Home / Fantasi / Elements / 9. Keluarga Besar

Share

9. Keluarga Besar

last update Last Updated: 2021-09-20 16:26:07

“Jadi, kau mewarisi bakat dari klan ibumu?” ucap Eyang Adipramana menatap dirinya seolah sedang menyidik dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Dipa mengernyitkan dahinya demi mendengar nada suara yang berkesan menyangsikan dirinya.

Melihat Dipa yang tidak menjawab pertanyaan pemimpin keluarga ini, Syifa menyenggol bahu Dipa. Dipa menoleh memandang wajah Syifa dengan heran.

“Jawab.” Syifa memberi isyarat dengan gerakan bibir dan matanya.

Dipa berdecak, namun dia memilih menuruti kakak sepupunya, “Sepertinya begitu, Eyang.”

Kemudian setelah beberapa saat Eyang Adipramana hanya berdiam diri, beliau berbalik dan masuk kembali ke dalam jeep. Dipa menoleh pada Syifa untuk bertanya apa yang baru saja terjadi. Syifa pun hanya mengedikkan bahunya.

“Syifa, Dipa, masuk ke mobil. Kita akan jalan sekarang,” perintah Jaka. Beliau pun masuk ke kursi penumpang di sebelah supir. Sebagai gantinya Bagas yang akan mengendarai mobil sampai ke Surabaya.

Tak lama kemudian, ketiga mobil itu sudah meluncur kembali di atas jalan utama, membelah hutan menuju ibu kota Jawa Timur, Surabaya.

Dipa dan Syifa duduk di bangku tengah. Karena masih lelah, Syifa memilih untuk langsung memejamkan matanya. Awalnya Dipa hanya memandangi bayang-bayang pohon yang terlewati, pikirannya kosong, melayang entah ke mana. Sampai kemudian matanya terasa berat, dan tak terasa dia pun menyusul Syifa tenggelam di alam mimpi.

*

Angin berembus menerpa rambutnya, menutupi sebagian matanya. Cuaca terlihat cerah hari ini. Matahari bersinar terang, langit biru jernih dengan kicauan burung-burung menyanyikan lagu suka cita.

Seorang lelaki berdiri di ujung sebuah tebing, matanya tajam menatap objek nun jauh di dalam lembah. Ekspresinya dingin tidak terbaca. Pikirannya dipenuhi oleh banyak hal.

Kesadarannya terusik saat seseorang menepuk bahu kanannya. Kepalanya pun menoleh untuk melihat wajah orang yang mengganggu suasana tenangnya.

Embusan angin melayangkan helai-helai rambut perempuan itu, menggelitik hidungnya. Tercium harum lavender dari tubuhnya.

“Dipa,” bibir perempuan itu terbuka dan menyebutkan namanya.

Untuk sesaat, Dipa tidak menjawab, matanya hanya fokus menatap wajah perempuan di hadapannya saat ini. Di mana dia merasa, kalau dia bisa melihat wajah itu, namun entah kenapa dia sama sekali tidak bisa mengenalinya.

“Dipa,” suara itu kembali terdengar.

Namun, lelaki itu tetap tidak bereaksi ketika namanya dipanggil. Merasa kesal, perempuan itu akhirnya memeluk tubuh lelaki dihadapannya, dan dalam sekejap mata, mereka berdua melayang di udara.

Dipa terkejut ketika merasakannya tubuhnya tidak lagi berpijak di atas tanah. Dia sempat panik menggeliat berusaha melepaskan diri dari pelukan gadis itu.

“SShht, tenanglah, kamu tidak akan terjatuh,” bisik gadis itu di telinganya.

Dipa berhenti menggerakkan tubuhnya, dia mempercayakan dirinya sepenuhnya pada gadis itu.

Tiba-tiba saja gadis itu melepaskan pelukannya. Kemudian dia melepaskan tangannya dari tubuh Dipa. Dipa terkejut bukan main. Namun, demi melihat keyakinan yang ada di mata gadis itu, Dipa berhasil menguasai rasa paniknya.

Angin berembus semakin kuat, seolah massa jenis udara sama dengan massa jenis tubuhnya, tubuh Dipa melayang-layang di udara. Rasa takut dan antusias berkelindan dalam dirinya. Ragu-ragu dia merentangkan kedua lengannya, mencoba untuk terbang.

Kemudian ketika dia sudah merasa yakin kalau tubuhnya tidak akan tiba-tiba terjun bebas dari ketinggian ribuan meter. Tawanya lepas, hatinya mendadak merasa sangat ringan, bahagia bukan main.

Dia memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri, tiba-tiba gerakan tubuhnya langsung menukik ke arah kiri, mengikuti gerak tubuhnya. Cepat dia mengembalikan posisinya ke semula dan berusaha menyeimbangkan tubuhnya kembali. Adrenalin mengalir deras, serotonin membanjiri sarafnya, jantungnya berdetak cepat. Dia pun berhasil menyeimbangkan posisi tubuhnya kembali. Tawa kembali lepas dari rongga dadanya.

“Kau menyukainya?” sapa suara itu mendadak sudah berada di sisi tubuhnya. Memang berbeda kalau yang sudah pro, hanya hitungan nano detik, sudah bisa terbang dengan cepat dari satu titik ke titik lain.

Dipa menghentikan terbangnya, dia melipat tangannya kembali, ke sisi tubuhnya, dan sekarang dia berdiri di atas awan, menatap gadis itu dengan saksama.

Keningnya terus mengernyit dalam, berusaha melihat wajah gadis itu lebih jelas. Kemudian seperti kamera yang bisa memperbesar dan memperjelas sebuah gambar, wajah di hadapannya perlahan terlihat jelas. Saat dia sudah bisa mengenali wajah itu, dia hanya bisa terpana menatapnya.

“Kau …,” ucapnya, “siapa namamu?” lanjutnya.

Gadis itu tersenyum lembut, “Kau melupakanku? Kita sudah pernah bertemu sebelumnya.”

Saat itulah ingatannya terbang pada kejadian beberapa hari sebelumnya, saat dia kehilangan tasnya dan ada seorang gadis asing yang menolong dirinya. Kulit cokelat yang bersinar, rambutnya yang ikal dan lebat berwarna hitam, dan tentu saja harum lavender yang menguar di sekujur tubuhnya.

Namun belum dia sempat berbicara kembali, ada sebuah ledakan terjadi di daratan di bawahnya. Perhatiannya pun teralihkan. Cepat dia terbang ke asal ledakan.

“Jangan ke sana!” teriak gadis itu.

Namun Dipa tidak mendengarkan, dia terus meluncur turun. Namun karena posisinya yang sudah menjauhi sumber yang membuanya bisa terbang, Dipa kehilangan kontrol atas tubuhnya. Tubuhnya meluncur turun dengan sangat cepat, dan dia tidak tahu bagaimana cara menghentikan laju gerakannya. Dan sebelum dia menyadari apa yang terjadi, tubuhnya sudah menghantam tanah, menambah jumlah ledakan lainnya yang lebih besar, membuat lubang sebesar lapangan basket. Dan dia pun tak sadarkan diri.

*

Dipa membuka matanya dengan napas yang memburu dan peluh yang membasahi kening dan punggungnya. Untuk sesaat dia mengalami disorientasi. Kepalanya terasa sakit, sehingga dia kembali memejamkan kedua matanya dan memijat pelipisnya.

“Dipa, kamu nggak apa-apa?” tegur Syifa.

Sekali lagi Dipa terkejut dengan suara Syifa, suara yang seharusnya sudah sangat dihapalnya. Ah, ini pasti karena mimpi yang baru saja dialaminya.

“Dipa?” Syifa memanggilnya kembali. Nada suaranya penuh rasa khawatir.

Cepat Dipa menggelengkan kepalanya, “Aku nggak apa-apa, aku hanya mimpi buruk,” ucapnya.

“Kita sudah mau sampai,” ucap Syifa. Walaupun masih mengkhawatirkan adik sepupunya, dia memilih untuk tidak menekannya saat ini.

“Oh, ya, syukurlah,” balas Dipa sekenanya.

Syifa hanya tersenyum tipis, masih menatap cowok yang berusia satu tahun lebih muda darinya ini.

Tak lama kemudian mobil yang dikendarai mereka melewati sebuah gerbang besi yang menjulang tinggi. Mobil pun melaju melewati taman, terus menuju ke bagian dalam halaman. Sampai akhirnya tiba di depan rumah tua bergaya kolonial Belanda bercat putih dengan tempelan batu alam kelabu, terlihat klasik, namun sangat asri dengan taman yang terawat.

Begitu mobil terparkir, mereka pun bergegas turun dari mobil. Di depan rumah mereka disambut oleh keluarga lainnya. Kebetulan memang akan ada pertemuan keluarga besar, jadi hampir seluruhnya hadir di rumah ini.

Wajah-wajah mereka dipenuhi oleh rasa ingin tahu yang besar mengenai para pewaris elemen yang terlahir di keluarga mereka. Namun, perhatian mereka kali ini semuanya lebih terpusat pada sosok remaja berkacamata yang terlihat masih disorientasi dengan keadaan sekitarnya.

Dipa pun menyadari pandangan mata mereka semua. Walaupun merasa kikuk, dia mengangkat tangannya untuk dilambaikan sebagai salam pertemuan.

Mereka pun tersadar kalau sedang melakukan hal yang tidak sopan dan membuat pemuda itu salah tingkah.

“Nak Dipa, apa kabar?” sambut Eyang Putri Fatima menyambut cucunya. Ya, Eyang putri Fatima merupakan anak dari Eyang Adipramana. Dengan kata lain, beliau merupakan ibu dari Jaka.

Dipa yang disapa hanya menunduk dengan malu-malu. Jaka yang melihatnya pun merasa harus mewakili putranya agar yang lain tidak salah paham pada remaja itu.

“Ibu, sehat?” sapa Jaka memeluk ibunya dengan erat. “Dipa masih syok dengan kejadian sebelumnya, jadi maaf kalau dia agak sulit diajak bicara. Dia hanya butuh istirahat.”

Eyang Fatima mengangguk bisa memahami hal itu. “Maaf, seharusnya Ibu lebih peka dengan kondisi anak ini. Mari masuk. Kamar kalian sudah kami siapkan.”

Maka, mereka bertiga pun mengikuti Eyang Fatima masuk ke dalam rumah. Perlahan anggota keluarga yang lain mulai berpencar untuk melakukan aktivitas masing-masing. Begitupun halnya dengan Eyang Adipramana dan Bagas. Mereka bergegas menuju aula untuk membicarakan banyak hal.[]

Related chapters

  • Elements   10. Pertemuan

    Puluhan kilometer jauhnya, kembali ke ibu kota Jakarta, Taeyang berniat pulang ke rumah keluarganya di Sukabumi. Dia tidak pernah repot membawa pakaian ganti, karena semuanya sudah tersedia di rumahnya. Yang dibawanya hanya laptop dan telepon genggam. Saat awal kuliah, dia indekos tak jauh dari kampus dan Syifa mengetahui tempat kosnya. Namun sejak setahun yang lalu, Taeyang pindah ke apartemen miliknya sendiri. Dan Syifa selalu lupa tentang hal itu. Cowok berpotongan rambut mullet ini baru saja mengetuk kartu parkirnya dan melajukan mobilnya keluar dari areal parkir. Namun sedetik kemudian dia langsung menginjak pedal rem sedalamnya karena seorang gadis tiba-tiba muncul di depan mobilnya. Dia hampir saja menabrak seorang perempuan yang berparas cukup menarik, berkulit coklat eksotis, dengan bibir yang tebal dan bola mata berwarna hazel. Matanya tidak lepas dari menatap wajah perempuan itu. Perempuan itu pun melakukan hal yang sama. Untuk sesaat mereka saling

    Last Updated : 2021-09-21
  • Elements   11. Legenda

    Dipa ragu-ragu menemui eyang buyutnya. Namun, Syifa yang mendengar permintaan eyang agar Dipa menemui dirinya setelah makan malam, tidak bisa membiarkan cowok itu mangkir. “Aku akan mengantarmu.” Begitu ucap Syifa. Gadis itu menggamit tangan Dipa dan menariknya menuju sisi rumah bagian Timur. Kantor Eyang Adipramana jauh dari ruangan lain, sehingga wilayah rumah ini begitu tenang dan sunyi. Hanya terdengar suara gemericik air dari kolam ikan yang berada di taman dan tepat berada di samping kantor. “Masuk,” ucap Syifa memberi isyarat dengan kepalanya agar Dipa membuka pintu dan masuk ke dalamnya. “Kenapa aku harus masuk? Aku nggak tahu aku salah apa sampai eyang memutuskan untuk mengajakku bicara!” protes Dipa. “Oh my God, Dipa, wake up! Eyang mengajakmu bicara bukan karena kamu melakukan kesalahan. Tapi karena kamu merupakan pewaris elemen. Saat kemampuanku pertama kali muncul, aku sangat ketakutan dan tidak tahu harus melakukan apa.

    Last Updated : 2021-09-22
  • Elements   12. Perjalanan Pulang

    “Dipa, setelah mendengar kisah ini, bagaimana kalau kau tinggal di sini untuk sementara?” ucap Eyang Adipramana. Dipa terdiam, pikirannya masih fokus dengan kisah cinta segitiga yang baru saja diceritakan oleh kakek buyutnya. Basundari, Erion dan Avanindra. Lalu, hubungannya sama dia apa? Kata Eyang, aku keturunan langsung Basundari dan Avanindra. How cool is that? I don’t know. I never knew about them before. Dipa mengedikkan bahunya, tidak menyadari pandangan heran dari kakek buyutnya. “Bagaimana, Dipa?” tanya Eyang kembali. “Eh, ng,” Dipa pun tersadar. Dia sempat ragu bagaimana menjawabnya. Dia memahami pentingnya pengajaran yang akan diberikan oleh kakek buyutnya. Hanya saja, dia sama sekali tidak menyukai ide tinggal di rumah ini terlalu lama. Tapi selama ada Papa dan Syifa, sepertinya tidak akan ada masalah. “Dipa, udah mau aja. Masalah kuliah kamu gampang, nanti aku yang urus,” ucap Syifa. Dipa

    Last Updated : 2021-09-23
  • Elements   13. Kembali ke Rumah

    “Pa, kenapa kita ke apartemen?” tanya Dipa saat taksi malah berhenti di depan gedung apartemen jauh dari lokasi rumah mereka. “Ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita. Jadi untuk jaga-jaga, kita akan tinggal di tempat ini. Apartemen ini tidak terdaftar sebagai milik ayah atau kamu. Jadi pasti mereka tidak akan bisa melacaknya,” jawab Jaka membayar taksi dengan dua lembar seratus ribuan. Setelah itu, mereka bertiga turun dari taksi dan menurunkan koper dari bagasi. “Tapi, bagaimana kami bisa kuliah? Semua buku-buku kami ada di rumah,” protes Syifa. Saat ini masih pukul sebelas siang, dia pikir dia masih bisa menghadiri kuliah siang. “Siapa bilang kalian boleh kuliah? Hari ini kalian diam saja di dalam apartemen. Biar Papa yang mengurus semuanya. Papa akan pulang ke rumah dan membawa semua kebutuhan kalian.” “Papa nggak salah ngomong? Bukannya tadi Papa bilang ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita dan pasti sedang mengawa

    Last Updated : 2021-09-24
  • Elements   14. Gaia

    “Kau pasti tidak mempercayai semua itu?” ucap Jaka tersenyum pada putranya yang saat ini sedang mengernyitkan dahinya, penuh keraguan. “Kalau para penguasa elemen memang sudah ada sejak masa Atlantis, kenapa Atlantis bisa tenggelam? Kan ada pengendali air dan tanah,” tanya Dipa. Jaka menganggukkan kepalanya, Syifa diam-diam menyetujui pertanyaan adik sepupunya. “Alam bisa dikendalikan oleh manusia, tapi bukan berarti alam tunduk pada manusia, karena manusia bukan penciptanya,” jawab Jaka. Dipa terdiam, dia tidak bisa membantah jawaban ayahnya. Hanya saja, dia masih belum merasa puas. “Tapi, apa sebabnya Atlantis tenggelam? Apa yang terjadi pada masa itu?” tanya Syifa kali ini gantian dia yang bertanya. Dia memang pernah mendengar ceritanya, namun saat itu, dia hanya menelan semua legenda yang didengarnya bulat-bulat. Padahal dia tipikal anak yang kritis, namun entah saat itu dia tidak memiliki keinginan untuk menyanggah apapun. Karena

    Last Updated : 2021-09-25
  • Elements   15. Keputusan

    [Dipa, lo kok nggak kuliah-kuliah?]Begitu isi pesan yang dikirimkan oleh Hendra salah satu teman kuliahnya.[Ada masalah keluarga, Dra. Kuliah gue ketinggalan jauh ya?]Dipa membalas pesan itu. Dia pun gelisah karena pasti ada banyak tugas dan materi yang ketinggalan dia pelajari beberapa hari ini.[Nggak juga, sih! Kalau lo pasti bisa nyusul kok. Cuma lo ditanyain sama dosen. Oh iya, lo juga ditanyain sama Blythe sih!]Dipa menarik napas lega membaca pesan itu. Kalau dipikir-pikir, dia memang selalu dua sampai tiga bab lebih cepat mempelajari materi yang akan dipelajari di kampusnya.[Ada tugas apa aja?][Nanti gue email ke lo. Oh ya, Blythe kayaknya bener-bener khawatir sama lo. Sekarang dia lagi ada di samping gue nih. Mau ngobrol sama dia nggak? Eh, kalian nggak saling tukar nomor hape ya?][Ngobrol sama gue? Ngobrolin apa? Nggak usah deh, jangan! Gue lagi males ngomong. Ya

    Last Updated : 2021-09-29
  • Elements   1. DIPA

    Sepuluh Tahun yang LaluNapas memburu, keringat menetes, dan adrenalin mengalir deras. Namun bukan untuk menyambut kegembiraan, melainkan rasa takut yang semakin menekan saraf. Langkah kakinya semakin cepat, kerikil beterbangan saat dia berlari di atasnya.Jalan di depannya buntu, langkahnya terhenti dan tubuhnya berbalik. Matanya nyalang memeriksa sekelilingnya. Detik sebelumnya dia melihat bayangan itu berada dua puluh meter di belakangnya, namun detik berikutnya bayangan itu tinggal beberapa meter di belakangnya.“HIYAH!” Tangannya terangkat ke udara, membuat aspal jalan terangkat ke atas, pecah di udara, dan menyebar menyerang benda apa pun yang mencurigakan.Namun pengejarnya bergerak sangat cepat, batu-batu itu sama sekali tidak melukainya. Mata gadis itu terbelalak melihat bayangan itu semakin mendekat dan berhasil melukai bahu kanannya. Dia pun menciptakan pusaran kerikil sebagai tameng d

    Last Updated : 2021-09-14
  • Elements   2. Syifa dan Taeyang

    Perjalanan ke kampus pagi ini berjalan lancar. Jalanan tidak terlalu macet, langit cerah dengan sinar matahari yang tidak terlalu terik, sehingga dia tidak perlu kepanasan di balik helm dan jaket motor. Pukul setengah sepuluh, dia sudah sampai di kampus. Masih ada waktu setengah jam sampai kuliah dimulai.Dia berjalan menyusuri koridor, menuju ruangan kelas. Pagi ini, kelompoknya akan presentasi dengan tema anatomi jantung dan penyakit-penyakit yang kemungkinan muncul darinya. Semua bahan sudah selesai, teman satu kelompoknya, Taeyang, berjanji akan mencetak tugas kuliah tersebut sekaligus menjilid dan menjadikannya sepuluh rangkap, untuk dibagikan kepada kelompok lain juga dosen.Syifa meletakkan tas di meja paling depan dekat papan tulis. Tak lama masuk Taeyang, orang yang sudah ditunggu olehnya.“Morning,” sapa cowok itu. “Morning,” balas Syifa. “Mana makalahnya?” tanyanya langsung.

    Last Updated : 2021-09-14

Latest chapter

  • Elements   15. Keputusan

    [Dipa, lo kok nggak kuliah-kuliah?]Begitu isi pesan yang dikirimkan oleh Hendra salah satu teman kuliahnya.[Ada masalah keluarga, Dra. Kuliah gue ketinggalan jauh ya?]Dipa membalas pesan itu. Dia pun gelisah karena pasti ada banyak tugas dan materi yang ketinggalan dia pelajari beberapa hari ini.[Nggak juga, sih! Kalau lo pasti bisa nyusul kok. Cuma lo ditanyain sama dosen. Oh iya, lo juga ditanyain sama Blythe sih!]Dipa menarik napas lega membaca pesan itu. Kalau dipikir-pikir, dia memang selalu dua sampai tiga bab lebih cepat mempelajari materi yang akan dipelajari di kampusnya.[Ada tugas apa aja?][Nanti gue email ke lo. Oh ya, Blythe kayaknya bener-bener khawatir sama lo. Sekarang dia lagi ada di samping gue nih. Mau ngobrol sama dia nggak? Eh, kalian nggak saling tukar nomor hape ya?][Ngobrol sama gue? Ngobrolin apa? Nggak usah deh, jangan! Gue lagi males ngomong. Ya

  • Elements   14. Gaia

    “Kau pasti tidak mempercayai semua itu?” ucap Jaka tersenyum pada putranya yang saat ini sedang mengernyitkan dahinya, penuh keraguan. “Kalau para penguasa elemen memang sudah ada sejak masa Atlantis, kenapa Atlantis bisa tenggelam? Kan ada pengendali air dan tanah,” tanya Dipa. Jaka menganggukkan kepalanya, Syifa diam-diam menyetujui pertanyaan adik sepupunya. “Alam bisa dikendalikan oleh manusia, tapi bukan berarti alam tunduk pada manusia, karena manusia bukan penciptanya,” jawab Jaka. Dipa terdiam, dia tidak bisa membantah jawaban ayahnya. Hanya saja, dia masih belum merasa puas. “Tapi, apa sebabnya Atlantis tenggelam? Apa yang terjadi pada masa itu?” tanya Syifa kali ini gantian dia yang bertanya. Dia memang pernah mendengar ceritanya, namun saat itu, dia hanya menelan semua legenda yang didengarnya bulat-bulat. Padahal dia tipikal anak yang kritis, namun entah saat itu dia tidak memiliki keinginan untuk menyanggah apapun. Karena

  • Elements   13. Kembali ke Rumah

    “Pa, kenapa kita ke apartemen?” tanya Dipa saat taksi malah berhenti di depan gedung apartemen jauh dari lokasi rumah mereka. “Ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita. Jadi untuk jaga-jaga, kita akan tinggal di tempat ini. Apartemen ini tidak terdaftar sebagai milik ayah atau kamu. Jadi pasti mereka tidak akan bisa melacaknya,” jawab Jaka membayar taksi dengan dua lembar seratus ribuan. Setelah itu, mereka bertiga turun dari taksi dan menurunkan koper dari bagasi. “Tapi, bagaimana kami bisa kuliah? Semua buku-buku kami ada di rumah,” protes Syifa. Saat ini masih pukul sebelas siang, dia pikir dia masih bisa menghadiri kuliah siang. “Siapa bilang kalian boleh kuliah? Hari ini kalian diam saja di dalam apartemen. Biar Papa yang mengurus semuanya. Papa akan pulang ke rumah dan membawa semua kebutuhan kalian.” “Papa nggak salah ngomong? Bukannya tadi Papa bilang ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita dan pasti sedang mengawa

  • Elements   12. Perjalanan Pulang

    “Dipa, setelah mendengar kisah ini, bagaimana kalau kau tinggal di sini untuk sementara?” ucap Eyang Adipramana. Dipa terdiam, pikirannya masih fokus dengan kisah cinta segitiga yang baru saja diceritakan oleh kakek buyutnya. Basundari, Erion dan Avanindra. Lalu, hubungannya sama dia apa? Kata Eyang, aku keturunan langsung Basundari dan Avanindra. How cool is that? I don’t know. I never knew about them before. Dipa mengedikkan bahunya, tidak menyadari pandangan heran dari kakek buyutnya. “Bagaimana, Dipa?” tanya Eyang kembali. “Eh, ng,” Dipa pun tersadar. Dia sempat ragu bagaimana menjawabnya. Dia memahami pentingnya pengajaran yang akan diberikan oleh kakek buyutnya. Hanya saja, dia sama sekali tidak menyukai ide tinggal di rumah ini terlalu lama. Tapi selama ada Papa dan Syifa, sepertinya tidak akan ada masalah. “Dipa, udah mau aja. Masalah kuliah kamu gampang, nanti aku yang urus,” ucap Syifa. Dipa

  • Elements   11. Legenda

    Dipa ragu-ragu menemui eyang buyutnya. Namun, Syifa yang mendengar permintaan eyang agar Dipa menemui dirinya setelah makan malam, tidak bisa membiarkan cowok itu mangkir. “Aku akan mengantarmu.” Begitu ucap Syifa. Gadis itu menggamit tangan Dipa dan menariknya menuju sisi rumah bagian Timur. Kantor Eyang Adipramana jauh dari ruangan lain, sehingga wilayah rumah ini begitu tenang dan sunyi. Hanya terdengar suara gemericik air dari kolam ikan yang berada di taman dan tepat berada di samping kantor. “Masuk,” ucap Syifa memberi isyarat dengan kepalanya agar Dipa membuka pintu dan masuk ke dalamnya. “Kenapa aku harus masuk? Aku nggak tahu aku salah apa sampai eyang memutuskan untuk mengajakku bicara!” protes Dipa. “Oh my God, Dipa, wake up! Eyang mengajakmu bicara bukan karena kamu melakukan kesalahan. Tapi karena kamu merupakan pewaris elemen. Saat kemampuanku pertama kali muncul, aku sangat ketakutan dan tidak tahu harus melakukan apa.

  • Elements   10. Pertemuan

    Puluhan kilometer jauhnya, kembali ke ibu kota Jakarta, Taeyang berniat pulang ke rumah keluarganya di Sukabumi. Dia tidak pernah repot membawa pakaian ganti, karena semuanya sudah tersedia di rumahnya. Yang dibawanya hanya laptop dan telepon genggam. Saat awal kuliah, dia indekos tak jauh dari kampus dan Syifa mengetahui tempat kosnya. Namun sejak setahun yang lalu, Taeyang pindah ke apartemen miliknya sendiri. Dan Syifa selalu lupa tentang hal itu. Cowok berpotongan rambut mullet ini baru saja mengetuk kartu parkirnya dan melajukan mobilnya keluar dari areal parkir. Namun sedetik kemudian dia langsung menginjak pedal rem sedalamnya karena seorang gadis tiba-tiba muncul di depan mobilnya. Dia hampir saja menabrak seorang perempuan yang berparas cukup menarik, berkulit coklat eksotis, dengan bibir yang tebal dan bola mata berwarna hazel. Matanya tidak lepas dari menatap wajah perempuan itu. Perempuan itu pun melakukan hal yang sama. Untuk sesaat mereka saling

  • Elements   9. Keluarga Besar

    “Jadi, kau mewarisi bakat dari klan ibumu?” ucap Eyang Adipramana menatap dirinya seolah sedang menyidik dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dipa mengernyitkan dahinya demi mendengar nada suara yang berkesan menyangsikan dirinya. Melihat Dipa yang tidak menjawab pertanyaan pemimpin keluarga ini, Syifa menyenggol bahu Dipa. Dipa menoleh memandang wajah Syifa dengan heran. “Jawab.” Syifa memberi isyarat dengan gerakan bibir dan matanya. Dipa berdecak, namun dia memilih menuruti kakak sepupunya, “Sepertinya begitu, Eyang.” Kemudian setelah beberapa saat Eyang Adipramana hanya berdiam diri, beliau berbalik dan masuk kembali ke dalam jeep. Dipa menoleh pada Syifa untuk bertanya apa yang baru saja terjadi. Syifa pun hanya mengedikkan bahunya. “Syifa, Dipa, masuk ke mobil. Kita akan jalan sekarang,” perintah Jaka. Beliau pun masuk ke kursi penumpang di sebelah supir. Sebagai gantinya Bagas yang akan mengendarai mobil s

  • Elements   8. Pewaris Elemen Tanah

    Menunggu merupakan kegiatan yang tidak disukai oleh Dipa. Kalaupun dia biasa menunggu Syifa, dia memiliki hal lain yang bisa dilakukan sambil menunggu, mengerjakan tugas kuliah misalnya. Bukan hanya diam saja tanpa ada kejelasan selanjutnya. “Pa, ayo kita jalan aja sekarang!” desak Dipa ketika mereka sudah menunggu selama lima jam dan matahari sudah berada di puncaknya. Dia sudah bosan bermain game di ponselnya atau melafalkan deret aritmatika di dalam otaknya. Dia bahkan sudah sempat tertidur, namun saat dia terbangun bantuan belum juga tiba. “Sabar, Dipa, pertolongan sedang dalam perjalanan. Papa khawatir mereka masih berada di sekitar sini, menunggu sampai kita keluar dari persembunyian ini. Kalau sampai kita dikejar kembali. Papa tidak yakin kita bisa selamat dari mereka untuk kedua kalinya.” Tentu saja di tengah hutan ini tidak ada sinyal telepon. Oleh sebab itu Pak Jaka memakai gelombang radio untuk meminta bantuan. Untun

  • Elements   7. Sidang di Tengah Hutan

    “Apakah di sini tempatnya?” tanya Jaka begitu menepikan mobil di tengah hutan entah di mana. Dipa terdiam dan mendengarkan suara-suara yang sejak tadi berbisik-bisik padanya. “Iya, di sini. Mereka bilang, area di sini terlalu tertutup lebatnya pepohonan, sehingga para pemburu tidak akan bisa merasakan kita di sini.” Jaka tersenyum. Setelah memarkir mobil, beliau merebahkan kepalanya sebentar dan memejamkan mata. Mata tuanya sudah terlalu lama tidak melihat dalam kondisi seperti tadi, sehingga ia cukup kelelahan. Syifa sama lelahnya seperti Jaka, dia sudah mengerahkan segenap kekuatan, jadi sama sekali tidak bisa bersuara. Dia hanya diam saja sambil memejamkan mata. “Dipa, bisa kau cek situasi sekitar? Mungkin ada air ada buah yang bisa dijadikan makanan,” pinta Jaka dengan mata masih tertutup. Dipa tidak menjawab. Setelah diminta mencarikan tempat persembunyian sementara, dia tidak merasa aneh ataupun takut ketika diminta mencarikan mak

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status