Menunggu merupakan kegiatan yang tidak disukai oleh Dipa. Kalaupun dia biasa menunggu Syifa, dia memiliki hal lain yang bisa dilakukan sambil menunggu, mengerjakan tugas kuliah misalnya. Bukan hanya diam saja tanpa ada kejelasan selanjutnya.
“Pa, ayo kita jalan aja sekarang!” desak Dipa ketika mereka sudah menunggu selama lima jam dan matahari sudah berada di puncaknya.
Dia sudah bosan bermain game di ponselnya atau melafalkan deret aritmatika di dalam otaknya. Dia bahkan sudah sempat tertidur, namun saat dia terbangun bantuan belum juga tiba.
“Sabar, Dipa, pertolongan sedang dalam perjalanan. Papa khawatir mereka masih berada di sekitar sini, menunggu sampai kita keluar dari persembunyian ini. Kalau sampai kita dikejar kembali. Papa tidak yakin kita bisa selamat dari mereka untuk kedua kalinya.”
Tentu saja di tengah hutan ini tidak ada sinyal telepon. Oleh sebab itu Pak Jaka memakai gelombang radio untuk meminta bantuan. Untungnya mobil ini dilengkapi dengan peralatan transreceiver yang cukup canggih.
Dipa terdiam. Ya, tidak mungkin dia membantah hal itu, karena dia pun melihat betapa pengejaran tadi malam sangat menguras tenaga ayah dan kakak sepupunya.
Kalau saja dia sudah bisa memakai kekuatannya secara maksimal. Mungkin saja dia bisa melemparkan batu-batu ke arah mereka dengan telekinesis, seperti halnya Syifa yang sanggup mendatangkan hujan.
Dipa berjalan menjauh menuju sebatang kayu yang tumbang dan duduk di sana. Dia membungkuk dan memungut sebuah batu. Kemudian dia mencoba memusatkan fokusnya, menatap batu itu untuk membuatnya melayang dari telapak tangannya.
Namun sampai beberapa menit, tidak terjadi apapun. Dipa frustasi dibuatnya. Dia langsung melempar batu itu dengan marah ke sembarang arah.
Tiba-tiba bahunya disentuh oleh Syifa, “Bukan begitu caranya,” ucap gadis itu. Dia pun menempatkan dirinya duduk di sebelah Dipa. “Kamu kan sudah diajarkan dasar-dasarnya, kamu harus mengumpulkan chi di dasar perutmu, kemudian kamu harus tahu apa yang ingin kamu lakukan. Karena kamu penguasa elemen tanah, kamu bisa menggerakkan, membelah, memecah, mengangkat tanah ini, bahkan membuatnya menjadi tameng untuk dirimu. Dan itu adalah dasarnya. Saat kekuatanmu sudah semakin besar, kamu bisa menggerakkan semua makhluk yang berada di atas tanah. Kamu bisa membuat tanaman tumbuh lebih cepat, membuat hewan-hewan menuruti perintahmu.”
Dipa tidak bisa mengatupkan mulutnya saat Syifa selesai menjelaskan detil dari kemampuan yang seharusnya dia miliki. Karena semua itu sungguh sangat tidak masuk di akalnya. Sama sekali tidak logis. Semua yang terjadi padanya selama 12 jam terakhir sama sekali tidak logis!
“Ibumu yang menceritakannya padaku sebelum meninggal dunia. Seperti yang kita ketahui, garis keturunan dari Tante Candra merupakan elemen tanah. Seharusnya beliau memiliki kemampuan menguasai elemen tanah, namun saat berusia 15 tahun, ibumu diculik. Untung saja beliau bisa melarikan diri. Namun sejak itu, beliau tidak bisa mengeluarkan kembali kemampuannya. Mungkin karena trauma. Yang pasti, kami sama sekali tidak pernah mengetahui secara detail apa saja yang terjadi pada beliau saat itu. Ibumu sama sekali tidak bisa mengingatnya. Mungkin itu juga sebabnya, kemampuan itu diwariskannya padamu. Padahal seharusnya setiap pewarisan, pasti ada satu atau dua generasi yang terlewati.”
Dipa terdiam, mendengar cerita Syifa membuat rasa rindu pada ibunya kembali membuncah. Sudah lima tahun berlalu sejak ibunya meninggal dunia. Selama itu pula dia selalu mengurung dirinya, tidak ingin membicarakannya sama sekali. Dia ingin melupakan, namun karena dia sangat dekat dengan ibu, sulit sekali rasanya. Refleks tangannya mengepal dengan kuat dan matanya terasa panas.
Syifa tersenyum tipis, dia membawa Dipa ke dalam pelukannya, menepuk punggungnya pelan untuk menenangkan adik sepupunya. Setelah itu dia melepaskannya kembali.
“Sebagai penguasa elemen, kita terbagi menjadi dua.”
“Maksudmu kita terpecah?”
Syifa menggeleng, “Aku tidak paham kalau untuk masalah yang itu. Maksudnya, kita terbagi dua pada saat menggunakan sumber kekuatan kita. Ada yang memakai otak untuk menggerakan kekuatannya, dan ada yang memakai hatinya untuk menggerakkannya.”
“Bedanya apa? Kamu bagaimana?”
Syifa mengedikkan bahunya, “Tidak banyak penguasa elemen di antara kita, jadi aku juga tidak tahu bagaimana membedakannya. Hanya saja, sekali kita memakai hati kita untuk menggerakan kekuatan kita, untuk seterusnya hati kita yang akan berperan besar dalam setiap pengambilan keputusan. Pun sebaliknya. Dan sumber kekuatanku dari pikiran.”
“Apa tidak ada yang bisa menggunakan keduanya?”
Syifa menggeleng, “Aku juga tidak tahu. Selama hidupku aku belum pernah bertemu penguasa elemen lainnya selain kamu.”
“Sejak kapan kamu tahu aku mewarisi kemampuan ini? Aku saja tidak pernah merasakannya.”
“Mungkin kamu tidak menyadarinya, tapi kita tinggal serumah. Apa kamu tidak menyadari kenapa taman di rumah kita jauh lebih rimbun daripada rumah-rumah lainnya? Aku mungkin saja menguasai elemen air, aku yang menyirami mereka setiap hari, namun keberadaan dirimulah yang membuat tanaman itu tumbuh dengan baik.”
Dipa masih tidak bisa mempercayai cerita Syifa, wajahnya penuh keraguan. Syifa hanya tertawa melihat reaksi adik sepupunya yang meragukan ceritanya.
“Tiga tahun lalu, kamu ingat kan kalau pohon mangga di rumah sempat mati karena diserang ulat? Saat itu aku dan Om Jaka sudah sepakat untuk menebangnya. Namun sehari sebelum jadwal penebangan, kau terlihat berdiri lama di depan pohon itu, aku juga tidak tahu apa yang kau bicarakan saat itu, namun hanya dalam waktu semalam, pohon itu kembali mengeluarkan pucuk daun, dan ulat di pohon itu hilang seluruhnya.
Masih banyak kejadian lainnya, namun kejadian tiga tahun lalu merupakan kejadian paling signifikan yang membuat aku dan Om Jaka menyimpulkan mungkin kau mewarisi bakat dari klan ibumu. Hanya saja entah kapan kemampuanmu akan sepenuhnya muncul. Makanya kan, aku mulai mengajakmu lagi untuk melakukan senam pernapasan. Tapi memang dasar kau tidak sabaran dan pemalas, baru seminggu latihan kau sudah mengeluh capek dan berdalih sibuk mengerjakan tugas kuliah.”
Dipa terdiam mendengar cerita Syifa. Otaknya sibuk mengolah semua informasi yang baru saja disampaikan oleh kakak sepupunya.
Kalau dipikir-pikir, kondisi taman di rumahnya memang lebih mirip hutan rimba dibandingkan rumah-rumah lain, sih! Dan anehnya, tidak pernah ada hewan liar seperti ular, biawak, atau tikus, atau apapun yang menyerang mereka dengan keberadaan taman serimbun itu.
“Sebentar lagi pertolongan kita datang, bersiaplah untuk berangkat, kita harus mengejar waktu sebelum malam kembali tiba,” teriak Jaka membuat Dipa sedikit terkejut.
“Baik, Om,” balas Syifa sigap. “Yuk!” ajaknya pada Dipa.
Dipa mengangguk. Dia pun bangkit dan mengikuti Syifa berjalan menuju Jaka yang sejak tadi bersiaga di dekat radio.
Tak lama kemudian, dua buah mobil jeep tiba di tempat persembunyian mereka. Masing-masing jeep berisi empat orang, sehingga ada total delapan orang yang akan mengawal mereka sampai ke tujuan dengan selamat.
Seorang pria berusia tiga puluh tahunan keluar dari dalam jeep. Melihat kakaknya dalam keadaan selamat, pria itu segera memeluk Jaka.
"Mas, gimana keadaan, Mas? Perlu gantian menyetir?" ucap pria yang berwajah mirip dengan Jaka.
Sementara di belakangnya menyusul turun dari dalam jeep, seorang pria paruh baya dengan rambut yang seluruhnya memutih dan jenggot putih yang lebat. Walau terlihat sangat tua, tubuhnya masih terlihat tegap dan kuat. Sementara sisanya hanya menunggu di dalam mobil.
"Bagas, aku tidak apa-apa. Kami berhasil melarikan diri tepat waktu," ucap Jaka terkekeh pelan saat adiknya sibuk memeriksa kening, tangan dan hampir saja menarik kaosnya untuk memeriksa perutnya.
"Mas, kita memang tidak memiliki kekuatan elemen, namun fisik kita dianugerahi kelebihan dibanding manusia lainnya. Tapi dengan usia yang tidak lagi muda, saat terlampau memaksakan kekuatan, pasti akan memunculkan ruam-ruam. Dan itu harus segera diobati, minimal beristirahat, kalau tidak, pembuluh darah Mas bisa pecah," tegur Bagas tidak menerima penolakan abangnya.
Jaka hanya mendesah pasrah dan membiarkan adiknya memeriksa kondisi tubuhnya. Sementara itu, sang pria tua berjalan mendekati Syifa dan Dipa. Kemudian dia menatap wajah kedua remaja ini dalam diam. Seolah sedang menilai sesuatu.
"Eyang Adipramana," sapa Syifa dengan hormat.
Sementara Dipa hanya diam. Dia tidak terlalu mengenal kakek buyutnya, yang kalau dia dengar sudah berusia 100 tahun. Dulu setiap acara keluarga, Dipa cenderung menyendiri atau hanya menempel pada ibunya, Candrawati.
Setelah beberapa saat terdiam, Eyang Adipramana pun berkata, "Jadi, kau mewarisi bakat dari keluarga ibumu?"[]
“Jadi, kau mewarisi bakat dari klan ibumu?” ucap Eyang Adipramana menatap dirinya seolah sedang menyidik dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dipa mengernyitkan dahinya demi mendengar nada suara yang berkesan menyangsikan dirinya. Melihat Dipa yang tidak menjawab pertanyaan pemimpin keluarga ini, Syifa menyenggol bahu Dipa. Dipa menoleh memandang wajah Syifa dengan heran. “Jawab.” Syifa memberi isyarat dengan gerakan bibir dan matanya. Dipa berdecak, namun dia memilih menuruti kakak sepupunya, “Sepertinya begitu, Eyang.” Kemudian setelah beberapa saat Eyang Adipramana hanya berdiam diri, beliau berbalik dan masuk kembali ke dalam jeep. Dipa menoleh pada Syifa untuk bertanya apa yang baru saja terjadi. Syifa pun hanya mengedikkan bahunya. “Syifa, Dipa, masuk ke mobil. Kita akan jalan sekarang,” perintah Jaka. Beliau pun masuk ke kursi penumpang di sebelah supir. Sebagai gantinya Bagas yang akan mengendarai mobil s
Puluhan kilometer jauhnya, kembali ke ibu kota Jakarta, Taeyang berniat pulang ke rumah keluarganya di Sukabumi. Dia tidak pernah repot membawa pakaian ganti, karena semuanya sudah tersedia di rumahnya. Yang dibawanya hanya laptop dan telepon genggam. Saat awal kuliah, dia indekos tak jauh dari kampus dan Syifa mengetahui tempat kosnya. Namun sejak setahun yang lalu, Taeyang pindah ke apartemen miliknya sendiri. Dan Syifa selalu lupa tentang hal itu. Cowok berpotongan rambut mullet ini baru saja mengetuk kartu parkirnya dan melajukan mobilnya keluar dari areal parkir. Namun sedetik kemudian dia langsung menginjak pedal rem sedalamnya karena seorang gadis tiba-tiba muncul di depan mobilnya. Dia hampir saja menabrak seorang perempuan yang berparas cukup menarik, berkulit coklat eksotis, dengan bibir yang tebal dan bola mata berwarna hazel. Matanya tidak lepas dari menatap wajah perempuan itu. Perempuan itu pun melakukan hal yang sama. Untuk sesaat mereka saling
Dipa ragu-ragu menemui eyang buyutnya. Namun, Syifa yang mendengar permintaan eyang agar Dipa menemui dirinya setelah makan malam, tidak bisa membiarkan cowok itu mangkir. “Aku akan mengantarmu.” Begitu ucap Syifa. Gadis itu menggamit tangan Dipa dan menariknya menuju sisi rumah bagian Timur. Kantor Eyang Adipramana jauh dari ruangan lain, sehingga wilayah rumah ini begitu tenang dan sunyi. Hanya terdengar suara gemericik air dari kolam ikan yang berada di taman dan tepat berada di samping kantor. “Masuk,” ucap Syifa memberi isyarat dengan kepalanya agar Dipa membuka pintu dan masuk ke dalamnya. “Kenapa aku harus masuk? Aku nggak tahu aku salah apa sampai eyang memutuskan untuk mengajakku bicara!” protes Dipa. “Oh my God, Dipa, wake up! Eyang mengajakmu bicara bukan karena kamu melakukan kesalahan. Tapi karena kamu merupakan pewaris elemen. Saat kemampuanku pertama kali muncul, aku sangat ketakutan dan tidak tahu harus melakukan apa.
“Dipa, setelah mendengar kisah ini, bagaimana kalau kau tinggal di sini untuk sementara?” ucap Eyang Adipramana. Dipa terdiam, pikirannya masih fokus dengan kisah cinta segitiga yang baru saja diceritakan oleh kakek buyutnya. Basundari, Erion dan Avanindra. Lalu, hubungannya sama dia apa? Kata Eyang, aku keturunan langsung Basundari dan Avanindra. How cool is that? I don’t know. I never knew about them before. Dipa mengedikkan bahunya, tidak menyadari pandangan heran dari kakek buyutnya. “Bagaimana, Dipa?” tanya Eyang kembali. “Eh, ng,” Dipa pun tersadar. Dia sempat ragu bagaimana menjawabnya. Dia memahami pentingnya pengajaran yang akan diberikan oleh kakek buyutnya. Hanya saja, dia sama sekali tidak menyukai ide tinggal di rumah ini terlalu lama. Tapi selama ada Papa dan Syifa, sepertinya tidak akan ada masalah. “Dipa, udah mau aja. Masalah kuliah kamu gampang, nanti aku yang urus,” ucap Syifa. Dipa
“Pa, kenapa kita ke apartemen?” tanya Dipa saat taksi malah berhenti di depan gedung apartemen jauh dari lokasi rumah mereka. “Ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita. Jadi untuk jaga-jaga, kita akan tinggal di tempat ini. Apartemen ini tidak terdaftar sebagai milik ayah atau kamu. Jadi pasti mereka tidak akan bisa melacaknya,” jawab Jaka membayar taksi dengan dua lembar seratus ribuan. Setelah itu, mereka bertiga turun dari taksi dan menurunkan koper dari bagasi. “Tapi, bagaimana kami bisa kuliah? Semua buku-buku kami ada di rumah,” protes Syifa. Saat ini masih pukul sebelas siang, dia pikir dia masih bisa menghadiri kuliah siang. “Siapa bilang kalian boleh kuliah? Hari ini kalian diam saja di dalam apartemen. Biar Papa yang mengurus semuanya. Papa akan pulang ke rumah dan membawa semua kebutuhan kalian.” “Papa nggak salah ngomong? Bukannya tadi Papa bilang ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita dan pasti sedang mengawa
“Kau pasti tidak mempercayai semua itu?” ucap Jaka tersenyum pada putranya yang saat ini sedang mengernyitkan dahinya, penuh keraguan. “Kalau para penguasa elemen memang sudah ada sejak masa Atlantis, kenapa Atlantis bisa tenggelam? Kan ada pengendali air dan tanah,” tanya Dipa. Jaka menganggukkan kepalanya, Syifa diam-diam menyetujui pertanyaan adik sepupunya. “Alam bisa dikendalikan oleh manusia, tapi bukan berarti alam tunduk pada manusia, karena manusia bukan penciptanya,” jawab Jaka. Dipa terdiam, dia tidak bisa membantah jawaban ayahnya. Hanya saja, dia masih belum merasa puas. “Tapi, apa sebabnya Atlantis tenggelam? Apa yang terjadi pada masa itu?” tanya Syifa kali ini gantian dia yang bertanya. Dia memang pernah mendengar ceritanya, namun saat itu, dia hanya menelan semua legenda yang didengarnya bulat-bulat. Padahal dia tipikal anak yang kritis, namun entah saat itu dia tidak memiliki keinginan untuk menyanggah apapun. Karena
[Dipa, lo kok nggak kuliah-kuliah?]Begitu isi pesan yang dikirimkan oleh Hendra salah satu teman kuliahnya.[Ada masalah keluarga, Dra. Kuliah gue ketinggalan jauh ya?]Dipa membalas pesan itu. Dia pun gelisah karena pasti ada banyak tugas dan materi yang ketinggalan dia pelajari beberapa hari ini.[Nggak juga, sih! Kalau lo pasti bisa nyusul kok. Cuma lo ditanyain sama dosen. Oh iya, lo juga ditanyain sama Blythe sih!]Dipa menarik napas lega membaca pesan itu. Kalau dipikir-pikir, dia memang selalu dua sampai tiga bab lebih cepat mempelajari materi yang akan dipelajari di kampusnya.[Ada tugas apa aja?][Nanti gue email ke lo. Oh ya, Blythe kayaknya bener-bener khawatir sama lo. Sekarang dia lagi ada di samping gue nih. Mau ngobrol sama dia nggak? Eh, kalian nggak saling tukar nomor hape ya?][Ngobrol sama gue? Ngobrolin apa? Nggak usah deh, jangan! Gue lagi males ngomong. Ya
Sepuluh Tahun yang LaluNapas memburu, keringat menetes, dan adrenalin mengalir deras. Namun bukan untuk menyambut kegembiraan, melainkan rasa takut yang semakin menekan saraf. Langkah kakinya semakin cepat, kerikil beterbangan saat dia berlari di atasnya.Jalan di depannya buntu, langkahnya terhenti dan tubuhnya berbalik. Matanya nyalang memeriksa sekelilingnya. Detik sebelumnya dia melihat bayangan itu berada dua puluh meter di belakangnya, namun detik berikutnya bayangan itu tinggal beberapa meter di belakangnya.“HIYAH!” Tangannya terangkat ke udara, membuat aspal jalan terangkat ke atas, pecah di udara, dan menyebar menyerang benda apa pun yang mencurigakan.Namun pengejarnya bergerak sangat cepat, batu-batu itu sama sekali tidak melukainya. Mata gadis itu terbelalak melihat bayangan itu semakin mendekat dan berhasil melukai bahu kanannya. Dia pun menciptakan pusaran kerikil sebagai tameng d
[Dipa, lo kok nggak kuliah-kuliah?]Begitu isi pesan yang dikirimkan oleh Hendra salah satu teman kuliahnya.[Ada masalah keluarga, Dra. Kuliah gue ketinggalan jauh ya?]Dipa membalas pesan itu. Dia pun gelisah karena pasti ada banyak tugas dan materi yang ketinggalan dia pelajari beberapa hari ini.[Nggak juga, sih! Kalau lo pasti bisa nyusul kok. Cuma lo ditanyain sama dosen. Oh iya, lo juga ditanyain sama Blythe sih!]Dipa menarik napas lega membaca pesan itu. Kalau dipikir-pikir, dia memang selalu dua sampai tiga bab lebih cepat mempelajari materi yang akan dipelajari di kampusnya.[Ada tugas apa aja?][Nanti gue email ke lo. Oh ya, Blythe kayaknya bener-bener khawatir sama lo. Sekarang dia lagi ada di samping gue nih. Mau ngobrol sama dia nggak? Eh, kalian nggak saling tukar nomor hape ya?][Ngobrol sama gue? Ngobrolin apa? Nggak usah deh, jangan! Gue lagi males ngomong. Ya
“Kau pasti tidak mempercayai semua itu?” ucap Jaka tersenyum pada putranya yang saat ini sedang mengernyitkan dahinya, penuh keraguan. “Kalau para penguasa elemen memang sudah ada sejak masa Atlantis, kenapa Atlantis bisa tenggelam? Kan ada pengendali air dan tanah,” tanya Dipa. Jaka menganggukkan kepalanya, Syifa diam-diam menyetujui pertanyaan adik sepupunya. “Alam bisa dikendalikan oleh manusia, tapi bukan berarti alam tunduk pada manusia, karena manusia bukan penciptanya,” jawab Jaka. Dipa terdiam, dia tidak bisa membantah jawaban ayahnya. Hanya saja, dia masih belum merasa puas. “Tapi, apa sebabnya Atlantis tenggelam? Apa yang terjadi pada masa itu?” tanya Syifa kali ini gantian dia yang bertanya. Dia memang pernah mendengar ceritanya, namun saat itu, dia hanya menelan semua legenda yang didengarnya bulat-bulat. Padahal dia tipikal anak yang kritis, namun entah saat itu dia tidak memiliki keinginan untuk menyanggah apapun. Karena
“Pa, kenapa kita ke apartemen?” tanya Dipa saat taksi malah berhenti di depan gedung apartemen jauh dari lokasi rumah mereka. “Ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita. Jadi untuk jaga-jaga, kita akan tinggal di tempat ini. Apartemen ini tidak terdaftar sebagai milik ayah atau kamu. Jadi pasti mereka tidak akan bisa melacaknya,” jawab Jaka membayar taksi dengan dua lembar seratus ribuan. Setelah itu, mereka bertiga turun dari taksi dan menurunkan koper dari bagasi. “Tapi, bagaimana kami bisa kuliah? Semua buku-buku kami ada di rumah,” protes Syifa. Saat ini masih pukul sebelas siang, dia pikir dia masih bisa menghadiri kuliah siang. “Siapa bilang kalian boleh kuliah? Hari ini kalian diam saja di dalam apartemen. Biar Papa yang mengurus semuanya. Papa akan pulang ke rumah dan membawa semua kebutuhan kalian.” “Papa nggak salah ngomong? Bukannya tadi Papa bilang ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita dan pasti sedang mengawa
“Dipa, setelah mendengar kisah ini, bagaimana kalau kau tinggal di sini untuk sementara?” ucap Eyang Adipramana. Dipa terdiam, pikirannya masih fokus dengan kisah cinta segitiga yang baru saja diceritakan oleh kakek buyutnya. Basundari, Erion dan Avanindra. Lalu, hubungannya sama dia apa? Kata Eyang, aku keturunan langsung Basundari dan Avanindra. How cool is that? I don’t know. I never knew about them before. Dipa mengedikkan bahunya, tidak menyadari pandangan heran dari kakek buyutnya. “Bagaimana, Dipa?” tanya Eyang kembali. “Eh, ng,” Dipa pun tersadar. Dia sempat ragu bagaimana menjawabnya. Dia memahami pentingnya pengajaran yang akan diberikan oleh kakek buyutnya. Hanya saja, dia sama sekali tidak menyukai ide tinggal di rumah ini terlalu lama. Tapi selama ada Papa dan Syifa, sepertinya tidak akan ada masalah. “Dipa, udah mau aja. Masalah kuliah kamu gampang, nanti aku yang urus,” ucap Syifa. Dipa
Dipa ragu-ragu menemui eyang buyutnya. Namun, Syifa yang mendengar permintaan eyang agar Dipa menemui dirinya setelah makan malam, tidak bisa membiarkan cowok itu mangkir. “Aku akan mengantarmu.” Begitu ucap Syifa. Gadis itu menggamit tangan Dipa dan menariknya menuju sisi rumah bagian Timur. Kantor Eyang Adipramana jauh dari ruangan lain, sehingga wilayah rumah ini begitu tenang dan sunyi. Hanya terdengar suara gemericik air dari kolam ikan yang berada di taman dan tepat berada di samping kantor. “Masuk,” ucap Syifa memberi isyarat dengan kepalanya agar Dipa membuka pintu dan masuk ke dalamnya. “Kenapa aku harus masuk? Aku nggak tahu aku salah apa sampai eyang memutuskan untuk mengajakku bicara!” protes Dipa. “Oh my God, Dipa, wake up! Eyang mengajakmu bicara bukan karena kamu melakukan kesalahan. Tapi karena kamu merupakan pewaris elemen. Saat kemampuanku pertama kali muncul, aku sangat ketakutan dan tidak tahu harus melakukan apa.
Puluhan kilometer jauhnya, kembali ke ibu kota Jakarta, Taeyang berniat pulang ke rumah keluarganya di Sukabumi. Dia tidak pernah repot membawa pakaian ganti, karena semuanya sudah tersedia di rumahnya. Yang dibawanya hanya laptop dan telepon genggam. Saat awal kuliah, dia indekos tak jauh dari kampus dan Syifa mengetahui tempat kosnya. Namun sejak setahun yang lalu, Taeyang pindah ke apartemen miliknya sendiri. Dan Syifa selalu lupa tentang hal itu. Cowok berpotongan rambut mullet ini baru saja mengetuk kartu parkirnya dan melajukan mobilnya keluar dari areal parkir. Namun sedetik kemudian dia langsung menginjak pedal rem sedalamnya karena seorang gadis tiba-tiba muncul di depan mobilnya. Dia hampir saja menabrak seorang perempuan yang berparas cukup menarik, berkulit coklat eksotis, dengan bibir yang tebal dan bola mata berwarna hazel. Matanya tidak lepas dari menatap wajah perempuan itu. Perempuan itu pun melakukan hal yang sama. Untuk sesaat mereka saling
“Jadi, kau mewarisi bakat dari klan ibumu?” ucap Eyang Adipramana menatap dirinya seolah sedang menyidik dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dipa mengernyitkan dahinya demi mendengar nada suara yang berkesan menyangsikan dirinya. Melihat Dipa yang tidak menjawab pertanyaan pemimpin keluarga ini, Syifa menyenggol bahu Dipa. Dipa menoleh memandang wajah Syifa dengan heran. “Jawab.” Syifa memberi isyarat dengan gerakan bibir dan matanya. Dipa berdecak, namun dia memilih menuruti kakak sepupunya, “Sepertinya begitu, Eyang.” Kemudian setelah beberapa saat Eyang Adipramana hanya berdiam diri, beliau berbalik dan masuk kembali ke dalam jeep. Dipa menoleh pada Syifa untuk bertanya apa yang baru saja terjadi. Syifa pun hanya mengedikkan bahunya. “Syifa, Dipa, masuk ke mobil. Kita akan jalan sekarang,” perintah Jaka. Beliau pun masuk ke kursi penumpang di sebelah supir. Sebagai gantinya Bagas yang akan mengendarai mobil s
Menunggu merupakan kegiatan yang tidak disukai oleh Dipa. Kalaupun dia biasa menunggu Syifa, dia memiliki hal lain yang bisa dilakukan sambil menunggu, mengerjakan tugas kuliah misalnya. Bukan hanya diam saja tanpa ada kejelasan selanjutnya. “Pa, ayo kita jalan aja sekarang!” desak Dipa ketika mereka sudah menunggu selama lima jam dan matahari sudah berada di puncaknya. Dia sudah bosan bermain game di ponselnya atau melafalkan deret aritmatika di dalam otaknya. Dia bahkan sudah sempat tertidur, namun saat dia terbangun bantuan belum juga tiba. “Sabar, Dipa, pertolongan sedang dalam perjalanan. Papa khawatir mereka masih berada di sekitar sini, menunggu sampai kita keluar dari persembunyian ini. Kalau sampai kita dikejar kembali. Papa tidak yakin kita bisa selamat dari mereka untuk kedua kalinya.” Tentu saja di tengah hutan ini tidak ada sinyal telepon. Oleh sebab itu Pak Jaka memakai gelombang radio untuk meminta bantuan. Untun
“Apakah di sini tempatnya?” tanya Jaka begitu menepikan mobil di tengah hutan entah di mana. Dipa terdiam dan mendengarkan suara-suara yang sejak tadi berbisik-bisik padanya. “Iya, di sini. Mereka bilang, area di sini terlalu tertutup lebatnya pepohonan, sehingga para pemburu tidak akan bisa merasakan kita di sini.” Jaka tersenyum. Setelah memarkir mobil, beliau merebahkan kepalanya sebentar dan memejamkan mata. Mata tuanya sudah terlalu lama tidak melihat dalam kondisi seperti tadi, sehingga ia cukup kelelahan. Syifa sama lelahnya seperti Jaka, dia sudah mengerahkan segenap kekuatan, jadi sama sekali tidak bisa bersuara. Dia hanya diam saja sambil memejamkan mata. “Dipa, bisa kau cek situasi sekitar? Mungkin ada air ada buah yang bisa dijadikan makanan,” pinta Jaka dengan mata masih tertutup. Dipa tidak menjawab. Setelah diminta mencarikan tempat persembunyian sementara, dia tidak merasa aneh ataupun takut ketika diminta mencarikan mak