Wono Daksino di pagi hari ataupun siang nyaris tak ada beda. Pohon hutan yang besar dan rimbun menghalangi cahaya matahari menerobos masuk, sehingga selalu tampak redup. Elang mengambil sebuah kerikil dan memasukkannya ke dalam wadah yang terbuat dari gerabah setiap pagi menjelang. Begitulah caranya menghitung jumlah hari yang telah dia lalui di hutan ini. Berharap dia bisa melalui setahun masa hukuman ini dengan selamat.Demikian yang dilakukannya pagi ini, dia memasukkan sebuah kerikil di dalamnya. "Ah, ternyata aku sudah 30 hari tinggal di hutan ini.""Masih ada banyak hari yang harus kulalui di hutan ini, semoga aku bisa." Pemuda tampan ini berkata dengan penuh harap. Ada banyak rencana yang harus dia selesaikan ketika masa hukuman telah usai nanti. "Aku akan membawa Biyung kembali ke desa. Hidup di desa jauh lebih menentramkan daripada hidup sebagai abdi dalem di Istana," gumamnya penuh penyesalan. Meninggalkan biyungnya yang sudah tua sendirian dengan status penjahat seperti
Embun yang bertengger di daun-daun tanaman Wono Daksino menandakan baru saja pagi menjelang. Suara air terjun yang terdengar gemericik menambah nuansa wingit dan mistis. Apalagi ditambah dengan hawa dingin terasa menusuk tulang. Raungan harimau menggeram beberapa kali di pagi buta yang masih ditemani gigil yang sangat dingin. Binatang itu sepertinya memberi tahu pada seluruh isi hutan, dialah sang raja hutan. Buas dan menakutkan. Tidak ada hewan lain yang lebih gagah berani kecuali dirinya. Elang Taraka masih tertidur pulas di gubuk milik lelaki berjubah putih. Tubuhnya yang dipenuhi lebam, sudah dilumuri tumbukan ramuan herbal yang bisa membuat luka itu cepat mengering.Embusan napasnya yang teratur, menandakan Elang sangat menikmati tidur panjangnya. Mungkin kali ini dia merasa ada yang menjaga atau memang dia belum tersadar sepenuhnya, akibat hantaman keras di beberapa tubuh yang dilakukan oleh lelaki berjubah hitam legam tempo hari. Memang bukan luka biasa, hantaman yang diderit
Sepasang kaki Elang terayun menuju aliran sungai yang suaranya sudah terdengar gemericik dari kejauhan. Beberapa hari ini, sang Maha Resi Acarya Adiwilaga memintanya untuk mengambil air dari sungai dengan jarak tempuh sekitar satu jam berjalan kaki dari gubuk tempat tinggal mereka. Gentong-gentong besar yang telah disiapkan di sekitar gubuk untuk menampung air sungai yang diambil dengan gerabah yang dipikulnya.Hawa dingin hutan tak lagi terasa menusuk. Justru tubuh Elang bercucuran keringat, karena kerja kerasnya tersebut. "Ggherrm." Suara Loreng menyapa Elang."Hey, kamu menyusulku?" tanya Elang."Ggrhhem.""Satu perjalanan lagi semua tempayan sudah penuh, aku bisa beristirahat." Wajah semringah Elang begitu kentara. Sang Guru hanya berkata bahwa Elang harus menyiapkan fisiknya supaya kuat sebelum belajar olah kanuragan. Tak disangka, memperkuat fisik ternyata sekeras ini latihannya."Loreng, kenapa aku setiap hari harus bolak-balik mengambil air untuk memenuhi tempayan, setelah
Elang yang beberapa saat lalu terkapar dengan rasa sakit yang teramat sangat, perlahan merasakan perubahan. Begitu rasa sakit itu menghilang, tubuhnya perlahan terasa lebih ringan dan segar. Bahkan semua indranya berubah menjadi lebih jernih dan sensitif. Kegelapan goa bawah tanah yang nyaris tidak bisa ditembus dengan cahaya, sekarang terlihat terang benderang dalam pandangan matanya. Bukan hanya indra penglihatan saja yang makin jernih. Elang bisa merasakan indra lainnya juga mengalami perubahan."Setidaknya, kamu harus mengucapkan terima kasih padaku, Anak Muda!" Suara bariton yang sama kembali terdengar menyapa indra dengar."Kenapa aku harus berterima kasih pada sesuatu yang bahkan tak berani memunculkan diri di depanku?" sahut Elang begitu kesal. Sejak tadi hanya berani bicara dari balik tabir. Setelah sesuka hati membuatnya kesakitan setengah mati, sekarang menyuruh Elang berterima kasih padanya. Huh...."Lancang!" Dinding goa bergetar hebat, seakan dihantam dengan kekuatan
6 bulan kemudian Sinar mentari pagi bersinar redup, membaurkan aura syahdu yang mendebarkan. Kanjeng Senopati memindahkan tempat tinggal Mbok Sumi di area dalem Senopaten, karena wanita paruh baya itu telah diangkat sebagai tabib pribadi Kanjeng Senopati Raden Mas Bratasena.Berbagai pertanyaan timbul tenggelam dalam benak wanita paruh baya itu. Putranya telah diberikan label penjahat di Istana, tapi Kanjeng Senopati malah memberinya posisi istimewa ini. Tentu saja ada kecurigaan di dalam hati Mbok Sumi.Tak ada perubahan berarti di Istana Damar Langit sejak Elang dijatuhi hukuman pengasingan di Wono Daksino beberapa bulan yang lalu. Kecuali makin intensnya para prajurit Senopaten berlatih kanuragan. Bahkan mereka berlatih siang dan malam silih berganti dari beberapa kelompok.Diam-diam, wanita paruh baya itu selalu mengintip aktivitas para prajurit. Seperti hari ini, dia juga melakukan hal yang sama. "Sumi, ternyata kamu begitu lancang memata-matai para prajurit yang sedang berlati
Di Balairung istana, wajah Gusti Prabu Maheswara Kamandaka sedang bermuram durja. Dia tidak senang dengan sikap Senopati Bratasena yang tidak sopan. Bagi Gusti Prabu, sikap Senopati Bratasena bisa mengakibatkan hubungan dua kerajaan itu berubah memburuk. Sementara Sang Senopati tetap duduk dengan tenang di tempatnya, seolah tidak merasa bersalah. Hal itu semakin membuat hati Gusti Prabu diliputi rasa tidak senang."Apa alasan Kangmas Senopati berkata seperti itu di hadapan Raden Mas Hadyan Ganendra?"Gusti Prabu menegur sang Senopati. Gelar Senopati adalah bawahan Raja, akan tetapi dia menunjukkan rasa hormat yang tinggi kepada Perwira utama kerajaan Damar Langit itu karena Raden Mas Bratasena adalah Kakak dari salah satu selirnya."Mohon ampun, Gusti Prabu. Pendapat saya pribadi, Raden Mas Hadyan Ganendra bukanlah orang yang tepat untuk menjadi suami Raden Ayu." Senopati berkata dengan tegas."Apa alasannya, Kangmas Senopati?""Raden Mas Hadyan terlalu ambisius, dia tidak mewarisi ka
Setelah berjumpa dengan Maha Resi Acarya Adiwilaga, kehidupan seorang Elang Taraka berubah seratus delapan puluh derajat. Selama ini dia tidak menguasai dasar-dasar ilmu kanuragan sama sekali. Hanya dalam waktu enam bulan berselang, telah bertransformasi menjadi seorang pendekar pilih tanding."Hiyaaat. Hiyaat."Elang terus berlatih dengan penuh semangat untuk menaikkan level kemampuannya dalam ilmu Kanuragan. Jika bukan karena fisik naga birunya, dia tidak akan secepat ini berakselerasi. Bahkan Maha Resi Acarya Adiwilaga sendiri juga mengakui hal tersebut. Elang menyerap ilmu darinya seperti air yang mengalir. Sungguh menakjubkan!"Elang, kamu sangat beruntung mendapatkan Mustika Naga Biru. Fisik naga biru telah menyatu denganmu, sehingga kamu berkali-kali lipat lebih cepat menyerap semua ilmu kanuragan yang kuajarkan padamu," puji Acarya Adiwilaga takjub."Ini adalah berkah tersembunyi dari ketaatan pada Guru." Jika bukan karena menjalankan titah Maha Resi untuk mengambil air dari
Sejak Elang belajar dan menguasai ajian gineng dari sang guru, pendengarannya menjadi lebih tajam. Dia bisa memahami bahasa binatang. Elang paham dengan erangan Loreng dan hewan lainnya. Seringkali dibuat takjub dengan apa yang didengarnya. Ternyata, bukan hanya manusia saja yang selalu memanjatkan pujian syukur pada Pemilik Langit dan Bumi. Para binatang juga melakukannya.Terkadang, Elang dibuat senyum-senyum sendiri saat mendengar obrolan burung yang sedang berkicau. Seperti hari ini. Sudut bibirnya terus terangkat naik mendengar burung hutan yang bertengger di pohon samping gubuk."Kuperhatikan sejak tadi, kamu terus saja tertawa," tukas sang Guru.Elang tersenyum malu, karena ketahuan sedang mencuri dengar obrolan sepasang burung di atas pohon."Ti-tidak, Guru. Hanya sedang berlatih," sahutnya pelan."Berlatih?" Maha Resi mana percaya. Berlatih apa? Sejak tadi, Elang hanya bengong saking asyik menyimak perbincangan receh sepasang burung yang sedang saling memuji satu sama lain,
Gendhis terus berlari mengabaikan perintah sang Ibunda Selir yang terus memanggilnya tanpa jeda. Dia terus melangkah menjauh, karena hanya itu yang dia inginkan saat ini. Dia ingin pergi dari istana sejauh mungkin. Bulir-bulir air mata yang jatuh dari mata indah milik Gendhis menjadi saksi pilu. Bahwa, hatinya terluka melihat ayahandanya diperlakukan bagai tawanan di istana miliknya sendiri. Genangan basah itu semakin menganak sungai di wajah mulusnya. Sementara, tubuhnya naik turun oleh gerakan tangis yang begitu menyayat. Tidak bisa dibayangkan, jika Ibunda Selir dengan tega melakukan itu semua pada ayahandanya hanya demi tahta. Gendhis kecewa. Dalam benaknya, gadis itu tengah merutuki apa yang terjadi di ruang penjara bawah tanah. Bagaimana angkuh dan jumawanya seorang Gayatri ketika menyaksikan Gusti Prabu dan Gusti Ratu yang tengah menderita. Gendhis merasakan kemarahan dan kekecewaan yang berat terhadap Gayatri dan Senopati. Benar, jika Gendhis selalu iri melihat kecan
Hari ini mentari bersinar terik di seluruh penjuru Damar Langit. Sepasang anak muda tengah memacu kuda di jalanan tanah berhiaskan bebatuan. Mereka terus memacu kuda menuju Istana Damar Langit. Elang sama sekali tidak bisa menggoyahkan niat Kenes Kirana yang ingin melihat kondisi Kota Raja. "Hiyaa. Hiyaa." Suara derap sepatu kuda yang beradu dengan tanah terdengar memecah kesunyian di sepanjang jalan yang mereka lalui. Angin yang bertiup semilir seiring dengan laju kuda. Seolah mengalihkan hawa panas yang terasa menyengat membakar kulit mereka. Wajah putih seorang Raden Ayu Kenes Kirana tampak memerah, menjadikannya terlihat merona menggemaskan. Tepat ketika matahari tepat di atas kepala, si gadis sudah tidak tahan lagi untuk meneruskan perjalanan. Dia sudah tidak sanggup menahan panas yang menyengat kulit indahnya. "Elang, bisakah kita berteduh dulu? Duh, kulitku terlihat kusam," rengek gadis itu menyadari warna kulitnya. Ini pertama kali dirinya berkelana di alam liar ta
Istana terlihat sangat sibuk. Semenjak Senopati telah mendeklarasikan dirinya sebagai Raja. Dia sibuk menyiapkan kekuatan militer untuk memastikan semua sesuai dengan keinginannya. Para telik sandi telah memberi kabar padanya bahwa pasukan Patih Arya Wursita tidak bersedia patuh. Dia khawatir Arya Wursita akan bergabung dengan pasukan Tumenggung Mahawira dan menyusun kekuatan untuk menyerang kota raja.Para prajurit yang berada di bawah kendali Senopati berlatih dengan penuh semangat. Senopati sendiri turun tangan untuk memberi dorongan semangat pada prajuritnya. "Kita perjuangkan Istana ini, sampai titik darah penghabisan. Siap?" pidatonya berapi-api."Siap." Serentak para Prajurit menjawab ucapan Kanjeng Senopati.Suara pekikan semangat para Prajurit terdengar membahana membelah cakrawala.Tidak berbeda dengan bagian depan istana, para Tabib juga tidak kalah sibuk. Mereka menyiapkan obat-obatan untuk persiapan jika perang telah pecah, pasti akan ada banyak Prajurit yang terluka.Ag
Sepasang anak muda itu terjebak dalam keheningan yang memekakkan telinga. Ada begitu banyak kalimat yang ingin dimuntahkan Elang pada Kenes yang suka bertindak tanpa berpikir panjang, tapi melihat situasinya saat ini dia hanya bisa menelan kembali dengan pahit.Sementara Kenes dengan statusnya yang tinggi, sepanjang hidupnya tak ada yang berani menyalahkan, mana mungkin bersedia merendahkan dirinya untuk meminta maaf. Elang hanya bisa menyimpan rasa kesal di dalam hati, tidak tega memarahi gadis cantik yang masih berdiri dengan kepala tertunduk."Apa masih ingin melarikan diri dariku?" sindirnya sembari melipat tangan di depan dada.Bukannya menjawab, Kenes mendengkus sebal. Bibirnya mengerucut. Mana mungkin dia tidak paham dengan kalimat sindiran ini. "Aku pergi dulu!" Elang melangkah pergi. Namun, baru beberapa langkah, suara Kenes sudah terdengar."Elang." Langkah pemuda itu terhenti.Dia hanya berdiri tanpa suara, menunggu putri Maheswara Kamandaka itu melanjutkan kalimatnya."K
Apa yang saat ini terjadi padanya sungguh hal yang tak ada di dalam perhitungan Kenes. Sebelumnya, dia hanya merasa harus membuktikan kebenaran kabar yang didengarnya dengan datang sendiri ke Kota Raja. Sama sekali tidak memperhitungkan ada begitu banyak bahaya mengintainya sepanjang jalan menuju ke Kota Raja yang begitu jauh.Seorang dengan status Demang rendahan berani sekali menggoda, bahkan terang-terangan mengancamnya. Sungguh tidak bisa dimaafkan!"Saya bisa melindungi diri sendiri, sampeyan tidak perlu mengkhawatirkan saya," tolaknya tegas.Mana mungkin Kenes tidak mengerti setiap kalimat yang diucapkan oleh Demang itu mengandung niat buruk. Jika tetap tinggal, justru membahayakan dirinya sendiri."Ha-ha-ha, ternyata seorang gadis yang galak dan keras kepala. Baiklah, jika bersikeras melanjutkan perjalanan, aku tidak akan menghalangi," ucapnya sambil menyeringai. Ada kilat licik yang sempat ditangkap Kenes dari tatap matanya. "Terima kasih." Kenes menjawab acuh tak acuh.Pria
"Kenes, tolong tumbukkan rimpang dan herbal ini!" "Kenes, tolong ambilkan air di sebelah sana!" "Kenes, jangan bergerak begitu lambat, kamu harus bergerak cepat saat mengobati pasien!" Hari ini Kenes sangat sibuk disuruh-suruh melakukan ini dan itu. Ada begitu banyak hal yang diperintah oleh Elang Taraka untuknya. Pemuda tampan itu menurunkan titah dan memperlakukan seorang putri raja, sebagaimana kacung rendahan. Kendati sebesar apapun rasa kesal yang membuncah di dada Kenes Kirana, gadis itu mencoba bersabar. Ada begitu banyak orang sakit yang ada di pendopo ini. Mana mungkin dia tega mempermasalahkan sikap Elang. Bisa-bisa dia akan mendapatkan label buruk dari rakyatnya sendiri nantinya.Setengah hari dia terus berputar seperti gasing melakukan ini dan itu, Kenes akhirnya kelelahan.Tubuhnya dilanda rasa penat yang sangat. Setelan pabrik tubuh seorang Tuan Putri seperti dirinya adalah menerima pelayanan dari begitu banyak orang di Keputren, bukan melayani orang lain. Dia tidak
"Kalau begitu, katakan padaku, kamu memilih untuk mati dengan cara bagaimana?" Elang berkata jengkel. Gadis ini seharusnya mengucapkan terima kasih padanya, bukan malah menuduhnya sebagai penjahat. Kenes membuang wajah sambil memberengut. Tidak menyangka Elang berani berkata begitu padanya. Apa dia lupa, saat ini sedang bicara dengan Putri Raja Damar Langit? "Kenapa? Kamu tidak percaya padaku kalau aku bisa melemparmu ke bawah sana sekarang?" tambah Elang menantang. Sesekali, gadis ini memang harus diberi pelajaran, supaya tidak bersikap sesuka hati. "Kamu berani? Kamu akan menjadi buronan seluruh kerajaan Damar Langit jika berani bersikap kurang ajar padaku!" Kenes membalas kasar. "Tentu saja aku berani! Kamu jangan menantangku!" Ingin sekali Elang memukul kepala gadis cerewet ini, kesal. Kenes mendengkus sebal. Melihat ekspresi serius Elang saat mengatakan akan melemparnya ke bawah, Kenes mendadak ngeri. Lebih baik dia menahan diri dan mengomel lagi setelah turun dari punggung
Elang sama sekali tidak menyangka Kenes Kirana justru akan melakukan hal yang kontra produktif dengan rencananya. Setelah berhasil masuk ruangan untuk bertemu dengan Kenes dengan susah payah, gadis itu malah melaporkannya pada penjaga. "Gusti Putri, aku datang untuk menyelamatkanmu!" dengkus Elang tak berdaya."Menyelamatkan dari apa? Aku aman di sini!" balasnya masih dengan tatapan curiga.Pemuda tampan berambut panjang itu hanya bisa membuang napas gusar. Ucapan sudah terlanjur keluar tak bisa ditarik lagi. Suaranya begitu jelas menyapa indra dengar para pengawal yang berjaga dengan penuh kewaspadaan di luar. "Maaf, Raden Ayu. Aku terpaksa melakukannya!" Elang Taraka menotok titik akupuntur Raden Ayu. Daripada Kenes akan bertindak di luar kontrol Elang, lebih baik dia membuat Kenes pingsan saja. Tak ingin memperpanjang dialog yang tidak berguna.Bersamaan dengan itu, terdengar derap suara langkah kaki memasuki ruangan dengan tergesa-gesa."Kurang ajar! Orang jahat berani masuk ke
Burung rajawali raksasa terbang melayang di cakrawala berputar-putar di langit Kahuripan. Kepakan sayapnya menampar angin yang menciptakan deru yang berisik. “Kamu yakin ini Desa Kahuripan?” tanya Elang memastikan. Elang yang tampak duduk dengan tenang di punggung rajawali, bersikap waspada. Dia belum sembuh dari keterkejutan. Dirinya sendiri masih belum percaya sepenuhnya dengan apa yang dialaminya saat ini. Sehebat inikah bisa menguasai ajian gineng? Tidak disangka sebuah keluhan ringan untuk bisa terbang menuju Kahuripan didengar oleh burung ini."Kamu bisa lihat di sebelah sana, di rumah itu orang yang kamu cari disekap," balasnya."Hey, kamu bahkan bisa mengerti apa yang sedang kupikirkan?" Elang mengelus kepala rajawali raksasa dengan tatapan curiga.Rajawali tidak menjawab. Dengan pongah dia mencari tempat nyaman untuk mendarat.Langit yang sehitam tinta menyamarkan keberadaan mereka. Orang yang di bawah seakan tak terpengaruh. Suasana tetap lengang. Kesunyian melanda hanya t