Ayam jantan berkokok saling bersahut-sahutan, membangunkan penduduk kerajaan Damar Langit dari peraduan yang hangat. Kicauan burung cucak rowo yang bernyanyi di dahan pohon, menambah syahdu suasana pagi.
Sialnya, suasana syahdu pagi ini sangat bertolak belakang dengan nasib malang Elang Taraka.Sejak matanya terbuka, atau lebih tepatnya dipaksa terbuka oleh tendangan Prajurit penjaga penjara, dia sudah harus kembali bergumul dengan rasa ngilu di seluruh tubuhnya yang terluka. Lebih mengenaskan lagi, ketika dia mulai diarak berjalan menuju alun-alun istana untuk diadili. Dia hanya bisa pasrah menjadi tontonan orang-orang, layaknya seorang penjahat kelas kakap.Sungguh keadaan yang sangat mengenaskan.Pemuda yang tubuhnya penuh luka itu hanya pasrah ketika Prajurit menyuruhnya duduk bersimpuh di tanah, untuk diadili.Gusti Prabu Maheswara Kamandaka sengaja mengadakan peradilan terbuka di alun-alun Istana, sebagai peringatan bagi siapapun yang mempunyai niat buruk mencelakai keluarga kerajaan akan bernasib sama dengan Elang. Diarak, dipermalukan dan diadili di depan umum.Sidang peradilan untuk Elang sebentar lagi dimulai.Bagi Elang Taraka, suasana alun-alun istana kali ini terasa sangat mengerikan, serupa ruang eksekusi mati. Singgasana Gusti Prabu Maheswara Kamandaka yang berada di Sitinggil ---tempat yang tinggi tempat duduk Raja--- terlihat begitu jumawa. Di samping kanan dan kiri Gusti Prabu ada Gusti Ratu, Paman Patih, Raden Ayu Kenes Kirana, Penasehat Kerajaan dan para Menteri.Beberapa Prajurit berdiri dengan gagah berani di sisi Elang Taraka. Memastikan sang penjahat yang telah merusak Tuan Putri mereka tidak akan berbuat yang tidak-tidak.Ekor mata Raden Ayu sedari tadi terus menatap ke arah pemuda yang tengah duduk di samping Prajurit Kerajaan. Namun, Elang tak sekalipun berani mengangkat wajah. Dia lebih banyak diam dan menunduk."Kapan dimulai?" Kenes bersuara. Sepertinya dia sudah tidak sabar. Tabib yunior ini telah mencelakainya. Mana mungkin dia bisa tenang sebelum Elang mendapatkan ganjaran setimpal."Sabar, Kenes. Masih menunggu saksi dulu," ucap Gusti Prabu pada sang Putri."Prajurit, cepat panggil para saksi," titah Gusti Prabu.Gadis yang sudah mulai tak sabar itu kini mendekati Gusti Prabu. Sepertinya dia sudah mulai bosan. Padahal, belum lama dia ikut bergabung."Elang, saya harap nanti kamu berkata dengan jujur! Katakan sesuai apa yang kamu tahu.""Sendiko dawuh, Gusti Prabu," jawab Elang lemah seraya memandang ke arah Rajanya. Lalu, dia kembali menunduk. Meratapi nasibnya yang entah nanti seperti apa?Terdengar suara langkah kaki yang berjalan mendekat ke arahnya, membuat Elang menoleh. Agra, Gentala, dan Mbok Sumi hadir sebagai saksi untuk Elang. Begitu melihat simboknya, tatapan Elang hanya tertuju pada Mbok Sumi, Biyung yang selama dia dipenjara tak pernah sekali pun menengok.'Biyung,' batin Elang dalam hati.Mbok Sumi langsung menghampiri anak semata wayangnya. Memeluknya lama. Tangis yang sedari tadi dia tahan, tumpah sudah. Tidak bisa lagi menutupi sesaknya dada, ketika melihat anaknya terlihat mengenaskan.Ibu mana yang menginginkan anaknya di penjara, apalagi dia tahu, itu semua bukan salah Elang.Semuanya sudah duduk, Agra, Gentala dan Mbok Sumi, jejer bersisihan bersimpuh di tanah menantikan peristiwa yang akan terjadi selanjutnya.***"Elang, apa kamu tahu daun jelatang dan bawang putih itu bisa membuat kulit panas? Kenapa kamu membuat ramuan dengan bahan itu untuk Raden Ayu Kenes Kirana?" tanya Gusti Prabu."Tidak, Gusti Prabu. Itu bukan ramuan saya. Bahan ramuan saya adalah akar wangi, kayu cendana, dan bahan lain yang mempunyai khasiat bagus untuk kulit. Bahkan saya sudah saya mengujinya berulang kali pada dayang Istana. Mereka baik-baik saja." Elang mencoba menjelaskan."Tapi sisa ramuan yang ada di kamar Kenes adalah tumbukan daun jelatang dan bawang putih. Kamu jangan mengelak!" Gusti Prabu mulai geram karena mengira Elang berbohong."Ada yang sengaja menukar ramuan saya, Gusti Prabu."Elang berkata dengan nelangsa. Penyesalan terhadap kecerobohannya teramat dalam di hati.Kenapa dia tidak memastikan sendiri dengan menunggui Dayang yang membalurkan ramuan itu di wajah Raden Ayu."Seberapa yakin kamu jika ramuan itu ada yang menukar?" tanya Gusti Prabu."Mohon ampun, Gusti Prabu. Saya ceroboh tidak memastikan ramuan itu saat dayang membalurkannya di wajah Raden Ayu."Gusti Prabu terdiam. Persoalan ini ternyata lebih pelik dari yang dia bayangkan sebelumnya. Awalnya dia mengira, Elang memang salah membuat ramuan. Namun, ternyata ada kasus penukaran ramuan.Gusti Prabu menghela napas panjang. Dia tidak boleh gegabah memutuskan, karena jika dia gegabah bisa jadi akan memberikan hukuman kepada orang yang salah. Sementara penjahat yang sebenarnya masih melenggang bebas di istana.Gusti Prabu membayangkan, kejahatan ini sudah serupa konspirasi besar untuk menghancurkan anggota keluarganya dan harus diusut dengan tuntas.Ditengah kekalutan Maheswara Kamandaka, Mbok Sumi memberanikan diri angkat bicara."Mohon ampun, Gusti Prabu, demi Pemilik Langit dan Bumi, anakku ndak salah membuat ramuan. Saya saksinya Gusti Prabu. Kumohon percaya sama saya."Mbok Sumi berlutut di hadapan sang Raja, agar bisa berbelas kasihan tidak menghukum anaknya."Atau ... tukar saja dengan saya. Biarkan anak saya bebas," bela Mbok Sumi. Suaranya serak, karena menahan tangis. Melihat anaknya yang begitu menyedihkan.Mbok Sumi masih bersimpuh di hadapan Gusti Prabu Maheswara Kamandaka. Wanita itu bahkan rela mencium kaki sang Raja, jika memang bisa membuat anaknya bebas dari tuduhan."Berdiri, Sumi! Biarkan anakmu yang bertanggung jawab. Sidang saya tutup. Untuk hukuman, nanti akan ada satu sidang lagi. Saya beri kesempatan bagi Elang untuk mencari bukti."Gusti Prabu menutup sidang dengan tutur kata yang penuh kewibaaan. Kini tubuh kokoh yang berbalut mantel berhiaskan sulaman benang emas itu meninggalkan Sitinggil dengan diikuti Gusti Ratu. Sementara Gendhis dan Kenes masih berada di sana.Elang masih tertunduk. Dia sedang berpikir bagaimana caranya membuktikan bahwa ramuannya itu ditukar.Elang menghela napas panjang."Elang, kenapa kamu jahat sekali padaku?" Kenes berkata dengan nelangsa.Elang kaget mendengar suara Raden Ayu Kenes Kirana menyapanya. Mendengar tuduhan itu membuat hatinya kembali mengalirkan tersayat, seolah darah terus mengalir dari luka yang tercipta."Ndak papa jika Andika menyebut saya jahat. Saya memang bersalah, ndak memastikan ramuan dulu sebelum dayang yang ada di sisi Andika mengoleskannya di wajah Andika."Pemuda yang di sebagian tangannya terdapat bekas siksaan itu akhirnya berani bicara. Selama peradilan tadi, dia lebih banyak diam. Mulutnya semakin takut mengeluarkan pembelaan, jika pada akhirnya, dia tidak bisa lagi membuka kebenaran.Kenes hanya melirik, tanpa menjawab lagi. Wajahnya memang masih ditutup kain sutera warna keemasan, tetapi matanya masih begitu jelas, jika sedari tadi Raden Ayu tak bisa berpaling menatap Elang."Tuan Putri, izin membawa tahanan ke penjara." Prajurit menyela.Prajurit kembali membawa Elang ke penjara bawah tanah. Tersisah Agra, Gentala, Mbok Sumi. Gendhis mengikut Elang di belakang. Entah mau apa gadis itu."Nyuwun ampun Tuan Putri. Biar aku yang menanggung hukuman Elang. Semua yang dia kerjakan atas arahanku. Kumohon!"Berjongkok, Mbok Sumi hampir saja mencium kaki Raden Ayu, jika saja gadis itu tidak menghindar."Lancang!" Kenes Kirana meraung, karena kaget tiba-tiba Mbok Sumi bersujud di depannya.Sang Putri melenggang meninggalkan Mbok Sumi dengan didampingi Dayang yang berbaris di belakangnya.Tersisa Agra dan Gentala di sisi Mbok Sumi, wanita paruh baya itu bicara dengan keduanya dengan wajah diselimuti mendung."Kalian teman Elang, kan? Aku mohon bantu dia, ya. Bantu dia keluar dari penjara." Mbok Sumi meminta belas kasihan kedua teman Elang dengan wajah mengiba."Mbok, besok masih ada sidang kedua, semoga Elang bisa membuktikan ucapannya."Gentala berkata lirih kepada Mbok Sumi.Runtuh. Tubuhnya kini roboh di tempat. Di saat dia sangat berharap anaknya bisa sukses mengikuti jejaknya menjadi Tabib. Elang mendapatkan cobaan yang sungguh berat. Bahkan, dia sendiri sebagai orang yang telah melahirkannya, tidak bisa membantunya sama sekali.Tangis Sumi semakin tak terbendung. Sesak dan sakit hatinya melihat kejadian yang menimpa anaknya. Andai waktu bisa ditukar, dia tidak mau Elang memberikan ramuan itu, jika pada akhirnya nasib buruk kini menimpa hidupnya.Bersambung"Hooo ....""Hooo ...."Siulan burung hantu di tengah malam buta serupa suara kematian yang mengkerdilkan jiwa yang larut dalam ketakutan. Banyak orang lebih memilih untuk merapatkan diri dalam hangatnya selimut, menyelami mimpi indah di peraduan.Suasana malam ini sangat lengang. Sesekali hanya terdengar suara derap sepatu Prajurit yang berkeliling di istana. Selebihnya hanya sunyi mencekam.Di Istana Kaputren, Kenes masih terduduk di pembaringan indahnya. Sepasang manik abu-abu miliknya masih bersinar indah, belum menandakan ada rasa kantuk di sana.Hal ini sangat bertolak belakang dengan penghuni istana yang lain, yang sudah terlelap dalam dunia mimpi. Kenes malam ini malah tidak bisa tidur sama sekali.Baru kali ini dia merasakan ada dilema antara hati dan logikanya sendiri. Jika digambarkan, sesungguhnya sedang terjadi perang besar antara hati dan logika yang ada dalam dirinya. Keduanya saling menyerang satu sama lain layaknya musuh."Kenapa aku jadi kepikiran tentang dia?" gumam
Matahari yang mulai menyingsing dari peraduannya kini terlihat menyemai cahaya untuk para penduduk bumi kerajaan Damar Langit. Satu persatu para penghuni istana mulai beraktifitas di tempat tugas masing-masing. Dapur istana yang tadinya berselimut dingin, menghangat karena kobaran tungku tanah mulai dipakai memasak hidangan mewah untuk keluarga kerajaan.Hiruk pikuk penduduk sekitar istana, seakan tak terpengaruh dengan Elang yang tengah dirundung derita. Sungguh kejam, tak ada seorang pun yang memedulikannya. Alam semesta tetap berputar seperti biasa. Elang memang hanya seonggok debu atau sampah tidak berguna yang tersungkur di bilik sangkar besi.Ini adalah hari pengadilan kedua untuknya. Prajurit kalap memukuli Elang karena pemuda itu tidak segera bangkit, ketika panggilan namanya bergema di ruang bawah tanah yang sempit dan pengap tak segera mendapatkan tanggapan.Elang tertatih. Sekuat tenaga berusaha bangkit, menahan ngilu. Semalaman dia benar-benar tidak bisa tidur barang sek
Alun-alun kota raja kerajaan Damar Langit masih dipenuhi kerumunan manusia. Mereka ingin menyaksikan iring-iringan Prajurit yang akan mengawal Elang Taraka menuju tempat pengasingan. Wono Daksino, hutan yang terkenal angker dan wingit.Di barisan paling depan ada kereta istana yang terlihat begitu jumawa, ditarik oleh kuda-kuda pilihan. Sepasang kuda hitam milik kanjeng Senopati Raden Mas Bratasena. Dia diberi tugas oleh Gusti Prabu untuk memastikan tahanan tidak melarikan diri dari hukuman berat yang dijatuhkan padanya."Prajurit, Gusti Prabu sudah membuat keputusan mengasingkan Elang Taraka di Wono Daksino. Mari kita bersiap berangkat!" Raden Mas Bratasena memberi aba-aba dengan wajah datar."Siap." Serentak mereka menjawab titah dari sang Senopati.Para Prajurit yang akan mengawal Kanjeng Senopati berbaris tampak megah dan gagah berani. Bertolak belakang dengan Elang yang diikat kedua tangannya, berjalan terlunta-lunta dengan telanjang kaki, mengenaskan.Elang diarak meninggalkan a
"Ada gubuk berdiri di tengah rimba Wono Daksino?" Sepasang netra Elang menyipit curiga."Apakah ada manusia yang tinggal di sini?" gumamnya lirih.Tadi, Elang sempat berharap bisa menemukan manusia lain di tempat ini. Namun, saat melihat ada sebuah gubuk di tengah hutan, bulu kuduknya tiba-tiba meremang.Kepalanya bertanya-tanya, manusia hebat seperti apa yang mempunyai nyali begitu besar membangun tempat tinggal di tempat seperti ini?Gubuk itu di kelilingi dengan rimbunnya tanaman. Hutan ini belum pernah terjamah manusia. Sehingga tidak heran jika dijadikan sebagai tempat untuk mengasingkan para tahanan.Sejujurnya, hukuman mengasingkan diri di tengah hutan yang masih perawan seperti di Wono Daksino adalah lebih kejam dari hukuman mati. Hidup seorang diri terlunta-lunta di tempat yang semengerikan ini, hanya akan membuat jantung berpacu lebih cepat karena rasa takut. Akhirnya orang akan menyerah pada hidup.Nasib sial bertubi-tubi menimpa Elang. Entah apa yang akan dia temui di huta
Mata pemuda tampan itu terpejam bersiap menerima terkaman harimau loreng yang tiba-tiba muncul itu. Dia sudah pasrah dengan kematian yang sebenarnya belum dia inginkan.Mungkin karena kelelahan fisik yang dia rasakan sudah melebihi ambang batas. Rasa ngilu bekas siksaan yang dia dapatkan di penjara bawah tanah kemarin masih terasa perih. Bekas luka yang terbuka ditambah berjalan kaki ratusan mil selama tiga hari, membuat tubuhnya merasakan kelelahan yang sangat.Belum lagi dia yang kelabakan menghindari lesatan anak panah dari pembunuh bayaran yang dijumpainya tadi. Semua terasa sangat melelahkan.Sekarang, dia harus berjuang melawan predator ini sendirian. Ah, rasanya dia ingin menyerah saja.Elang memejamkan mata untuk mengusir segala kengerian. Membayangkan tubuhnya dicabik-cabik oleh binatang buas membuat rasa takut begitu menguasai dirinya."Aku lelah harus berusaha sekeras ini untuk bertahan hidup. Kenyataannya, hidupku memang tidak terlalu berharga," cicitnya. Nasib sial tak he
Saat ini, istana Kaputren sedang berselimut kabut. Bertambah lagi satu alasan kesedihan Kenes Kirana. Bukan saja karena telah kehilangan wajah cantiknya saja. Sekarang, Kenes merasa sedih dengan alasan yang lain, yakni memikirkan ucapan Elang saat terakhir kali mereka berjumpa.Kenes yang tempo hari menemui Elang di gerbang istana itu mulai mencerna ucapan lelaki yang sudah empat malam ini membuat tidurnya kelabakan. Dihantui bayangan wajah dan kata-kata terakhirnya.Kabut tipis di Kaputren, semakin menebal hingga berubah menjadi rintikan hujan. "Jaga dirimu baik-baik, Raden Ayu. Penjahat yang asli masih berkeliaran di dalam Istana."Ucapan itu selalu menjadi mimpi di kala tidur. Sebenarnya ada apa? Apa yang sedang terjadi di Istana ini? "Siapa yang berniat jahat padaku?" gumamnya.Kenes berjalan mondar-mandir penuh rasa penasaran Bagaimanapun, ucapan Elang sangat mengganggunya. Selama bertahun-tahun, Damar Langit selalu damai dan tentram. Tak ada musuh yang berani menyerang. Kenap
Malam makin larut ketika sesosok tubuh yang terbalut mantel hitam berjalan mengendap-endap menuju pondok tempat tinggal Mbok Sumi. Sosok itu mencari celah, sengaja menghindari para prajurit yang berkeliling di setiap penjuru Istana.Celingak-celinguk kanan kiri memastikan tak ada orang yang mengekorinya, barulah dia berdiri di depan pintu pondok dan mengetuk pintunya."Siapa?" Suara wanita paruh baya dari balik pintu membuat sosok tubuh itu sedikit bergetar. Membiarkan pertanyaan itu tanpa jawaban selama beberapa saat lamanya, sampai terdengar suara derit pintu yang terbuka."S-siap---" Belum sempat Mbok Sumi melanjutkan ucapannya, mulut wanita paruh baya itu sudah dibekap. Sosok itu mendorong tubuh Mbok Sumi yang mulai renta dan ikut melesak masuk. Dengan sigap, dia kembali menutup kembali daun pintu."R-raden Ayu, kenapa Andika datang?" Mbok Sumi masih setengah tidak percaya. Ada keperluan apa, putri raja Maheswara Kamandaka mengendap-endap masuk pondoknya?"Sssttt!" Kenes Kirana me
Wono Daksino di pagi hari ataupun siang nyaris tak ada beda. Pohon hutan yang besar dan rimbun menghalangi cahaya matahari menerobos masuk, sehingga selalu tampak redup. Elang mengambil sebuah kerikil dan memasukkannya ke dalam wadah yang terbuat dari gerabah setiap pagi menjelang. Begitulah caranya menghitung jumlah hari yang telah dia lalui di hutan ini. Berharap dia bisa melalui setahun masa hukuman ini dengan selamat.Demikian yang dilakukannya pagi ini, dia memasukkan sebuah kerikil di dalamnya. "Ah, ternyata aku sudah 30 hari tinggal di hutan ini.""Masih ada banyak hari yang harus kulalui di hutan ini, semoga aku bisa." Pemuda tampan ini berkata dengan penuh harap. Ada banyak rencana yang harus dia selesaikan ketika masa hukuman telah usai nanti. "Aku akan membawa Biyung kembali ke desa. Hidup di desa jauh lebih menentramkan daripada hidup sebagai abdi dalem di Istana," gumamnya penuh penyesalan. Meninggalkan biyungnya yang sudah tua sendirian dengan status penjahat seperti
Gendhis terus berlari mengabaikan perintah sang Ibunda Selir yang terus memanggilnya tanpa jeda. Dia terus melangkah menjauh, karena hanya itu yang dia inginkan saat ini. Dia ingin pergi dari istana sejauh mungkin. Bulir-bulir air mata yang jatuh dari mata indah milik Gendhis menjadi saksi pilu. Bahwa, hatinya terluka melihat ayahandanya diperlakukan bagai tawanan di istana miliknya sendiri. Genangan basah itu semakin menganak sungai di wajah mulusnya. Sementara, tubuhnya naik turun oleh gerakan tangis yang begitu menyayat. Tidak bisa dibayangkan, jika Ibunda Selir dengan tega melakukan itu semua pada ayahandanya hanya demi tahta. Gendhis kecewa. Dalam benaknya, gadis itu tengah merutuki apa yang terjadi di ruang penjara bawah tanah. Bagaimana angkuh dan jumawanya seorang Gayatri ketika menyaksikan Gusti Prabu dan Gusti Ratu yang tengah menderita. Gendhis merasakan kemarahan dan kekecewaan yang berat terhadap Gayatri dan Senopati. Benar, jika Gendhis selalu iri melihat kecan
Hari ini mentari bersinar terik di seluruh penjuru Damar Langit. Sepasang anak muda tengah memacu kuda di jalanan tanah berhiaskan bebatuan. Mereka terus memacu kuda menuju Istana Damar Langit. Elang sama sekali tidak bisa menggoyahkan niat Kenes Kirana yang ingin melihat kondisi Kota Raja. "Hiyaa. Hiyaa." Suara derap sepatu kuda yang beradu dengan tanah terdengar memecah kesunyian di sepanjang jalan yang mereka lalui. Angin yang bertiup semilir seiring dengan laju kuda. Seolah mengalihkan hawa panas yang terasa menyengat membakar kulit mereka. Wajah putih seorang Raden Ayu Kenes Kirana tampak memerah, menjadikannya terlihat merona menggemaskan. Tepat ketika matahari tepat di atas kepala, si gadis sudah tidak tahan lagi untuk meneruskan perjalanan. Dia sudah tidak sanggup menahan panas yang menyengat kulit indahnya. "Elang, bisakah kita berteduh dulu? Duh, kulitku terlihat kusam," rengek gadis itu menyadari warna kulitnya. Ini pertama kali dirinya berkelana di alam liar ta
Istana terlihat sangat sibuk. Semenjak Senopati telah mendeklarasikan dirinya sebagai Raja. Dia sibuk menyiapkan kekuatan militer untuk memastikan semua sesuai dengan keinginannya. Para telik sandi telah memberi kabar padanya bahwa pasukan Patih Arya Wursita tidak bersedia patuh. Dia khawatir Arya Wursita akan bergabung dengan pasukan Tumenggung Mahawira dan menyusun kekuatan untuk menyerang kota raja.Para prajurit yang berada di bawah kendali Senopati berlatih dengan penuh semangat. Senopati sendiri turun tangan untuk memberi dorongan semangat pada prajuritnya. "Kita perjuangkan Istana ini, sampai titik darah penghabisan. Siap?" pidatonya berapi-api."Siap." Serentak para Prajurit menjawab ucapan Kanjeng Senopati.Suara pekikan semangat para Prajurit terdengar membahana membelah cakrawala.Tidak berbeda dengan bagian depan istana, para Tabib juga tidak kalah sibuk. Mereka menyiapkan obat-obatan untuk persiapan jika perang telah pecah, pasti akan ada banyak Prajurit yang terluka.Ag
Sepasang anak muda itu terjebak dalam keheningan yang memekakkan telinga. Ada begitu banyak kalimat yang ingin dimuntahkan Elang pada Kenes yang suka bertindak tanpa berpikir panjang, tapi melihat situasinya saat ini dia hanya bisa menelan kembali dengan pahit.Sementara Kenes dengan statusnya yang tinggi, sepanjang hidupnya tak ada yang berani menyalahkan, mana mungkin bersedia merendahkan dirinya untuk meminta maaf. Elang hanya bisa menyimpan rasa kesal di dalam hati, tidak tega memarahi gadis cantik yang masih berdiri dengan kepala tertunduk."Apa masih ingin melarikan diri dariku?" sindirnya sembari melipat tangan di depan dada.Bukannya menjawab, Kenes mendengkus sebal. Bibirnya mengerucut. Mana mungkin dia tidak paham dengan kalimat sindiran ini. "Aku pergi dulu!" Elang melangkah pergi. Namun, baru beberapa langkah, suara Kenes sudah terdengar."Elang." Langkah pemuda itu terhenti.Dia hanya berdiri tanpa suara, menunggu putri Maheswara Kamandaka itu melanjutkan kalimatnya."K
Apa yang saat ini terjadi padanya sungguh hal yang tak ada di dalam perhitungan Kenes. Sebelumnya, dia hanya merasa harus membuktikan kebenaran kabar yang didengarnya dengan datang sendiri ke Kota Raja. Sama sekali tidak memperhitungkan ada begitu banyak bahaya mengintainya sepanjang jalan menuju ke Kota Raja yang begitu jauh.Seorang dengan status Demang rendahan berani sekali menggoda, bahkan terang-terangan mengancamnya. Sungguh tidak bisa dimaafkan!"Saya bisa melindungi diri sendiri, sampeyan tidak perlu mengkhawatirkan saya," tolaknya tegas.Mana mungkin Kenes tidak mengerti setiap kalimat yang diucapkan oleh Demang itu mengandung niat buruk. Jika tetap tinggal, justru membahayakan dirinya sendiri."Ha-ha-ha, ternyata seorang gadis yang galak dan keras kepala. Baiklah, jika bersikeras melanjutkan perjalanan, aku tidak akan menghalangi," ucapnya sambil menyeringai. Ada kilat licik yang sempat ditangkap Kenes dari tatap matanya. "Terima kasih." Kenes menjawab acuh tak acuh.Pria
"Kenes, tolong tumbukkan rimpang dan herbal ini!" "Kenes, tolong ambilkan air di sebelah sana!" "Kenes, jangan bergerak begitu lambat, kamu harus bergerak cepat saat mengobati pasien!" Hari ini Kenes sangat sibuk disuruh-suruh melakukan ini dan itu. Ada begitu banyak hal yang diperintah oleh Elang Taraka untuknya. Pemuda tampan itu menurunkan titah dan memperlakukan seorang putri raja, sebagaimana kacung rendahan. Kendati sebesar apapun rasa kesal yang membuncah di dada Kenes Kirana, gadis itu mencoba bersabar. Ada begitu banyak orang sakit yang ada di pendopo ini. Mana mungkin dia tega mempermasalahkan sikap Elang. Bisa-bisa dia akan mendapatkan label buruk dari rakyatnya sendiri nantinya.Setengah hari dia terus berputar seperti gasing melakukan ini dan itu, Kenes akhirnya kelelahan.Tubuhnya dilanda rasa penat yang sangat. Setelan pabrik tubuh seorang Tuan Putri seperti dirinya adalah menerima pelayanan dari begitu banyak orang di Keputren, bukan melayani orang lain. Dia tidak
"Kalau begitu, katakan padaku, kamu memilih untuk mati dengan cara bagaimana?" Elang berkata jengkel. Gadis ini seharusnya mengucapkan terima kasih padanya, bukan malah menuduhnya sebagai penjahat. Kenes membuang wajah sambil memberengut. Tidak menyangka Elang berani berkata begitu padanya. Apa dia lupa, saat ini sedang bicara dengan Putri Raja Damar Langit? "Kenapa? Kamu tidak percaya padaku kalau aku bisa melemparmu ke bawah sana sekarang?" tambah Elang menantang. Sesekali, gadis ini memang harus diberi pelajaran, supaya tidak bersikap sesuka hati. "Kamu berani? Kamu akan menjadi buronan seluruh kerajaan Damar Langit jika berani bersikap kurang ajar padaku!" Kenes membalas kasar. "Tentu saja aku berani! Kamu jangan menantangku!" Ingin sekali Elang memukul kepala gadis cerewet ini, kesal. Kenes mendengkus sebal. Melihat ekspresi serius Elang saat mengatakan akan melemparnya ke bawah, Kenes mendadak ngeri. Lebih baik dia menahan diri dan mengomel lagi setelah turun dari punggung
Elang sama sekali tidak menyangka Kenes Kirana justru akan melakukan hal yang kontra produktif dengan rencananya. Setelah berhasil masuk ruangan untuk bertemu dengan Kenes dengan susah payah, gadis itu malah melaporkannya pada penjaga. "Gusti Putri, aku datang untuk menyelamatkanmu!" dengkus Elang tak berdaya."Menyelamatkan dari apa? Aku aman di sini!" balasnya masih dengan tatapan curiga.Pemuda tampan berambut panjang itu hanya bisa membuang napas gusar. Ucapan sudah terlanjur keluar tak bisa ditarik lagi. Suaranya begitu jelas menyapa indra dengar para pengawal yang berjaga dengan penuh kewaspadaan di luar. "Maaf, Raden Ayu. Aku terpaksa melakukannya!" Elang Taraka menotok titik akupuntur Raden Ayu. Daripada Kenes akan bertindak di luar kontrol Elang, lebih baik dia membuat Kenes pingsan saja. Tak ingin memperpanjang dialog yang tidak berguna.Bersamaan dengan itu, terdengar derap suara langkah kaki memasuki ruangan dengan tergesa-gesa."Kurang ajar! Orang jahat berani masuk ke
Burung rajawali raksasa terbang melayang di cakrawala berputar-putar di langit Kahuripan. Kepakan sayapnya menampar angin yang menciptakan deru yang berisik. “Kamu yakin ini Desa Kahuripan?” tanya Elang memastikan. Elang yang tampak duduk dengan tenang di punggung rajawali, bersikap waspada. Dia belum sembuh dari keterkejutan. Dirinya sendiri masih belum percaya sepenuhnya dengan apa yang dialaminya saat ini. Sehebat inikah bisa menguasai ajian gineng? Tidak disangka sebuah keluhan ringan untuk bisa terbang menuju Kahuripan didengar oleh burung ini."Kamu bisa lihat di sebelah sana, di rumah itu orang yang kamu cari disekap," balasnya."Hey, kamu bahkan bisa mengerti apa yang sedang kupikirkan?" Elang mengelus kepala rajawali raksasa dengan tatapan curiga.Rajawali tidak menjawab. Dengan pongah dia mencari tempat nyaman untuk mendarat.Langit yang sehitam tinta menyamarkan keberadaan mereka. Orang yang di bawah seakan tak terpengaruh. Suasana tetap lengang. Kesunyian melanda hanya t