Setelah berjumpa dengan Maha Resi Acarya Adiwilaga, kehidupan seorang Elang Taraka berubah seratus delapan puluh derajat. Selama ini dia tidak menguasai dasar-dasar ilmu kanuragan sama sekali. Hanya dalam waktu enam bulan berselang, telah bertransformasi menjadi seorang pendekar pilih tanding."Hiyaaat. Hiyaat."Elang terus berlatih dengan penuh semangat untuk menaikkan level kemampuannya dalam ilmu Kanuragan. Jika bukan karena fisik naga birunya, dia tidak akan secepat ini berakselerasi. Bahkan Maha Resi Acarya Adiwilaga sendiri juga mengakui hal tersebut. Elang menyerap ilmu darinya seperti air yang mengalir. Sungguh menakjubkan!"Elang, kamu sangat beruntung mendapatkan Mustika Naga Biru. Fisik naga biru telah menyatu denganmu, sehingga kamu berkali-kali lipat lebih cepat menyerap semua ilmu kanuragan yang kuajarkan padamu," puji Acarya Adiwilaga takjub."Ini adalah berkah tersembunyi dari ketaatan pada Guru." Jika bukan karena menjalankan titah Maha Resi untuk mengambil air dari
Sejak Elang belajar dan menguasai ajian gineng dari sang guru, pendengarannya menjadi lebih tajam. Dia bisa memahami bahasa binatang. Elang paham dengan erangan Loreng dan hewan lainnya. Seringkali dibuat takjub dengan apa yang didengarnya. Ternyata, bukan hanya manusia saja yang selalu memanjatkan pujian syukur pada Pemilik Langit dan Bumi. Para binatang juga melakukannya.Terkadang, Elang dibuat senyum-senyum sendiri saat mendengar obrolan burung yang sedang berkicau. Seperti hari ini. Sudut bibirnya terus terangkat naik mendengar burung hutan yang bertengger di pohon samping gubuk."Kuperhatikan sejak tadi, kamu terus saja tertawa," tukas sang Guru.Elang tersenyum malu, karena ketahuan sedang mencuri dengar obrolan sepasang burung di atas pohon."Ti-tidak, Guru. Hanya sedang berlatih," sahutnya pelan."Berlatih?" Maha Resi mana percaya. Berlatih apa? Sejak tadi, Elang hanya bengong saking asyik menyimak perbincangan receh sepasang burung yang sedang saling memuji satu sama lain,
Kanjeng Senopati Raden Mas Bratasena terlihat berjalan mondar-mandir di pendopo saat Selir Gayatri berjalan tergopoh-gopoh mendekat ke arahnya. Wajah pria paruh baya itu tampak gusar, seolah menahan rasa geram yang luar biasa.Kedatangan para Ksatria dari Jumantara dua hari yang lalu di istana, membuat hatinya resah dan gelisah.Ambisi Senopati Bratasena untuk bisa mempersunting Kenes Kirana sangat besar. Gadis molek itu selalu menjadi kembang tidur pria gagah itu setiap malam. Dia harus memikirkan cara yang tepat untuk menyelesaikan persoalan ini segera, karena besok Gusti Prabu akan membuat keputusan perihal lamaran itu."Kangmas, kamu harus membantuku kali ini!" Selir Gayatri dengan wajah diliputi amarah, tak sabar untuk melaporkan apa yang telah dilakukan Ratu Isyana Tunggaldewi pada pelayan setianya."Ada apa? Kenapa kamu begitu gusar, Nimas?" tanya Senopati menahan kesal. Sudahlah dia sedang pusing memikirkan cara untuk mengenyahkan para ksatria dari Jumantara, sekarang adiknya
Nyanyian jangkrik dan hewan hutan lainnya sedang mengalunkan kidung cinta untuk Sang Penciptanya. Elang tidur dengan gelisah. Beberapa kali dia menggumamkan sebuah nama dalam tidurnya.Kenes.Keringat membanjiri tubuh Elang Taraka. Padahal udara Wono Daksino malam ini dingin menusuk tulang."Bangun, Le! Kamu mimpi buruk lagi."Bukan sekali dua kali Elang memimpikan Raden Ayu, sudah tujuh malam ini. Maha Resi Acarya Adiwilaga sampai keheranan dengan kejadian berulang yang menimpa tidur pemuda itu."Kenes." Pria berambut putih itu menggoyang-goyangkan tubuh Elang supaya terbangun dari tidurnya."Elang, bangun!"Elang bangun dan duduk dengan napas tersengal seperti habis lari ribuan kilo meter. Sementara keringatnya mengalir deras dari sekujur tubuh. Menandakan dia begitu lelah dengan mimpinya. "Ada apa?""Aku mimpi yang sama lagi, Guru," resahnya. Cerita mengalir begitu saja dari mulut Elang. Dia menceritakan semua kejadian yang terjadi dalam mimpinya. Dia melihat, Kenes tengah memin
Beberapa Hari Sebelum PembelotanSemburat warna jingga di langit bagian barat tampak begitu menawan. Kawanan burung terbang secara berkelompok setelah puas seharian mencari makan untuk keluarganya, menambah suasana senja semakin indah.Hanya saja, keindahan yang menaungi senja di kerajaan Damar Langit ini, tak seindah suasana hati Gusti Prabu Maheswara Kamandaka. Pria paruh baya yang masih terlihat gagah itu sedang duduk termenung di taman Kaputren bersama Gusti Ratu. Dua hari ini, dia terus tenggelam dalam rasa tidak nyaman. Entah kenapa sikap Senopati Bratasena dua hari lalu sangat mengganggu hati dan pikirannya. Gusti Ratu yang sedari tadi duduk di sampingnya, ikut gusar."Kanda, apakah ada yang mengganggu hati dan pikiranmu?" tanya Isyana Kusumawardani lembut.Gusti Prabu menghela napas panjang. Lalu, dia membuangnya pelan-pelan."Dinda, entah kenapa ... aku merasa Paman Senopati sedang menyembunyikan sesuatu." Gusti Prabu berkata dengan gusar.Permaisuri menatap wajah suaminya de
Suasana di sekitar Istana Damar Langit sangat mencekam. Langit yang tadi pagi begitu cerah, kini terlihat mendung. Begitu pun dengan sang Raja dan sang Ratu, entah bagaimana kabarnya? Apa kedua pasangan itu juga ikut mendung atau bahkan hujan tangis terus mengalir deras, melihat apa yang sudah terjadi dengan kerajaan yang kini di ujung tanduk.Raden Mas Hadyan Ganendra celingak-celinguk begitu berhasil menyusup di Kaputren. Tak ada sosok Raden Ayu Kenes Kirana di setiap tempat yang dia sisir. Pemuda mengusap mukanya gusar. Napasnya tesengal dengan wajah tertarik. Rasa kecewa jelas tergambar di wajahnya. Ksatria Jumantara yang menginginkan Kenes menjadi pendampingnya itu tengah kebingungan. Dia mendapati ruangan pribadi pujaan hatinya telah kosong melompong. Jejak Kenes tidak ditemukan di seluruh Kaputren. Bahkan, tidak ada seorang Dayang pun yang bisa dimintai keterangan perihal ini. Membuat hati pria itu kecewa.Di luar sana, suasana sangat mencekam. Prajurit bawahan Kanjeng Senopati
Tengah malam yang sunyi, Elang Taraka masih saja terjaga. Dua pekan terakhir telah dihabiskannya untuk mengabdikan diri di Dusun Sewindu untuk menangani pagebluk yang melanda desa itu. Meski dalam hati makin resah tidak karuan ingin segera bergegas menuju Istana Damar Langit, tapi dia tidak bisa mengabaikan nasib ratusan warga dusun yang membutuhkan perawatannya.Berulang kali Elang membuang napas tak berdaya."Simbok, semoga Pemilik langit dan bumi menjaga panjenengan," lirih Elang melantunkan harapan. Entah bagaimana nasib wanita itu saat ini, Elang sungguh khawatir. Terpisahkan jarak yang begitu jauh selama berbulan-bulan berlalu. Pemuda itu tentu saja khawatir dengan wanita yang telah melahirkannya. Namun, saat ini dia tak punya pilihan lain, selain tinggal dulu sampai wabah di desa ini mereda.Tak dapat tidur, Elang bangkit dari dipan reyot yang dipakainya merebahkan diri. "Nak Mas, sampeyan mau kemana?" Suara salah satu warga desa menyapa indra dengar Elang begitu dia melangka
Burung rajawali raksasa terbang melayang di cakrawala berputar-putar di langit Kahuripan. Kepakan sayapnya menampar angin yang menciptakan deru yang berisik. “Kamu yakin ini Desa Kahuripan?” tanya Elang memastikan. Elang yang tampak duduk dengan tenang di punggung rajawali, bersikap waspada. Dia belum sembuh dari keterkejutan. Dirinya sendiri masih belum percaya sepenuhnya dengan apa yang dialaminya saat ini. Sehebat inikah bisa menguasai ajian gineng? Tidak disangka sebuah keluhan ringan untuk bisa terbang menuju Kahuripan didengar oleh burung ini."Kamu bisa lihat di sebelah sana, di rumah itu orang yang kamu cari disekap," balasnya."Hey, kamu bahkan bisa mengerti apa yang sedang kupikirkan?" Elang mengelus kepala rajawali raksasa dengan tatapan curiga.Rajawali tidak menjawab. Dengan pongah dia mencari tempat nyaman untuk mendarat.Langit yang sehitam tinta menyamarkan keberadaan mereka. Orang yang di bawah seakan tak terpengaruh. Suasana tetap lengang. Kesunyian melanda hanya t
Gendhis terus berlari mengabaikan perintah sang Ibunda Selir yang terus memanggilnya tanpa jeda. Dia terus melangkah menjauh, karena hanya itu yang dia inginkan saat ini. Dia ingin pergi dari istana sejauh mungkin. Bulir-bulir air mata yang jatuh dari mata indah milik Gendhis menjadi saksi pilu. Bahwa, hatinya terluka melihat ayahandanya diperlakukan bagai tawanan di istana miliknya sendiri. Genangan basah itu semakin menganak sungai di wajah mulusnya. Sementara, tubuhnya naik turun oleh gerakan tangis yang begitu menyayat. Tidak bisa dibayangkan, jika Ibunda Selir dengan tega melakukan itu semua pada ayahandanya hanya demi tahta. Gendhis kecewa. Dalam benaknya, gadis itu tengah merutuki apa yang terjadi di ruang penjara bawah tanah. Bagaimana angkuh dan jumawanya seorang Gayatri ketika menyaksikan Gusti Prabu dan Gusti Ratu yang tengah menderita. Gendhis merasakan kemarahan dan kekecewaan yang berat terhadap Gayatri dan Senopati. Benar, jika Gendhis selalu iri melihat kecan
Hari ini mentari bersinar terik di seluruh penjuru Damar Langit. Sepasang anak muda tengah memacu kuda di jalanan tanah berhiaskan bebatuan. Mereka terus memacu kuda menuju Istana Damar Langit. Elang sama sekali tidak bisa menggoyahkan niat Kenes Kirana yang ingin melihat kondisi Kota Raja. "Hiyaa. Hiyaa." Suara derap sepatu kuda yang beradu dengan tanah terdengar memecah kesunyian di sepanjang jalan yang mereka lalui. Angin yang bertiup semilir seiring dengan laju kuda. Seolah mengalihkan hawa panas yang terasa menyengat membakar kulit mereka. Wajah putih seorang Raden Ayu Kenes Kirana tampak memerah, menjadikannya terlihat merona menggemaskan. Tepat ketika matahari tepat di atas kepala, si gadis sudah tidak tahan lagi untuk meneruskan perjalanan. Dia sudah tidak sanggup menahan panas yang menyengat kulit indahnya. "Elang, bisakah kita berteduh dulu? Duh, kulitku terlihat kusam," rengek gadis itu menyadari warna kulitnya. Ini pertama kali dirinya berkelana di alam liar ta
Istana terlihat sangat sibuk. Semenjak Senopati telah mendeklarasikan dirinya sebagai Raja. Dia sibuk menyiapkan kekuatan militer untuk memastikan semua sesuai dengan keinginannya. Para telik sandi telah memberi kabar padanya bahwa pasukan Patih Arya Wursita tidak bersedia patuh. Dia khawatir Arya Wursita akan bergabung dengan pasukan Tumenggung Mahawira dan menyusun kekuatan untuk menyerang kota raja.Para prajurit yang berada di bawah kendali Senopati berlatih dengan penuh semangat. Senopati sendiri turun tangan untuk memberi dorongan semangat pada prajuritnya. "Kita perjuangkan Istana ini, sampai titik darah penghabisan. Siap?" pidatonya berapi-api."Siap." Serentak para Prajurit menjawab ucapan Kanjeng Senopati.Suara pekikan semangat para Prajurit terdengar membahana membelah cakrawala.Tidak berbeda dengan bagian depan istana, para Tabib juga tidak kalah sibuk. Mereka menyiapkan obat-obatan untuk persiapan jika perang telah pecah, pasti akan ada banyak Prajurit yang terluka.Ag
Sepasang anak muda itu terjebak dalam keheningan yang memekakkan telinga. Ada begitu banyak kalimat yang ingin dimuntahkan Elang pada Kenes yang suka bertindak tanpa berpikir panjang, tapi melihat situasinya saat ini dia hanya bisa menelan kembali dengan pahit.Sementara Kenes dengan statusnya yang tinggi, sepanjang hidupnya tak ada yang berani menyalahkan, mana mungkin bersedia merendahkan dirinya untuk meminta maaf. Elang hanya bisa menyimpan rasa kesal di dalam hati, tidak tega memarahi gadis cantik yang masih berdiri dengan kepala tertunduk."Apa masih ingin melarikan diri dariku?" sindirnya sembari melipat tangan di depan dada.Bukannya menjawab, Kenes mendengkus sebal. Bibirnya mengerucut. Mana mungkin dia tidak paham dengan kalimat sindiran ini. "Aku pergi dulu!" Elang melangkah pergi. Namun, baru beberapa langkah, suara Kenes sudah terdengar."Elang." Langkah pemuda itu terhenti.Dia hanya berdiri tanpa suara, menunggu putri Maheswara Kamandaka itu melanjutkan kalimatnya."K
Apa yang saat ini terjadi padanya sungguh hal yang tak ada di dalam perhitungan Kenes. Sebelumnya, dia hanya merasa harus membuktikan kebenaran kabar yang didengarnya dengan datang sendiri ke Kota Raja. Sama sekali tidak memperhitungkan ada begitu banyak bahaya mengintainya sepanjang jalan menuju ke Kota Raja yang begitu jauh.Seorang dengan status Demang rendahan berani sekali menggoda, bahkan terang-terangan mengancamnya. Sungguh tidak bisa dimaafkan!"Saya bisa melindungi diri sendiri, sampeyan tidak perlu mengkhawatirkan saya," tolaknya tegas.Mana mungkin Kenes tidak mengerti setiap kalimat yang diucapkan oleh Demang itu mengandung niat buruk. Jika tetap tinggal, justru membahayakan dirinya sendiri."Ha-ha-ha, ternyata seorang gadis yang galak dan keras kepala. Baiklah, jika bersikeras melanjutkan perjalanan, aku tidak akan menghalangi," ucapnya sambil menyeringai. Ada kilat licik yang sempat ditangkap Kenes dari tatap matanya. "Terima kasih." Kenes menjawab acuh tak acuh.Pria
"Kenes, tolong tumbukkan rimpang dan herbal ini!" "Kenes, tolong ambilkan air di sebelah sana!" "Kenes, jangan bergerak begitu lambat, kamu harus bergerak cepat saat mengobati pasien!" Hari ini Kenes sangat sibuk disuruh-suruh melakukan ini dan itu. Ada begitu banyak hal yang diperintah oleh Elang Taraka untuknya. Pemuda tampan itu menurunkan titah dan memperlakukan seorang putri raja, sebagaimana kacung rendahan. Kendati sebesar apapun rasa kesal yang membuncah di dada Kenes Kirana, gadis itu mencoba bersabar. Ada begitu banyak orang sakit yang ada di pendopo ini. Mana mungkin dia tega mempermasalahkan sikap Elang. Bisa-bisa dia akan mendapatkan label buruk dari rakyatnya sendiri nantinya.Setengah hari dia terus berputar seperti gasing melakukan ini dan itu, Kenes akhirnya kelelahan.Tubuhnya dilanda rasa penat yang sangat. Setelan pabrik tubuh seorang Tuan Putri seperti dirinya adalah menerima pelayanan dari begitu banyak orang di Keputren, bukan melayani orang lain. Dia tidak
"Kalau begitu, katakan padaku, kamu memilih untuk mati dengan cara bagaimana?" Elang berkata jengkel. Gadis ini seharusnya mengucapkan terima kasih padanya, bukan malah menuduhnya sebagai penjahat. Kenes membuang wajah sambil memberengut. Tidak menyangka Elang berani berkata begitu padanya. Apa dia lupa, saat ini sedang bicara dengan Putri Raja Damar Langit? "Kenapa? Kamu tidak percaya padaku kalau aku bisa melemparmu ke bawah sana sekarang?" tambah Elang menantang. Sesekali, gadis ini memang harus diberi pelajaran, supaya tidak bersikap sesuka hati. "Kamu berani? Kamu akan menjadi buronan seluruh kerajaan Damar Langit jika berani bersikap kurang ajar padaku!" Kenes membalas kasar. "Tentu saja aku berani! Kamu jangan menantangku!" Ingin sekali Elang memukul kepala gadis cerewet ini, kesal. Kenes mendengkus sebal. Melihat ekspresi serius Elang saat mengatakan akan melemparnya ke bawah, Kenes mendadak ngeri. Lebih baik dia menahan diri dan mengomel lagi setelah turun dari punggung
Elang sama sekali tidak menyangka Kenes Kirana justru akan melakukan hal yang kontra produktif dengan rencananya. Setelah berhasil masuk ruangan untuk bertemu dengan Kenes dengan susah payah, gadis itu malah melaporkannya pada penjaga. "Gusti Putri, aku datang untuk menyelamatkanmu!" dengkus Elang tak berdaya."Menyelamatkan dari apa? Aku aman di sini!" balasnya masih dengan tatapan curiga.Pemuda tampan berambut panjang itu hanya bisa membuang napas gusar. Ucapan sudah terlanjur keluar tak bisa ditarik lagi. Suaranya begitu jelas menyapa indra dengar para pengawal yang berjaga dengan penuh kewaspadaan di luar. "Maaf, Raden Ayu. Aku terpaksa melakukannya!" Elang Taraka menotok titik akupuntur Raden Ayu. Daripada Kenes akan bertindak di luar kontrol Elang, lebih baik dia membuat Kenes pingsan saja. Tak ingin memperpanjang dialog yang tidak berguna.Bersamaan dengan itu, terdengar derap suara langkah kaki memasuki ruangan dengan tergesa-gesa."Kurang ajar! Orang jahat berani masuk ke
Burung rajawali raksasa terbang melayang di cakrawala berputar-putar di langit Kahuripan. Kepakan sayapnya menampar angin yang menciptakan deru yang berisik. “Kamu yakin ini Desa Kahuripan?” tanya Elang memastikan. Elang yang tampak duduk dengan tenang di punggung rajawali, bersikap waspada. Dia belum sembuh dari keterkejutan. Dirinya sendiri masih belum percaya sepenuhnya dengan apa yang dialaminya saat ini. Sehebat inikah bisa menguasai ajian gineng? Tidak disangka sebuah keluhan ringan untuk bisa terbang menuju Kahuripan didengar oleh burung ini."Kamu bisa lihat di sebelah sana, di rumah itu orang yang kamu cari disekap," balasnya."Hey, kamu bahkan bisa mengerti apa yang sedang kupikirkan?" Elang mengelus kepala rajawali raksasa dengan tatapan curiga.Rajawali tidak menjawab. Dengan pongah dia mencari tempat nyaman untuk mendarat.Langit yang sehitam tinta menyamarkan keberadaan mereka. Orang yang di bawah seakan tak terpengaruh. Suasana tetap lengang. Kesunyian melanda hanya t