Part 6 : Bermuka Dua

Seorang gadis melangkah dengan anggun menuju Kaputren dimana Raden Ayu Kenes Kirana tinggal. Di belakangnya, berbaris beberapa Dayang yang mengiringi langkah. Wajah semringah terpancar menguarkan aura kebahagiaan yang tak sanggup dideskripsikan dengan aksara. Sesekali dia tersenyum, sesekali bernyanyi, rasa bahagia tak tertandingi membuat suasana hatinya begitu riang.

Dia adalah Gendhis Widuri. Malam ini putri kedua dari Gusti Prabu Maheswara Kamandaka itu berniat mengunjungi saudari tirinya yang sedang ditimpa bencana.

"Belum pernah aku sebahagia ini sebelumnya," gumamnya.

"Lanjar, sekarang aku telah menjadi yang paling cantik, bukan?" bisiknya pada salah satu Dayang pribadinya.

"Raden Ayu, jangan keras-keras. Dinding istana ini punya banyak telinga." Lanjar berbisik mengingatkan. Semua penghuni Keputren jelas-jelas bersaing, meski tak kentara. Jika didengar oleh orang lain, bisa-bisa akan memancing di air keruh. Akan ada masalah yang timbul merepotkan mereka.

Gendhis menutup bibir dengan dua tangannya. Lalu, kembali tertawa senang.

"Raden Ayu, sudah dekat dengan ruangan pribadi Raden Ayu Kenes Kirana. Jangan banyak tersenyum." Lanjar kembali mengingatkan.

"Baiklah, Lanjar. Kamu memang sangat cerdas." Dia memuji Dayang kepercayaannya.

Ketika semakin dekat dengan ruangan pribadi kakak tirinya, Gendhis memperlambat langkah. Bersamaan dengan itu, dia merubah ekspresi wajah menjadi sesedih mungkin.

"Bener begitu, Raden Ayu." Lanjar tersenyum melihat junjungannya telah memulai bermain peran.

"Kalian ikuti permainan ini, mengerti!" Gadis itu memerintah pada Dayang yang lain untuk mengubah wajah mereka menjadi sedih.

Mereka mengangguk mengerti.

Suasana ruangan pribadi Kenes masih diliputi kesedihan. Para Dayang berdiri dengan patuh di depan pintu masuk dengan wajah nelangsa. Mereka ikut merasakan kesedihan junjungan mereka yang baru saja ditimpa bencana.

Suara Isak tangis terdengar begitu menyayat hati begitu langkah Gendhis makin dekat. Kesedihan mengoyak hati melebihi kesedihan kinjeng tangis yang berdengung sepanjang malam.

"Ibunda, kenapa kemalangan ini menimpaku?" isak Raden Ayu Kenes Kirana mengharu biru.

"Kenes, kita akan mencari Tabib Ahli untuk memulihkan kulitmu seperti semula," hibur Gusti Ratu seraya mengelus rambut Kenes.

"Aku malu keluar dari istana, Bunda." Gadis cantik yang kini bertopeng monster itu mengiba. Di dalam ruangannya, dia menanggalkan cadar sutera yang biasanya menutupi wajah yang dipenuhi jerawat meradang yang memerah mengerikan.

Gusti Ratu mendesah panjang.

"Tinggi rendahnya martabat manusia itu bukan terletak pada kesempurnaan fisik, Kenes. Kenapa harus malu, hmm?" ujar Gusti Ratu lembut.

"Bagaimana jika aku dikucilkan, Bunda Ratu?"

Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik memikat itu memeluk Kenes erat. Dia tahu betul saat ini putrinya sedang bersedih hati.

"Tidak akan! Mereka mencintaimu, karena keluhuran budimu. Kamu senang menolong orang," bisiknya lembut.

Bersamaan dengan itu, Dayang kepercayaan Gusti Ratu melangkah mendekat ke arah keduanya, seraya membisikkan sesuatu pada Gusti Ratu.

"Persilakan masuk!" titah Isyana Kusumawardani.

"Sendiko dawuh, Gusti Ratu."

Dayang kepercayaan Gusti Ratu itu melangkah kembali ke depan pintu masuk. Di sana, Gendhis Widuri menunggu izin untuk masuk ke ruangan pribadi Raden Ayu Kenes Kirana.

Putri cantiknya segera mengenakan kembali cadar sutera untuk kembali menutupi bagian wajah. Tak ingin ada orang lain melihat kemalangan yang menimpanya.

Setelah Dayang utusan Gusti Ratu mempersilakan masuk, Gendhis melangkah menuju ibu dan anak itu yang sedang duduk.

"Mohon izin menghadap, Gusti Ratu dan Yunda Kenes."

Gendhis memberi salam kepada keduanya. Isyana kusumawardani mengulas senyum tipis. Lalu, mempersilakan Gendhis duduk bergabung bersama keduanya.

Gendhis menatap wajah Kenes yang samar terlihat memerah dan mengelupas di beberapa bagian wajahnya. Cadar tipis itu masih bisa mengabarkan luka yang telah ditutupinya, meski samar.

"Separah ini, Yunda Kenes?" gumam Gendhis terdengar bersimpati.

Kenes menghela napas panjang, gurat kesedihan masih bersemayam di wajahnya. Gadis itu mencoba mengulas senyum di hadapan adik tirinya.

"Iya, Dinda."

"Ini pasti bisa disembuhkan, Yunda. Walau sesulit apapun, Romo pasti akan mencari Tabib terbaik untuk menyembuhkan kulitmu," ucap Gendhis terdengar menghibur.

Mereka lalu saling berbincang tentang kemungkinan kesembuhan bagi Kenes. Gendhis memberi semangat pada kakaknya untuk bersabar dengan ujian yang sedang menimpanya. Meski, dalam hatinya dia tengah bergembira. Menyaksikan kejadian langkah yang membuat hatinya berbunga-bunga.

"Terima kasih, Dinda. Kamu telah meluangkan waktumu yang berharga untuk menjengukku," ucap Kenes seraya tersenyum tipis.

"Iya, sama-sama, Yunda."

Perbincangan basa-basi yang terjadi akhirnya harus diakhiri seiring dengan malam yang makin larut.

Rembulan bongkok menggantung di langit membiaskan cahaya di antara gelapnya malam. Mengalunkan gendhing pengantar tidur bagi alam semesta raya.

***

Seorang pria muda berjalan mengendap-endap menuju penjara bawah tanah. Tangan kanannya membawa cawan yang terbuat dari keramik bermotif burung kecil yang hinggap di dahan pohon.

Dia terus melangkah pelan, hingga berhasil menuruni tangga menuju penjara bawah tanah.

Suasana penjara tampak temaram. Hanya ada beberapa penjaga yang terlihat sedang duduk-duduk, mungkin Prajurit yang lain sedang berkeliling memastikan keadaan aman.

Pria muda pemilik sepasang netra sipit itu melangkah dengan percaya diri.

"Siapa kamu?" tanya salah satu Prajurit mengintimidasi.

"Aku Gentala Wisesa, salah seorang Tabib istana."

"Ada perlu apa?" tanyanya lagi.

"Aku membawakan ramuan obat untuk Elang Taraka, biarkan aku masuk!"

"Apa anda mendapat izin untuk mengobati?" Prajurit itu bertanya dengan nada yang lebih ramah dari pada sebelumnya.

"Jika dia sampai mati sebelum diadili, kalian akan mendapat masalah besar!"

Para Prajurit itu terdiam saling pandang. Seolah mereka sedang berpikir tentang apa yang disampaikan oleh Gentala Wisesa.

"Jangan terlalu lama!" ujar Prajurit itu kemudian.

Akhirnya mereka mengizinkan Gentala Wisesa masuk ke ruang penjara bawah tanah. Pria muda itu tersenyum semringah, demi mendengar ucapan Prajurit. Setelah mengucapkan terima kasih, dia melangkah menuju ruangan bersekat krangkeng besi besar, dimana Elang terkapar di dalamnya.

Seorang Prajurit membukakan gembok ruangan Elang dan mempersilakan Gentala Wisesa masuk.

Di sana, tampak sesosok tubuh pria tampan yang dipenuhi dengan luka pecutan. Pria itu segera menghampiri dan duduk meraih tubuh ringkih itu.

"Elang, tenanglah. Aku akan mengobati lukamu," ucap Gentala menatap Elang dengan tatapan iba.

"Genta, kamu datang?"

"Tentu saja, kamu adalah sahabatku, bukan?" jawab Gentala seraya tersenyum simpul.

Tangan Gentala dengan cekatan mengoles ramuan di tubuh Elang yang terluka.

"Apa kamu percaya jika aku bilang ada yang menukar ramuanku, Genta?" tanya Elang lirih.

"Maksudmu?"

"Ramuan yang aku buat telah ditukar oleh orang lain, ramuan yang dibalurkan di wajah Raden Ayu, bukan ramuan buatanku," keluh Elang sedih.

"Siapa yang melakukannya?" Gentala terlihat kaget mendengar ucapan Elang.

"A-aku ...."

"Kenapa?"

"Aku tidak tahu," jawab Elang miris.

Gentala menghela napas panjang. Dia melihat sepasang mata penuh penyesalan dari sorot mata Elang. Dia tahu sahabatnya itu pasti menyimpan rasa penasaran. Siapa orang yang telah membuat Elang sebagai tumbal?

"Jangan-jangan...." Gentala tiba-tiba teringat dengan gerak-gerik mencurigakan yang dilakukan Agra Gajendra tadi sore.

Bersambung