Berhari-hari sejak hari itu, Elang lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang obat. Istana Damar Langit yang makmur, berlimpah dengan berbagai macam bahan herbal. Gusti Prabu telah memberinya izin menggunakan semua fasilitas yang ada untuk uji coba membuat ramuan mujarab.
Hanya berbekal buku pengobatan yang diwariskan dari sang Ayah yang telah tiada, Elang mendapatkan pengetahuan tentang berbagai jenis herbal, rimpang maupun jenis bunga tertentu yang mempunyai manfaat untuk perawatan kulit.Aah, untung saja dia mempunyai seorang ayah yang bisa diandalkan.“Baru kali ini aku serius membaca dan mempelajari kitab peninggalan ayah,” gumamnya lirih.Ada sedikit penyesalan, karena buku itu biasanya dibiarkan sampai berdebu tanpa pernah dibuka. Elang terlalu sibuk membantu tabib senior yang selalu menyuruhnya melakukan ini dan itu.“Aku selalu mengabaikanmu selama ini, sekarang aku mengandalkanmu. Tolong bantu aku selamat dari hukuman Gusti Prabu, ya,” keluhnya menyesal, berbicara sendiri di depan kitab pengobatan kuno peninggalan sang Ayah.Di hadapannya sudah tersedia akar wangi, cendana, klabet, kenanga, dan kemenyan. Dia akan melumatkan bahan-bahan itu untuk uji coba yang ke sekian kali.“Semoga kali ini berhasil.” Elang menghela napas panjang. Tak lupa memanjatkan doa sebelum memulai menumbuk bahan-bahan tersebut.Dari buku peninggalan sang Ayah, dia mengetahui manfaat dari akar wangi yang bisa mempercepat hilangnya bekas luka. Elang sudah menyulingnya untuk mendapatkan minyak esensial dari akar wangi tersebut.Cendana juga mempunyai khasiat membantu proses penyembuhan luka pada kulit. klabet juga demikian, dia mempunyai manfaat alami mencerahkan kulit dan menjadikannya awet muda. Kenanga dan kemenyan juga mempunyai fungsi yang bagus untuk kulit yaitu melembabkan dan membunuh kuman yang ada di dalam luka. Elang mendapatkan pengetahuan dari membaca buku peninggalan ayahnya tersebut.Masing-masing bahan herbal itu tersedia di ruangan obat istana dalam keadaan kering. Elang akan menumbuknya satu persatu.Elang mulai sibuk menumbuk bahan itu dengan harapan yang tinggi. Tak memedulikan waktu, padahal malam telah merangkak naik.Di luar sana, angin berembus cukup kencang, membuat daun-daun berjatuhan seperti musim gugur. Ditambah dengan suara burung hantu yang sejak tadi menyapa indra dengar, menambah suasana malam makin mencekam.Dia harus bekerja keras. Bagaimana pun semua penghuni di sudut istana ini sudah tahu dialah yang menjadi harapan kesembuhan bagi kecantikan Raden Ayu. Meski di sudut hatinya, dia juga bisa merasakan ada rencana jahat dibalik semua ini.Namun, apa yang bisa diperbuatnya. Dia hanyalah rakyat kecil yang mungkin harus rela jika hanya dijadikan sebagai tumbal kepentingan dari ‘orang-orang besar’ di Istana.Binar bahagia terpampang jelas di wajah Elang ketika berhasil menyelesaikan ramuan. Dia akan mencobanya terlebih dahulu pada wajah beberapa pelayan istana, seperti biasa untuk uji coba.“Sekarang, saatnya tidur,” gumamnya begitu sampai di pondokan yang berada di kawasan ruang pengobatan istana. Kawasan yang hanya diperuntukkan sebagai tempat tinggal para tabib istana dan keluarganya.***Berita mengenai Elang Taraka yang didaulat oleh Gusti Prabu untuk membuat ramuan mujarab yang bisa menyembuhkan Raden Ayu Kenes Kirana telah tersebar di setiap sudut istana. Layaknya jamur di musim hujan, berita itu menjadi perbincangan para abdi dalem di sela mereka mengerjakan tugas masing-masing.Bagi profesi Tabib Istana, diberi tugas untuk mengobati anggota inti raja adalah berkah sekaligus kutukan dalam waktu bersamaan.Bisa menjadi berkah ketika Tabib itu berhasil melaksanakan tugas dengan baik. Anggota kerajaan puas dengan pekerjaannya, maka tabib itu akan menerima penghargaan besar. Hadiah yang akan diberikan padanya tidak main-main.Begitu juga sebaliknya, tugas ini akan menjadi kutukan, apabila Elang gagal melaksanakan tugas. Alih-alih akan mendapatkan penghargaan, bahkan dia akan mendapatkan hukuman berat.Layak, kalau Elang kali ini bekerja sampai tak mengenal waktu. Semua demi nyawanya supaya tidak lepas dari tubuh di usianya yang masih begitu muda."Elang benar-benar beruntung, karena dia mendapatkan anugerah untuk menyembuhkan Raden Ayu Kenes Kirana," ujar Gentala Wisesa."Heh, itu bukan anugerah. Kamu pikir Elang itu mampu membuat ramuan itu? Dia belum punya pengalaman yang memadai." Agra menyahut dengan wajah tidak senang.Keduanya adalah teman seangkatan dengan Elang Taraka. Mereka adalah asisten tabib senior di kawasan ruang pengobatan istana Damar Langit. Ada beberapa tabib senior yang masing-masing mempunyai asisten."Jangan-jangan kamu iri, kamu ingin posisi Elang, kan?" sahut Gentala Wisesa sambil menyeringai."Itu pendapatku, Elang ndak seharusnya mengemban tugas itu. Kenapa harus Elang?" balas Agra tidak senang karena dituduh iri dengan Elang."Sudahlah, sebaiknya kita membantu Elang.""Membantu? Kamu ndak sadar telah membahayakan dirimu sendiri jika kita ikut terlibat?" tolak Agra kasar."Kamu ndak setia kawan, Agra." Gentala Wisesa segera meninggalkan Agra dengan kesal."Bukan tentang setia kawan atau tidak, Genta. Nyawa kita taruhannya, jika Elang salah obat. Kamu sudah siap digantung di alun-alun?" Agra berkata acuh tak acuh."Sembarangan, kamu jahat sekali mendoakan kejelekan untuk teman sendiri.""Terserah kamu saja!" Agra bergeming di tempatnya.Kini Asisten tabib muda itu melangkah menuju bilik tempat tinggal Elang Taraka di sudut istana.Gentala Wisesa, biasa dipanggil dengan sebutan Gentala. Pemuda berjambang tipis, mata sipit dan wajah oriental turunan kakek neneknya.Gentala merupakan orang terdekat dengan Elang di istana. Sikapnya yang baik hati, mudah bergaul membuat persahabatan keduanya bertahan lama hingga sekarang. Namun, ada yang menarik hati Gentala ketika Elang sibuk dengan racikannya. Dia berniat membantu sahabatnya itu."Lang, akhir-akhir ini kamu kurang beristirahat, mari kubantu!" ucap Gentala menawarkan bantuan.Saat ini, Gentala bertugas menjadi Asisten Tabib untuk mengobati para Prajurit kerajaan. Sudah ada pembagian tugas, disesuaikan dengan keahlian dari masing-masing Tabib. Ada Tabib yang khusus untuk mengobati keluarga kerajaan, Tabib mengobati para Dayang juga Tabib yang khusus mengobati para Prajurit. Semuanya sudah ada bagian masing-masing."Genta, sebaiknya kamu jangan terlibat dalam masalah ini. Benar, apa yang dikatakan Agra. Kalau aku gagal dalam tugas ini, kamu akan terlibat jika ikut membantuku!" tegas Elang menolak tawaran dari teman dekatnya.Gentala hanya tertawa kecil mendengar jawaban Elang. “Aku percaya dengan kemampuanmu, Lang. Jangan berprasangka buruk pada nasib baikmu ini!” hibur Gentala"Entahlah, semuanya seperti mimpi. Tiba-tiba mendapatkan tugas yang tidak masuk akal.” Elang berkata lemah. Ingin sekali dia mengatakan bahwa ada seseorang yang mengincarnya, tapi … dia tidak mendapatkan cukup bukti. Jadi, lebih baik Elang diam saja.Mata Gentala terus memperhatikan bahan-bahan herbal yang telah Elang siapkan di dekat lumpang.Lalu dia meraihnya satu demi satu untuk mencium bau dari bahan-bahan herbal itu. Itulah keahlian Tabib dalam meramu obat. Hanya dengan mencium baunya dia akan mengenali manfaat dari bahan itu.Sebuah keahlian yang harus terus diasah supaya hidung menjadi sensitif."Darimana kamu tahu kalau bahan-bahan ini memiliki manfaat untuk menyembuhkan penyakit kulit?" tanya Gentala heran."Ada bau khas yang telah kuhafal," Elang menjawab pelan. Sedikit berbohong, padahal dia hanya mengetahuinya dari membaca kitab pengobatan peninggalan ayahnya.Gentala manggut-manggut mendengar penjelasan Elang."Aku ndak nyangka, kemampuanmu sudah meningkat cepat, Lang. Sementara aku masih tertinggal jauh. Kamu memang layak mendapatkan kepercayaan Gusti Prabu.” Gentala selalu saja mempunyai pandangan positif. Dia menganggap bahwa Elang telah mendapatkan berkah dari Gusti Prabu Maheswara Kamandaka."Jangan berlebihan. Kemampuanmu jauh lebih tinggi."Elang tahu jika Gentala Wisesa sedang memujinya secara berlebihan. Padahal, asisten satu angkatannya itu pun punya kemampuan sepadan."Nggak juga." Gentala menjawab santai. Setelahnya dia celingukan. Gentala seperti sedang mencurigai sesuatu."Kamu kenapa?" tanya Elang dengan matanya yang mengikuti pergerakan Gentala."Ada yang bermaksud jelek padamu." Gentala berdiri, tanpa kata dia buru-buru pergi dan menjauh dari ruangan di mana Elang meracik ramuan.Elang terpaku. Apakah Gentala pun mencurigai seseorang sama sepertinya?Bersambung“Dayaaang ...." Suara lengkingan itu sejenak membuat aktivitas para Dayang di Kaputren terhenti. Dalam sekejap mata, mereka lari tunggang langgang menuju ke ruangan pribadi Raden Ayu Kenes Kirana."Mohon ampun, Raden Ayu. Kami datang menghadap," ucap salah seorang Dayang dengan suara bergetar. Terlihat wajah ketakutan di sana.Ada hal apa yang membuat sang Putri begitu tidak berkenan hatinya? Tak biasanya, Raden Ayu Kenes Kirana segusar ini memanggil mereka. "Dayang, kenapa wajahku seperti ini?" Tadi malam, mereka membalurkan ramuan buatan Elang di wajah Raden Ayu. Begitu bangun pagi, jerawat yang meradang di wajah sang Putri bukannya berkurang, malah makin bengkak parah. Kini, tak terlihat lagi sisa kecantikan Raden Ayu Kenes Kirana yang kecantikannya sudah dikenal di seantero Damar Langit. Yang tersisa hanyalah wajah yang dipenuhi jerawat meradang kemerahan, mengerikan.“Kenapa jadi begini, Dayang? Huwaaa….”Kehebohan di Istana Keputren, tempat tinggal Raden Ayu Kenes Kirana pagi
Rombongan para Prajurit membawa Elang Taraka ke penjara. Di sepanjang perjalanan menuju penjara, banyak pasang mata yang menyaksikan Elang Taraka diarak seperti layaknya pesakitan.Tak ada lagi tatapan kekaguman seperti beberapa hari yang lalu dari wajah-wajah mereka. Sebelumnya, Elang mendapatkan puja-puji karena mendapatkan anugerah untuk membuatkan ramuan obat bagi sang Putri. Sebuah anugerah yang membuat orang merasa iri, tapi hari ini semua sirna berganti dengan cemoohan."Sayang sekali, dia mendapatkan nasib sial.""Masih begitu muda, tampan lagi. Sayangnya harus masuk penjara."Ucapan-ucapan senada terdengar dari berbagai sudut. Kasak-kusuk yang menyebar dari mulut ke mulut itu spontan menjalar seperti jamur di musim hujan. Sehingga nama Elang Taraka sebagai asisten tabib yang gagal menjalankan tugas sudah terdengar di seluruh pelosok negeri.Elang Taraka berkali-kali harus mengelus dada, mendengar semua kasak-kusuk itu. Kadang manusia itu sibuk menghukumi orang lain, padahal b
Di ruang obat Istana, Agra Gajendra beberapa kali melirik tempat dimana beberapa hari terakhir ini, Elang menghabiskan waktu untuk membuat ramuan. Masih ada tersisa beberapa bahan herbal di sana. Setelah memastikan tidak ada orang, Agra mengayunkan langkah mendekati tempat dimana Elang menghabiskan waktu selama beberapa hari ini.“Cendana dan Akar wangi?” lirihnya setelah mencium bahan herbal yang ada di sana. Agra mencium tempat Elang menumbuk bahan-bahan herbal yang digunakan untuk mengobati sang Putri. Tabib mempunyai penciuman yang sangat sensitif. Dia bisa membedakan beberapa jenis bahan herbal yang terkandung dalam sebuah ramuan dengan akurat. Semua itu karena mereka melatih penciuman mereka selama bertahun-tahun. Sebagai asisten tabib, Agra juga harus mempunyai kemampuan dasar ini.Ketika Agra baru saja meletakkan lumpang kecil yang digunakan Elang, Gentala Wisesa tiba-tiba sudah berada di sana dengan wajah kaget.“Agra? Untuk apa kamu di sini?” sapa Gentala begitu melihat A
Seorang gadis melangkah dengan anggun menuju Kaputren dimana Raden Ayu Kenes Kirana tinggal. Di belakangnya, berbaris beberapa Dayang yang mengiringi langkah. Wajah semringah terpancar menguarkan aura kebahagiaan yang tak sanggup dideskripsikan dengan aksara. Sesekali dia tersenyum, sesekali bernyanyi, rasa bahagia tak tertandingi membuat suasana hatinya begitu riang.Dia adalah Gendhis Widuri. Malam ini putri kedua dari Gusti Prabu Maheswara Kamandaka itu berniat mengunjungi saudari tirinya yang sedang ditimpa bencana."Belum pernah aku sebahagia ini sebelumnya," gumamnya."Lanjar, sekarang aku telah menjadi yang paling cantik, bukan?" bisiknya pada salah satu Dayang pribadinya."Raden Ayu, jangan keras-keras. Dinding istana ini punya banyak telinga." Lanjar berbisik mengingatkan. Semua penghuni Keputren jelas-jelas bersaing, meski tak kentara. Jika didengar oleh orang lain, bisa-bisa akan memancing di air keruh. Akan ada masalah yang timbul merepotkan mereka.Gendhis menutup bibir d
Ayam jantan berkokok saling bersahut-sahutan, membangunkan penduduk kerajaan Damar Langit dari peraduan yang hangat. Kicauan burung cucak rowo yang bernyanyi di dahan pohon, menambah syahdu suasana pagi.Sialnya, suasana syahdu pagi ini sangat bertolak belakang dengan nasib malang Elang Taraka.Sejak matanya terbuka, atau lebih tepatnya dipaksa terbuka oleh tendangan Prajurit penjaga penjara, dia sudah harus kembali bergumul dengan rasa ngilu di seluruh tubuhnya yang terluka. Lebih mengenaskan lagi, ketika dia mulai diarak berjalan menuju alun-alun istana untuk diadili. Dia hanya bisa pasrah menjadi tontonan orang-orang, layaknya seorang penjahat kelas kakap.Sungguh keadaan yang sangat mengenaskan.Pemuda yang tubuhnya penuh luka itu hanya pasrah ketika Prajurit menyuruhnya duduk bersimpuh di tanah, untuk diadili. Gusti Prabu Maheswara Kamandaka sengaja mengadakan peradilan terbuka di alun-alun Istana, sebagai peringatan bagi siapapun yang mempunyai niat buruk mencelakai keluarga ker
"Hooo ....""Hooo ...."Siulan burung hantu di tengah malam buta serupa suara kematian yang mengkerdilkan jiwa yang larut dalam ketakutan. Banyak orang lebih memilih untuk merapatkan diri dalam hangatnya selimut, menyelami mimpi indah di peraduan.Suasana malam ini sangat lengang. Sesekali hanya terdengar suara derap sepatu Prajurit yang berkeliling di istana. Selebihnya hanya sunyi mencekam.Di Istana Kaputren, Kenes masih terduduk di pembaringan indahnya. Sepasang manik abu-abu miliknya masih bersinar indah, belum menandakan ada rasa kantuk di sana.Hal ini sangat bertolak belakang dengan penghuni istana yang lain, yang sudah terlelap dalam dunia mimpi. Kenes malam ini malah tidak bisa tidur sama sekali.Baru kali ini dia merasakan ada dilema antara hati dan logikanya sendiri. Jika digambarkan, sesungguhnya sedang terjadi perang besar antara hati dan logika yang ada dalam dirinya. Keduanya saling menyerang satu sama lain layaknya musuh."Kenapa aku jadi kepikiran tentang dia?" gumam
Matahari yang mulai menyingsing dari peraduannya kini terlihat menyemai cahaya untuk para penduduk bumi kerajaan Damar Langit. Satu persatu para penghuni istana mulai beraktifitas di tempat tugas masing-masing. Dapur istana yang tadinya berselimut dingin, menghangat karena kobaran tungku tanah mulai dipakai memasak hidangan mewah untuk keluarga kerajaan.Hiruk pikuk penduduk sekitar istana, seakan tak terpengaruh dengan Elang yang tengah dirundung derita. Sungguh kejam, tak ada seorang pun yang memedulikannya. Alam semesta tetap berputar seperti biasa. Elang memang hanya seonggok debu atau sampah tidak berguna yang tersungkur di bilik sangkar besi.Ini adalah hari pengadilan kedua untuknya. Prajurit kalap memukuli Elang karena pemuda itu tidak segera bangkit, ketika panggilan namanya bergema di ruang bawah tanah yang sempit dan pengap tak segera mendapatkan tanggapan.Elang tertatih. Sekuat tenaga berusaha bangkit, menahan ngilu. Semalaman dia benar-benar tidak bisa tidur barang sek
Alun-alun kota raja kerajaan Damar Langit masih dipenuhi kerumunan manusia. Mereka ingin menyaksikan iring-iringan Prajurit yang akan mengawal Elang Taraka menuju tempat pengasingan. Wono Daksino, hutan yang terkenal angker dan wingit.Di barisan paling depan ada kereta istana yang terlihat begitu jumawa, ditarik oleh kuda-kuda pilihan. Sepasang kuda hitam milik kanjeng Senopati Raden Mas Bratasena. Dia diberi tugas oleh Gusti Prabu untuk memastikan tahanan tidak melarikan diri dari hukuman berat yang dijatuhkan padanya."Prajurit, Gusti Prabu sudah membuat keputusan mengasingkan Elang Taraka di Wono Daksino. Mari kita bersiap berangkat!" Raden Mas Bratasena memberi aba-aba dengan wajah datar."Siap." Serentak mereka menjawab titah dari sang Senopati.Para Prajurit yang akan mengawal Kanjeng Senopati berbaris tampak megah dan gagah berani. Bertolak belakang dengan Elang yang diikat kedua tangannya, berjalan terlunta-lunta dengan telanjang kaki, mengenaskan.Elang diarak meninggalkan a
Gendhis terus berlari mengabaikan perintah sang Ibunda Selir yang terus memanggilnya tanpa jeda. Dia terus melangkah menjauh, karena hanya itu yang dia inginkan saat ini. Dia ingin pergi dari istana sejauh mungkin. Bulir-bulir air mata yang jatuh dari mata indah milik Gendhis menjadi saksi pilu. Bahwa, hatinya terluka melihat ayahandanya diperlakukan bagai tawanan di istana miliknya sendiri. Genangan basah itu semakin menganak sungai di wajah mulusnya. Sementara, tubuhnya naik turun oleh gerakan tangis yang begitu menyayat. Tidak bisa dibayangkan, jika Ibunda Selir dengan tega melakukan itu semua pada ayahandanya hanya demi tahta. Gendhis kecewa. Dalam benaknya, gadis itu tengah merutuki apa yang terjadi di ruang penjara bawah tanah. Bagaimana angkuh dan jumawanya seorang Gayatri ketika menyaksikan Gusti Prabu dan Gusti Ratu yang tengah menderita. Gendhis merasakan kemarahan dan kekecewaan yang berat terhadap Gayatri dan Senopati. Benar, jika Gendhis selalu iri melihat kecan
Hari ini mentari bersinar terik di seluruh penjuru Damar Langit. Sepasang anak muda tengah memacu kuda di jalanan tanah berhiaskan bebatuan. Mereka terus memacu kuda menuju Istana Damar Langit. Elang sama sekali tidak bisa menggoyahkan niat Kenes Kirana yang ingin melihat kondisi Kota Raja. "Hiyaa. Hiyaa." Suara derap sepatu kuda yang beradu dengan tanah terdengar memecah kesunyian di sepanjang jalan yang mereka lalui. Angin yang bertiup semilir seiring dengan laju kuda. Seolah mengalihkan hawa panas yang terasa menyengat membakar kulit mereka. Wajah putih seorang Raden Ayu Kenes Kirana tampak memerah, menjadikannya terlihat merona menggemaskan. Tepat ketika matahari tepat di atas kepala, si gadis sudah tidak tahan lagi untuk meneruskan perjalanan. Dia sudah tidak sanggup menahan panas yang menyengat kulit indahnya. "Elang, bisakah kita berteduh dulu? Duh, kulitku terlihat kusam," rengek gadis itu menyadari warna kulitnya. Ini pertama kali dirinya berkelana di alam liar ta
Istana terlihat sangat sibuk. Semenjak Senopati telah mendeklarasikan dirinya sebagai Raja. Dia sibuk menyiapkan kekuatan militer untuk memastikan semua sesuai dengan keinginannya. Para telik sandi telah memberi kabar padanya bahwa pasukan Patih Arya Wursita tidak bersedia patuh. Dia khawatir Arya Wursita akan bergabung dengan pasukan Tumenggung Mahawira dan menyusun kekuatan untuk menyerang kota raja.Para prajurit yang berada di bawah kendali Senopati berlatih dengan penuh semangat. Senopati sendiri turun tangan untuk memberi dorongan semangat pada prajuritnya. "Kita perjuangkan Istana ini, sampai titik darah penghabisan. Siap?" pidatonya berapi-api."Siap." Serentak para Prajurit menjawab ucapan Kanjeng Senopati.Suara pekikan semangat para Prajurit terdengar membahana membelah cakrawala.Tidak berbeda dengan bagian depan istana, para Tabib juga tidak kalah sibuk. Mereka menyiapkan obat-obatan untuk persiapan jika perang telah pecah, pasti akan ada banyak Prajurit yang terluka.Ag
Sepasang anak muda itu terjebak dalam keheningan yang memekakkan telinga. Ada begitu banyak kalimat yang ingin dimuntahkan Elang pada Kenes yang suka bertindak tanpa berpikir panjang, tapi melihat situasinya saat ini dia hanya bisa menelan kembali dengan pahit.Sementara Kenes dengan statusnya yang tinggi, sepanjang hidupnya tak ada yang berani menyalahkan, mana mungkin bersedia merendahkan dirinya untuk meminta maaf. Elang hanya bisa menyimpan rasa kesal di dalam hati, tidak tega memarahi gadis cantik yang masih berdiri dengan kepala tertunduk."Apa masih ingin melarikan diri dariku?" sindirnya sembari melipat tangan di depan dada.Bukannya menjawab, Kenes mendengkus sebal. Bibirnya mengerucut. Mana mungkin dia tidak paham dengan kalimat sindiran ini. "Aku pergi dulu!" Elang melangkah pergi. Namun, baru beberapa langkah, suara Kenes sudah terdengar."Elang." Langkah pemuda itu terhenti.Dia hanya berdiri tanpa suara, menunggu putri Maheswara Kamandaka itu melanjutkan kalimatnya."K
Apa yang saat ini terjadi padanya sungguh hal yang tak ada di dalam perhitungan Kenes. Sebelumnya, dia hanya merasa harus membuktikan kebenaran kabar yang didengarnya dengan datang sendiri ke Kota Raja. Sama sekali tidak memperhitungkan ada begitu banyak bahaya mengintainya sepanjang jalan menuju ke Kota Raja yang begitu jauh.Seorang dengan status Demang rendahan berani sekali menggoda, bahkan terang-terangan mengancamnya. Sungguh tidak bisa dimaafkan!"Saya bisa melindungi diri sendiri, sampeyan tidak perlu mengkhawatirkan saya," tolaknya tegas.Mana mungkin Kenes tidak mengerti setiap kalimat yang diucapkan oleh Demang itu mengandung niat buruk. Jika tetap tinggal, justru membahayakan dirinya sendiri."Ha-ha-ha, ternyata seorang gadis yang galak dan keras kepala. Baiklah, jika bersikeras melanjutkan perjalanan, aku tidak akan menghalangi," ucapnya sambil menyeringai. Ada kilat licik yang sempat ditangkap Kenes dari tatap matanya. "Terima kasih." Kenes menjawab acuh tak acuh.Pria
"Kenes, tolong tumbukkan rimpang dan herbal ini!" "Kenes, tolong ambilkan air di sebelah sana!" "Kenes, jangan bergerak begitu lambat, kamu harus bergerak cepat saat mengobati pasien!" Hari ini Kenes sangat sibuk disuruh-suruh melakukan ini dan itu. Ada begitu banyak hal yang diperintah oleh Elang Taraka untuknya. Pemuda tampan itu menurunkan titah dan memperlakukan seorang putri raja, sebagaimana kacung rendahan. Kendati sebesar apapun rasa kesal yang membuncah di dada Kenes Kirana, gadis itu mencoba bersabar. Ada begitu banyak orang sakit yang ada di pendopo ini. Mana mungkin dia tega mempermasalahkan sikap Elang. Bisa-bisa dia akan mendapatkan label buruk dari rakyatnya sendiri nantinya.Setengah hari dia terus berputar seperti gasing melakukan ini dan itu, Kenes akhirnya kelelahan.Tubuhnya dilanda rasa penat yang sangat. Setelan pabrik tubuh seorang Tuan Putri seperti dirinya adalah menerima pelayanan dari begitu banyak orang di Keputren, bukan melayani orang lain. Dia tidak
"Kalau begitu, katakan padaku, kamu memilih untuk mati dengan cara bagaimana?" Elang berkata jengkel. Gadis ini seharusnya mengucapkan terima kasih padanya, bukan malah menuduhnya sebagai penjahat. Kenes membuang wajah sambil memberengut. Tidak menyangka Elang berani berkata begitu padanya. Apa dia lupa, saat ini sedang bicara dengan Putri Raja Damar Langit? "Kenapa? Kamu tidak percaya padaku kalau aku bisa melemparmu ke bawah sana sekarang?" tambah Elang menantang. Sesekali, gadis ini memang harus diberi pelajaran, supaya tidak bersikap sesuka hati. "Kamu berani? Kamu akan menjadi buronan seluruh kerajaan Damar Langit jika berani bersikap kurang ajar padaku!" Kenes membalas kasar. "Tentu saja aku berani! Kamu jangan menantangku!" Ingin sekali Elang memukul kepala gadis cerewet ini, kesal. Kenes mendengkus sebal. Melihat ekspresi serius Elang saat mengatakan akan melemparnya ke bawah, Kenes mendadak ngeri. Lebih baik dia menahan diri dan mengomel lagi setelah turun dari punggung
Elang sama sekali tidak menyangka Kenes Kirana justru akan melakukan hal yang kontra produktif dengan rencananya. Setelah berhasil masuk ruangan untuk bertemu dengan Kenes dengan susah payah, gadis itu malah melaporkannya pada penjaga. "Gusti Putri, aku datang untuk menyelamatkanmu!" dengkus Elang tak berdaya."Menyelamatkan dari apa? Aku aman di sini!" balasnya masih dengan tatapan curiga.Pemuda tampan berambut panjang itu hanya bisa membuang napas gusar. Ucapan sudah terlanjur keluar tak bisa ditarik lagi. Suaranya begitu jelas menyapa indra dengar para pengawal yang berjaga dengan penuh kewaspadaan di luar. "Maaf, Raden Ayu. Aku terpaksa melakukannya!" Elang Taraka menotok titik akupuntur Raden Ayu. Daripada Kenes akan bertindak di luar kontrol Elang, lebih baik dia membuat Kenes pingsan saja. Tak ingin memperpanjang dialog yang tidak berguna.Bersamaan dengan itu, terdengar derap suara langkah kaki memasuki ruangan dengan tergesa-gesa."Kurang ajar! Orang jahat berani masuk ke
Burung rajawali raksasa terbang melayang di cakrawala berputar-putar di langit Kahuripan. Kepakan sayapnya menampar angin yang menciptakan deru yang berisik. “Kamu yakin ini Desa Kahuripan?” tanya Elang memastikan. Elang yang tampak duduk dengan tenang di punggung rajawali, bersikap waspada. Dia belum sembuh dari keterkejutan. Dirinya sendiri masih belum percaya sepenuhnya dengan apa yang dialaminya saat ini. Sehebat inikah bisa menguasai ajian gineng? Tidak disangka sebuah keluhan ringan untuk bisa terbang menuju Kahuripan didengar oleh burung ini."Kamu bisa lihat di sebelah sana, di rumah itu orang yang kamu cari disekap," balasnya."Hey, kamu bahkan bisa mengerti apa yang sedang kupikirkan?" Elang mengelus kepala rajawali raksasa dengan tatapan curiga.Rajawali tidak menjawab. Dengan pongah dia mencari tempat nyaman untuk mendarat.Langit yang sehitam tinta menyamarkan keberadaan mereka. Orang yang di bawah seakan tak terpengaruh. Suasana tetap lengang. Kesunyian melanda hanya t