“Dayaaang ...."
Suara lengkingan itu sejenak membuat aktivitas para Dayang di Kaputren terhenti. Dalam sekejap mata, mereka lari tunggang langgang menuju ke ruangan pribadi Raden Ayu Kenes Kirana."Mohon ampun, Raden Ayu. Kami datang menghadap," ucap salah seorang Dayang dengan suara bergetar. Terlihat wajah ketakutan di sana.Ada hal apa yang membuat sang Putri begitu tidak berkenan hatinya? Tak biasanya, Raden Ayu Kenes Kirana segusar ini memanggil mereka."Dayang, kenapa wajahku seperti ini?" Tadi malam, mereka membalurkan ramuan buatan Elang di wajah Raden Ayu. Begitu bangun pagi, jerawat yang meradang di wajah sang Putri bukannya berkurang, malah makin bengkak parah. Kini, tak terlihat lagi sisa kecantikan Raden Ayu Kenes Kirana yang kecantikannya sudah dikenal di seantero Damar Langit. Yang tersisa hanyalah wajah yang dipenuhi jerawat meradang kemerahan, mengerikan.“Kenapa jadi begini, Dayang? Huwaaa….”Kehebohan di Istana Keputren, tempat tinggal Raden Ayu Kenes Kirana pagi ini segera tersebar sampai Balairung Istana. Gusti Prabu Maheswara Kamandaka dan Gusti Ratu sampai harus bergegas untuk menenangkan sang Putri.Begitu sampai di sana, kamar Raden Ayu sudah porak poranda seperti kapal pecah. Cermin indah yang terletak di sudut ruang sudah pecah berantakan. Raden Ayu menghancurkan cermin kesayangannya hanya karena dia kecewa melihat wajahnya yang berubah mengerikan.Para Dayang juga tak bisa berbuat apa-apa, mereka hanya duduk bersimpuh di lantai, tak berani mengangkat wajah saking takutnya.Semalam, mereka yang membalurkan ramuan ke wajah Raden Ayu. Sudah pasti, mereka akan mendapatkan hukuman dari Gusti Prabu karena kesalahan itu.“Ada apa ini? Katakan padaku dengan jelas!” Gusti Prabu menatap gusar pada para Dayang yang duduk bersimpuh di sana.“A-ampun, Gu-gusti Prabu. Semalam, kami membalutkan ramuan obat yang dibuat oleh asisten tabib istana. Katanya, ini adalah obat untuk wajah Raden Ayu. Ternyata, pagi ini … bukannya sembuh, Sakit Raden Ayu makin parah,” lapor salah satu Dayang mewakili.Gusti Ratu sudah memeriksa wajah Kenes Kirana yang meradang kemerahan. Tak berani menyentuh, takut makin memperparah sakitnya.“Kangmas, ini memang lebih parah dari sebelumnya!” ucap Gusti Ratu dengan nada sedih. Sebagai sesama wanita, Gusti Ratu bisa merasakan apa yang saat ini dirasakan putrinya.Gusti Prabu membuang napas gusar.“Bawa sisa ramuan yang kalian gunakan semalam ke sini!” titahnya.“Kamu! Panggil tabib senior ke sini!” Gusti Prabu akan melakukan investigasi secara pribadi. Dia curiga, ada masalah dengan ramuan yang dibuat oleh Elang. Sejak awal, dia memang tidak yakin bahwa Elang mempunyai kemampuan membuat ramuan mujarab.Dua Dayang itu segera melakukan titah Baginda Raja tanpa berani bertanya lagi.“Romo, ini sudah jelas, ramuan itu yang membuat wajahku makin parah begini! Romo harus memberi hukuman berat pada orang itu!” raung Kenes Kirana yang terbawa emosi. Siapa yang tidak marah, semalam kondisi jerawatnya jauh lebih baik. Sekarang sudah separah ini, hingga dia tak berani bercermin.“Kita selidiki dulu, Cah Ayu. Jika belum ada buktinya, kita tidak sembarangan menghukum orang!” Gusti Ratu menjelaskan dengan bijak. Semarah apapun, sebagai seorang Raja Damar Langit, Gusti Prabu Maheswara Kamandaka memang tidak boleh bersikap seenaknya sendiri.Semua ada aturannya!“Kita tunggu dulu hasilnya, Raden Ayu. Kamu sabar dulu!” titah Gusti Prabu.Tak berapa lama kemudian, dua orang tabib senior sudah datang menghadap. Sisa ramuan yang semalam dibalurkan di wajah Raden Ayu juga sudah dibawa ke hadapan Gusti Prabu.Selama beberapa saat, dua tabib senior itu memeriksa sisa ramuan yang ada di dalam wadah emas tersebut.“Gusti Prabu, ramuan ini terdapat ekstrak daun jelatang dan kemadu. Dua bahan yang mempunyai efek gatal dan menimbulkan peradangan pada kulit.” Salah satu tabib melaporkan, setelah memeriksa ramuan yang dibuat oleh Elang.“Sebagai asisten tabib, seharusnya Elang sudah mengetahui dua bahan ini tidak boleh mengenai kulit. Kenapa, dia sengaja mengekstraknya dicampurkan dalam ramuan?” sahut tabib satunya.“Selain dua bahan itu, ada kandungan cendana, akar wangi, klabet dan bahan-bahan lainnya. Kalau bahan-bahn itu saya kira tidak ada masalah, hanya daun jelatang dan kemadu ini yang membuat kulit Raden Ayu jadi meradang seperti sekarang.”“Jadi, menurut kalian apakah semua ini dilakukan dengan sengaja oleh Elang Taraka?” Gusti Prabu mengepalkan tangan penuh amarah.Bisa-bisanya, ada seorang asisten tabib yang begitu gegabah dalam menjalankan tugas untuk merawat putrinya.“Berani sekali dia mencelakai putriku!”“Romo, Panjenengan harus memberikan hukuman berat! Jangan sampai hal ini terulang lagi di kemudian hari!” Kenes Kirana sudah begitu marah.Pembuktian dari dua tabib senior itu telah membuat kemarahan Gusti Prabu membara. Hatinya belum akan tenang jika belum memberikan hukuman berat untuk Elang Taraka.***"Elang, ramuan apa yang telah kamu berikan untuk dibalurkan di wajah Raden Ayu?" bisik Prajurit yang menyambutnya di pintu Balaitung Istana."Apa yang terjadi?""Wajah sang Putri bengkak memerah, mengerikan," sahutnya dengan wajah entah."Tidak mungkin. Aku sudah mencobanya pada wajah para Dayang sebelumnya. Tidak ada masalah apapun di kulit mereka," elak Elang tak percaya.Elang merasa tubuhnya seperti dibanting dari ketinggian dan terjatuh ke dasar jurang, remuk.Seperti dugaannya, ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan dirinya untuk mendapatkan keuntungan.Padahal Elang sudah berupaya sangat hati-hati dalam proses membuat ramuan, sampai tak mengizinkan seorang pun terlibat dalam pembuatannya. Ternyata, masih ada celah yang bisa digunakan oleh orang itu untuk mencelakainya.Di atas singgasana, Gusti Prabu menatapnya penuh kemarahan. Dia tidak suka ada orang yang mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan padanya.Elang Taraka masuk ke Balairung Istana dengan jantung yang berdegup kencang. Meski dia yakin bahwa ramuan yang dibuatnya sudah benar, tetap saja jika bukti sudah mengarah padanya karena campur tangan pihak lain, dia tidak bisa berbuat apa-apa.Satu hal yang masih menjadi simpul besar di dalam hatinya, siapakah orang yang begitu jahat menjadikan dirinya sebagai tumbal?Berbagai macam pertanyaan timbul tenggelam berkecamuk di dalam benaknya."Elang! Kamu sengaja ingin merusak wajahku?! Apa salahku padamu? Kenapa kamu tega sekali menghancurkan masa depanku?!” Kenes begitu murka begitu melihat kedatangan Elang.Belum sempat Elang memberi pembelaan, Gusti Prabu sudah memberi titah.“Berikan sisa ramuan buatannya, biar dia tahu apa kesalahannya!” titah Gusti Prabu pada pengawal yang berada di sisinya.Begitu Elang mencium sisa ramuan buatannya, matanya terbelalak sempurna. Ada orang yang sengaja menambahkan daun jelatang dan kemadu di dalam ramuan buatannya.'Astaga, ini campuran dari daun jelatang dan kemadu, siapa yang lancang mengganti ramuanku?' batin Elang panik."Gusti Prabu, mohon ampun. Ini bukan ramuan buatan hamba," ucap Elang dengan gemetar."Apaaa? Lancang!""Jika bukan ramuanmu, lalu ramuan siapa? Kamu pikir aku kelinci percobaan ramuan abal-abal kamu?" Kenes Kirana tak sabar mendengar pembelaan Elang. Bisa-bisanya dia tidak mengakui ramuan buatannya. Memangnya, siapa lagi yang membuat ramuan selain dirinya?Sejak awal dia sudah meragukan kemampuan Elang Taraka, tapi masih mencoba untuk percaya. Sekarang, semua kepercayaannya sudah hancur lebur."Aku menyesal telah mempercayaimu!" ucap sang Putri di tengah isaknya."Raden Ayu, tolong dengarkan say---""Pergi! Dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi!" Kenes segera memotong ucapan Elang Taraka, sebelum dia menyelesaikan kalimatnya.Elang tak tahu harus bagaimana membela dirinya sendiri. Dia yakin, ada orang yang saat ini tengah tertawa gembira melihat kemalangannya.“Prajurit, jebloskan dia ke Penjara!” titah Gusti Prabu sesaat kemudian.Tak diberi kesempatan untuk menjelaskan, Gusti Prabu sudah memberi titah supaya Elang di penjara sembari menunggu hukuman selanjutnya.Dua orang prajurit membawa Elang keluar dari Balairung Istana.Dari salah satu sudut Istana, ada seseorang yang menghela napas lega melihat Elang digelandang prajurit menuju Penjara.BersambungRombongan para Prajurit membawa Elang Taraka ke penjara. Di sepanjang perjalanan menuju penjara, banyak pasang mata yang menyaksikan Elang Taraka diarak seperti layaknya pesakitan.Tak ada lagi tatapan kekaguman seperti beberapa hari yang lalu dari wajah-wajah mereka. Sebelumnya, Elang mendapatkan puja-puji karena mendapatkan anugerah untuk membuatkan ramuan obat bagi sang Putri. Sebuah anugerah yang membuat orang merasa iri, tapi hari ini semua sirna berganti dengan cemoohan."Sayang sekali, dia mendapatkan nasib sial.""Masih begitu muda, tampan lagi. Sayangnya harus masuk penjara."Ucapan-ucapan senada terdengar dari berbagai sudut. Kasak-kusuk yang menyebar dari mulut ke mulut itu spontan menjalar seperti jamur di musim hujan. Sehingga nama Elang Taraka sebagai asisten tabib yang gagal menjalankan tugas sudah terdengar di seluruh pelosok negeri.Elang Taraka berkali-kali harus mengelus dada, mendengar semua kasak-kusuk itu. Kadang manusia itu sibuk menghukumi orang lain, padahal b
Di ruang obat Istana, Agra Gajendra beberapa kali melirik tempat dimana beberapa hari terakhir ini, Elang menghabiskan waktu untuk membuat ramuan. Masih ada tersisa beberapa bahan herbal di sana. Setelah memastikan tidak ada orang, Agra mengayunkan langkah mendekati tempat dimana Elang menghabiskan waktu selama beberapa hari ini.“Cendana dan Akar wangi?” lirihnya setelah mencium bahan herbal yang ada di sana. Agra mencium tempat Elang menumbuk bahan-bahan herbal yang digunakan untuk mengobati sang Putri. Tabib mempunyai penciuman yang sangat sensitif. Dia bisa membedakan beberapa jenis bahan herbal yang terkandung dalam sebuah ramuan dengan akurat. Semua itu karena mereka melatih penciuman mereka selama bertahun-tahun. Sebagai asisten tabib, Agra juga harus mempunyai kemampuan dasar ini.Ketika Agra baru saja meletakkan lumpang kecil yang digunakan Elang, Gentala Wisesa tiba-tiba sudah berada di sana dengan wajah kaget.“Agra? Untuk apa kamu di sini?” sapa Gentala begitu melihat A
Seorang gadis melangkah dengan anggun menuju Kaputren dimana Raden Ayu Kenes Kirana tinggal. Di belakangnya, berbaris beberapa Dayang yang mengiringi langkah. Wajah semringah terpancar menguarkan aura kebahagiaan yang tak sanggup dideskripsikan dengan aksara. Sesekali dia tersenyum, sesekali bernyanyi, rasa bahagia tak tertandingi membuat suasana hatinya begitu riang.Dia adalah Gendhis Widuri. Malam ini putri kedua dari Gusti Prabu Maheswara Kamandaka itu berniat mengunjungi saudari tirinya yang sedang ditimpa bencana."Belum pernah aku sebahagia ini sebelumnya," gumamnya."Lanjar, sekarang aku telah menjadi yang paling cantik, bukan?" bisiknya pada salah satu Dayang pribadinya."Raden Ayu, jangan keras-keras. Dinding istana ini punya banyak telinga." Lanjar berbisik mengingatkan. Semua penghuni Keputren jelas-jelas bersaing, meski tak kentara. Jika didengar oleh orang lain, bisa-bisa akan memancing di air keruh. Akan ada masalah yang timbul merepotkan mereka.Gendhis menutup bibir d
Ayam jantan berkokok saling bersahut-sahutan, membangunkan penduduk kerajaan Damar Langit dari peraduan yang hangat. Kicauan burung cucak rowo yang bernyanyi di dahan pohon, menambah syahdu suasana pagi.Sialnya, suasana syahdu pagi ini sangat bertolak belakang dengan nasib malang Elang Taraka.Sejak matanya terbuka, atau lebih tepatnya dipaksa terbuka oleh tendangan Prajurit penjaga penjara, dia sudah harus kembali bergumul dengan rasa ngilu di seluruh tubuhnya yang terluka. Lebih mengenaskan lagi, ketika dia mulai diarak berjalan menuju alun-alun istana untuk diadili. Dia hanya bisa pasrah menjadi tontonan orang-orang, layaknya seorang penjahat kelas kakap.Sungguh keadaan yang sangat mengenaskan.Pemuda yang tubuhnya penuh luka itu hanya pasrah ketika Prajurit menyuruhnya duduk bersimpuh di tanah, untuk diadili. Gusti Prabu Maheswara Kamandaka sengaja mengadakan peradilan terbuka di alun-alun Istana, sebagai peringatan bagi siapapun yang mempunyai niat buruk mencelakai keluarga ker
"Hooo ....""Hooo ...."Siulan burung hantu di tengah malam buta serupa suara kematian yang mengkerdilkan jiwa yang larut dalam ketakutan. Banyak orang lebih memilih untuk merapatkan diri dalam hangatnya selimut, menyelami mimpi indah di peraduan.Suasana malam ini sangat lengang. Sesekali hanya terdengar suara derap sepatu Prajurit yang berkeliling di istana. Selebihnya hanya sunyi mencekam.Di Istana Kaputren, Kenes masih terduduk di pembaringan indahnya. Sepasang manik abu-abu miliknya masih bersinar indah, belum menandakan ada rasa kantuk di sana.Hal ini sangat bertolak belakang dengan penghuni istana yang lain, yang sudah terlelap dalam dunia mimpi. Kenes malam ini malah tidak bisa tidur sama sekali.Baru kali ini dia merasakan ada dilema antara hati dan logikanya sendiri. Jika digambarkan, sesungguhnya sedang terjadi perang besar antara hati dan logika yang ada dalam dirinya. Keduanya saling menyerang satu sama lain layaknya musuh."Kenapa aku jadi kepikiran tentang dia?" gumam
Matahari yang mulai menyingsing dari peraduannya kini terlihat menyemai cahaya untuk para penduduk bumi kerajaan Damar Langit. Satu persatu para penghuni istana mulai beraktifitas di tempat tugas masing-masing. Dapur istana yang tadinya berselimut dingin, menghangat karena kobaran tungku tanah mulai dipakai memasak hidangan mewah untuk keluarga kerajaan.Hiruk pikuk penduduk sekitar istana, seakan tak terpengaruh dengan Elang yang tengah dirundung derita. Sungguh kejam, tak ada seorang pun yang memedulikannya. Alam semesta tetap berputar seperti biasa. Elang memang hanya seonggok debu atau sampah tidak berguna yang tersungkur di bilik sangkar besi.Ini adalah hari pengadilan kedua untuknya. Prajurit kalap memukuli Elang karena pemuda itu tidak segera bangkit, ketika panggilan namanya bergema di ruang bawah tanah yang sempit dan pengap tak segera mendapatkan tanggapan.Elang tertatih. Sekuat tenaga berusaha bangkit, menahan ngilu. Semalaman dia benar-benar tidak bisa tidur barang sek
Alun-alun kota raja kerajaan Damar Langit masih dipenuhi kerumunan manusia. Mereka ingin menyaksikan iring-iringan Prajurit yang akan mengawal Elang Taraka menuju tempat pengasingan. Wono Daksino, hutan yang terkenal angker dan wingit.Di barisan paling depan ada kereta istana yang terlihat begitu jumawa, ditarik oleh kuda-kuda pilihan. Sepasang kuda hitam milik kanjeng Senopati Raden Mas Bratasena. Dia diberi tugas oleh Gusti Prabu untuk memastikan tahanan tidak melarikan diri dari hukuman berat yang dijatuhkan padanya."Prajurit, Gusti Prabu sudah membuat keputusan mengasingkan Elang Taraka di Wono Daksino. Mari kita bersiap berangkat!" Raden Mas Bratasena memberi aba-aba dengan wajah datar."Siap." Serentak mereka menjawab titah dari sang Senopati.Para Prajurit yang akan mengawal Kanjeng Senopati berbaris tampak megah dan gagah berani. Bertolak belakang dengan Elang yang diikat kedua tangannya, berjalan terlunta-lunta dengan telanjang kaki, mengenaskan.Elang diarak meninggalkan a
"Ada gubuk berdiri di tengah rimba Wono Daksino?" Sepasang netra Elang menyipit curiga."Apakah ada manusia yang tinggal di sini?" gumamnya lirih.Tadi, Elang sempat berharap bisa menemukan manusia lain di tempat ini. Namun, saat melihat ada sebuah gubuk di tengah hutan, bulu kuduknya tiba-tiba meremang.Kepalanya bertanya-tanya, manusia hebat seperti apa yang mempunyai nyali begitu besar membangun tempat tinggal di tempat seperti ini?Gubuk itu di kelilingi dengan rimbunnya tanaman. Hutan ini belum pernah terjamah manusia. Sehingga tidak heran jika dijadikan sebagai tempat untuk mengasingkan para tahanan.Sejujurnya, hukuman mengasingkan diri di tengah hutan yang masih perawan seperti di Wono Daksino adalah lebih kejam dari hukuman mati. Hidup seorang diri terlunta-lunta di tempat yang semengerikan ini, hanya akan membuat jantung berpacu lebih cepat karena rasa takut. Akhirnya orang akan menyerah pada hidup.Nasib sial bertubi-tubi menimpa Elang. Entah apa yang akan dia temui di huta
Elang duduk di atas batu besar yang ada di pinggir sungai. Selepas mengantar pergi para Ksatria Jumantara sampai di batas desa, dia memilih duduk sendirian di tempat ini. Elang mencoba menenangkan diri. Hatinya porak-poranda. Dadanya sesak. Darah di tubuhnya mendidih. Sungguh, dia butuh sendiri. Menikmati gemericik air mengalir dari tanah yang permukaannya lebih tinggi jatuh membentur bebatuan di bawahnya. Desau angin yang menampar batang-batang bambu membuatnya saling berkeretak, meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri. Kicauan burung-burung dan jangkrik yang mengerik. Semua suara seakan bersatu padu dengan irama khasnya masing-masing, hingga tercipta nyanyian semesta yang sedikit banyak membuat dadanya yang tadi terasa sesak jadi sedikit lebih lega. Elang memejamkan mata meresapi. Andai waktu bisa berputar ulang, dia pasti akan membuat keputusan yang berbeda. Dengan gagah berani, dia akan menyetujui keinginan Kenes Kirana untuk melamar gadis itu.“Aah, andai saja….” Tanpa sadar, dia mengg
Kedatangan Tumenggung Mahawira dan pasukannya makin menambah bahan bakar kobaran api semangat semua orang. Mereka siap mempersembahkan kesetiaan kepada Gusti Prabu Maheswara Kamandaka. Apapun taruhannya. Apalagi setelah terkuaknya jati diri Pimpinan mereka Kanjeng Senopati Ing Palaga mewarisi darah Naga Biru di dalam tubuhnya dari jalur sang Ibu. Tidak semua orang mengenal nama Sukmo Sentolo memang. Orang lebih mengenal nama Pendekar Naga Biru yang legendaris daripada nama aslinya, Sukmo Sentolo. Ditambah Elang juga mewarisi darah biru kebangsawanan Putra Gusti Prabu Kameswara. Kedudukannya kokoh di mata siapapun sebagai Gusti Pangeran Arya Elang Taraka yang sakti mandraguna.Betapa bungah hati Gusti Prabu mendapati kenyataan dua orang pilih tanding ini berada di sisinya. Jangkap sudah pimpinan militer yang memimpin pasukan untuk menyerang Bratasena.Sialnya, dalam menghadapi peperangan, tidak cukup dengan keterampilan fisik dan olah kanuragan ataupun semangat semata. Ada hal pentin
Sepertinya, hidup sedang mengajaknya bercanda. Apa mungkin inilah yang disebutkan orang sebagai putaran roda nasib yang kadang di atas, kadang di bawah? Selepas Elang merasakan ujung hidupnya ada di ujung tanduk, dihukum pengasingan di Wono Daksino atas perbuatan yang sengaja direncanakan orang lain. Bahkan orang itu masih mengutus pendekar sakti untuk membunuhnya. Sekonyong-konyong, dia berubah menjadi sosok berbeda. Bukan lagi seorang abdi dalem keraton, melainkan putra seorang raja yang telah mangkat.“Malam ini, kalian semua telah menyaksikan apa yang juga kusaksikan. Aku tidak perlu mengulangnya. Elang Taraka adalah keponakanku.” Bukan hanya satu atau dua orang yang menyaksikan kejadian penyatuan Naga Biru dalam tubuh Elang Taraka. Mereka yang tinggal di desa ini berbondong-bondong mengikuti arah bayangan cahaya biru berbentuk naga itu terbang. Halaman tempat tinggal kini Elang ternyata dipenuhi oleh penduduk desa.“Makin teguh keyakinanku untuk merebut kembali Damar Langit. Ti
Mbok Sumi mengeluarkan sebuah kotak kayu ukir-ukiran berwarna hitam yang disimpannya dalam buntelan kain batik yang dibawanya dari Kotaraja. Perasaannya berkecamuk tidak karuan terlihat dari tangan yang gemeraran ketika mengulurkan kotak itu pada Elang. Dengan tatapan kosong, Elang menerima.“Bukalah, Le. Hanya itu satu-satunya barang yang bisa kamu gunakan untuk mengungkap identitasmu yang sebenarnya. Simbok sama sekali ndak tahu siapa orang tuamu. Simbok hanya bisa merawatmu sebaik mungkin semampu Simbok.” Masih diiringi isak tangis, Mbok Sumi menumpahkan semua kalimat sakral itu. Selama ini dia terus saja menolak untuk memberitahu, berharap bisa mengubur kenyataan itu sampai kematian datang menjemput. Akan tetapi, takdir berkehendak lain.Elang membuka kotak itu perlahan. Dengan rasa penasaran yang membuncah, dia tetap bisa menahan diri. Sepasang netranya menangkap sebuah gelang emas dengan ukiran naga yang melilit. “Kata Ki Rekso suamiku, gelang itu milikmu. Pesan darinya, aku ha
Elang menyipitkan mata. Butuh waktu sedikit lebih lama baginya untuk bisa menyadari sesuatu.“Agra?” Elang mengeja sebuah nama untuk memastikan tebakannya.“Elang, jahat sekali kamu ndak mengenali kami!” Salah satu penumpang pedati yang disebut sebagai Agra itu melompat turun. Belum lepas dari keterkejutan karena suara yang terdengar tidak asing ini makin mengukuhkan tebakannya. Orang itu melepaskan ikatan kepalanya. Rambut palsu yang digunakan oleh Agra untuk menyempurnakan penyamaran kini dilepasnya. “Bagaimana, jangan bilang kamu masih ndak kenal aku, Lang!” dengkus Agra kemudian. Begitu rambut palsu berwarna putih kelabu itu tersingkir, Elang menepuk dahi.“Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku ada di sini, Agra?” Senyum Elang mulai terkembang. Keduanya berpelukan, saling menepuk punggung. Terlepas dari sikap Agra yang blak-blakan apa adanya, bahkan kadang menyinggung, mereka telah berteman sejak lama. “Simbok merindukanmu selama ini, Lang,” ucapnya sembari membantu sosok wanita ya
Suara dentang pedang saling beradu memenuhi Alun-alun Desa Sekar Sari. Tak ada kata istirahat, mereka begitu bersemangat menyambut perintah dari Kanjeng Senopati Ing Palaga Elang Taraka. Dengan gelar baru yang disandangnya, bertambahlah kesibukan Elang dalam menyiapkan pasukan untuk perang besar yang sudah pasti akan terjadi. Mengembalikan Damar Langit pada pemilik tahta yang sah telah menjadi misi yang akan diembannya sampai tetes darah terakhir.Tak semua prajurit ini berpengalaman, ada puluhan prajurit baru yang harus dilatih lebih keras supaya mempunyai kemampuan setara dengan yang lainnya. Perang besar ini akan membutuhkan jumlah prajurit yang besar. Siapapun yang bersedia bergabung, Patih Arya Wursita menerimanya. Kendati akan membutuhkan waktu lebih panjang untuk mengajarkan teknik-teknik dasar. Mereka mengambil pilihan tersebut. “Kuda-kudamu kurang kuat, lakukan dengan benar seperti yang kuajarkan!” Dengan tendangan ringan dari Elang, prajurit itu terjengkang. Puluhan prajuri
Mahawira dengan sabar menunggui Gendhis mencuci di sungai dengan sabar. Bahkan dia membantunya membawakan bakul yang berisi pakaian basah saat mereka beranjak meninggalkan sungai. Wajah gadis itu terlihat tak nyaman dengan perhatian Mahawira. Mereka baru saja berjumpa, perhatian ini terlalu berlebihan.“Kanjeng Tumenggung, terima kasih karena Andika telah membantu saya hari ini. Tidak perlu mengantar, saya tidak enak dilihat penduduk desa. Khawatir mereka akan bicara yang tidak-tidak.” Gendhis mengusir pria itu dengan cara halus. “Bicara tidak-tidak seperti apa contohnya, Nimas?” Dahi pria matang itu mengernyit. Bukan tak paham, dia memang sengaja memancing Gendhis bicara lebih intim.“Ah, anu, maksud saya … mereka mungkin mengira….” Gendhis menjeda kalimatnya. Sungkan untuk melanjutkan.“Mengira aku dan Nimas mempunyai hubungan khusus, begitu?” Sudut bibir Mahawira melengkung. Dia mengujur gadis yang berjalan beriringan dengannya itu. Usianya masih belasan tahun. Sementara dirinya s
Sejak pagi menjelang, kepala iring-iringan pasukan yang dipimpin oleh Tumenggung Mahawira telah memasuki sebuah desa kecil yang berbatasan dengan hutan. Penduduk desa tak ada yang berani keluar dari rumah. Pintu-pintu rumah mereka ditutup sedemikian rupa. Sepanjang jalan masuk desa, Sang Tumenggung tidak menjumpai seorang pun di sana. Pasukan itu berjumlah sekitar seribu orang. Mungkin para penduduk merasa jeri melihat begitu banyaknya orang yang berbadan tegap bersenjata lengkap.“Kalian dirikan tenda di sebelah sana, malam ini kita istirahat di tempat ini!” titah Tumenggung Mahawira sembari menunjuk ada tempat luas di tengah desa. Sudah berhari-hari mereka berjalan dengan sedikit istirahat. Tumenggung memutuskan untuk menginap di tempat ini memulihkan tenaga. Lapangan yang luas ini mungkin biasa dijadikan tempat berkumpul warganya.Dengan gesit, para prajurit melaksanakan titah junjungannya. Ada yang mendirikan tenda, ada yang mencari air dan memasak. Mereka berbagi tugas secara cer
Kendati hanya dibalut pakaian sederhana, tetap saja tidak bisa menyembunyikan tubuh molek Kenes Kirana yang mempunyai aura putri keraton begitu kuat. Hanya dengan sekilas pandang saja, orang jelas melihat perbedaannya dengan para gadis penduduk asli Desa Sekar Sari. Dari arah sungai, gadis cantik itu berjalan cepat dengan wajah kecewa, Elang mengekor di belakang dengan perasaan campur aduk. “Gusti Putri, hati-hati,” panggil Elang lembut disela langkahnya. Yang dipanggil tidak menggubris. Hujan mengguyur semalaman membuat jalanan setapak yang menghubungkan desa dengan sungai itu basah dan licin.“Jangan pedulikan aku!” “Gusti Putri, awas jalannya licin….” Belum usai Elang menyelesaikan kalimatnya, Kenes sudah tergelincir. Elang berusaha secepat mungkin menggapai, tapi terlambat. Kenes jatuh terduduk di tanah. Pada dasarnya, dia takut lancang sembarangan menyentuh Kenes yang merupakan junjungannya.Antara kaget dan malu dengan kesialan yang menimpa dirinya, untuk beberapa saat Kenes