Rombongan para Prajurit membawa Elang Taraka ke penjara. Di sepanjang perjalanan menuju penjara, banyak pasang mata yang menyaksikan Elang Taraka diarak seperti layaknya pesakitan.
Tak ada lagi tatapan kekaguman seperti beberapa hari yang lalu dari wajah-wajah mereka. Sebelumnya, Elang mendapatkan puja-puji karena mendapatkan anugerah untuk membuatkan ramuan obat bagi sang Putri. Sebuah anugerah yang membuat orang merasa iri, tapi hari ini semua sirna berganti dengan cemoohan."Sayang sekali, dia mendapatkan nasib sial.""Masih begitu muda, tampan lagi. Sayangnya harus masuk penjara."Ucapan-ucapan senada terdengar dari berbagai sudut. Kasak-kusuk yang menyebar dari mulut ke mulut itu spontan menjalar seperti jamur di musim hujan. Sehingga nama Elang Taraka sebagai asisten tabib yang gagal menjalankan tugas sudah terdengar di seluruh pelosok negeri.Elang Taraka berkali-kali harus mengelus dada, mendengar semua kasak-kusuk itu. Kadang manusia itu sibuk menghukumi orang lain, padahal belum jelas duduk persoalannya. Hari ini dia telah merasakan sendiri hal itu. Betapa kejam orang yang telah menjadikannya sebagai tumbal untuk mencapai tujuannya.Belum sempat dia membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, tapi dia sudah dijebloskan di dalam penjara."Ayo, cepat!" hardik Prajurit yang bertugas membawanya ke penjara."Jangan menyusahkan pekerjaan kami!" Prajurit yang satunya ikut bersuara.Elang membuang napas kasar. Kali ini dia harus menerima perlakuan kasar dari para Prajurit yang membawanya ke penjara.Akhirnya Elang merasakan dinginnya lantai penjara. Bau engap udara bercampur dengan kegelapan cukup membuat hati pria tampan itu terdampar dalam kesendirian yang mencekam. Ruangan berjeruji besi itu terlihat begitu angkuh seolah tersenyum mengejek ketika dia duduk di dalam dengan lemah, tak berdaya.Ada obor yang menyala di pintu masuk penjara. Beberapa orang prajurit berjaga di sana tampak acuh tak acuh. Penjara ini ada banyak ruang, masing-masing sudah ada penghuninya. Mereka hanya memandang Elang sebagai penghuni baru dengan tatapan penasaran.Suasana di dalam penjara remang-remang, bahkan dia kesulitan untuk melihat dengan jelas luka gores yang terasa perih di lengannya.Mau tidak mau, Elang harus menerima nasib. Dia harus bersiap mendapatkan perlakuan yang mungkin lebih keji di penjara nanti. Kesalahan yang dipikulkan di pundaknya terlalu besar. Tuduhannya tidak main-main, yaitu sengaja merusak wajah Tuan Putri Gusti Prabu Maheswara Kamandaka.Beberapa kali dia mencoba berpikir. Kapan orang itu mempunyai kesempatan mencampurkan daun jelatang dan kemadu di dalam ramuan yang akan dibalurkan di wajah Raden Ayu?“Apakah mereka bekerja sama dengan salah satu Dayang yang berada di sisi Raden Ayu?” gumam Elang Taraka.“Lalu, apa tujuannya dengan merusak wajah Raden Ayu?”“Apakah pelakunya adalah seorang wanita yang iri dan dengki dengan kecantikan Raden Ayu Kenes Kirana?”Semua pertanyaan itu timbul tenggelam dalam benak, membuatnya sakit kepala. Elang membuang napas kasar.Ada apa sebenarnya?Elang berpikir keras bagaimana caranya dia membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah?"Paman Pajurit, aku ndak bersalah. Kumohon sampaikan pada Raden Ayu, ada seseorang yang menjebakku," ujar Elang kepada Prajurit jaga itu.“Ada seseorang yang berniat jahat untuk merusak wajah Raden Ayu. Gusti Prabu harus mengusut masalah ini sampai tuntas. Jangan sampai pelakunya masih melenggang di luar sana, dan aku yang tidak bersalah yang mendapatkan hukuman.” Elang yakin sekali, ada orang yang berniat merusak ketentraman di dalam istana.Mungkin saja, tujuannya lebih besar dari apa yang bisa dibayangkannya.Para penjaga penjara diam membisu, tidak menjawab ucapan asisten tabib yang tengah bernasib sial itu. Semuanya tetap acuh tak acuh mengabaikan keberadaan Elang."Tolong dengarkan aku sekali ini saja, Paman Prajurit. Tolong sampaikan kebenaran ini pada Raden Ayu," pinta Elang tak berdaya."Diam!" gertak salah satu Prajurit merasa terganggu dengan rengekan Elang.Elang mendengus kasar. Dia kehabisan tenaga. Tak ada gunanya dia berteriak-teriak di tempat ini. Mereka tidak akan mendengarkannya. Tak tahu harus bagaimana, Elang hanya bisa bersandar di tembok penjara yang dingin dengan wajah frustrasi.****Di Kaputren, Raden Ayu Kenes Kirana masih dilingkupi suasana duka yang mendalam. Dirinya tidak sanggup menerima kenyataan pahit ini. Wajahnya meradang kemerahan dengan rasa panas dan gatal yang menyedihkan."Ibunda, ini bagaimana? Hiks ...." Suara isakan tertahan terasa menyayat hati bagi siapapun yang mendengarnya.Gusti Ratu hanya bisa menghibur putrinya yang tengah bersedih menerima kenyataan pahit ini.Putri dari Gusti Prabu Maheswara Kamandaka itu memiliki kecantikan yang tidak manusiawi. Sepasang manik mata berwarna hitam kecoklatan berpadu dengan bibir berwarna merah muda yang ranum memikat hati. Kulitnya yang seputih batu pualam, halus dan lembut seperti sutera. Duh, hati pria mana yang mampu menolak semua pesona itu?Tak jarang para Ksatria sering beradu kesaktian hanya untuk membuktikan diri mereka yang paling layak dan kuat untuk mendapatkan cinta sang Putri.Raden Ayu sudah terbiasa menjadi bintang kejora di seantero negeri. Jika berita tentang rusaknya wajah sang Putri ini sampai terdengar keluar istana, sudah bisa dipastikan pesonanya akan meredup.Para Pangeran yang kemarin berbaris antri untuk meminangnya, akan beranjak pergi satu persatu. Dan kenyataan itu sangat mengerikan jika dibayangkan oleh sang Putri."Ibunda, Elang Taraka harus dihukum seberat-beratnya!” raungnya. Hatinya masih membara, karena menganggap Elang sebagai penyebab dari semua musibah ini.Isak tangisnya semakin menjadi. Butir demi butir bening lolos dari sudut mata, serupa air hujan yang meluncur dari langit, tak bisa dihentikan.Itu sungguh menjadi pemandangan paling mengerikan dalam seumur hidup Kenes.“Ayahandamu sedang mengusut masalah ini. Elang Taraka sudah dimasukkan penjara.”“Apa motifnya merusak wajahku, Bunda? Apa keuntungan yang didapatkannya dengan merusak wajahku?” Berulang kali Kenes memikirkan berbagai kemungkinan.“Apa mungkin, Elang hanya anak buah dari musuh ayahandamu, Cah Ayu?” Gusti Ratu juga mulai berpikir tentang segala kemungkinan.Saat ini, kemakmuran dan kesejahteraan kerajaan Damar Langit telah masyhur terdengar sampai di negeri tetangga. Seluruh penjuru negeri mengenal nama Gusti Prabu Maheswara Kamandaka, sang Raja penuh keagungan yang saat ini memerintah kerajaan Damar Langit.Dibalik gegap gempita nama besar Damar Langit, pasti ada pula yang membencinya. Itu adalah hal yang tak bisa dihindari.“Kenapa harus menyerang aku, Bunda?” Kenes Kirana kembali meraung. Terlalu sulit baginya untuk menerima kenyataan pahit ini.Dalam hati, Gusti Ratu merasa bahwa, semua ini tidak terjadi secara kebetulan. Ada orang yang sengaja merencanakan semua ini. Namun, pelakunya masih bersembunyi di dalam kegelapan. Entah siapa itu? Elang pasti hanya pion yang digunakan untuk mencapai tujuan.Namun, semua itu hanya sebatas kecurigaan pribadi. Sebelum ada bukti yang menguatkan, Gusti Ratu tidak berani mengungkapkan pada siapapun.“Ibunda berjanji akan mencari tabib hebat untuk menyembuhkan kamu, Kenes!” Gusti Ratu tidak tahan melihat penderitaan putrinya.Mencari tabib hebat yang mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan putrinya jelas tidak mudah. Apalagi, setelah para tabib melihat nasib Elang Taraka yang berakhir meringkuk di jeruji besi. Mereka tidak akan berani mencoba, karena takut dimasukkan penjara sebagaimana Elang.Sungguh, jahat sekali orang yang berniat jahat pada putrinya.“Jangan menangis lagi, Kenes,” tutur Gusti Ratu berusaha menenangkan.BersambungDi ruang obat Istana, Agra Gajendra beberapa kali melirik tempat dimana beberapa hari terakhir ini, Elang menghabiskan waktu untuk membuat ramuan. Masih ada tersisa beberapa bahan herbal di sana. Setelah memastikan tidak ada orang, Agra mengayunkan langkah mendekati tempat dimana Elang menghabiskan waktu selama beberapa hari ini.“Cendana dan Akar wangi?” lirihnya setelah mencium bahan herbal yang ada di sana. Agra mencium tempat Elang menumbuk bahan-bahan herbal yang digunakan untuk mengobati sang Putri. Tabib mempunyai penciuman yang sangat sensitif. Dia bisa membedakan beberapa jenis bahan herbal yang terkandung dalam sebuah ramuan dengan akurat. Semua itu karena mereka melatih penciuman mereka selama bertahun-tahun. Sebagai asisten tabib, Agra juga harus mempunyai kemampuan dasar ini.Ketika Agra baru saja meletakkan lumpang kecil yang digunakan Elang, Gentala Wisesa tiba-tiba sudah berada di sana dengan wajah kaget.“Agra? Untuk apa kamu di sini?” sapa Gentala begitu melihat A
Seorang gadis melangkah dengan anggun menuju Kaputren dimana Raden Ayu Kenes Kirana tinggal. Di belakangnya, berbaris beberapa Dayang yang mengiringi langkah. Wajah semringah terpancar menguarkan aura kebahagiaan yang tak sanggup dideskripsikan dengan aksara. Sesekali dia tersenyum, sesekali bernyanyi, rasa bahagia tak tertandingi membuat suasana hatinya begitu riang.Dia adalah Gendhis Widuri. Malam ini putri kedua dari Gusti Prabu Maheswara Kamandaka itu berniat mengunjungi saudari tirinya yang sedang ditimpa bencana."Belum pernah aku sebahagia ini sebelumnya," gumamnya."Lanjar, sekarang aku telah menjadi yang paling cantik, bukan?" bisiknya pada salah satu Dayang pribadinya."Raden Ayu, jangan keras-keras. Dinding istana ini punya banyak telinga." Lanjar berbisik mengingatkan. Semua penghuni Keputren jelas-jelas bersaing, meski tak kentara. Jika didengar oleh orang lain, bisa-bisa akan memancing di air keruh. Akan ada masalah yang timbul merepotkan mereka.Gendhis menutup bibir d
Ayam jantan berkokok saling bersahut-sahutan, membangunkan penduduk kerajaan Damar Langit dari peraduan yang hangat. Kicauan burung cucak rowo yang bernyanyi di dahan pohon, menambah syahdu suasana pagi.Sialnya, suasana syahdu pagi ini sangat bertolak belakang dengan nasib malang Elang Taraka.Sejak matanya terbuka, atau lebih tepatnya dipaksa terbuka oleh tendangan Prajurit penjaga penjara, dia sudah harus kembali bergumul dengan rasa ngilu di seluruh tubuhnya yang terluka. Lebih mengenaskan lagi, ketika dia mulai diarak berjalan menuju alun-alun istana untuk diadili. Dia hanya bisa pasrah menjadi tontonan orang-orang, layaknya seorang penjahat kelas kakap.Sungguh keadaan yang sangat mengenaskan.Pemuda yang tubuhnya penuh luka itu hanya pasrah ketika Prajurit menyuruhnya duduk bersimpuh di tanah, untuk diadili. Gusti Prabu Maheswara Kamandaka sengaja mengadakan peradilan terbuka di alun-alun Istana, sebagai peringatan bagi siapapun yang mempunyai niat buruk mencelakai keluarga ker
"Hooo ....""Hooo ...."Siulan burung hantu di tengah malam buta serupa suara kematian yang mengkerdilkan jiwa yang larut dalam ketakutan. Banyak orang lebih memilih untuk merapatkan diri dalam hangatnya selimut, menyelami mimpi indah di peraduan.Suasana malam ini sangat lengang. Sesekali hanya terdengar suara derap sepatu Prajurit yang berkeliling di istana. Selebihnya hanya sunyi mencekam.Di Istana Kaputren, Kenes masih terduduk di pembaringan indahnya. Sepasang manik abu-abu miliknya masih bersinar indah, belum menandakan ada rasa kantuk di sana.Hal ini sangat bertolak belakang dengan penghuni istana yang lain, yang sudah terlelap dalam dunia mimpi. Kenes malam ini malah tidak bisa tidur sama sekali.Baru kali ini dia merasakan ada dilema antara hati dan logikanya sendiri. Jika digambarkan, sesungguhnya sedang terjadi perang besar antara hati dan logika yang ada dalam dirinya. Keduanya saling menyerang satu sama lain layaknya musuh."Kenapa aku jadi kepikiran tentang dia?" gumam
Matahari yang mulai menyingsing dari peraduannya kini terlihat menyemai cahaya untuk para penduduk bumi kerajaan Damar Langit. Satu persatu para penghuni istana mulai beraktifitas di tempat tugas masing-masing. Dapur istana yang tadinya berselimut dingin, menghangat karena kobaran tungku tanah mulai dipakai memasak hidangan mewah untuk keluarga kerajaan.Hiruk pikuk penduduk sekitar istana, seakan tak terpengaruh dengan Elang yang tengah dirundung derita. Sungguh kejam, tak ada seorang pun yang memedulikannya. Alam semesta tetap berputar seperti biasa. Elang memang hanya seonggok debu atau sampah tidak berguna yang tersungkur di bilik sangkar besi.Ini adalah hari pengadilan kedua untuknya. Prajurit kalap memukuli Elang karena pemuda itu tidak segera bangkit, ketika panggilan namanya bergema di ruang bawah tanah yang sempit dan pengap tak segera mendapatkan tanggapan.Elang tertatih. Sekuat tenaga berusaha bangkit, menahan ngilu. Semalaman dia benar-benar tidak bisa tidur barang sek
Alun-alun kota raja kerajaan Damar Langit masih dipenuhi kerumunan manusia. Mereka ingin menyaksikan iring-iringan Prajurit yang akan mengawal Elang Taraka menuju tempat pengasingan. Wono Daksino, hutan yang terkenal angker dan wingit.Di barisan paling depan ada kereta istana yang terlihat begitu jumawa, ditarik oleh kuda-kuda pilihan. Sepasang kuda hitam milik kanjeng Senopati Raden Mas Bratasena. Dia diberi tugas oleh Gusti Prabu untuk memastikan tahanan tidak melarikan diri dari hukuman berat yang dijatuhkan padanya."Prajurit, Gusti Prabu sudah membuat keputusan mengasingkan Elang Taraka di Wono Daksino. Mari kita bersiap berangkat!" Raden Mas Bratasena memberi aba-aba dengan wajah datar."Siap." Serentak mereka menjawab titah dari sang Senopati.Para Prajurit yang akan mengawal Kanjeng Senopati berbaris tampak megah dan gagah berani. Bertolak belakang dengan Elang yang diikat kedua tangannya, berjalan terlunta-lunta dengan telanjang kaki, mengenaskan.Elang diarak meninggalkan a
"Ada gubuk berdiri di tengah rimba Wono Daksino?" Sepasang netra Elang menyipit curiga."Apakah ada manusia yang tinggal di sini?" gumamnya lirih.Tadi, Elang sempat berharap bisa menemukan manusia lain di tempat ini. Namun, saat melihat ada sebuah gubuk di tengah hutan, bulu kuduknya tiba-tiba meremang.Kepalanya bertanya-tanya, manusia hebat seperti apa yang mempunyai nyali begitu besar membangun tempat tinggal di tempat seperti ini?Gubuk itu di kelilingi dengan rimbunnya tanaman. Hutan ini belum pernah terjamah manusia. Sehingga tidak heran jika dijadikan sebagai tempat untuk mengasingkan para tahanan.Sejujurnya, hukuman mengasingkan diri di tengah hutan yang masih perawan seperti di Wono Daksino adalah lebih kejam dari hukuman mati. Hidup seorang diri terlunta-lunta di tempat yang semengerikan ini, hanya akan membuat jantung berpacu lebih cepat karena rasa takut. Akhirnya orang akan menyerah pada hidup.Nasib sial bertubi-tubi menimpa Elang. Entah apa yang akan dia temui di huta
Mata pemuda tampan itu terpejam bersiap menerima terkaman harimau loreng yang tiba-tiba muncul itu. Dia sudah pasrah dengan kematian yang sebenarnya belum dia inginkan.Mungkin karena kelelahan fisik yang dia rasakan sudah melebihi ambang batas. Rasa ngilu bekas siksaan yang dia dapatkan di penjara bawah tanah kemarin masih terasa perih. Bekas luka yang terbuka ditambah berjalan kaki ratusan mil selama tiga hari, membuat tubuhnya merasakan kelelahan yang sangat.Belum lagi dia yang kelabakan menghindari lesatan anak panah dari pembunuh bayaran yang dijumpainya tadi. Semua terasa sangat melelahkan.Sekarang, dia harus berjuang melawan predator ini sendirian. Ah, rasanya dia ingin menyerah saja.Elang memejamkan mata untuk mengusir segala kengerian. Membayangkan tubuhnya dicabik-cabik oleh binatang buas membuat rasa takut begitu menguasai dirinya."Aku lelah harus berusaha sekeras ini untuk bertahan hidup. Kenyataannya, hidupku memang tidak terlalu berharga," cicitnya. Nasib sial tak he
Gendhis terus berlari mengabaikan perintah sang Ibunda Selir yang terus memanggilnya tanpa jeda. Dia terus melangkah menjauh, karena hanya itu yang dia inginkan saat ini. Dia ingin pergi dari istana sejauh mungkin. Bulir-bulir air mata yang jatuh dari mata indah milik Gendhis menjadi saksi pilu. Bahwa, hatinya terluka melihat ayahandanya diperlakukan bagai tawanan di istana miliknya sendiri. Genangan basah itu semakin menganak sungai di wajah mulusnya. Sementara, tubuhnya naik turun oleh gerakan tangis yang begitu menyayat. Tidak bisa dibayangkan, jika Ibunda Selir dengan tega melakukan itu semua pada ayahandanya hanya demi tahta. Gendhis kecewa. Dalam benaknya, gadis itu tengah merutuki apa yang terjadi di ruang penjara bawah tanah. Bagaimana angkuh dan jumawanya seorang Gayatri ketika menyaksikan Gusti Prabu dan Gusti Ratu yang tengah menderita. Gendhis merasakan kemarahan dan kekecewaan yang berat terhadap Gayatri dan Senopati. Benar, jika Gendhis selalu iri melihat kecan
Hari ini mentari bersinar terik di seluruh penjuru Damar Langit. Sepasang anak muda tengah memacu kuda di jalanan tanah berhiaskan bebatuan. Mereka terus memacu kuda menuju Istana Damar Langit. Elang sama sekali tidak bisa menggoyahkan niat Kenes Kirana yang ingin melihat kondisi Kota Raja. "Hiyaa. Hiyaa." Suara derap sepatu kuda yang beradu dengan tanah terdengar memecah kesunyian di sepanjang jalan yang mereka lalui. Angin yang bertiup semilir seiring dengan laju kuda. Seolah mengalihkan hawa panas yang terasa menyengat membakar kulit mereka. Wajah putih seorang Raden Ayu Kenes Kirana tampak memerah, menjadikannya terlihat merona menggemaskan. Tepat ketika matahari tepat di atas kepala, si gadis sudah tidak tahan lagi untuk meneruskan perjalanan. Dia sudah tidak sanggup menahan panas yang menyengat kulit indahnya. "Elang, bisakah kita berteduh dulu? Duh, kulitku terlihat kusam," rengek gadis itu menyadari warna kulitnya. Ini pertama kali dirinya berkelana di alam liar ta
Istana terlihat sangat sibuk. Semenjak Senopati telah mendeklarasikan dirinya sebagai Raja. Dia sibuk menyiapkan kekuatan militer untuk memastikan semua sesuai dengan keinginannya. Para telik sandi telah memberi kabar padanya bahwa pasukan Patih Arya Wursita tidak bersedia patuh. Dia khawatir Arya Wursita akan bergabung dengan pasukan Tumenggung Mahawira dan menyusun kekuatan untuk menyerang kota raja.Para prajurit yang berada di bawah kendali Senopati berlatih dengan penuh semangat. Senopati sendiri turun tangan untuk memberi dorongan semangat pada prajuritnya. "Kita perjuangkan Istana ini, sampai titik darah penghabisan. Siap?" pidatonya berapi-api."Siap." Serentak para Prajurit menjawab ucapan Kanjeng Senopati.Suara pekikan semangat para Prajurit terdengar membahana membelah cakrawala.Tidak berbeda dengan bagian depan istana, para Tabib juga tidak kalah sibuk. Mereka menyiapkan obat-obatan untuk persiapan jika perang telah pecah, pasti akan ada banyak Prajurit yang terluka.Ag
Sepasang anak muda itu terjebak dalam keheningan yang memekakkan telinga. Ada begitu banyak kalimat yang ingin dimuntahkan Elang pada Kenes yang suka bertindak tanpa berpikir panjang, tapi melihat situasinya saat ini dia hanya bisa menelan kembali dengan pahit.Sementara Kenes dengan statusnya yang tinggi, sepanjang hidupnya tak ada yang berani menyalahkan, mana mungkin bersedia merendahkan dirinya untuk meminta maaf. Elang hanya bisa menyimpan rasa kesal di dalam hati, tidak tega memarahi gadis cantik yang masih berdiri dengan kepala tertunduk."Apa masih ingin melarikan diri dariku?" sindirnya sembari melipat tangan di depan dada.Bukannya menjawab, Kenes mendengkus sebal. Bibirnya mengerucut. Mana mungkin dia tidak paham dengan kalimat sindiran ini. "Aku pergi dulu!" Elang melangkah pergi. Namun, baru beberapa langkah, suara Kenes sudah terdengar."Elang." Langkah pemuda itu terhenti.Dia hanya berdiri tanpa suara, menunggu putri Maheswara Kamandaka itu melanjutkan kalimatnya."K
Apa yang saat ini terjadi padanya sungguh hal yang tak ada di dalam perhitungan Kenes. Sebelumnya, dia hanya merasa harus membuktikan kebenaran kabar yang didengarnya dengan datang sendiri ke Kota Raja. Sama sekali tidak memperhitungkan ada begitu banyak bahaya mengintainya sepanjang jalan menuju ke Kota Raja yang begitu jauh.Seorang dengan status Demang rendahan berani sekali menggoda, bahkan terang-terangan mengancamnya. Sungguh tidak bisa dimaafkan!"Saya bisa melindungi diri sendiri, sampeyan tidak perlu mengkhawatirkan saya," tolaknya tegas.Mana mungkin Kenes tidak mengerti setiap kalimat yang diucapkan oleh Demang itu mengandung niat buruk. Jika tetap tinggal, justru membahayakan dirinya sendiri."Ha-ha-ha, ternyata seorang gadis yang galak dan keras kepala. Baiklah, jika bersikeras melanjutkan perjalanan, aku tidak akan menghalangi," ucapnya sambil menyeringai. Ada kilat licik yang sempat ditangkap Kenes dari tatap matanya. "Terima kasih." Kenes menjawab acuh tak acuh.Pria
"Kenes, tolong tumbukkan rimpang dan herbal ini!" "Kenes, tolong ambilkan air di sebelah sana!" "Kenes, jangan bergerak begitu lambat, kamu harus bergerak cepat saat mengobati pasien!" Hari ini Kenes sangat sibuk disuruh-suruh melakukan ini dan itu. Ada begitu banyak hal yang diperintah oleh Elang Taraka untuknya. Pemuda tampan itu menurunkan titah dan memperlakukan seorang putri raja, sebagaimana kacung rendahan. Kendati sebesar apapun rasa kesal yang membuncah di dada Kenes Kirana, gadis itu mencoba bersabar. Ada begitu banyak orang sakit yang ada di pendopo ini. Mana mungkin dia tega mempermasalahkan sikap Elang. Bisa-bisa dia akan mendapatkan label buruk dari rakyatnya sendiri nantinya.Setengah hari dia terus berputar seperti gasing melakukan ini dan itu, Kenes akhirnya kelelahan.Tubuhnya dilanda rasa penat yang sangat. Setelan pabrik tubuh seorang Tuan Putri seperti dirinya adalah menerima pelayanan dari begitu banyak orang di Keputren, bukan melayani orang lain. Dia tidak
"Kalau begitu, katakan padaku, kamu memilih untuk mati dengan cara bagaimana?" Elang berkata jengkel. Gadis ini seharusnya mengucapkan terima kasih padanya, bukan malah menuduhnya sebagai penjahat. Kenes membuang wajah sambil memberengut. Tidak menyangka Elang berani berkata begitu padanya. Apa dia lupa, saat ini sedang bicara dengan Putri Raja Damar Langit? "Kenapa? Kamu tidak percaya padaku kalau aku bisa melemparmu ke bawah sana sekarang?" tambah Elang menantang. Sesekali, gadis ini memang harus diberi pelajaran, supaya tidak bersikap sesuka hati. "Kamu berani? Kamu akan menjadi buronan seluruh kerajaan Damar Langit jika berani bersikap kurang ajar padaku!" Kenes membalas kasar. "Tentu saja aku berani! Kamu jangan menantangku!" Ingin sekali Elang memukul kepala gadis cerewet ini, kesal. Kenes mendengkus sebal. Melihat ekspresi serius Elang saat mengatakan akan melemparnya ke bawah, Kenes mendadak ngeri. Lebih baik dia menahan diri dan mengomel lagi setelah turun dari punggung
Elang sama sekali tidak menyangka Kenes Kirana justru akan melakukan hal yang kontra produktif dengan rencananya. Setelah berhasil masuk ruangan untuk bertemu dengan Kenes dengan susah payah, gadis itu malah melaporkannya pada penjaga. "Gusti Putri, aku datang untuk menyelamatkanmu!" dengkus Elang tak berdaya."Menyelamatkan dari apa? Aku aman di sini!" balasnya masih dengan tatapan curiga.Pemuda tampan berambut panjang itu hanya bisa membuang napas gusar. Ucapan sudah terlanjur keluar tak bisa ditarik lagi. Suaranya begitu jelas menyapa indra dengar para pengawal yang berjaga dengan penuh kewaspadaan di luar. "Maaf, Raden Ayu. Aku terpaksa melakukannya!" Elang Taraka menotok titik akupuntur Raden Ayu. Daripada Kenes akan bertindak di luar kontrol Elang, lebih baik dia membuat Kenes pingsan saja. Tak ingin memperpanjang dialog yang tidak berguna.Bersamaan dengan itu, terdengar derap suara langkah kaki memasuki ruangan dengan tergesa-gesa."Kurang ajar! Orang jahat berani masuk ke
Burung rajawali raksasa terbang melayang di cakrawala berputar-putar di langit Kahuripan. Kepakan sayapnya menampar angin yang menciptakan deru yang berisik. “Kamu yakin ini Desa Kahuripan?” tanya Elang memastikan. Elang yang tampak duduk dengan tenang di punggung rajawali, bersikap waspada. Dia belum sembuh dari keterkejutan. Dirinya sendiri masih belum percaya sepenuhnya dengan apa yang dialaminya saat ini. Sehebat inikah bisa menguasai ajian gineng? Tidak disangka sebuah keluhan ringan untuk bisa terbang menuju Kahuripan didengar oleh burung ini."Kamu bisa lihat di sebelah sana, di rumah itu orang yang kamu cari disekap," balasnya."Hey, kamu bahkan bisa mengerti apa yang sedang kupikirkan?" Elang mengelus kepala rajawali raksasa dengan tatapan curiga.Rajawali tidak menjawab. Dengan pongah dia mencari tempat nyaman untuk mendarat.Langit yang sehitam tinta menyamarkan keberadaan mereka. Orang yang di bawah seakan tak terpengaruh. Suasana tetap lengang. Kesunyian melanda hanya t