Matahari yang mulai menyingsing dari peraduannya kini terlihat menyemai cahaya untuk para penduduk bumi kerajaan Damar Langit. Satu persatu para penghuni istana mulai beraktifitas di tempat tugas masing-masing. Dapur istana yang tadinya berselimut dingin, menghangat karena kobaran tungku tanah mulai dipakai memasak hidangan mewah untuk keluarga kerajaan.Hiruk pikuk penduduk sekitar istana, seakan tak terpengaruh dengan Elang yang tengah dirundung derita. Sungguh kejam, tak ada seorang pun yang memedulikannya. Alam semesta tetap berputar seperti biasa. Elang memang hanya seonggok debu atau sampah tidak berguna yang tersungkur di bilik sangkar besi.Ini adalah hari pengadilan kedua untuknya. Prajurit kalap memukuli Elang karena pemuda itu tidak segera bangkit, ketika panggilan namanya bergema di ruang bawah tanah yang sempit dan pengap tak segera mendapatkan tanggapan.Elang tertatih. Sekuat tenaga berusaha bangkit, menahan ngilu. Semalaman dia benar-benar tidak bisa tidur barang sek
Alun-alun kota raja kerajaan Damar Langit masih dipenuhi kerumunan manusia. Mereka ingin menyaksikan iring-iringan Prajurit yang akan mengawal Elang Taraka menuju tempat pengasingan. Wono Daksino, hutan yang terkenal angker dan wingit.Di barisan paling depan ada kereta istana yang terlihat begitu jumawa, ditarik oleh kuda-kuda pilihan. Sepasang kuda hitam milik kanjeng Senopati Raden Mas Bratasena. Dia diberi tugas oleh Gusti Prabu untuk memastikan tahanan tidak melarikan diri dari hukuman berat yang dijatuhkan padanya."Prajurit, Gusti Prabu sudah membuat keputusan mengasingkan Elang Taraka di Wono Daksino. Mari kita bersiap berangkat!" Raden Mas Bratasena memberi aba-aba dengan wajah datar."Siap." Serentak mereka menjawab titah dari sang Senopati.Para Prajurit yang akan mengawal Kanjeng Senopati berbaris tampak megah dan gagah berani. Bertolak belakang dengan Elang yang diikat kedua tangannya, berjalan terlunta-lunta dengan telanjang kaki, mengenaskan.Elang diarak meninggalkan a
"Ada gubuk berdiri di tengah rimba Wono Daksino?" Sepasang netra Elang menyipit curiga."Apakah ada manusia yang tinggal di sini?" gumamnya lirih.Tadi, Elang sempat berharap bisa menemukan manusia lain di tempat ini. Namun, saat melihat ada sebuah gubuk di tengah hutan, bulu kuduknya tiba-tiba meremang.Kepalanya bertanya-tanya, manusia hebat seperti apa yang mempunyai nyali begitu besar membangun tempat tinggal di tempat seperti ini?Gubuk itu di kelilingi dengan rimbunnya tanaman. Hutan ini belum pernah terjamah manusia. Sehingga tidak heran jika dijadikan sebagai tempat untuk mengasingkan para tahanan.Sejujurnya, hukuman mengasingkan diri di tengah hutan yang masih perawan seperti di Wono Daksino adalah lebih kejam dari hukuman mati. Hidup seorang diri terlunta-lunta di tempat yang semengerikan ini, hanya akan membuat jantung berpacu lebih cepat karena rasa takut. Akhirnya orang akan menyerah pada hidup.Nasib sial bertubi-tubi menimpa Elang. Entah apa yang akan dia temui di huta
Mata pemuda tampan itu terpejam bersiap menerima terkaman harimau loreng yang tiba-tiba muncul itu. Dia sudah pasrah dengan kematian yang sebenarnya belum dia inginkan.Mungkin karena kelelahan fisik yang dia rasakan sudah melebihi ambang batas. Rasa ngilu bekas siksaan yang dia dapatkan di penjara bawah tanah kemarin masih terasa perih. Bekas luka yang terbuka ditambah berjalan kaki ratusan mil selama tiga hari, membuat tubuhnya merasakan kelelahan yang sangat.Belum lagi dia yang kelabakan menghindari lesatan anak panah dari pembunuh bayaran yang dijumpainya tadi. Semua terasa sangat melelahkan.Sekarang, dia harus berjuang melawan predator ini sendirian. Ah, rasanya dia ingin menyerah saja.Elang memejamkan mata untuk mengusir segala kengerian. Membayangkan tubuhnya dicabik-cabik oleh binatang buas membuat rasa takut begitu menguasai dirinya."Aku lelah harus berusaha sekeras ini untuk bertahan hidup. Kenyataannya, hidupku memang tidak terlalu berharga," cicitnya. Nasib sial tak he
Saat ini, istana Kaputren sedang berselimut kabut. Bertambah lagi satu alasan kesedihan Kenes Kirana. Bukan saja karena telah kehilangan wajah cantiknya saja. Sekarang, Kenes merasa sedih dengan alasan yang lain, yakni memikirkan ucapan Elang saat terakhir kali mereka berjumpa.Kenes yang tempo hari menemui Elang di gerbang istana itu mulai mencerna ucapan lelaki yang sudah empat malam ini membuat tidurnya kelabakan. Dihantui bayangan wajah dan kata-kata terakhirnya.Kabut tipis di Kaputren, semakin menebal hingga berubah menjadi rintikan hujan. "Jaga dirimu baik-baik, Raden Ayu. Penjahat yang asli masih berkeliaran di dalam Istana."Ucapan itu selalu menjadi mimpi di kala tidur. Sebenarnya ada apa? Apa yang sedang terjadi di Istana ini? "Siapa yang berniat jahat padaku?" gumamnya.Kenes berjalan mondar-mandir penuh rasa penasaran Bagaimanapun, ucapan Elang sangat mengganggunya. Selama bertahun-tahun, Damar Langit selalu damai dan tentram. Tak ada musuh yang berani menyerang. Kenap
Malam makin larut ketika sesosok tubuh yang terbalut mantel hitam berjalan mengendap-endap menuju pondok tempat tinggal Mbok Sumi. Sosok itu mencari celah, sengaja menghindari para prajurit yang berkeliling di setiap penjuru Istana.Celingak-celinguk kanan kiri memastikan tak ada orang yang mengekorinya, barulah dia berdiri di depan pintu pondok dan mengetuk pintunya."Siapa?" Suara wanita paruh baya dari balik pintu membuat sosok tubuh itu sedikit bergetar. Membiarkan pertanyaan itu tanpa jawaban selama beberapa saat lamanya, sampai terdengar suara derit pintu yang terbuka."S-siap---" Belum sempat Mbok Sumi melanjutkan ucapannya, mulut wanita paruh baya itu sudah dibekap. Sosok itu mendorong tubuh Mbok Sumi yang mulai renta dan ikut melesak masuk. Dengan sigap, dia kembali menutup kembali daun pintu."R-raden Ayu, kenapa Andika datang?" Mbok Sumi masih setengah tidak percaya. Ada keperluan apa, putri raja Maheswara Kamandaka mengendap-endap masuk pondoknya?"Sssttt!" Kenes Kirana me
Wono Daksino di pagi hari ataupun siang nyaris tak ada beda. Pohon hutan yang besar dan rimbun menghalangi cahaya matahari menerobos masuk, sehingga selalu tampak redup. Elang mengambil sebuah kerikil dan memasukkannya ke dalam wadah yang terbuat dari gerabah setiap pagi menjelang. Begitulah caranya menghitung jumlah hari yang telah dia lalui di hutan ini. Berharap dia bisa melalui setahun masa hukuman ini dengan selamat.Demikian yang dilakukannya pagi ini, dia memasukkan sebuah kerikil di dalamnya. "Ah, ternyata aku sudah 30 hari tinggal di hutan ini.""Masih ada banyak hari yang harus kulalui di hutan ini, semoga aku bisa." Pemuda tampan ini berkata dengan penuh harap. Ada banyak rencana yang harus dia selesaikan ketika masa hukuman telah usai nanti. "Aku akan membawa Biyung kembali ke desa. Hidup di desa jauh lebih menentramkan daripada hidup sebagai abdi dalem di Istana," gumamnya penuh penyesalan. Meninggalkan biyungnya yang sudah tua sendirian dengan status penjahat seperti
Embun yang bertengger di daun-daun tanaman Wono Daksino menandakan baru saja pagi menjelang. Suara air terjun yang terdengar gemericik menambah nuansa wingit dan mistis. Apalagi ditambah dengan hawa dingin terasa menusuk tulang. Raungan harimau menggeram beberapa kali di pagi buta yang masih ditemani gigil yang sangat dingin. Binatang itu sepertinya memberi tahu pada seluruh isi hutan, dialah sang raja hutan. Buas dan menakutkan. Tidak ada hewan lain yang lebih gagah berani kecuali dirinya. Elang Taraka masih tertidur pulas di gubuk milik lelaki berjubah putih. Tubuhnya yang dipenuhi lebam, sudah dilumuri tumbukan ramuan herbal yang bisa membuat luka itu cepat mengering.Embusan napasnya yang teratur, menandakan Elang sangat menikmati tidur panjangnya. Mungkin kali ini dia merasa ada yang menjaga atau memang dia belum tersadar sepenuhnya, akibat hantaman keras di beberapa tubuh yang dilakukan oleh lelaki berjubah hitam legam tempo hari. Memang bukan luka biasa, hantaman yang diderit
Elang duduk di atas batu besar yang ada di pinggir sungai. Selepas mengantar pergi para Ksatria Jumantara sampai di batas desa, dia memilih duduk sendirian di tempat ini. Elang mencoba menenangkan diri. Hatinya porak-poranda. Dadanya sesak. Darah di tubuhnya mendidih. Sungguh, dia butuh sendiri. Menikmati gemericik air mengalir dari tanah yang permukaannya lebih tinggi jatuh membentur bebatuan di bawahnya. Desau angin yang menampar batang-batang bambu membuatnya saling berkeretak, meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri. Kicauan burung-burung dan jangkrik yang mengerik. Semua suara seakan bersatu padu dengan irama khasnya masing-masing, hingga tercipta nyanyian semesta yang sedikit banyak membuat dadanya yang tadi terasa sesak jadi sedikit lebih lega. Elang memejamkan mata meresapi. Andai waktu bisa berputar ulang, dia pasti akan membuat keputusan yang berbeda. Dengan gagah berani, dia akan menyetujui keinginan Kenes Kirana untuk melamar gadis itu.“Aah, andai saja….” Tanpa sadar, dia mengg
Kedatangan Tumenggung Mahawira dan pasukannya makin menambah bahan bakar kobaran api semangat semua orang. Mereka siap mempersembahkan kesetiaan kepada Gusti Prabu Maheswara Kamandaka. Apapun taruhannya. Apalagi setelah terkuaknya jati diri Pimpinan mereka Kanjeng Senopati Ing Palaga mewarisi darah Naga Biru di dalam tubuhnya dari jalur sang Ibu. Tidak semua orang mengenal nama Sukmo Sentolo memang. Orang lebih mengenal nama Pendekar Naga Biru yang legendaris daripada nama aslinya, Sukmo Sentolo. Ditambah Elang juga mewarisi darah biru kebangsawanan Putra Gusti Prabu Kameswara. Kedudukannya kokoh di mata siapapun sebagai Gusti Pangeran Arya Elang Taraka yang sakti mandraguna.Betapa bungah hati Gusti Prabu mendapati kenyataan dua orang pilih tanding ini berada di sisinya. Jangkap sudah pimpinan militer yang memimpin pasukan untuk menyerang Bratasena.Sialnya, dalam menghadapi peperangan, tidak cukup dengan keterampilan fisik dan olah kanuragan ataupun semangat semata. Ada hal pentin
Sepertinya, hidup sedang mengajaknya bercanda. Apa mungkin inilah yang disebutkan orang sebagai putaran roda nasib yang kadang di atas, kadang di bawah? Selepas Elang merasakan ujung hidupnya ada di ujung tanduk, dihukum pengasingan di Wono Daksino atas perbuatan yang sengaja direncanakan orang lain. Bahkan orang itu masih mengutus pendekar sakti untuk membunuhnya. Sekonyong-konyong, dia berubah menjadi sosok berbeda. Bukan lagi seorang abdi dalem keraton, melainkan putra seorang raja yang telah mangkat.“Malam ini, kalian semua telah menyaksikan apa yang juga kusaksikan. Aku tidak perlu mengulangnya. Elang Taraka adalah keponakanku.” Bukan hanya satu atau dua orang yang menyaksikan kejadian penyatuan Naga Biru dalam tubuh Elang Taraka. Mereka yang tinggal di desa ini berbondong-bondong mengikuti arah bayangan cahaya biru berbentuk naga itu terbang. Halaman tempat tinggal kini Elang ternyata dipenuhi oleh penduduk desa.“Makin teguh keyakinanku untuk merebut kembali Damar Langit. Ti
Mbok Sumi mengeluarkan sebuah kotak kayu ukir-ukiran berwarna hitam yang disimpannya dalam buntelan kain batik yang dibawanya dari Kotaraja. Perasaannya berkecamuk tidak karuan terlihat dari tangan yang gemeraran ketika mengulurkan kotak itu pada Elang. Dengan tatapan kosong, Elang menerima.“Bukalah, Le. Hanya itu satu-satunya barang yang bisa kamu gunakan untuk mengungkap identitasmu yang sebenarnya. Simbok sama sekali ndak tahu siapa orang tuamu. Simbok hanya bisa merawatmu sebaik mungkin semampu Simbok.” Masih diiringi isak tangis, Mbok Sumi menumpahkan semua kalimat sakral itu. Selama ini dia terus saja menolak untuk memberitahu, berharap bisa mengubur kenyataan itu sampai kematian datang menjemput. Akan tetapi, takdir berkehendak lain.Elang membuka kotak itu perlahan. Dengan rasa penasaran yang membuncah, dia tetap bisa menahan diri. Sepasang netranya menangkap sebuah gelang emas dengan ukiran naga yang melilit. “Kata Ki Rekso suamiku, gelang itu milikmu. Pesan darinya, aku ha
Elang menyipitkan mata. Butuh waktu sedikit lebih lama baginya untuk bisa menyadari sesuatu.“Agra?” Elang mengeja sebuah nama untuk memastikan tebakannya.“Elang, jahat sekali kamu ndak mengenali kami!” Salah satu penumpang pedati yang disebut sebagai Agra itu melompat turun. Belum lepas dari keterkejutan karena suara yang terdengar tidak asing ini makin mengukuhkan tebakannya. Orang itu melepaskan ikatan kepalanya. Rambut palsu yang digunakan oleh Agra untuk menyempurnakan penyamaran kini dilepasnya. “Bagaimana, jangan bilang kamu masih ndak kenal aku, Lang!” dengkus Agra kemudian. Begitu rambut palsu berwarna putih kelabu itu tersingkir, Elang menepuk dahi.“Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku ada di sini, Agra?” Senyum Elang mulai terkembang. Keduanya berpelukan, saling menepuk punggung. Terlepas dari sikap Agra yang blak-blakan apa adanya, bahkan kadang menyinggung, mereka telah berteman sejak lama. “Simbok merindukanmu selama ini, Lang,” ucapnya sembari membantu sosok wanita ya
Suara dentang pedang saling beradu memenuhi Alun-alun Desa Sekar Sari. Tak ada kata istirahat, mereka begitu bersemangat menyambut perintah dari Kanjeng Senopati Ing Palaga Elang Taraka. Dengan gelar baru yang disandangnya, bertambahlah kesibukan Elang dalam menyiapkan pasukan untuk perang besar yang sudah pasti akan terjadi. Mengembalikan Damar Langit pada pemilik tahta yang sah telah menjadi misi yang akan diembannya sampai tetes darah terakhir.Tak semua prajurit ini berpengalaman, ada puluhan prajurit baru yang harus dilatih lebih keras supaya mempunyai kemampuan setara dengan yang lainnya. Perang besar ini akan membutuhkan jumlah prajurit yang besar. Siapapun yang bersedia bergabung, Patih Arya Wursita menerimanya. Kendati akan membutuhkan waktu lebih panjang untuk mengajarkan teknik-teknik dasar. Mereka mengambil pilihan tersebut. “Kuda-kudamu kurang kuat, lakukan dengan benar seperti yang kuajarkan!” Dengan tendangan ringan dari Elang, prajurit itu terjengkang. Puluhan prajuri
Mahawira dengan sabar menunggui Gendhis mencuci di sungai dengan sabar. Bahkan dia membantunya membawakan bakul yang berisi pakaian basah saat mereka beranjak meninggalkan sungai. Wajah gadis itu terlihat tak nyaman dengan perhatian Mahawira. Mereka baru saja berjumpa, perhatian ini terlalu berlebihan.“Kanjeng Tumenggung, terima kasih karena Andika telah membantu saya hari ini. Tidak perlu mengantar, saya tidak enak dilihat penduduk desa. Khawatir mereka akan bicara yang tidak-tidak.” Gendhis mengusir pria itu dengan cara halus. “Bicara tidak-tidak seperti apa contohnya, Nimas?” Dahi pria matang itu mengernyit. Bukan tak paham, dia memang sengaja memancing Gendhis bicara lebih intim.“Ah, anu, maksud saya … mereka mungkin mengira….” Gendhis menjeda kalimatnya. Sungkan untuk melanjutkan.“Mengira aku dan Nimas mempunyai hubungan khusus, begitu?” Sudut bibir Mahawira melengkung. Dia mengujur gadis yang berjalan beriringan dengannya itu. Usianya masih belasan tahun. Sementara dirinya s
Sejak pagi menjelang, kepala iring-iringan pasukan yang dipimpin oleh Tumenggung Mahawira telah memasuki sebuah desa kecil yang berbatasan dengan hutan. Penduduk desa tak ada yang berani keluar dari rumah. Pintu-pintu rumah mereka ditutup sedemikian rupa. Sepanjang jalan masuk desa, Sang Tumenggung tidak menjumpai seorang pun di sana. Pasukan itu berjumlah sekitar seribu orang. Mungkin para penduduk merasa jeri melihat begitu banyaknya orang yang berbadan tegap bersenjata lengkap.“Kalian dirikan tenda di sebelah sana, malam ini kita istirahat di tempat ini!” titah Tumenggung Mahawira sembari menunjuk ada tempat luas di tengah desa. Sudah berhari-hari mereka berjalan dengan sedikit istirahat. Tumenggung memutuskan untuk menginap di tempat ini memulihkan tenaga. Lapangan yang luas ini mungkin biasa dijadikan tempat berkumpul warganya.Dengan gesit, para prajurit melaksanakan titah junjungannya. Ada yang mendirikan tenda, ada yang mencari air dan memasak. Mereka berbagi tugas secara cer
Kendati hanya dibalut pakaian sederhana, tetap saja tidak bisa menyembunyikan tubuh molek Kenes Kirana yang mempunyai aura putri keraton begitu kuat. Hanya dengan sekilas pandang saja, orang jelas melihat perbedaannya dengan para gadis penduduk asli Desa Sekar Sari. Dari arah sungai, gadis cantik itu berjalan cepat dengan wajah kecewa, Elang mengekor di belakang dengan perasaan campur aduk. “Gusti Putri, hati-hati,” panggil Elang lembut disela langkahnya. Yang dipanggil tidak menggubris. Hujan mengguyur semalaman membuat jalanan setapak yang menghubungkan desa dengan sungai itu basah dan licin.“Jangan pedulikan aku!” “Gusti Putri, awas jalannya licin….” Belum usai Elang menyelesaikan kalimatnya, Kenes sudah tergelincir. Elang berusaha secepat mungkin menggapai, tapi terlambat. Kenes jatuh terduduk di tanah. Pada dasarnya, dia takut lancang sembarangan menyentuh Kenes yang merupakan junjungannya.Antara kaget dan malu dengan kesialan yang menimpa dirinya, untuk beberapa saat Kenes