Nyanyian jangkrik dan hewan hutan lainnya sedang mengalunkan kidung cinta untuk Sang Penciptanya. Elang tidur dengan gelisah. Beberapa kali dia menggumamkan sebuah nama dalam tidurnya. Kenes. Keringat membanjiri tubuh Elang Taraka. Padahal udara Wono Daksino malam ini dingin menusuk tulang. "Bangun, Le! Kamu mimpi buruk lagi." Bukan sekali dua kali Elang memimpikan Raden Ayu, sudah tujuh malam ini. Maharesi Acarya Adiwilaga sampai keheranan dengan kejadian berulang yang menimpa tidur pemuda itu. "Kenes." Pria berambut putih itu menggoyang-goyangkan tubuh Elang supaya terbangun dari tidurnya. "Elang, bangun!" Elang bangun dan duduk dengan napas tersengal seperti habis lari ribuan kilo meter. Sementara keringatnya mengalir deras dari sekujur tubuh. Menandakan dia begitu lelah di dalam mimpinya. "Ada apa?" "Aku mimpi yang sama lagi, Guru," resahnya. Cerita mengalir begitu saja dari mulut Elang. Dia menceritakan semua kejadian yang terjadi dalam mimpinya. Dia melihat, Kenes t
Beberapa Hari Sebelum PembelotanSemburat warna jingga di langit bagian barat tampak begitu menawan. Kawanan burung terbang secara berkelompok setelah puas seharian mencari makan untuk keluarganya, menambah suasana senja semakin indah.Hanya saja, keindahan yang menaungi senja di kerajaan Damar Langit ini, tak seindah suasana hati Gusti Prabu Maheswara Kamandaka. Pria paruh baya yang masih terlihat gagah itu sedang duduk termenung di taman Kaputren bersama Gusti Ratu. Dua hari ini, dia terus tenggelam dalam rasa tidak nyaman. Entah kenapa sikap Senopati Bratasena dua hari lalu sangat mengganggu hati dan pikirannya. Gusti Ratu yang sedari tadi duduk di sampingnya, ikut gusar."Kanda, apakah ada yang mengganggu hati dan pikiranmu?" tanya Isyana Kusumawardani lembut.Gusti Prabu menghela napas panjang. Lalu, dia membuangnya pelan-pelan."Dinda, entah kenapa ... aku merasa Paman Senopati sedang menyembunyikan sesuatu." Gusti Prabu berkata dengan gusar.Permaisuri menatap wajah suaminya de
Suasana di sekitar Istana Damar Langit sangat mencekam. Langit yang tadi pagi begitu cerah, kini terlihat mendung. Begitu pun dengan sang Raja dan sang Ratu, entah bagaimana kabarnya? Apa kedua pasangan itu juga ikut mendung atau bahkan hujan tangis terus mengalir deras, melihat apa yang sudah terjadi dengan kerajaan yang kini di ujung tanduk.Raden Mas Hadyan Ganendra celingak-celinguk begitu berhasil menyusup di Kaputren. Tak ada sosok Raden Ayu Kenes Kirana di setiap tempat yang dia sisir. Pemuda mengusap mukanya gusar. Napasnya tesengal dengan wajah tertarik. Rasa kecewa jelas tergambar di wajahnya. Ksatria Jumantara yang menginginkan Kenes menjadi pendampingnya itu tengah kebingungan. Dia mendapati ruangan pribadi pujaan hatinya telah kosong melompong. Jejak Kenes tidak ditemukan di seluruh Kaputren. Bahkan, tidak ada seorang Dayang pun yang bisa dimintai keterangan perihal ini. Membuat hati pria itu kecewa.Di luar sana, suasana sangat mencekam. Prajurit bawahan Kanjeng Senopati
Tengah malam yang sunyi, Elang Taraka masih saja terjaga. Dua pekan terakhir telah dihabiskannya untuk mengabdikan diri di Dusun Sewindu untuk menangani pagebluk yang melanda desa itu. Meski dalam hati makin resah tidak karuan ingin segera bergegas menuju Istana Damar Langit, tapi dia tidak bisa mengabaikan nasib ratusan warga dusun yang membutuhkan perawatannya. Berulang kali Elang membuang napas tak berdaya. "Simbok, semoga Pemilik langit dan bumi menjaga panjenengan," lirih Elang melantunkan harapan. Entah bagaimana nasib wanita itu saat ini, Elang sungguh khawatir. Terpisahkan jarak yang begitu jauh selama berbulan-bulan berlalu. Pemuda itu tentu saja khawatir dengan wanita yang telah melahirkannya. Namun, saat ini dia tak punya pilihan lain, selain tinggal dulu sampai wabah di desa ini mereda. Tak dapat tidur, Elang bangkit dari dipan reyot yang dipakainya merebahkan diri. "Nak Mas, sampeyan mau kemana?" Suara salah satu warga desa menyapa indra dengar Elang begitu dia mela
Burung rajawali raksasa terbang melayang di cakrawala berputar-putar di langit Kahuripan. Kepakan sayapnya menampar angin yang menciptakan deru yang berisik. “Kamu yakin ini Desa Kahuripan?” tanya Elang memastikan. Elang yang tampak duduk dengan tenang di punggung rajawali, bersikap waspada. Dia belum sembuh dari keterkejutan. Dirinya sendiri masih belum percaya sepenuhnya dengan apa yang dialaminya saat ini. Sehebat inikah bisa menguasai ajian gineng? Tidak disangka sebuah keluhan ringan untuk bisa terbang menuju Kahuripan didengar oleh burung ini."Kamu bisa lihat di sebelah sana, di rumah itu orang yang kamu cari disekap," balasnya."Hey, kamu bahkan bisa mengerti apa yang sedang kupikirkan?" Elang mengelus kepala rajawali raksasa dengan tatapan curiga.Rajawali tidak menjawab. Dengan pongah dia mencari tempat nyaman untuk mendarat.Langit yang sehitam tinta menyamarkan keberadaan mereka. Orang yang di bawah seakan tak terpengaruh. Suasana tetap lengang. Kesunyian melanda hanya t
Elang sama sekali tidak menyangka Kenes Kirana justru akan melakukan hal yang kontra produktif dengan rencananya. Setelah berhasil masuk ruangan untuk bertemu dengan Kenes dengan susah payah, gadis itu malah melaporkannya pada penjaga. "Gusti Putri, aku datang untuk menyelamatkanmu!" dengkus Elang tak berdaya."Menyelamatkan dari apa? Aku aman di sini!" balasnya masih dengan tatapan curiga.Pemuda tampan berambut panjang itu hanya bisa membuang napas gusar. Ucapan sudah terlanjur keluar tak bisa ditarik lagi. Suaranya begitu jelas menyapa indra dengar para pengawal yang berjaga dengan penuh kewaspadaan di luar. "Maaf, Raden Ayu. Aku terpaksa melakukannya!" Elang Taraka menotok titik akupuntur Raden Ayu. Daripada Kenes akan bertindak di luar kontrol Elang, lebih baik dia membuat Kenes pingsan saja. Tak ingin memperpanjang dialog yang tidak berguna.Bersamaan dengan itu, terdengar derap suara langkah kaki memasuki ruangan dengan tergesa-gesa."Kurang ajar! Orang jahat berani masuk ke
"Kalau begitu, katakan padaku, kamu memilih untuk mati dengan cara bagaimana?" Elang berkata jengkel. Gadis ini seharusnya mengucapkan terima kasih padanya, bukan malah menuduhnya sebagai penjahat. Kenes membuang wajah sambil memberengut. Tidak menyangka Elang berani berkata begitu padanya. Apa dia lupa, saat ini sedang bicara dengan Putri Raja Damar Langit? "Kenapa? Kamu tidak percaya padaku kalau aku bisa melemparmu ke bawah sana sekarang?" tambah Elang menantang. Sesekali, gadis ini memang harus diberi pelajaran, supaya tidak bersikap sesuka hati. "Kamu berani? Kamu akan menjadi buronan seluruh kerajaan Damar Langit jika berani bersikap kurang ajar padaku!" Kenes membalas kasar. "Tentu saja aku berani! Kamu jangan menantangku!" Ingin sekali Elang memukul kepala gadis cerewet ini, kesal. Kenes mendengkus sebal. Melihat ekspresi serius Elang saat mengatakan akan melemparnya ke bawah, Kenes mendadak ngeri. Lebih baik dia menahan diri dan mengomel lagi setelah turun dari punggung
"Kenes, tolong tumbukkan rimpang dan herbal ini!" "Kenes, tolong ambilkan air di sebelah sana!" "Kenes, jangan bergerak begitu lambat, kamu harus bergerak cepat saat mengobati pasien!" Hari ini Kenes sangat sibuk disuruh-suruh melakukan ini dan itu. Ada begitu banyak hal yang diperintah oleh Elang Taraka untuknya. Pemuda tampan itu menurunkan titah dan memperlakukan seorang putri raja, sebagaimana kacung rendahan. Kendati sebesar apapun rasa kesal yang membuncah di dada Kenes Kirana, gadis itu mencoba bersabar. Ada begitu banyak orang sakit yang ada di pendopo ini. Mana mungkin dia tega mempermasalahkan sikap Elang. Bisa-bisa dia akan mendapatkan label buruk dari rakyatnya sendiri nantinya.Setengah hari dia terus berputar seperti gasing melakukan ini dan itu, Kenes akhirnya kelelahan.Tubuhnya dilanda rasa penat yang sangat. Setelan pabrik tubuh seorang Tuan Putri seperti dirinya adalah menerima pelayanan dari begitu banyak orang di Keputren, bukan melayani orang lain. Dia tidak
Elang duduk di atas batu besar yang ada di pinggir sungai. Selepas mengantar pergi para Ksatria Jumantara sampai di batas desa, dia memilih duduk sendirian di tempat ini. Elang mencoba menenangkan diri. Hatinya porak-poranda. Dadanya sesak. Darah di tubuhnya mendidih. Sungguh, dia butuh sendiri. Menikmati gemericik air mengalir dari tanah yang permukaannya lebih tinggi jatuh membentur bebatuan di bawahnya. Desau angin yang menampar batang-batang bambu membuatnya saling berkeretak, meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri. Kicauan burung-burung dan jangkrik yang mengerik. Semua suara seakan bersatu padu dengan irama khasnya masing-masing, hingga tercipta nyanyian semesta yang sedikit banyak membuat dadanya yang tadi terasa sesak jadi sedikit lebih lega. Elang memejamkan mata meresapi. Andai waktu bisa berputar ulang, dia pasti akan membuat keputusan yang berbeda. Dengan gagah berani, dia akan menyetujui keinginan Kenes Kirana untuk melamar gadis itu.“Aah, andai saja….” Tanpa sadar, dia mengg
Kedatangan Tumenggung Mahawira dan pasukannya makin menambah bahan bakar kobaran api semangat semua orang. Mereka siap mempersembahkan kesetiaan kepada Gusti Prabu Maheswara Kamandaka. Apapun taruhannya. Apalagi setelah terkuaknya jati diri Pimpinan mereka Kanjeng Senopati Ing Palaga mewarisi darah Naga Biru di dalam tubuhnya dari jalur sang Ibu. Tidak semua orang mengenal nama Sukmo Sentolo memang. Orang lebih mengenal nama Pendekar Naga Biru yang legendaris daripada nama aslinya, Sukmo Sentolo. Ditambah Elang juga mewarisi darah biru kebangsawanan Putra Gusti Prabu Kameswara. Kedudukannya kokoh di mata siapapun sebagai Gusti Pangeran Arya Elang Taraka yang sakti mandraguna.Betapa bungah hati Gusti Prabu mendapati kenyataan dua orang pilih tanding ini berada di sisinya. Jangkap sudah pimpinan militer yang memimpin pasukan untuk menyerang Bratasena.Sialnya, dalam menghadapi peperangan, tidak cukup dengan keterampilan fisik dan olah kanuragan ataupun semangat semata. Ada hal pentin
Sepertinya, hidup sedang mengajaknya bercanda. Apa mungkin inilah yang disebutkan orang sebagai putaran roda nasib yang kadang di atas, kadang di bawah? Selepas Elang merasakan ujung hidupnya ada di ujung tanduk, dihukum pengasingan di Wono Daksino atas perbuatan yang sengaja direncanakan orang lain. Bahkan orang itu masih mengutus pendekar sakti untuk membunuhnya. Sekonyong-konyong, dia berubah menjadi sosok berbeda. Bukan lagi seorang abdi dalem keraton, melainkan putra seorang raja yang telah mangkat.“Malam ini, kalian semua telah menyaksikan apa yang juga kusaksikan. Aku tidak perlu mengulangnya. Elang Taraka adalah keponakanku.” Bukan hanya satu atau dua orang yang menyaksikan kejadian penyatuan Naga Biru dalam tubuh Elang Taraka. Mereka yang tinggal di desa ini berbondong-bondong mengikuti arah bayangan cahaya biru berbentuk naga itu terbang. Halaman tempat tinggal kini Elang ternyata dipenuhi oleh penduduk desa.“Makin teguh keyakinanku untuk merebut kembali Damar Langit. Ti
Mbok Sumi mengeluarkan sebuah kotak kayu ukir-ukiran berwarna hitam yang disimpannya dalam buntelan kain batik yang dibawanya dari Kotaraja. Perasaannya berkecamuk tidak karuan terlihat dari tangan yang gemeraran ketika mengulurkan kotak itu pada Elang. Dengan tatapan kosong, Elang menerima.“Bukalah, Le. Hanya itu satu-satunya barang yang bisa kamu gunakan untuk mengungkap identitasmu yang sebenarnya. Simbok sama sekali ndak tahu siapa orang tuamu. Simbok hanya bisa merawatmu sebaik mungkin semampu Simbok.” Masih diiringi isak tangis, Mbok Sumi menumpahkan semua kalimat sakral itu. Selama ini dia terus saja menolak untuk memberitahu, berharap bisa mengubur kenyataan itu sampai kematian datang menjemput. Akan tetapi, takdir berkehendak lain.Elang membuka kotak itu perlahan. Dengan rasa penasaran yang membuncah, dia tetap bisa menahan diri. Sepasang netranya menangkap sebuah gelang emas dengan ukiran naga yang melilit. “Kata Ki Rekso suamiku, gelang itu milikmu. Pesan darinya, aku ha
Elang menyipitkan mata. Butuh waktu sedikit lebih lama baginya untuk bisa menyadari sesuatu.“Agra?” Elang mengeja sebuah nama untuk memastikan tebakannya.“Elang, jahat sekali kamu ndak mengenali kami!” Salah satu penumpang pedati yang disebut sebagai Agra itu melompat turun. Belum lepas dari keterkejutan karena suara yang terdengar tidak asing ini makin mengukuhkan tebakannya. Orang itu melepaskan ikatan kepalanya. Rambut palsu yang digunakan oleh Agra untuk menyempurnakan penyamaran kini dilepasnya. “Bagaimana, jangan bilang kamu masih ndak kenal aku, Lang!” dengkus Agra kemudian. Begitu rambut palsu berwarna putih kelabu itu tersingkir, Elang menepuk dahi.“Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku ada di sini, Agra?” Senyum Elang mulai terkembang. Keduanya berpelukan, saling menepuk punggung. Terlepas dari sikap Agra yang blak-blakan apa adanya, bahkan kadang menyinggung, mereka telah berteman sejak lama. “Simbok merindukanmu selama ini, Lang,” ucapnya sembari membantu sosok wanita ya
Suara dentang pedang saling beradu memenuhi Alun-alun Desa Sekar Sari. Tak ada kata istirahat, mereka begitu bersemangat menyambut perintah dari Kanjeng Senopati Ing Palaga Elang Taraka. Dengan gelar baru yang disandangnya, bertambahlah kesibukan Elang dalam menyiapkan pasukan untuk perang besar yang sudah pasti akan terjadi. Mengembalikan Damar Langit pada pemilik tahta yang sah telah menjadi misi yang akan diembannya sampai tetes darah terakhir.Tak semua prajurit ini berpengalaman, ada puluhan prajurit baru yang harus dilatih lebih keras supaya mempunyai kemampuan setara dengan yang lainnya. Perang besar ini akan membutuhkan jumlah prajurit yang besar. Siapapun yang bersedia bergabung, Patih Arya Wursita menerimanya. Kendati akan membutuhkan waktu lebih panjang untuk mengajarkan teknik-teknik dasar. Mereka mengambil pilihan tersebut. “Kuda-kudamu kurang kuat, lakukan dengan benar seperti yang kuajarkan!” Dengan tendangan ringan dari Elang, prajurit itu terjengkang. Puluhan prajuri
Mahawira dengan sabar menunggui Gendhis mencuci di sungai dengan sabar. Bahkan dia membantunya membawakan bakul yang berisi pakaian basah saat mereka beranjak meninggalkan sungai. Wajah gadis itu terlihat tak nyaman dengan perhatian Mahawira. Mereka baru saja berjumpa, perhatian ini terlalu berlebihan.“Kanjeng Tumenggung, terima kasih karena Andika telah membantu saya hari ini. Tidak perlu mengantar, saya tidak enak dilihat penduduk desa. Khawatir mereka akan bicara yang tidak-tidak.” Gendhis mengusir pria itu dengan cara halus. “Bicara tidak-tidak seperti apa contohnya, Nimas?” Dahi pria matang itu mengernyit. Bukan tak paham, dia memang sengaja memancing Gendhis bicara lebih intim.“Ah, anu, maksud saya … mereka mungkin mengira….” Gendhis menjeda kalimatnya. Sungkan untuk melanjutkan.“Mengira aku dan Nimas mempunyai hubungan khusus, begitu?” Sudut bibir Mahawira melengkung. Dia mengujur gadis yang berjalan beriringan dengannya itu. Usianya masih belasan tahun. Sementara dirinya s
Sejak pagi menjelang, kepala iring-iringan pasukan yang dipimpin oleh Tumenggung Mahawira telah memasuki sebuah desa kecil yang berbatasan dengan hutan. Penduduk desa tak ada yang berani keluar dari rumah. Pintu-pintu rumah mereka ditutup sedemikian rupa. Sepanjang jalan masuk desa, Sang Tumenggung tidak menjumpai seorang pun di sana. Pasukan itu berjumlah sekitar seribu orang. Mungkin para penduduk merasa jeri melihat begitu banyaknya orang yang berbadan tegap bersenjata lengkap.“Kalian dirikan tenda di sebelah sana, malam ini kita istirahat di tempat ini!” titah Tumenggung Mahawira sembari menunjuk ada tempat luas di tengah desa. Sudah berhari-hari mereka berjalan dengan sedikit istirahat. Tumenggung memutuskan untuk menginap di tempat ini memulihkan tenaga. Lapangan yang luas ini mungkin biasa dijadikan tempat berkumpul warganya.Dengan gesit, para prajurit melaksanakan titah junjungannya. Ada yang mendirikan tenda, ada yang mencari air dan memasak. Mereka berbagi tugas secara cer
Kendati hanya dibalut pakaian sederhana, tetap saja tidak bisa menyembunyikan tubuh molek Kenes Kirana yang mempunyai aura putri keraton begitu kuat. Hanya dengan sekilas pandang saja, orang jelas melihat perbedaannya dengan para gadis penduduk asli Desa Sekar Sari. Dari arah sungai, gadis cantik itu berjalan cepat dengan wajah kecewa, Elang mengekor di belakang dengan perasaan campur aduk. “Gusti Putri, hati-hati,” panggil Elang lembut disela langkahnya. Yang dipanggil tidak menggubris. Hujan mengguyur semalaman membuat jalanan setapak yang menghubungkan desa dengan sungai itu basah dan licin.“Jangan pedulikan aku!” “Gusti Putri, awas jalannya licin….” Belum usai Elang menyelesaikan kalimatnya, Kenes sudah tergelincir. Elang berusaha secepat mungkin menggapai, tapi terlambat. Kenes jatuh terduduk di tanah. Pada dasarnya, dia takut lancang sembarangan menyentuh Kenes yang merupakan junjungannya.Antara kaget dan malu dengan kesialan yang menimpa dirinya, untuk beberapa saat Kenes