Share

Part 5 : Gendhis Widuri

Author: Ummu Nadin
last update Last Updated: 2024-04-19 09:34:19

Di ruang obat Istana, Agra Gajendra beberapa kali melirik tempat dimana beberapa hari terakhir ini, Elang menghabiskan waktu untuk membuat ramuan. Masih ada tersisa beberapa bahan herbal di sana.

Setelah memastikan tidak ada orang, Agra mengayunkan langkah mendekati tempat dimana Elang menghabiskan waktu selama beberapa hari ini.

“Cendana dan Akar wangi?” lirihnya setelah mencium bahan herbal yang ada di sana.

Agra mencium tempat Elang menumbuk bahan-bahan herbal yang digunakan untuk mengobati sang Putri.

Tabib mempunyai penciuman yang sangat sensitif. Dia bisa membedakan beberapa jenis bahan herbal yang terkandung dalam sebuah ramuan dengan akurat. Semua itu karena mereka melatih penciuman mereka selama bertahun-tahun. Sebagai asisten tabib, Agra juga harus mempunyai kemampuan dasar ini.

Ketika Agra baru saja meletakkan lumpang kecil yang digunakan Elang, Gentala Wisesa tiba-tiba sudah berada di sana dengan wajah kaget.

“Agra? Untuk apa kamu di sini?” sapa Gentala begitu melihat Agra terlihat mencurigakan.

"Genta, aku … aku hanya melihat bahan herbal di tempat itu.”

“Ada urusan apa kamu dengan sisa bahan herbal yang digunakan Elang, Agra?” Gentala menatap penuh tanda tanya. Dalam hati dia merasa curiga.

Kemarin bukankah Agra masih acuh tak acuh, saat Genta mengajaknya membantu Elang. Sekarang, kenapa dia berada di tempat ini diam-diam.

“Agra, jangan-jangan kamu diam-diam—”

“Jangan berpikir macam-macam, kamu Genta!” potong Agra. Genta itu terlalu mudah menyimpulkan segala sesuatu.

“Apa salah kalau aku curiga padamu, Agra? Apa yang kamu lakukan hari ini memang mencurigakan!” balasnya.

“Jangan sembarangan! Aku baru saja datang. Aku lihat ada akar wangi dan cendana di sini. Apa salah kalau aku mencium baunya?” Agra harus mengatakan sesuatu untuk menghilangkan kecurigaan Gentala. Takutnya, akan menimbulkan sesuatu yang tidak baik untuknya.

Selepas berkata demikian, Agra mengayunkan langkah pergi. Gentala masih berdiri terpaku di tempatnya tak bergerak sedikitpun. Tatapan matanya mengisyaratkan kecurigaan pada Agra.

“Aah, lupakan saja! Aku akan membuat ramuan untuk Elang. Pasti tubuhnya luka-luka sekarang.” Gentala melihat prajurit yang menggelandang Elang ke Penjara sangat kasar memperlakukannya. Elang pasti disiksa oleh mereka. Genta membuatkan ramuan untuk mengobati luka.

“Entah bagaimana nasibmu setelah ini. Hukuman apa yang sudah menunggumu nanti. Aah, kasihan sekali kamu, Lang.” Gentala menyiapkan beberapa bahan herbal yang akan dia tumbuk untuk dia kirimkan ke Penjara.

Kemudian, Gentala sudah sibuk dengan pekerjaannya. Agra ternyata masih ada di sana, memperhatikan apa yang dilakukan oleh Gentala dengan wajah aneh.

Sesekali, Agra melirik akar wangi dan cendana yang sempat disembunyikannya di balik baju.

Dengan langkah tergesa, Agra meninggalkan ruang obat istana menuju tempat tinggalnya.

Hanya tersisa Gentala Wisesa yang masih sibuk membuat ramuan obat untuk teman sejawatnya yang saat ini sedang bernasib sial.

“Aah, sudah selesai. Aku akan mengantarnya ke Penjara.” Ada senyuman terbit dari sudut bibir Genta. Selain obat, Gentala juga membawa sedikit makanan untuk Elang.

“Kamu harus kuat menghadapi hal yang mungkin saja lebih buruk lagi di masa depan, Lang.” Genta geleng-geleng kepala menyadari hidup di dalam Istana telah membuat orang bisa berbuat sangat kejam. Demi mendapatkan sedikit uang atau jabatan, dia bahkan bisa mengorbankan siapapun.

“Istana memang sekejam ini, Lang. Jika tidak punya kemampuan bertahan, harus rela dijadikan tumbal.” Gentala membuang napas kasar setelahnya.

***

Terdengar suara langkah kaki khas bangsawan sedang berjalan mondar-mandir di taman keputren. Sepasang kaki berbalut selop indah berhiaskan benang emas serta batu permata berkilauan yang menciptakan irama khusus jika dipakai untuk melangkah.

Langkah kaki itu milik Raden Ayu Gendhis Widuri, putri dari salah satu selir yang dimiliki Gusti Prabu.

“Ibunda Selir, apa luka di wajah Kenes Kirana tidak bisa disembuhkan?” tanyanya penuh harap.

Sejak kecil, dia tidak bisa hidup tenang. Semua orang selalu mengelu-elukan nama Gusti Putri Kenes Kirana. Meski sama-sama putri Gusti Prabu, tapi mereka jelas mempunyai kedudukan yang berbeda. Kenes adalah putri dari Gusti Ratu, sedangkan Gendhis hanya putri seorang Selir.

“Meski bisa sembuh, pasti masih meninggalkan bekas luka. Tak akan sama lagi seperti sebelumnya!” sahut sang Ibu dengan wajah puas.

“Apa kamu senang, hmm?” Ada senyum licik terulas dari bibir Gayatri. Dia memang tak bisa menyingkirkan Gusti Ratu dari sisi Gusti Prabu, tapi Gendhis Widuri harus mengalahkan kecantikan Kenes Kirana.

“Aah, ibu. Aku belum pernah merasa begitu senang, seperti hari ini. Akhirnya, aku akan menjadi putri tercantik di Damar Langit. Kenes hanya akan menjadi putri yang tak akan lagi diingat namanya. Ha-ha-ha.”

Aura kebahagiaan menyelimuti Keputren yang ditempati Gendhis Widuri. Bertolak belakang dengan Istana Keputren milik Kenes Kirana yang saat inj sedang berkabut duka.

"Salah sendiri, kamu terlalu menonjol, Kenes! Semua orang selalu menomor satukan kamu dan selalu mengabaikanku! Sekarang akhirnya, tiba giliranku untuk bersinar di dalam Istana ini," gumam Gendhis dengan wajah bahagia.

Gendhis Widuri adalah putri dari selir Gayatri. Meski mereka adalah saudara tiri, tapi tidak ada kemiripan fisik. Kenes mewarisi kecantikan Gusti Ratu yang sangat memikat. Sementara Gendhis memiliki kulit sawo matang dan hidung tidak begitu tinggi, sangat jauh berbeda dengan Kenes.

"Jangan terlalu memperlihatkan kebahagiaanmu, Gendhis! Di hadapan Gusti Prabu dan yang lainnya, kamu harus terlihat sedih dengan musibah yang terjadi pada Kakang Mbokmu!” Selir Gayatri mengingatkan.

“Baik, Ibunda. Aku akan mengingatnya.”

“Jangan sampai membuat semua orang curiga pada kita, Gendhis! Istana ini bisa memakan manusia tanpa mayat!” Begitu masuk Istana, mereka harus pandai bermain peran. Meski tak sesuai dengan hati nurani, mereka harus ikut bahagia jika pemilik tahta bahagia. Mereka harus ikut bersedih ketika pemilik tahta bersedih. Tak peduli sebenci apa, tidak boleh menampakkan kebencian jika tak ingin celaka.

“Ibunda sudah mengajarkan semuanya kepadamu, bagaimana cara bertahan hidup di dalam Istana. Kamu harus menggunakannya seumur hidup!” Selir Gayatri kembali menasihati.

“Hanya dengan seperti ini kamu bisa bertahan di Istana keputren. Di luar sana, ada begitu banyak gadis cantik. Jika Gusti Prabu menghendaki mereka menjadi Selir, persaingan di Keputren ini akan makin ketat. Kamu harus mengingat semua pelajaran yang sudah Ibu ajarkan ini! Mengerti?!”

“Ibunda tidak usah khawatir. Aku sudah mengingat semua yang Ibunda ajarkan.” Gendhis Widuri berkata untuk menenangkan hati sang Ibu.

"Jangan hanya mengingat saja, tapi lakukan dengan baik. Pamanmu sudah bekerja keras untuk kita. Dia tidak tega kita selalu menjadi bayang-bayang di Istana ini. Hanya Gusti Ratu dan Kenes Kirana yang menjadi tokoh utama, kita hanya peran pelengkap yang tak pernah dianggap penting."

"Ibunda Selir, aku tidak akan lupa. Paman sudah bekerja keras untuk memperbaiki nasib kita. Aku pasti tidak akan menyia-nyiakan kerja kerasnya."

Gayatri menatap puas putrinya. Tak sabar rasanya untuk menikmati menjadi tokoh utama dalam Istana ini, saat Kenes Kirana sudah tersingkir sepenuhnya.

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
taqiyyuut aja
oh....ini dalangnya....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 6 : Bermuka Dua

    Seorang gadis melangkah dengan anggun menuju Kaputren dimana Raden Ayu Kenes Kirana tinggal. Di belakangnya, berbaris beberapa Dayang yang mengiringi langkah. Wajah semringah terpancar menguarkan aura kebahagiaan yang tak sanggup dideskripsikan dengan aksara. Sesekali dia tersenyum, sesekali bernyanyi, rasa bahagia tak tertandingi membuat suasana hatinya begitu riang.Dia adalah Gendhis Widuri. Malam ini putri kedua dari Gusti Prabu Maheswara Kamandaka itu berniat mengunjungi saudari tirinya yang sedang ditimpa bencana."Belum pernah aku sebahagia ini sebelumnya," gumamnya."Lanjar, sekarang aku telah menjadi yang paling cantik, bukan?" bisiknya pada salah satu Dayang pribadinya."Raden Ayu, jangan keras-keras. Dinding istana ini punya banyak telinga." Lanjar berbisik mengingatkan. Semua penghuni Keputren jelas-jelas bersaing, meski tak kentara. Jika didengar oleh orang lain, bisa-bisa akan memancing di air keruh. Akan ada masalah yang timbul merepotkan mereka.Gendhis menutup bibir d

    Last Updated : 2024-04-19
  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 7 : Peradilan

    Ayam jantan berkokok saling bersahut-sahutan, membangunkan penduduk kerajaan Damar Langit dari peraduan yang hangat. Kicauan burung cucak rowo yang bernyanyi di dahan pohon, menambah syahdu suasana pagi.Sialnya, suasana syahdu pagi ini sangat bertolak belakang dengan nasib malang Elang Taraka.Sejak matanya terbuka, atau lebih tepatnya dipaksa terbuka oleh tendangan Prajurit penjaga penjara, dia sudah harus kembali bergumul dengan rasa ngilu di seluruh tubuhnya yang terluka. Lebih mengenaskan lagi, ketika dia mulai diarak berjalan menuju alun-alun istana untuk diadili. Dia hanya bisa pasrah menjadi tontonan orang-orang, layaknya seorang penjahat kelas kakap.Sungguh keadaan yang sangat mengenaskan.Pemuda yang tubuhnya penuh luka itu hanya pasrah ketika Prajurit menyuruhnya duduk bersimpuh di tanah, untuk diadili. Gusti Prabu Maheswara Kamandaka sengaja mengadakan peradilan terbuka di alun-alun Istana, sebagai peringatan bagi siapapun yang mempunyai niat buruk mencelakai keluarga ker

    Last Updated : 2024-04-19
  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 8 : Getar Cinta Beda Kasta

    "Hooo ....""Hooo ...."Siulan burung hantu di tengah malam buta serupa suara kematian yang mengkerdilkan jiwa yang larut dalam ketakutan. Banyak orang lebih memilih untuk merapatkan diri dalam hangatnya selimut, menyelami mimpi indah di peraduan.Suasana malam ini sangat lengang. Sesekali hanya terdengar suara derap sepatu Prajurit yang berkeliling di istana. Selebihnya hanya sunyi mencekam.Di Istana Kaputren, Kenes masih terduduk di pembaringan indahnya. Sepasang manik abu-abu miliknya masih bersinar indah, belum menandakan ada rasa kantuk di sana.Hal ini sangat bertolak belakang dengan penghuni istana yang lain, yang sudah terlelap dalam dunia mimpi. Kenes malam ini malah tidak bisa tidur sama sekali.Baru kali ini dia merasakan ada dilema antara hati dan logikanya sendiri. Jika digambarkan, sesungguhnya sedang terjadi perang besar antara hati dan logika yang ada dalam dirinya. Keduanya saling menyerang satu sama lain layaknya musuh."Kenapa aku jadi kepikiran tentang dia?" gumam

    Last Updated : 2024-04-19
  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 9 : Ganjaran untuk Elang

    Matahari yang mulai menyingsing dari peraduannya kini terlihat menyemai cahaya untuk para penduduk bumi kerajaan Damar Langit. Satu persatu para penghuni istana mulai beraktifitas di tempat tugas masing-masing. Dapur istana yang tadinya berselimut dingin, menghangat karena kobaran tungku tanah mulai dipakai memasak hidangan mewah untuk keluarga kerajaan.Hiruk pikuk penduduk sekitar istana, seakan tak terpengaruh dengan Elang yang tengah dirundung derita. Sungguh kejam, tak ada seorang pun yang memedulikannya. Alam semesta tetap berputar seperti biasa. Elang memang hanya seonggok debu atau sampah tidak berguna yang tersungkur di bilik sangkar besi.Ini adalah hari pengadilan kedua untuknya. Prajurit kalap memukuli Elang karena pemuda itu tidak segera bangkit, ketika panggilan namanya bergema di ruang bawah tanah yang sempit dan pengap tak segera mendapatkan tanggapan.Elang tertatih. Sekuat tenaga berusaha bangkit, menahan ngilu. Semalaman dia benar-benar tidak bisa tidur barang sek

    Last Updated : 2024-04-19
  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 10 : Wono Daksino

    Alun-alun kota raja kerajaan Damar Langit masih dipenuhi kerumunan manusia. Mereka ingin menyaksikan iring-iringan Prajurit yang akan mengawal Elang Taraka menuju tempat pengasingan. Wono Daksino, hutan yang terkenal angker dan wingit.Di barisan paling depan ada kereta istana yang terlihat begitu jumawa, ditarik oleh kuda-kuda pilihan. Sepasang kuda hitam milik kanjeng Senopati Raden Mas Bratasena. Dia diberi tugas oleh Gusti Prabu untuk memastikan tahanan tidak melarikan diri dari hukuman berat yang dijatuhkan padanya."Prajurit, Gusti Prabu sudah membuat keputusan mengasingkan Elang Taraka di Wono Daksino. Mari kita bersiap berangkat!" Raden Mas Bratasena memberi aba-aba dengan wajah datar."Siap." Serentak mereka menjawab titah dari sang Senopati.Para Prajurit yang akan mengawal Kanjeng Senopati berbaris tampak megah dan gagah berani. Bertolak belakang dengan Elang yang diikat kedua tangannya, berjalan terlunta-lunta dengan telanjang kaki, mengenaskan.Elang diarak meninggalkan a

    Last Updated : 2024-04-20
  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 11 : Jubah Hitam

    "Ada gubuk berdiri di tengah rimba Wono Daksino?" Sepasang netra Elang menyipit curiga."Apakah ada manusia yang tinggal di sini?" gumamnya lirih.Tadi, Elang sempat berharap bisa menemukan manusia lain di tempat ini. Namun, saat melihat ada sebuah gubuk di tengah hutan, bulu kuduknya tiba-tiba meremang.Kepalanya bertanya-tanya, manusia hebat seperti apa yang mempunyai nyali begitu besar membangun tempat tinggal di tempat seperti ini?Gubuk itu di kelilingi dengan rimbunnya tanaman. Hutan ini belum pernah terjamah manusia. Sehingga tidak heran jika dijadikan sebagai tempat untuk mengasingkan para tahanan.Sejujurnya, hukuman mengasingkan diri di tengah hutan yang masih perawan seperti di Wono Daksino adalah lebih kejam dari hukuman mati. Hidup seorang diri terlunta-lunta di tempat yang semengerikan ini, hanya akan membuat jantung berpacu lebih cepat karena rasa takut. Akhirnya orang akan menyerah pada hidup.Nasib sial bertubi-tubi menimpa Elang. Entah apa yang akan dia temui di huta

    Last Updated : 2024-04-20
  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 12 : Harimau Loreng

    Mata pemuda tampan itu terpejam bersiap menerima terkaman harimau loreng yang tiba-tiba muncul itu. Dia sudah pasrah dengan kematian yang sebenarnya belum dia inginkan.Mungkin karena kelelahan fisik yang dia rasakan sudah melebihi ambang batas. Rasa ngilu bekas siksaan yang dia dapatkan di penjara bawah tanah kemarin masih terasa perih. Bekas luka yang terbuka ditambah berjalan kaki ratusan mil selama tiga hari, membuat tubuhnya merasakan kelelahan yang sangat.Belum lagi dia yang kelabakan menghindari lesatan anak panah dari pembunuh bayaran yang dijumpainya tadi. Semua terasa sangat melelahkan.Sekarang, dia harus berjuang melawan predator ini sendirian. Ah, rasanya dia ingin menyerah saja.Elang memejamkan mata untuk mengusir segala kengerian. Membayangkan tubuhnya dicabik-cabik oleh binatang buas membuat rasa takut begitu menguasai dirinya."Aku lelah harus berusaha sekeras ini untuk bertahan hidup. Kenyataannya, hidupku memang tidak terlalu berharga," cicitnya. Nasib sial tak he

    Last Updated : 2024-04-20
  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 13 : Kabut Kesedihan

    Saat ini, istana Kaputren sedang berselimut kabut. Bertambah lagi satu alasan kesedihan Kenes Kirana. Bukan saja karena telah kehilangan wajah cantiknya saja. Sekarang, Kenes merasa sedih dengan alasan yang lain, yakni memikirkan ucapan Elang saat terakhir kali mereka berjumpa.Kenes yang tempo hari menemui Elang di gerbang istana itu mulai mencerna ucapan lelaki yang sudah empat malam ini membuat tidurnya kelabakan. Dihantui bayangan wajah dan kata-kata terakhirnya.Kabut tipis di Kaputren, semakin menebal hingga berubah menjadi rintikan hujan. "Jaga dirimu baik-baik, Raden Ayu. Penjahat yang asli masih berkeliaran di dalam Istana."Ucapan itu selalu menjadi mimpi di kala tidur. Sebenarnya ada apa? Apa yang sedang terjadi di Istana ini? "Siapa yang berniat jahat padaku?" gumamnya.Kenes berjalan mondar-mandir penuh rasa penasaran Bagaimanapun, ucapan Elang sangat mengganggunya. Selama bertahun-tahun, Damar Langit selalu damai dan tentram. Tak ada musuh yang berani menyerang. Kenap

    Last Updated : 2024-04-20

Latest chapter

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 36 : Menghilangnya Gendhis

    Gendhis terus berlari mengabaikan perintah sang Ibunda Selir yang terus memanggilnya tanpa jeda. Dia terus melangkah menjauh, karena hanya itu yang dia inginkan saat ini. Dia ingin pergi dari istana sejauh mungkin. Bulir-bulir air mata yang jatuh dari mata indah milik Gendhis menjadi saksi pilu. Bahwa, hatinya terluka melihat ayahandanya diperlakukan bagai tawanan di istana miliknya sendiri. Genangan basah itu semakin menganak sungai di wajah mulusnya. Sementara, tubuhnya naik turun oleh gerakan tangis yang begitu menyayat. Tidak bisa dibayangkan, jika Ibunda Selir dengan tega melakukan itu semua pada ayahandanya hanya demi tahta. Gendhis kecewa. Dalam benaknya, gadis itu tengah merutuki apa yang terjadi di ruang penjara bawah tanah. Bagaimana angkuh dan jumawanya seorang Gayatri ketika menyaksikan Gusti Prabu dan Gusti Ratu yang tengah menderita. Gendhis merasakan kemarahan dan kekecewaan yang berat terhadap Gayatri dan Senopati. Benar, jika Gendhis selalu iri melihat kecan

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 35 : Rasa yang Bertahta

    Hari ini mentari bersinar terik di seluruh penjuru Damar Langit. Sepasang anak muda tengah memacu kuda di jalanan tanah berhiaskan bebatuan. Mereka terus memacu kuda menuju Istana Damar Langit. Elang sama sekali tidak bisa menggoyahkan niat Kenes Kirana yang ingin melihat kondisi Kota Raja. "Hiyaa. Hiyaa." Suara derap sepatu kuda yang beradu dengan tanah terdengar memecah kesunyian di sepanjang jalan yang mereka lalui. Angin yang bertiup semilir seiring dengan laju kuda. Seolah mengalihkan hawa panas yang terasa menyengat membakar kulit mereka. Wajah putih seorang Raden Ayu Kenes Kirana tampak memerah, menjadikannya terlihat merona menggemaskan. Tepat ketika matahari tepat di atas kepala, si gadis sudah tidak tahan lagi untuk meneruskan perjalanan. Dia sudah tidak sanggup menahan panas yang menyengat kulit indahnya. "Elang, bisakah kita berteduh dulu? Duh, kulitku terlihat kusam," rengek gadis itu menyadari warna kulitnya. Ini pertama kali dirinya berkelana di alam liar ta

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 34 : Tabiat Sang Selir

    Istana terlihat sangat sibuk. Semenjak Senopati telah mendeklarasikan dirinya sebagai Raja. Dia sibuk menyiapkan kekuatan militer untuk memastikan semua sesuai dengan keinginannya. Para telik sandi telah memberi kabar padanya bahwa pasukan Patih Arya Wursita tidak bersedia patuh. Dia khawatir Arya Wursita akan bergabung dengan pasukan Tumenggung Mahawira dan menyusun kekuatan untuk menyerang kota raja.Para prajurit yang berada di bawah kendali Senopati berlatih dengan penuh semangat. Senopati sendiri turun tangan untuk memberi dorongan semangat pada prajuritnya. "Kita perjuangkan Istana ini, sampai titik darah penghabisan. Siap?" pidatonya berapi-api."Siap." Serentak para Prajurit menjawab ucapan Kanjeng Senopati.Suara pekikan semangat para Prajurit terdengar membahana membelah cakrawala.Tidak berbeda dengan bagian depan istana, para Tabib juga tidak kalah sibuk. Mereka menyiapkan obat-obatan untuk persiapan jika perang telah pecah, pasti akan ada banyak Prajurit yang terluka.Ag

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 33 : Kesal

    Sepasang anak muda itu terjebak dalam keheningan yang memekakkan telinga. Ada begitu banyak kalimat yang ingin dimuntahkan Elang pada Kenes yang suka bertindak tanpa berpikir panjang, tapi melihat situasinya saat ini dia hanya bisa menelan kembali dengan pahit.Sementara Kenes dengan statusnya yang tinggi, sepanjang hidupnya tak ada yang berani menyalahkan, mana mungkin bersedia merendahkan dirinya untuk meminta maaf. Elang hanya bisa menyimpan rasa kesal di dalam hati, tidak tega memarahi gadis cantik yang masih berdiri dengan kepala tertunduk."Apa masih ingin melarikan diri dariku?" sindirnya sembari melipat tangan di depan dada.Bukannya menjawab, Kenes mendengkus sebal. Bibirnya mengerucut. Mana mungkin dia tidak paham dengan kalimat sindiran ini. "Aku pergi dulu!" Elang melangkah pergi. Namun, baru beberapa langkah, suara Kenes sudah terdengar."Elang." Langkah pemuda itu terhenti.Dia hanya berdiri tanpa suara, menunggu putri Maheswara Kamandaka itu melanjutkan kalimatnya."K

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 32 : Elang Datang

    Apa yang saat ini terjadi padanya sungguh hal yang tak ada di dalam perhitungan Kenes. Sebelumnya, dia hanya merasa harus membuktikan kebenaran kabar yang didengarnya dengan datang sendiri ke Kota Raja. Sama sekali tidak memperhitungkan ada begitu banyak bahaya mengintainya sepanjang jalan menuju ke Kota Raja yang begitu jauh.Seorang dengan status Demang rendahan berani sekali menggoda, bahkan terang-terangan mengancamnya. Sungguh tidak bisa dimaafkan!"Saya bisa melindungi diri sendiri, sampeyan tidak perlu mengkhawatirkan saya," tolaknya tegas.Mana mungkin Kenes tidak mengerti setiap kalimat yang diucapkan oleh Demang itu mengandung niat buruk. Jika tetap tinggal, justru membahayakan dirinya sendiri."Ha-ha-ha, ternyata seorang gadis yang galak dan keras kepala. Baiklah, jika bersikeras melanjutkan perjalanan, aku tidak akan menghalangi," ucapnya sambil menyeringai. Ada kilat licik yang sempat ditangkap Kenes dari tatap matanya. "Terima kasih." Kenes menjawab acuh tak acuh.Pria

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 31 : Gadis Menyebalkan

    "Kenes, tolong tumbukkan rimpang dan herbal ini!" "Kenes, tolong ambilkan air di sebelah sana!" "Kenes, jangan bergerak begitu lambat, kamu harus bergerak cepat saat mengobati pasien!" Hari ini Kenes sangat sibuk disuruh-suruh melakukan ini dan itu. Ada begitu banyak hal yang diperintah oleh Elang Taraka untuknya. Pemuda tampan itu menurunkan titah dan memperlakukan seorang putri raja, sebagaimana kacung rendahan. Kendati sebesar apapun rasa kesal yang membuncah di dada Kenes Kirana, gadis itu mencoba bersabar. Ada begitu banyak orang sakit yang ada di pendopo ini. Mana mungkin dia tega mempermasalahkan sikap Elang. Bisa-bisa dia akan mendapatkan label buruk dari rakyatnya sendiri nantinya.Setengah hari dia terus berputar seperti gasing melakukan ini dan itu, Kenes akhirnya kelelahan.Tubuhnya dilanda rasa penat yang sangat. Setelan pabrik tubuh seorang Tuan Putri seperti dirinya adalah menerima pelayanan dari begitu banyak orang di Keputren, bukan melayani orang lain. Dia tidak

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 30 : Kembali ke Desa Sewindu

    "Kalau begitu, katakan padaku, kamu memilih untuk mati dengan cara bagaimana?" Elang berkata jengkel. Gadis ini seharusnya mengucapkan terima kasih padanya, bukan malah menuduhnya sebagai penjahat. Kenes membuang wajah sambil memberengut. Tidak menyangka Elang berani berkata begitu padanya. Apa dia lupa, saat ini sedang bicara dengan Putri Raja Damar Langit? "Kenapa? Kamu tidak percaya padaku kalau aku bisa melemparmu ke bawah sana sekarang?" tambah Elang menantang. Sesekali, gadis ini memang harus diberi pelajaran, supaya tidak bersikap sesuka hati. "Kamu berani? Kamu akan menjadi buronan seluruh kerajaan Damar Langit jika berani bersikap kurang ajar padaku!" Kenes membalas kasar. "Tentu saja aku berani! Kamu jangan menantangku!" Ingin sekali Elang memukul kepala gadis cerewet ini, kesal. Kenes mendengkus sebal. Melihat ekspresi serius Elang saat mengatakan akan melemparnya ke bawah, Kenes mendadak ngeri. Lebih baik dia menahan diri dan mengomel lagi setelah turun dari punggung

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 29 : Membawa Pergi Raden Ayu

    Elang sama sekali tidak menyangka Kenes Kirana justru akan melakukan hal yang kontra produktif dengan rencananya. Setelah berhasil masuk ruangan untuk bertemu dengan Kenes dengan susah payah, gadis itu malah melaporkannya pada penjaga. "Gusti Putri, aku datang untuk menyelamatkanmu!" dengkus Elang tak berdaya."Menyelamatkan dari apa? Aku aman di sini!" balasnya masih dengan tatapan curiga.Pemuda tampan berambut panjang itu hanya bisa membuang napas gusar. Ucapan sudah terlanjur keluar tak bisa ditarik lagi. Suaranya begitu jelas menyapa indra dengar para pengawal yang berjaga dengan penuh kewaspadaan di luar. "Maaf, Raden Ayu. Aku terpaksa melakukannya!" Elang Taraka menotok titik akupuntur Raden Ayu. Daripada Kenes akan bertindak di luar kontrol Elang, lebih baik dia membuat Kenes pingsan saja. Tak ingin memperpanjang dialog yang tidak berguna.Bersamaan dengan itu, terdengar derap suara langkah kaki memasuki ruangan dengan tergesa-gesa."Kurang ajar! Orang jahat berani masuk ke

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 28 : Desa Kahuripan

    Burung rajawali raksasa terbang melayang di cakrawala berputar-putar di langit Kahuripan. Kepakan sayapnya menampar angin yang menciptakan deru yang berisik. “Kamu yakin ini Desa Kahuripan?” tanya Elang memastikan. Elang yang tampak duduk dengan tenang di punggung rajawali, bersikap waspada. Dia belum sembuh dari keterkejutan. Dirinya sendiri masih belum percaya sepenuhnya dengan apa yang dialaminya saat ini. Sehebat inikah bisa menguasai ajian gineng? Tidak disangka sebuah keluhan ringan untuk bisa terbang menuju Kahuripan didengar oleh burung ini."Kamu bisa lihat di sebelah sana, di rumah itu orang yang kamu cari disekap," balasnya."Hey, kamu bahkan bisa mengerti apa yang sedang kupikirkan?" Elang mengelus kepala rajawali raksasa dengan tatapan curiga.Rajawali tidak menjawab. Dengan pongah dia mencari tempat nyaman untuk mendarat.Langit yang sehitam tinta menyamarkan keberadaan mereka. Orang yang di bawah seakan tak terpengaruh. Suasana tetap lengang. Kesunyian melanda hanya t

DMCA.com Protection Status