Akhirnya perjalanan ke Surabaya dimulai. Mereka berangkat tepat setelah sarapan pukul tujuh pagi, dan bergantian menyetir, meskipun sebagian besar perjalanan Jaka-lah yang mengendarainya. Berangkat dari rumah Dipa yang membawa mobil. Kemudian sehabis beristirahat setelah keluar dari tol Cikampek, gantian dengan Jaka. Setiap lima jam, mereka berhenti untuk beristirahat.
Setelah perjalanan hampir sepuluh jam, mereka akhirnya sampai di Semarang dan memutuskan untuk mampir di salah satu tempat peristirahatan.
Begitu mobil diparkir, Dipa bergegas keluar karena kebelet kencing. Begitu sampai di toilet, antreannya lumayan panjang. Dipa tidak masalah dengan mengantre, hanya saja yang membuatnya tidak tahan mengantre di toilet umum seperti ini, adalah bau amonia yang menyengat.
Dipa menahan napas. Untung saja antrean laki-laki tidak memakan waktu lama. Dengan cepat dia sudah berada di antrean terdepan. Jaka juga terlihat mengantre di belakang.
Badannya sudah lelah sekali. Hampir sepuluh jam dia duduk di mobil namun belum juga sampai di tujuan. Kenapa tidak naik pesawat aja sih? Tapi tentu saja dia tahu, ini pasti usul Syifa. Syifa memang tidak pernah menyukai pesawat terbang, semenjak kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orangtuanya.
Tadi malam, setelah dia dan Syifa sampai di rumah, Dipa masih mengeluh tidak mau ikut dan menolak membereskan pakaian yang mau dibawa. Tapi tentu saja Syifa tidak membiarkannya.
“Ayolah, Dip, kita kan nggak setiap tahun ke sana. Lagi pula acaranya sekalian piknik menyeberangi jembatan Suramadu. Aku sudah nggak sabar ingin melihat luasnya lautan yang terbentang di hadapanku ketika aku menyeberanginya.”
Dipa tahu sekali kesukaan sepupu yang berusia lebih tua setahun darinya ini. Syifa suka sekali pergi ke pantai, kolam renang, empang, kali, pokoknya ke mana saja selama ada airnya sehingga sepupunya itu bisa menyalurkan hobinya yang kelewat maniak, yaitu berenang.
“Iya, asal kamu nggak tiba-tiba ngotot minta mobil diberhentikan terus kamu terjun bebas ke laut,” jawab Dipa saat itu.
Syifa nyengir mendengar celetukan itu. Melihat cengiran itu, Dipa langsung dihantui firasat tidak enak.
“Syi, jangan coba-coba!”
“Aduh, Dipa, jangan merusak kesenangan orang dong!”
“Aku akan bilang sama Papa kalau kamu nggak usah diajak aja!”
*
Dipa berjalan menjauhi kamar mandi, anehnya bau amonia itu seperti menempel tepat di bawah hidungnya, tidak mau hilang. Syifa sudah menunggu di tempat makan. Dipa langsung duduk di bangku di depannya.
“Syi, punya yang wangi-wangi nggak? Semacam minyak angin,” ucapnya.
“Kamu masuk angin? Ada sih, minyak kayu putih gitu mau?” jawab Syifa seraya merogoh tas selempang kecil yang biasanya hanya berisi dompet atau handphone karena ukurannya yang kecil.
“Nggak juga kayaknya. Tapi bau kencing kamar mandi nggak bisa hilang.”
Syifa mengerutkan alisnya. “Nggak bau apa-apa kok!” Biasanya, kalau ada hubungannya sama bebauan, hidung Syifa lebih sensitif. Itu sebabnya dia heran adiknya ini mengaku masih mencium bau air kencing.
Dipa mengangkat bahu. “Ya udah, mana minyak kayu putihnya?”
Syifa tidak bertanya lagi, dia langsung memberikan yang diminta adiknya itu. Dipa pun membalur minyak kayu putih ke bahu, leher, pelipis dan hidungnya.
“Pedes banget lho, Dip!”
“Biarin aja yang penting baunya hilang.”
“Ya udah. Terus kamu mau makan apa? Biar aku pesenin.”
“Yang berkuah aja, Syi. Aku lagi malas makan,” jawabnya. Kalau malas makan, Dipa memilih menu berkuah yang membuatnya tidak banyak mengunyah.
Syifa pun berjalan ke kasir dan memesan yang diinginkan adiknya. Tak lama, Jaka sudah bergabung di meja. Setelah cukup beristirahat, mereka melanjutkan kembali perjalanan tersebut.
*
Mata Dipa menerawang, menatap pemandangan gelap di luar jendela mobil. Dia tidak takut kegelapan, malahan merasa lebih nyaman berada di keremangan kamarnya daripada di bawah sinar matahari.
Sementara itu di sebelahnya, Shifa sudah terlelap dengan earphone masih menempel di telinga, mendengarkan musik rock Avenged Sevenfold. Memang terkadang wajah lembut tidak mencerminkan selera musik seseorang.
“Papa, mau gantian nggak?” tanya Dipa.
Jaka menoleh sekilas. “Lho, kamu tidak tidur?”
“Nggak ngantuk.”
“Tumben, biasanya kamu yang paling pelor,” ucap Jaka bercanda.
“Hawanya nggak enak, terus bau pesingnya nggak mau hilang,” jawab Dipa sambil membuka-buka CD.
Pak Jaka terkejut mendengar jawaban Dipa. “Hawanya nggak enak katamu? Bau pesing apa?” tanyanya serius. Nada suaranya khawatir, beliau dihantui firasat buruk.
Dipa mengangguk ringan. “Mana sih CD-nya … perasaan sudah dimasukin sebelum berangkat,” gumamnya. Dia mencari CD Imagine Dragons. Kebetulan selera musiknya dan Syifa mirip-mirip.
“Sejak kapan kamu merasa hawanya tidak enak?” tanya ayahnya lagi.
Dipa memandang Jaka agak heran. Dia ingin menjawab, tapi kemudian seperti teringat sesuatu. “Sejak meninggalkan rest area di tol Cikampek. Tapi nggak kayak sekarang sih hawanya. Aku cuma merasa kurang nyaman saat itu. Tapi kali ini diikuti bau pesing. Padahal mobil Papa nggak mungkin bau pesing,” ucapnya. Tentu saja, Land Cruiser Jaka selalu terawat dengan sangat baik dan bersih.
“Bau pesing? Bau amonia maksudmu?” Dipa mengangguk. “Sampai sekarang masih tercium?” lanjut Jaka.
“Sedikit,” jawab Dipa santai. Namun kemudian dia menyadari wajah Jaka belum berubah, malah bertambah khawatir, bahkan bulir-bulir keringat mulai membasahi keningnya.
Tiba-tiba Jaka menambah kecepatan mobil. Dipa terperenyak, baru tersadar dirinya belum memakai sabuk pengaman. Buru-buru dia mengenakannya.
“Papa, kenapa?” tanya Dipa khawatir. Baru sekali ini dia melihat Jaka bereaksi seperti itu. Biasanya ayahnya selalu tenang menghadapi masalah, bahkan sering bercanda. Dipa sama sekali tidak paham mengapa hawa yang tidak enak dan bau amonia membuat ayahnya ketakutan seperti itu.
Jaka tidak menjawab, tapi tetap waspada mengendarai mobil. Sementara itu, karena merasakan pergerakan mobil yang tiba-tiba cepat, Syifa terbangun.
“Dipa, apa kamu mau ke kamar mandi lagi?” tanyanya mengucek mata.
Dipa tidak menjawab. Tidak ada yang menjawab. Syifa merasa heran sekali. Tapi kemudian, seperti baru saja mendapatkan pukulan telak di tengkuk, dia menyadari sesuatu. Kepalanya langsung menoleh, pandangannya menembus jendela belakang. Kosong. Tidak ada satu pun lampu mobil yang bergerak di belakang mobil ini. Biasanya dia merasa biasa aja, tapi entah mengapa kali ini dia merasakan sesuatu yang menakutkan sedang berlari mengejar mereka di belakang.
“Om Jaka,” gumam Syifa dengan suara bergetar.
Pak Jaka menyahut, “Tenang, mereka masih jauh.”
Mendengar jawaban Jaka, Syifa sedikit tenang. Dia membetulkan posisi duduknya dan mulai mengatur napas untuk berkonsentrasi penuh mengumpulkan kekuatan.
Kali ini Dipa yang keheranan. Sepertinya ada yang diketahui ayahnya dan Syifa tapi tidak diketahui olehnya.
“Siapa yang masih jauh, Pa?” tuntut Dipa.
Pak Jaka menoleh sekilas. “Tidak usah khawatir, semua baik-baik saja.” Namun berlawanan dengan ucapannya, wajah Pak Jaka terlihat pucat. “Dipa, sekarang lakukan seperti yang Syifa lakukan. Kalian sering melatihnya bersama, kan?”
Dipa ingin mengatakan dia sudah lama tidak ikut latihan senam pernapasan bersama Syifa. Namun dia tidak ingin ayahnya semakin panik, juga tidak ingin Syifa jadi panik. Oleh sebab itu dia hanya menurut dan melakukan seperti yang dikatakan Jaka.
Walaupun sudah cukup lama, Dipa masih mengingatnya dengan jelas. Dia segera mengepalkan jemarinya dengan ibu jari berada dalam kepalan. Kemudian dia mulai menarik napas dalam-dalam, menahannya beberapa saat di dasar perut. Dia mulai berkonsentrasi mencari frekuensi yang sama dengan Syifa. Butuh beberapa kali tarikan napas sampai dia berhasil terhubung dengan sepupunya ini. Dan saat itulah pikirannya langsung jernih, seperti layar televisi yang diperbesar ratusan kali. Suasana hening, segalanya tenang. Sampai akhirnya dia melihat ketiga bayangan itu.
Dipa terperenyak, membuka mata dan langsung memandang ayahnya dengan tak percaya.
“Mereka itu apa, Pa?”
Tapi Jaka tidak menjawab. Begitu tahu Dipa bisa melihat mereka dengan jelas, itu tandanya bahaya sudah semakin dekat, dan beliau harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan mereka bertiga.
“Om Jaka!” pekik Syifa, membuat Dipa terkejut.
Mengerti apa yang terjadi, Jaka segera mempercepat laju mobil. Beliau menekan gas sampai maksimal. Dipa masih tidak mengerti, dia menoleh ke belakang untuk melihat apa yang terjadi.
Awalnya dia hanya melihat kegelapan. Dia merasa sangat aneh dan dalam hati membatin, seharusnya tidak sesepi ini. Seharusnya ada satu atau dua mobil yang berpapasan dengan mereka. Tapi ini sama sekali tidak ada. Perjalanan berkelok-kelok melewati hutan karet di malam hari memang jarang ramai, namun tidak pernah sesepi ini. Apa yang terjadi?
Kemudian perlahan-lahan, Dipa melihat dua sinar lampu yang melaju mendekat dengan kecepatan mengejutkan. Saat itulah dia mencium aroma itu lagi, bahkan kali ini terasa lebih tajam dan membuat pusing.
“Syifa, apakah mereka mengejar kita?” Dipa berusaha menahan rasa mual dan pusingnya. Matanya sampai berair menahan perih. Terlebih lagi dia tidak mengerti kenapa saat ini dia merasa sangat tertekan. Dipa memang selalu lebih sensitif terhadap apa pun, namun tidak pernah sampai seperti ini.
Syifa tidak menjawab, dia hanya memandang Dipa tajam dan tiba-tiba saja air mata menetes dari matanya.
Dipa terkejut melihat air mata sepupunya. Syifa jarang menangis, gadis itu termasuk gadis yang sangat kuat. Bahkan ketika kedua orangtuanya meninggal, Syifa hanya menangis sekali. Ketika Dipa bermaksud menghibur, yang terjadi malah sebaliknya. Gadis itulah yang menghibur dirinya. Jadi, melihat sepupunya saat ini, benar-benar membuat Dipa khawatir.
Dipa bermaksud meraih tangan sepupunya untuk menenangkan, tapi tiba-tiba mobil berguncang sangat hebat. Syifa menjerit keras, menempelkan kedua tangan di telinga. Dipa kaget, matanya langsung nyalang menerobos kegelapan malam di belakang. Biasanya dia tidak bisa memandang apa pun dengan mata telanjang. Bahkan untuk melihat jarak lima meter saja dia memerlukan kacamata. Tapi kali ini, seolah sedang memakai teleskop super, dia bisa melihat sejernih ketika melihat pada siang hari.
Mobil itu semakin mendekat, sebuah Hummer bercat hitam. Dipa heran karena dirinya bisa melihat berapa banyak manusia yang berada di dalam mobil tersebut. Itu pun kalau mereka bisa dibilang manusia, karena aura yang mereka uarkan sangat menyeramkan, seolah mengancam dan menyiksa tanpa ampun untuk mendapatkan apa pun yang mereka inginkan.
“Mereka menyeramkan sekali, Pa!”
“Ooom…,” rengek Syifa.[]
“Syifa, lakukan seperti yang biasa kamu latih. Dan apakah kamu bisa… mendatangkan kabut untuk menghalangi mereka?” ucap Jaka tanpa sedetik pun berpaling dari jalan. Dipa keheranan mendengar permintaan ayahnya. Mendatangkan kabut? Kabut merupakan salah satu fenomena alam di mana uap air yang berada dekat permukaan tanah berkondensasi dan menjadi mirip awan. Hal ini biasanya terbentuk karena hawa dingin membuat uap air berkondensasi dan kadar kelembaban menjadi seratus persen. Jadi, bagaimana caranya gadis itu bisa membuatnya? “Akan aku usahakan, Om,” Syifa mulai mengatur napasnya kembali. Bagaimanapun, tidak seperti Dipa, Syifa sudah cukup terlatih. Dipa melongo, dia benar-benar seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. “Lalu, apa yang harus aku lakukan, Pa?” Mobil bergetar kembali, tapi kali ini disertai hawa dingin dan bau yang menusuk. Dipa menutup hidung, lagi-lagi merasa mual. “Kamu … bisa menyelamatkan kita dari situasi
“Apakah di sini tempatnya?” tanya Jaka begitu menepikan mobil di tengah hutan entah di mana. Dipa terdiam dan mendengarkan suara-suara yang sejak tadi berbisik-bisik padanya. “Iya, di sini. Mereka bilang, area di sini terlalu tertutup lebatnya pepohonan, sehingga para pemburu tidak akan bisa merasakan kita di sini.” Jaka tersenyum. Setelah memarkir mobil, beliau merebahkan kepalanya sebentar dan memejamkan mata. Mata tuanya sudah terlalu lama tidak melihat dalam kondisi seperti tadi, sehingga ia cukup kelelahan. Syifa sama lelahnya seperti Jaka, dia sudah mengerahkan segenap kekuatan, jadi sama sekali tidak bisa bersuara. Dia hanya diam saja sambil memejamkan mata. “Dipa, bisa kau cek situasi sekitar? Mungkin ada air ada buah yang bisa dijadikan makanan,” pinta Jaka dengan mata masih tertutup. Dipa tidak menjawab. Setelah diminta mencarikan tempat persembunyian sementara, dia tidak merasa aneh ataupun takut ketika diminta mencarikan mak
Menunggu merupakan kegiatan yang tidak disukai oleh Dipa. Kalaupun dia biasa menunggu Syifa, dia memiliki hal lain yang bisa dilakukan sambil menunggu, mengerjakan tugas kuliah misalnya. Bukan hanya diam saja tanpa ada kejelasan selanjutnya. “Pa, ayo kita jalan aja sekarang!” desak Dipa ketika mereka sudah menunggu selama lima jam dan matahari sudah berada di puncaknya. Dia sudah bosan bermain game di ponselnya atau melafalkan deret aritmatika di dalam otaknya. Dia bahkan sudah sempat tertidur, namun saat dia terbangun bantuan belum juga tiba. “Sabar, Dipa, pertolongan sedang dalam perjalanan. Papa khawatir mereka masih berada di sekitar sini, menunggu sampai kita keluar dari persembunyian ini. Kalau sampai kita dikejar kembali. Papa tidak yakin kita bisa selamat dari mereka untuk kedua kalinya.” Tentu saja di tengah hutan ini tidak ada sinyal telepon. Oleh sebab itu Pak Jaka memakai gelombang radio untuk meminta bantuan. Untun
“Jadi, kau mewarisi bakat dari klan ibumu?” ucap Eyang Adipramana menatap dirinya seolah sedang menyidik dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dipa mengernyitkan dahinya demi mendengar nada suara yang berkesan menyangsikan dirinya. Melihat Dipa yang tidak menjawab pertanyaan pemimpin keluarga ini, Syifa menyenggol bahu Dipa. Dipa menoleh memandang wajah Syifa dengan heran. “Jawab.” Syifa memberi isyarat dengan gerakan bibir dan matanya. Dipa berdecak, namun dia memilih menuruti kakak sepupunya, “Sepertinya begitu, Eyang.” Kemudian setelah beberapa saat Eyang Adipramana hanya berdiam diri, beliau berbalik dan masuk kembali ke dalam jeep. Dipa menoleh pada Syifa untuk bertanya apa yang baru saja terjadi. Syifa pun hanya mengedikkan bahunya. “Syifa, Dipa, masuk ke mobil. Kita akan jalan sekarang,” perintah Jaka. Beliau pun masuk ke kursi penumpang di sebelah supir. Sebagai gantinya Bagas yang akan mengendarai mobil s
Puluhan kilometer jauhnya, kembali ke ibu kota Jakarta, Taeyang berniat pulang ke rumah keluarganya di Sukabumi. Dia tidak pernah repot membawa pakaian ganti, karena semuanya sudah tersedia di rumahnya. Yang dibawanya hanya laptop dan telepon genggam. Saat awal kuliah, dia indekos tak jauh dari kampus dan Syifa mengetahui tempat kosnya. Namun sejak setahun yang lalu, Taeyang pindah ke apartemen miliknya sendiri. Dan Syifa selalu lupa tentang hal itu. Cowok berpotongan rambut mullet ini baru saja mengetuk kartu parkirnya dan melajukan mobilnya keluar dari areal parkir. Namun sedetik kemudian dia langsung menginjak pedal rem sedalamnya karena seorang gadis tiba-tiba muncul di depan mobilnya. Dia hampir saja menabrak seorang perempuan yang berparas cukup menarik, berkulit coklat eksotis, dengan bibir yang tebal dan bola mata berwarna hazel. Matanya tidak lepas dari menatap wajah perempuan itu. Perempuan itu pun melakukan hal yang sama. Untuk sesaat mereka saling
Dipa ragu-ragu menemui eyang buyutnya. Namun, Syifa yang mendengar permintaan eyang agar Dipa menemui dirinya setelah makan malam, tidak bisa membiarkan cowok itu mangkir. “Aku akan mengantarmu.” Begitu ucap Syifa. Gadis itu menggamit tangan Dipa dan menariknya menuju sisi rumah bagian Timur. Kantor Eyang Adipramana jauh dari ruangan lain, sehingga wilayah rumah ini begitu tenang dan sunyi. Hanya terdengar suara gemericik air dari kolam ikan yang berada di taman dan tepat berada di samping kantor. “Masuk,” ucap Syifa memberi isyarat dengan kepalanya agar Dipa membuka pintu dan masuk ke dalamnya. “Kenapa aku harus masuk? Aku nggak tahu aku salah apa sampai eyang memutuskan untuk mengajakku bicara!” protes Dipa. “Oh my God, Dipa, wake up! Eyang mengajakmu bicara bukan karena kamu melakukan kesalahan. Tapi karena kamu merupakan pewaris elemen. Saat kemampuanku pertama kali muncul, aku sangat ketakutan dan tidak tahu harus melakukan apa.
“Dipa, setelah mendengar kisah ini, bagaimana kalau kau tinggal di sini untuk sementara?” ucap Eyang Adipramana. Dipa terdiam, pikirannya masih fokus dengan kisah cinta segitiga yang baru saja diceritakan oleh kakek buyutnya. Basundari, Erion dan Avanindra. Lalu, hubungannya sama dia apa? Kata Eyang, aku keturunan langsung Basundari dan Avanindra. How cool is that? I don’t know. I never knew about them before. Dipa mengedikkan bahunya, tidak menyadari pandangan heran dari kakek buyutnya. “Bagaimana, Dipa?” tanya Eyang kembali. “Eh, ng,” Dipa pun tersadar. Dia sempat ragu bagaimana menjawabnya. Dia memahami pentingnya pengajaran yang akan diberikan oleh kakek buyutnya. Hanya saja, dia sama sekali tidak menyukai ide tinggal di rumah ini terlalu lama. Tapi selama ada Papa dan Syifa, sepertinya tidak akan ada masalah. “Dipa, udah mau aja. Masalah kuliah kamu gampang, nanti aku yang urus,” ucap Syifa. Dipa
“Pa, kenapa kita ke apartemen?” tanya Dipa saat taksi malah berhenti di depan gedung apartemen jauh dari lokasi rumah mereka. “Ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita. Jadi untuk jaga-jaga, kita akan tinggal di tempat ini. Apartemen ini tidak terdaftar sebagai milik ayah atau kamu. Jadi pasti mereka tidak akan bisa melacaknya,” jawab Jaka membayar taksi dengan dua lembar seratus ribuan. Setelah itu, mereka bertiga turun dari taksi dan menurunkan koper dari bagasi. “Tapi, bagaimana kami bisa kuliah? Semua buku-buku kami ada di rumah,” protes Syifa. Saat ini masih pukul sebelas siang, dia pikir dia masih bisa menghadiri kuliah siang. “Siapa bilang kalian boleh kuliah? Hari ini kalian diam saja di dalam apartemen. Biar Papa yang mengurus semuanya. Papa akan pulang ke rumah dan membawa semua kebutuhan kalian.” “Papa nggak salah ngomong? Bukannya tadi Papa bilang ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita dan pasti sedang mengawa
[Dipa, lo kok nggak kuliah-kuliah?]Begitu isi pesan yang dikirimkan oleh Hendra salah satu teman kuliahnya.[Ada masalah keluarga, Dra. Kuliah gue ketinggalan jauh ya?]Dipa membalas pesan itu. Dia pun gelisah karena pasti ada banyak tugas dan materi yang ketinggalan dia pelajari beberapa hari ini.[Nggak juga, sih! Kalau lo pasti bisa nyusul kok. Cuma lo ditanyain sama dosen. Oh iya, lo juga ditanyain sama Blythe sih!]Dipa menarik napas lega membaca pesan itu. Kalau dipikir-pikir, dia memang selalu dua sampai tiga bab lebih cepat mempelajari materi yang akan dipelajari di kampusnya.[Ada tugas apa aja?][Nanti gue email ke lo. Oh ya, Blythe kayaknya bener-bener khawatir sama lo. Sekarang dia lagi ada di samping gue nih. Mau ngobrol sama dia nggak? Eh, kalian nggak saling tukar nomor hape ya?][Ngobrol sama gue? Ngobrolin apa? Nggak usah deh, jangan! Gue lagi males ngomong. Ya
“Kau pasti tidak mempercayai semua itu?” ucap Jaka tersenyum pada putranya yang saat ini sedang mengernyitkan dahinya, penuh keraguan. “Kalau para penguasa elemen memang sudah ada sejak masa Atlantis, kenapa Atlantis bisa tenggelam? Kan ada pengendali air dan tanah,” tanya Dipa. Jaka menganggukkan kepalanya, Syifa diam-diam menyetujui pertanyaan adik sepupunya. “Alam bisa dikendalikan oleh manusia, tapi bukan berarti alam tunduk pada manusia, karena manusia bukan penciptanya,” jawab Jaka. Dipa terdiam, dia tidak bisa membantah jawaban ayahnya. Hanya saja, dia masih belum merasa puas. “Tapi, apa sebabnya Atlantis tenggelam? Apa yang terjadi pada masa itu?” tanya Syifa kali ini gantian dia yang bertanya. Dia memang pernah mendengar ceritanya, namun saat itu, dia hanya menelan semua legenda yang didengarnya bulat-bulat. Padahal dia tipikal anak yang kritis, namun entah saat itu dia tidak memiliki keinginan untuk menyanggah apapun. Karena
“Pa, kenapa kita ke apartemen?” tanya Dipa saat taksi malah berhenti di depan gedung apartemen jauh dari lokasi rumah mereka. “Ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita. Jadi untuk jaga-jaga, kita akan tinggal di tempat ini. Apartemen ini tidak terdaftar sebagai milik ayah atau kamu. Jadi pasti mereka tidak akan bisa melacaknya,” jawab Jaka membayar taksi dengan dua lembar seratus ribuan. Setelah itu, mereka bertiga turun dari taksi dan menurunkan koper dari bagasi. “Tapi, bagaimana kami bisa kuliah? Semua buku-buku kami ada di rumah,” protes Syifa. Saat ini masih pukul sebelas siang, dia pikir dia masih bisa menghadiri kuliah siang. “Siapa bilang kalian boleh kuliah? Hari ini kalian diam saja di dalam apartemen. Biar Papa yang mengurus semuanya. Papa akan pulang ke rumah dan membawa semua kebutuhan kalian.” “Papa nggak salah ngomong? Bukannya tadi Papa bilang ada kemungkinan mereka sudah mengetahui rumah kita dan pasti sedang mengawa
“Dipa, setelah mendengar kisah ini, bagaimana kalau kau tinggal di sini untuk sementara?” ucap Eyang Adipramana. Dipa terdiam, pikirannya masih fokus dengan kisah cinta segitiga yang baru saja diceritakan oleh kakek buyutnya. Basundari, Erion dan Avanindra. Lalu, hubungannya sama dia apa? Kata Eyang, aku keturunan langsung Basundari dan Avanindra. How cool is that? I don’t know. I never knew about them before. Dipa mengedikkan bahunya, tidak menyadari pandangan heran dari kakek buyutnya. “Bagaimana, Dipa?” tanya Eyang kembali. “Eh, ng,” Dipa pun tersadar. Dia sempat ragu bagaimana menjawabnya. Dia memahami pentingnya pengajaran yang akan diberikan oleh kakek buyutnya. Hanya saja, dia sama sekali tidak menyukai ide tinggal di rumah ini terlalu lama. Tapi selama ada Papa dan Syifa, sepertinya tidak akan ada masalah. “Dipa, udah mau aja. Masalah kuliah kamu gampang, nanti aku yang urus,” ucap Syifa. Dipa
Dipa ragu-ragu menemui eyang buyutnya. Namun, Syifa yang mendengar permintaan eyang agar Dipa menemui dirinya setelah makan malam, tidak bisa membiarkan cowok itu mangkir. “Aku akan mengantarmu.” Begitu ucap Syifa. Gadis itu menggamit tangan Dipa dan menariknya menuju sisi rumah bagian Timur. Kantor Eyang Adipramana jauh dari ruangan lain, sehingga wilayah rumah ini begitu tenang dan sunyi. Hanya terdengar suara gemericik air dari kolam ikan yang berada di taman dan tepat berada di samping kantor. “Masuk,” ucap Syifa memberi isyarat dengan kepalanya agar Dipa membuka pintu dan masuk ke dalamnya. “Kenapa aku harus masuk? Aku nggak tahu aku salah apa sampai eyang memutuskan untuk mengajakku bicara!” protes Dipa. “Oh my God, Dipa, wake up! Eyang mengajakmu bicara bukan karena kamu melakukan kesalahan. Tapi karena kamu merupakan pewaris elemen. Saat kemampuanku pertama kali muncul, aku sangat ketakutan dan tidak tahu harus melakukan apa.
Puluhan kilometer jauhnya, kembali ke ibu kota Jakarta, Taeyang berniat pulang ke rumah keluarganya di Sukabumi. Dia tidak pernah repot membawa pakaian ganti, karena semuanya sudah tersedia di rumahnya. Yang dibawanya hanya laptop dan telepon genggam. Saat awal kuliah, dia indekos tak jauh dari kampus dan Syifa mengetahui tempat kosnya. Namun sejak setahun yang lalu, Taeyang pindah ke apartemen miliknya sendiri. Dan Syifa selalu lupa tentang hal itu. Cowok berpotongan rambut mullet ini baru saja mengetuk kartu parkirnya dan melajukan mobilnya keluar dari areal parkir. Namun sedetik kemudian dia langsung menginjak pedal rem sedalamnya karena seorang gadis tiba-tiba muncul di depan mobilnya. Dia hampir saja menabrak seorang perempuan yang berparas cukup menarik, berkulit coklat eksotis, dengan bibir yang tebal dan bola mata berwarna hazel. Matanya tidak lepas dari menatap wajah perempuan itu. Perempuan itu pun melakukan hal yang sama. Untuk sesaat mereka saling
“Jadi, kau mewarisi bakat dari klan ibumu?” ucap Eyang Adipramana menatap dirinya seolah sedang menyidik dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dipa mengernyitkan dahinya demi mendengar nada suara yang berkesan menyangsikan dirinya. Melihat Dipa yang tidak menjawab pertanyaan pemimpin keluarga ini, Syifa menyenggol bahu Dipa. Dipa menoleh memandang wajah Syifa dengan heran. “Jawab.” Syifa memberi isyarat dengan gerakan bibir dan matanya. Dipa berdecak, namun dia memilih menuruti kakak sepupunya, “Sepertinya begitu, Eyang.” Kemudian setelah beberapa saat Eyang Adipramana hanya berdiam diri, beliau berbalik dan masuk kembali ke dalam jeep. Dipa menoleh pada Syifa untuk bertanya apa yang baru saja terjadi. Syifa pun hanya mengedikkan bahunya. “Syifa, Dipa, masuk ke mobil. Kita akan jalan sekarang,” perintah Jaka. Beliau pun masuk ke kursi penumpang di sebelah supir. Sebagai gantinya Bagas yang akan mengendarai mobil s
Menunggu merupakan kegiatan yang tidak disukai oleh Dipa. Kalaupun dia biasa menunggu Syifa, dia memiliki hal lain yang bisa dilakukan sambil menunggu, mengerjakan tugas kuliah misalnya. Bukan hanya diam saja tanpa ada kejelasan selanjutnya. “Pa, ayo kita jalan aja sekarang!” desak Dipa ketika mereka sudah menunggu selama lima jam dan matahari sudah berada di puncaknya. Dia sudah bosan bermain game di ponselnya atau melafalkan deret aritmatika di dalam otaknya. Dia bahkan sudah sempat tertidur, namun saat dia terbangun bantuan belum juga tiba. “Sabar, Dipa, pertolongan sedang dalam perjalanan. Papa khawatir mereka masih berada di sekitar sini, menunggu sampai kita keluar dari persembunyian ini. Kalau sampai kita dikejar kembali. Papa tidak yakin kita bisa selamat dari mereka untuk kedua kalinya.” Tentu saja di tengah hutan ini tidak ada sinyal telepon. Oleh sebab itu Pak Jaka memakai gelombang radio untuk meminta bantuan. Untun
“Apakah di sini tempatnya?” tanya Jaka begitu menepikan mobil di tengah hutan entah di mana. Dipa terdiam dan mendengarkan suara-suara yang sejak tadi berbisik-bisik padanya. “Iya, di sini. Mereka bilang, area di sini terlalu tertutup lebatnya pepohonan, sehingga para pemburu tidak akan bisa merasakan kita di sini.” Jaka tersenyum. Setelah memarkir mobil, beliau merebahkan kepalanya sebentar dan memejamkan mata. Mata tuanya sudah terlalu lama tidak melihat dalam kondisi seperti tadi, sehingga ia cukup kelelahan. Syifa sama lelahnya seperti Jaka, dia sudah mengerahkan segenap kekuatan, jadi sama sekali tidak bisa bersuara. Dia hanya diam saja sambil memejamkan mata. “Dipa, bisa kau cek situasi sekitar? Mungkin ada air ada buah yang bisa dijadikan makanan,” pinta Jaka dengan mata masih tertutup. Dipa tidak menjawab. Setelah diminta mencarikan tempat persembunyian sementara, dia tidak merasa aneh ataupun takut ketika diminta mencarikan mak