dalam apartemen. Biar Papa yang mengurus semuanya. Papa akan pulang ke rumah dan membawa semua kebutuhan kalian.” “Papa nggak salah ngomong? Bukannya tadi Papa bilang ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita dan pasti sedang mengawa

    Last Updated : 2021-09-24
  • Elements   14. Gaia

    “Kau pasti tidak mempercayai semua itu?” ucap Jaka tersenyum pada putranya yang saat ini sedang mengernyitkan dahinya, penuh keraguan. “Kalau para penguasa elemen memang sudah ada sejak masa Atlantis, kenapa Atlantis bisa tenggelam? Kan ada pengendali air dan tanah,” tanya Dipa. Jaka menganggukkan kepalanya, Syifa diam-diam menyetujui pertanyaan adik sepupunya. “Alam bisa dikendalikan oleh manusia, tapi bukan berarti alam tunduk pada manusia, karena manusia bukan penciptanya,” jawab Jaka. Dipa terdiam, dia tidak bisa membantah jawaban ayahnya. Hanya saja, dia masih belum merasa puas. “Tapi, apa sebabnya Atlantis tenggelam? Apa yang terjadi pada masa itu?” tanya Syifa kali ini gantian dia yang bertanya. Dia memang pernah mendengar ceritanya, namun saat itu, dia hanya menelan semua legenda yang didengarnya bulat-bulat. Padahal dia tipikal anak yang kritis, namun entah saat itu dia tidak memiliki keinginan untuk menyanggah apapun. Karena

    Last Updated : 2021-09-25
  • Elements   15. Keputusan

    [Dipa, lo kok nggak kuliah-kuliah?]Begitu isi pesan yang dikirimkan oleh Hendra salah satu teman kuliahnya.[Ada masalah keluarga, Dra. Kuliah gue ketinggalan jauh ya?]Dipa membalas pesan itu. Dia pun gelisah karena pasti ada banyak tugas dan materi yang ketinggalan dia pelajari beberapa hari ini.[Nggak juga, sih! Kalau lo pasti bisa nyusul kok. Cuma lo ditanyain sama dosen. Oh iya, lo juga ditanyain sama Blythe sih!]Dipa menarik napas lega membaca pesan itu. Kalau dipikir-pikir, dia memang selalu dua sampai tiga bab lebih cepat mempelajari materi yang akan dipelajari di kampusnya.[Ada tugas apa aja?][Nanti gue email ke lo. Oh ya, Blythe kayaknya bener-bener khawatir sama lo. Sekarang dia lagi ada di samping gue nih. Mau ngobrol sama dia nggak? Eh, kalian nggak saling tukar nomor hape ya?][Ngobrol sama gue? Ngobrolin apa? Nggak usah deh, jangan! Gue lagi males ngomong. Ya

    Last Updated : 2021-09-29

Latest chapter

  • Elements   15. Keputusan

    [Dipa, lo kok nggak kuliah-kuliah?]Begitu isi pesan yang dikirimkan oleh Hendra salah satu teman kuliahnya.[Ada masalah keluarga, Dra. Kuliah gue ketinggalan jauh ya?]Dipa membalas pesan itu. Dia pun gelisah karena pasti ada banyak tugas dan materi yang ketinggalan dia pelajari beberapa hari ini.[Nggak juga, sih! Kalau lo pasti bisa nyusul kok. Cuma lo ditanyain sama dosen. Oh iya, lo juga ditanyain sama Blythe sih!]Dipa menarik napas lega membaca pesan itu. Kalau dipikir-pikir, dia memang selalu dua sampai tiga bab lebih cepat mempelajari materi yang akan dipelajari di kampusnya.[Ada tugas apa aja?][Nanti gue email ke lo. Oh ya, Blythe kayaknya bener-bener khawatir sama lo. Sekarang dia lagi ada di samping gue nih. Mau ngobrol sama dia nggak? Eh, kalian nggak saling tukar nomor hape ya?][Ngobrol sama gue? Ngobrolin apa? Nggak usah deh, jangan! Gue lagi males ngomong. Ya

  • Elements   14. Gaia

    “Kau pasti tidak mempercayai semua itu?” ucap Jaka tersenyum pada putranya yang saat ini sedang mengernyitkan dahinya, penuh keraguan. “Kalau para penguasa elemen memang sudah ada sejak masa Atlantis, kenapa Atlantis bisa tenggelam? Kan ada pengendali air dan tanah,” tanya Dipa. Jaka menganggukkan kepalanya, Syifa diam-diam menyetujui pertanyaan adik sepupunya. “Alam bisa dikendalikan oleh manusia, tapi bukan berarti alam tunduk pada manusia, karena manusia bukan penciptanya,” jawab Jaka. Dipa terdiam, dia tidak bisa membantah jawaban ayahnya. Hanya saja, dia masih belum merasa puas. “Tapi, apa sebabnya Atlantis tenggelam? Apa yang terjadi pada masa itu?” tanya Syifa kali ini gantian dia yang bertanya. Dia memang pernah mendengar ceritanya, namun saat itu, dia hanya menelan semua legenda yang didengarnya bulat-bulat. Padahal dia tipikal anak yang kritis, namun entah saat itu dia tidak memiliki keinginan untuk menyanggah apapun. Karena

  • Elements   13. Kembali ke Rumah

    “Pa, kenapa kita ke apartemen?” tanya Dipa saat taksi malah berhenti di depan gedung apartemen jauh dari lokasi rumah mereka. “Ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita. Jadi untuk jaga-jaga, kita akan tinggal di tempat ini. Apartemen ini tidak terdaftar sebagai milik ayah atau kamu. Jadi pasti mereka tidak akan bisa melacaknya,” jawab Jaka membayar taksi dengan dua lembar seratus ribuan. Setelah itu, mereka bertiga turun dari taksi dan menurunkan koper dari bagasi. “Tapi, bagaimana kami bisa kuliah? Semua buku-buku kami ada di rumah,” protes Syifa. Saat ini masih pukul sebelas siang, dia pikir dia masih bisa menghadiri kuliah siang. “Siapa bilang kalian boleh kuliah? Hari ini kalian diam saja di dalam apartemen. Biar Papa yang mengurus semuanya. Papa akan pulang ke rumah dan membawa semua kebutuhan kalian.” “Papa nggak salah ngomong? Bukannya tadi Papa bilang ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita dan pasti sedang mengawa

  • Elements   12. Perjalanan Pulang

    “Dipa, setelah mendengar kisah ini, bagaimana kalau kau tinggal di sini untuk sementara?” ucap Eyang Adipramana. Dipa terdiam, pikirannya masih fokus dengan kisah cinta segitiga yang baru saja diceritakan oleh kakek buyutnya. Basundari, Erion dan Avanindra. Lalu, hubungannya sama dia apa? Kata Eyang, aku keturunan langsung Basundari dan Avanindra. How cool is that? I don’t know. I never knew about them before. Dipa mengedikkan bahunya, tidak menyadari pandangan heran dari kakek buyutnya. “Bagaimana, Dipa?” tanya Eyang kembali. “Eh, ng,” Dipa pun tersadar. Dia sempat ragu bagaimana menjawabnya. Dia memahami pentingnya pengajaran yang akan diberikan oleh kakek buyutnya. Hanya saja, dia sama sekali tidak menyukai ide tinggal di rumah ini terlalu lama. Tapi selama ada Papa dan Syifa, sepertinya tidak akan ada masalah. “Dipa, udah mau aja. Masalah kuliah kamu gampang, nanti aku yang urus,” ucap Syifa. Dipa

  • Elements   11. Legenda

    Dipa ragu-ragu menemui eyang buyutnya. Namun, Syifa yang mendengar permintaan eyang agar Dipa menemui dirinya setelah makan malam, tidak bisa membiarkan cowok itu mangkir. “Aku akan mengantarmu.” Begitu ucap Syifa. Gadis itu menggamit tangan Dipa dan menariknya menuju sisi rumah bagian Timur. Kantor Eyang Adipramana jauh dari ruangan lain, sehingga wilayah rumah ini begitu tenang dan sunyi. Hanya terdengar suara gemericik air dari kolam ikan yang berada di taman dan tepat berada di samping kantor. “Masuk,” ucap Syifa memberi isyarat dengan kepalanya agar Dipa membuka pintu dan masuk ke dalamnya. “Kenapa aku harus masuk? Aku nggak tahu aku salah apa sampai eyang memutuskan untuk mengajakku bicara!” protes Dipa. “Oh my God, Dipa, wake up! Eyang mengajakmu bicara bukan karena kamu melakukan kesalahan. Tapi karena kamu merupakan pewaris elemen. Saat kemampuanku pertama kali muncul, aku sangat ketakutan dan tidak tahu harus melakukan apa.

  • Elements   10. Pertemuan

    Puluhan kilometer jauhnya, kembali ke ibu kota Jakarta, Taeyang berniat pulang ke rumah keluarganya di Sukabumi. Dia tidak pernah repot membawa pakaian ganti, karena semuanya sudah tersedia di rumahnya. Yang dibawanya hanya laptop dan telepon genggam. Saat awal kuliah, dia indekos tak jauh dari kampus dan Syifa mengetahui tempat kosnya. Namun sejak setahun yang lalu, Taeyang pindah ke apartemen miliknya sendiri. Dan Syifa selalu lupa tentang hal itu. Cowok berpotongan rambut mullet ini baru saja mengetuk kartu parkirnya dan melajukan mobilnya keluar dari areal parkir. Namun sedetik kemudian dia langsung menginjak pedal rem sedalamnya karena seorang gadis tiba-tiba muncul di depan mobilnya. Dia hampir saja menabrak seorang perempuan yang berparas cukup menarik, berkulit coklat eksotis, dengan bibir yang tebal dan bola mata berwarna hazel. Matanya tidak lepas dari menatap wajah perempuan itu. Perempuan itu pun melakukan hal yang sama. Untuk sesaat mereka saling

  • Elements   9. Keluarga Besar

    “Jadi, kau mewarisi bakat dari klan ibumu?” ucap Eyang Adipramana menatap dirinya seolah sedang menyidik dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dipa mengernyitkan dahinya demi mendengar nada suara yang berkesan menyangsikan dirinya. Melihat Dipa yang tidak menjawab pertanyaan pemimpin keluarga ini, Syifa menyenggol bahu Dipa. Dipa menoleh memandang wajah Syifa dengan heran. “Jawab.” Syifa memberi isyarat dengan gerakan bibir dan matanya. Dipa berdecak, namun dia memilih menuruti kakak sepupunya, “Sepertinya begitu, Eyang.” Kemudian setelah beberapa saat Eyang Adipramana hanya berdiam diri, beliau berbalik dan masuk kembali ke dalam jeep. Dipa menoleh pada Syifa untuk bertanya apa yang baru saja terjadi. Syifa pun hanya mengedikkan bahunya. “Syifa, Dipa, masuk ke mobil. Kita akan jalan sekarang,” perintah Jaka. Beliau pun masuk ke kursi penumpang di sebelah supir. Sebagai gantinya Bagas yang akan mengendarai mobil s

  • Elements   8. Pewaris Elemen Tanah

    Menunggu merupakan kegiatan yang tidak disukai oleh Dipa. Kalaupun dia biasa menunggu Syifa, dia memiliki hal lain yang bisa dilakukan sambil menunggu, mengerjakan tugas kuliah misalnya. Bukan hanya diam saja tanpa ada kejelasan selanjutnya. “Pa, ayo kita jalan aja sekarang!” desak Dipa ketika mereka sudah menunggu selama lima jam dan matahari sudah berada di puncaknya. Dia sudah bosan bermain game di ponselnya atau melafalkan deret aritmatika di dalam otaknya. Dia bahkan sudah sempat tertidur, namun saat dia terbangun bantuan belum juga tiba. “Sabar, Dipa, pertolongan sedang dalam perjalanan. Papa khawatir mereka masih berada di sekitar sini, menunggu sampai kita keluar dari persembunyian ini. Kalau sampai kita dikejar kembali. Papa tidak yakin kita bisa selamat dari mereka untuk kedua kalinya.” Tentu saja di tengah hutan ini tidak ada sinyal telepon. Oleh sebab itu Pak Jaka memakai gelombang radio untuk meminta bantuan. Untun

  • Elements   7. Sidang di Tengah Hutan

    “Apakah di sini tempatnya?” tanya Jaka begitu menepikan mobil di tengah hutan entah di mana. Dipa terdiam dan mendengarkan suara-suara yang sejak tadi berbisik-bisik padanya. “Iya, di sini. Mereka bilang, area di sini terlalu tertutup lebatnya pepohonan, sehingga para pemburu tidak akan bisa merasakan kita di sini.” Jaka tersenyum. Setelah memarkir mobil, beliau merebahkan kepalanya sebentar dan memejamkan mata. Mata tuanya sudah terlalu lama tidak melihat dalam kondisi seperti tadi, sehingga ia cukup kelelahan. Syifa sama lelahnya seperti Jaka, dia sudah mengerahkan segenap kekuatan, jadi sama sekali tidak bisa bersuara. Dia hanya diam saja sambil memejamkan mata. “Dipa, bisa kau cek situasi sekitar? Mungkin ada air ada buah yang bisa dijadikan makanan,” pinta Jaka dengan mata masih tertutup. Dipa tidak menjawab. Setelah diminta mencarikan tempat persembunyian sementara, dia tidak merasa aneh ataupun takut ketika diminta mencarikan mak

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status