Share

Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat
Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat
Penulis: Ummu Nadin

Part 1 : Elang Taraka

Penulis: Ummu Nadin
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-17 14:08:11

“Buka pintu! Ada titah dari Gusti Prabu.”

Sebuah suara berirama tenor terdengar dari balik pintu. Disusul dengan suara gedoran pintu yang terdengar riuh mengganggu ketenangan malam.

Seorang pemuda yang tengah bercakap ringan dengan sang Ibu, terpaksa menjeda perbincangan.

“Siapa yang datang malam-malam begini, Le?” Dahi wanita tua itu mengernyit menampilkan kerutan yang begitu kentara.

“Sepertinya prajurit pengawal Gusti Prabu, Mbok.” Anak muda itu berkata ragu, tak yakin.

Ada apa Gusti Prabu memanggilnya malam-malam begini?

“Gu-gusti Prabu? Ke-kenapa Gu-gusti Prabu memanggilmu, Le? Apa kamu melakukan kesalahan?” tanya Mbok Sumi dengan wajah pias, seakan darahnya berhenti mengalir.

“Aku juga ndak tahu, Mbok. Aku ndak melakukan kesalahan apa-apa.” Tak hanya Mbok Sumi yang ketakutan, tubuh Elang sampai bergetar saat menjawab pertanyaan simboknya.

Kenapa Gusti Prabu memanggil rakyat jelata sepertinya? Elang mulai mengingat semua yang dilakukannya dari pagi hingga malam ini. Mungkinkah salah satu perbuatannya menyinggung seseorang?

“Cepat buka pintu! Jangan membuat titah Gusti Prabu menunggu terlalu lama!” Suara tenor itu kembali terdengar melerai lamunan Elang.

Tergopoh-gopoh, Mbok Sumi segera bangkit menuju pintu biliknya. Disusul Elang di belakangnya.

Krriieettt.

Begitu pintu terbuka, sosok Prajurit istana berdiri dengan gagah berani di depan pintu. Tanpa seulas senyum, seorang prajurit mulai mengatakan maksud dan tujuannya.

"Kami diperintahkan Gusti Prabu untuk menjemput Elang ke Balairung Istana." Prajurit itu berkata dengan tegas.

Mbok Sumi masih berdiri mematung di tempatnya. Antara sadar dan tidak, dia mendengarkan titah Baginda yang disampaikan oleh prajurit yang ada di depannya itu.

"B-baik, saya akan memanggil Elang," jawab Mbok Sumi.

Sepasang Prajurit itu mengangguk serentak. Mereka menunggu dengan acuh tak acuh. Begitu mereka melihat Elang telah bersiap, keduanya segera mengiring Elang berjalan menuju Balairung Istana.

“Paman Prajurit, kenapa Gusti Prabu menurunkan titah padaku? Apa yang terjadi?” tanya Elang takut-takut. Dua prajurit pengawal Gusti Prabu itu seusia dengan ayahnya, jadi Elang memanggilnya paman.

“Kami juga ndak tahu. Mana mungkin kami berani bertanya pada Gusti Prabu. Huh!” dengkus salah satu prajurit itu dengan wajah tak bersahabat.

Elang hanya bisa menelan air ludah yang tiba-tiba terasa pahit dibuatnya. Hidup menjadi abdi dalem di Damar Langit ternyata tak seindah harapan. Semua orang bersikap waspada dan egois. Demi keselamatan pribadi, mereka acuh tak acuh dengan keselamatan orang lain.

“Kalau kamu ndak berbuat kesalahan, kamu tidak perlu takut, Elang!” Prajurit yang satunya bicara lebih ramah.

“Aah, terima kasih, Paman.” Sudut bibir Elang melengkung tipis pada prajurit yang bersikap ramah padanya tersebut.

Tak banyak bicara, mereka berjalan terburu-buru menuju Balairung Istana.

Malam menyebarkan kegelapan. Hanya cahaya obor yang menyala di setiap sudut koridor menuju Balairung. Hati Elang Taraka mendadak takut, entah kenapa ucapan biyungnya yang dulu pernah memperingatkan untuk mempertimbangkan kembali keputusannya untuk menjadi asisten tabib di Istana, kembali terngiang di indra dengar.

“Apa jangan-jangan, ada keluarga Istana yang tidak puas dengan ramuan yang aku buat?” gumamnya pelan.

"Aah, Simbok memang benar, menjadi Tabib Istana resikonya sangat besar," lanjutnya.

Elang nampak gusar. Jelas sekali raut wajahnya nampak ketakutan membayangkan jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi nantinya.

Sesampainya di hadapan Gusti Prabu, Elang menunduk tak berani mengangkat wajah.

“Ampun beribu ampun, Gusti Prabu. Abdi dalem datang menghadap.”

Pemuda itu menangkupkan kedua tangan di dada. Memberikan penghormatan pada Gusti Prabu Maheswara Kamandaka, pemilik tahta tertinggi di seantero Damar Langit.

"Benar kamu yang bernama Elang?" Dengan penuh wibawa Gusti Prabu bertanya memastikan pada pemuda itu. Tatapan sang Prabu menyelidik, ragu. Mungkinkah, seorang pemuda yang masih berusia belum genap dua puluh tahun ini mempunyai kemampuan mumpuni?

Apakah Raden Mas Bratasena tidak salah merekomendasikan orang?

Dahi Gusti Prabu berkerut dalam.

"Benar, Gusti Prabu. Saya Elang Taraka."

Elang berusaha menormalkan detak jantungnya. Ini kali pertama pemuda itu dipanggil Gusti Prabu. Perasaannya campur aduk, antara bingung dan takut.

Suasana istana sangat hening. Membuat perasaan takut di benak Elang makin membesar.

"Aku perintahkan, Kamu buatkan ramuan untuk membersihkan wajah Raden Ayu Kenes Kirana, putriku. Apa Kamu sanggup?"

Begitu ucapan Gusti Prabu jatuh, Elang terkejut setengah mati.

‘Ke-kenapa Gusti Prabu membuat titah seperti ini? Aku hanya seorang asisten tabib. Ilmu pengobatan aku masih minim. Bukankah ada tabib senior yang lebih mumpuni di istana?’ Dalam hati, Elang bertanya-tanya.

Jujur, Elang tak tahu harus bagaimana. Menolak titah Gusti Prabu adalah sebuah kejahatan. Namun, dia juga tak cukup percaya diri dengan kemampuannya.

“Romo Prabu, apa benar pemuda itu mempunyai kemampuan mumpuni dalam hal pengobatan?” Suara lembut mendayu-dayu menyapa indra dengar Elang Taraka. Reflek, asisten tabib itu mengangkat wajah. Tanpa sadar, tatapannya bersilang pandang dengan seorang gadis belia yang wajahnya ditutupi cadar tipis dari bahan sutera.

“Raden Mas Bratasena yang merekomendasikannya, Raden Ayu. Katanya, pemuda yang bernama Elang Taraka ini mempunyai potensi bagus dalam ilmu pengobatan.” Gusti Prabu menatap teduh putrinya yang saat ini sedang resah dengan penyakit di kulit wajahnya.

Sekali lagi, Kenes Kirana melirik Elang yang belum sempat membuang pandang.

'Kenapa Gusti Putri memakai cadar? Separah apa rusak kulit wajahnya?’ batinnya.

Padahal beberapa pekan yang lalu, Elang sempat melihat Kenes Kirana dari kejauhan, wajahnya masih cantik tiada bandingannya.

"Bagaimana, Elang. Kamu sanggup?" Gusti Prabu Maheswara Kamandaka kembali bersuara.

Spontan, Elang Taraka menoleh pada Raja Damar Langit yang makmur sentosa. Kepalanya masih belum bisa menemukan alasan, kenapa Raden Mas Bratasena merekomendasikan dirinya untuk menyembuhkan Raden Ayu?

Darimana Raden Mas Bratasena mengetahui dirinya. Elang masih berpikir. Namun, sang Prabu sudah menunggu keputusannya. Sebenarnya, jawabannya sudah dipastikan. Siapa yang berani menolak titah Raja?

Tidak ada.

Bisa atau tidak, Elang tetap harus menjawab iya. jika menolak dia akan mendapatkan hukuman. jika gagal menjalankan perintah dia juga akan mendapatkan hukuman. mau maju atau mundur hasilnya tetap akan sama.

Menjadi rakyat jelata sepertinya, hanya dijadikan sebagai tumbal keserakahan dari seseorang yang berniat buruk untuk Damar Langit.

“Sendiko dawuh, Gusti Prabu. Hamba akan mencobanya.”

“Elang Taraka, jangan sampai melakukan kesalahan. hukumannya sangat berat kalau kamu teledor?” sebuah suara angkuh terdengar menyapa elang.

"Inggeh. Hamba akan berusaha, Gusti Prabu." Akhirnya ia dengan lantang bisa menyanggupi pertanyaan dari rajanya.

"Kalau begitu, lakukan sekarang juga! Kamu tidak punya banyak waktu!"

"Siap, Gusti Prabu! Saya mohon diri."

Gusti Prabu mengulas senyum.

Elang melirik Kenes dengan ekor matanya sebelum dia melangkah pergi.

Ada beribu tanya berkelindan dalam benaknya. Tidak tahu kenapa, tiba-tiba dia didaulat untuk membuatkan ramuan obat untuk sang Putri.

“Kenapa harus aku?” lirihnya yang hanya bisa didengarkannya sendiri.

Di sepanjang perjalanan menuju bilik, Elang tidak berhenti memikirkan alasan dibalik tugas berat ini.

"Elang, ada apa? Kenapa Gusti Prabu memanggilmu, Le?" Mbok Sumi memecah lamunan Elang.

"Ndak papa, Mbok. Barusan Gusti Prabu memberi perintah membuat ramuan obat untuk menyembuhkan Raden Ayu," jawabnya.

"A-apa? Ke-kenapa harus kamu? Kamu ini hanya seorang asisten tabib. Harusnya tabib senior saja yang boleh melakukan pengobatan untuk keluarga kerajaan.” Mbok Sumi tak kalah kaget. Sebagaimana Elang, wanita paruh baya itu juga merasa titah Gusti Prabu kali ini tidak masuk akal.

“Aku juga ndak tahu, Mbok. Kalau sudah begini, memangnya kita bisa apa? Kalau menolak, kita bisa mendapatkan hukuman. Kalau menerima, aku ndak cukup percaya diri dengan kemampuanku.” Elang menghempaskan bokongnya di dipan kayu dengan gusar.

Mbok Sumi diam saja. Apa yang diucapkan putranya memang benar adanya.

***

Raden Ayu Kenes Kirana berjalan tergesa-gesa menghadap Gusti Prabu. Sepasang selop hitam berhiaskan sulaman benang emas ditambah manik-manik yang berkilauan terlihat begitu indah menghias sepasang kaki jenjangnya yang berwarna putih susu.

Kebaya yang terbuat dari bahan beludru berwarna hijau giok berhiaskan sulaman berbentuk tanaman padi dari benang emas, begitu kontras dengan kulitnya yang seputih pualam. Sungguh, dia memang sangat layak menjadi dambaan para Pangeran.

Sayangnya, wajahnya sekarang harus tertutup cadar sutera tipis. Ada jerawat meradang yang mengganggu kecantikan Raden Ayu.

Raden Ayu Kenes Kirana melangkah dengan terburu-buru.

Ketika hampir sampai di Balairung Istana, langkahnya terpaksa terhenti. Ada yang menarik perhatian sang Putri.

Seorang pria berpakaian sederhana yang semalam dipanggil Gusti Prabu baru saja keluar dari Balairung. Sepertinya, sepagi ini ayahnya telah membuat pemuda ini tak bisa menjalani hidup dengan tenang.

“Kamu yang bernama Elang Taraka?” Raden Ayu memutuskan untuk menyapa. Nasib kesembuhan wajahnya sedang dipertaruhkan dengan kemampuan pemuda di hadapannya ini.

Mata mereka sempat saling bertaut. Namun, dengan sekejap berpaling. Pemuda gagah itu tidak berani berlama-lama menatap sang Putri.

“Be-benar, Gusti Putri.”

Pemuda itu menunduk hormat, diam di tempatnya. Menunggu titah dari gadis itu.

Kenes membuang napas kasar. “Seberapa yakin kamu bisa menyembuhkan wajahku, Elang?”

Nama Elang Taraka tidak pernah masuk dalam jajaran tabib ternama di Istana. Kenapa Raden Mas Bratasena merekomendasikan untuk menyembuhkan wajahnya? Raden Ayu juga bertanya-tanya.

“Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk membuat ramuan mujarab, Gusti Putri.” Meski tak yakin, Elang tidak akan menjatuhkan harga dirinya dengan mengatakan dia tidak bisa. Nyawanya sudah berada di ujung tanduk, maju mundur sama saja. Mau tidak mau, dia harus mengandalkan diri sendiri untuk menyelamatkan nyawanya.

Sang Putri cantik nan menawan itu melambaikan tangannya, memberi isyarat kepada pemuda tadi untuk segera pergi. Lalu, dia melanjutkan langkah menuju Balairung Istana. Dimana ayahandanya duduk di atas singgasana.

"Romo, aku sedang berada dalam dilema besar," lapor sang Putri dengan wajah penuh kesedihan.

"Ada apa, Kenes?"

“Aku tidak yakin dengan kemampuan tabib bernama Elang Taraka itu, Romo,” cicitnya.

Raden Ayu kemudian bercerita dengan berapi-api tentang keraguannya pada pemuda bernama Elang Taraka.

Gusti Prabu hanya bisa menghela napas panjang.

“Aku juga tidak tahu harus bagaimana, Kenes. Ramuan semua tabib senior di istana tidak manjur. Kamu sudah mencoba semua resep dari mereka, bukan? Alih-alih sembuh, malah makin parah seperti ini.” Gusti Prabu juga sudah pusing tujuh keliling dengan persoalan ini. Tidak punya pilihan lain kecuali menerima saran dari Raden Mas Bratasena, sang Tumenggung.

"Bagaimana kalau kali ini juga gagal lagi, Romo? Apa Romo rela jika berita ini akan tersebar di seantero negeri, bahwa putri Gusti Prabu Maheswara Kamandaka buruk rupa karena wajahnya rusak?" tanya Raden Ayu dengan wajahnya yang ditekuk. Sementara kedua tangannya dia lipat di depan.

“Elang tidak akan sembarangan. Aku akan memberi hukuman berat jika dia melakukan mal praktik pada putriku!”

“Tapi dia bukan tabib senior, Romo!”

Raden Ayu Kenes Kirana tetap saja meragukan kemampuan Elang.

"Ada apa ini?" Permaisuri datang tergopoh-gopoh mendengar perdebatan ayah dan anak itu.

Wajah Kenes yang tadi bermuram durja, seketika berseri-seri melihat kedatangan Ibunda Ratu. Dia sangat berharap, Permaisuri bisa membujuk Gusti Prabu untuk bersedia memenuhi keinginannya.

"Ibunda, tolong bujuk Romo untuk tidak sembarangan mendaulat tabib yunior untuk mengobati wajahku. Takutnya, malah jadi mal praktik," rajuknya lagi.

Gusti Ratu hanya bisa menepuk-nepuk punggung putrinya, membujuknya untuk sedikit bersabar.

"Ibunda setuju dengan Romo, Kenes." Ucapan Gusti Ratu ini seperti suara petir di siang bolong. Kenes Kirana sampai tersentak mendengarnya.

"A-APA?"

Bersambung

Komen (2)
goodnovel comment avatar
taqiyyuut aja
wah elang mau naik jabatan atau d jebak ni
goodnovel comment avatar
Indah Syi
Awal yg menakhutskhan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 2 : Mengandalkan Diri Sendiri

    Berhari-hari sejak hari itu, Elang lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang obat. Istana Damar Langit yang makmur, berlimpah dengan berbagai macam bahan herbal. Gusti Prabu telah memberinya izin menggunakan semua fasilitas yang ada untuk uji coba membuat ramuan mujarab. Hanya berbekal buku pengobatan yang diwariskan dari sang Ayah yang telah tiada, Elang mendapatkan pengetahuan tentang berbagai jenis herbal, rimpang maupun jenis bunga tertentu yang mempunyai manfaat untuk perawatan kulit.Aah, untung saja dia mempunyai seorang ayah yang bisa diandalkan.“Baru kali ini aku serius membaca dan mempelajari kitab peninggalan ayah,” gumamnya lirih.Ada sedikit penyesalan, karena buku itu biasanya dibiarkan sampai berdebu tanpa pernah dibuka. Elang terlalu sibuk membantu tabib senior yang selalu menyuruhnya melakukan ini dan itu.“Aku selalu mengabaikanmu selama ini, sekarang aku mengandalkanmu. Tolong bantu aku selamat dari hukuman Gusti Prabu, ya,” keluhnya menyesal, berbicara sendiri

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-19
  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 3 : Ramuan yang Ditukar

    “Dayaaang ...." Suara lengkingan itu sejenak membuat aktivitas para Dayang di Kaputren terhenti. Dalam sekejap mata, mereka lari tunggang langgang menuju ke ruangan pribadi Raden Ayu Kenes Kirana."Mohon ampun, Raden Ayu. Kami datang menghadap," ucap salah seorang Dayang dengan suara bergetar. Terlihat wajah ketakutan di sana.Ada hal apa yang membuat sang Putri begitu tidak berkenan hatinya? Tak biasanya, Raden Ayu Kenes Kirana segusar ini memanggil mereka. "Dayang, kenapa wajahku seperti ini?" Tadi malam, mereka membalurkan ramuan buatan Elang di wajah Raden Ayu. Begitu bangun pagi, jerawat yang meradang di wajah sang Putri bukannya berkurang, malah makin bengkak parah. Kini, tak terlihat lagi sisa kecantikan Raden Ayu Kenes Kirana yang kecantikannya sudah dikenal di seantero Damar Langit. Yang tersisa hanyalah wajah yang dipenuhi jerawat meradang kemerahan, mengerikan.“Kenapa jadi begini, Dayang? Huwaaa….”Kehebohan di Istana Keputren, tempat tinggal Raden Ayu Kenes Kirana pagi

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-22
  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 4 : Sangkar Besi

    Rombongan para Prajurit membawa Elang Taraka ke penjara. Di sepanjang perjalanan menuju penjara, banyak pasang mata yang menyaksikan Elang Taraka diarak seperti layaknya pesakitan.Tak ada lagi tatapan kekaguman seperti beberapa hari yang lalu dari wajah-wajah mereka. Sebelumnya, Elang mendapatkan puja-puji karena mendapatkan anugerah untuk membuatkan ramuan obat bagi sang Putri. Sebuah anugerah yang membuat orang merasa iri, tapi hari ini semua sirna berganti dengan cemoohan."Sayang sekali, dia mendapatkan nasib sial.""Masih begitu muda, tampan lagi. Sayangnya harus masuk penjara."Ucapan-ucapan senada terdengar dari berbagai sudut. Kasak-kusuk yang menyebar dari mulut ke mulut itu spontan menjalar seperti jamur di musim hujan. Sehingga nama Elang Taraka sebagai asisten tabib yang gagal menjalankan tugas sudah terdengar di seluruh pelosok negeri.Elang Taraka berkali-kali harus mengelus dada, mendengar semua kasak-kusuk itu. Kadang manusia itu sibuk menghukumi orang lain, padahal b

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-22
  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 5 : Gendhis Widuri

    Di ruang obat Istana, Agra Gajendra beberapa kali melirik tempat dimana beberapa hari terakhir ini, Elang menghabiskan waktu untuk membuat ramuan. Masih ada tersisa beberapa bahan herbal di sana. Setelah memastikan tidak ada orang, Agra mengayunkan langkah mendekati tempat dimana Elang menghabiskan waktu selama beberapa hari ini.“Cendana dan Akar wangi?” lirihnya setelah mencium bahan herbal yang ada di sana. Agra mencium tempat Elang menumbuk bahan-bahan herbal yang digunakan untuk mengobati sang Putri. Tabib mempunyai penciuman yang sangat sensitif. Dia bisa membedakan beberapa jenis bahan herbal yang terkandung dalam sebuah ramuan dengan akurat. Semua itu karena mereka melatih penciuman mereka selama bertahun-tahun. Sebagai asisten tabib, Agra juga harus mempunyai kemampuan dasar ini.Ketika Agra baru saja meletakkan lumpang kecil yang digunakan Elang, Gentala Wisesa tiba-tiba sudah berada di sana dengan wajah kaget.“Agra? Untuk apa kamu di sini?” sapa Gentala begitu melihat A

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-19
  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 6 : Bermuka Dua

    Seorang gadis melangkah dengan anggun menuju Kaputren dimana Raden Ayu Kenes Kirana tinggal. Di belakangnya, berbaris beberapa Dayang yang mengiringi langkah. Wajah semringah terpancar menguarkan aura kebahagiaan yang tak sanggup dideskripsikan dengan aksara. Sesekali dia tersenyum, sesekali bernyanyi, rasa bahagia tak tertandingi membuat suasana hatinya begitu riang.Dia adalah Gendhis Widuri. Malam ini putri kedua dari Gusti Prabu Maheswara Kamandaka itu berniat mengunjungi saudari tirinya yang sedang ditimpa bencana."Belum pernah aku sebahagia ini sebelumnya," gumamnya."Lanjar, sekarang aku telah menjadi yang paling cantik, bukan?" bisiknya pada salah satu Dayang pribadinya."Raden Ayu, jangan keras-keras. Dinding istana ini punya banyak telinga." Lanjar berbisik mengingatkan. Semua penghuni Keputren jelas-jelas bersaing, meski tak kentara. Jika didengar oleh orang lain, bisa-bisa akan memancing di air keruh. Akan ada masalah yang timbul merepotkan mereka.Gendhis menutup bibir d

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-19
  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 7 : Peradilan

    Ayam jantan berkokok saling bersahut-sahutan, membangunkan penduduk kerajaan Damar Langit dari peraduan yang hangat. Kicauan burung cucak rowo yang bernyanyi di dahan pohon, menambah syahdu suasana pagi.Sialnya, suasana syahdu pagi ini sangat bertolak belakang dengan nasib malang Elang Taraka.Sejak matanya terbuka, atau lebih tepatnya dipaksa terbuka oleh tendangan Prajurit penjaga penjara, dia sudah harus kembali bergumul dengan rasa ngilu di seluruh tubuhnya yang terluka. Lebih mengenaskan lagi, ketika dia mulai diarak berjalan menuju alun-alun istana untuk diadili. Dia hanya bisa pasrah menjadi tontonan orang-orang, layaknya seorang penjahat kelas kakap.Sungguh keadaan yang sangat mengenaskan.Pemuda yang tubuhnya penuh luka itu hanya pasrah ketika Prajurit menyuruhnya duduk bersimpuh di tanah, untuk diadili. Gusti Prabu Maheswara Kamandaka sengaja mengadakan peradilan terbuka di alun-alun Istana, sebagai peringatan bagi siapapun yang mempunyai niat buruk mencelakai keluarga ker

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-19
  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 8 : Getar Cinta Beda Kasta

    "Hooo ....""Hooo ...."Siulan burung hantu di tengah malam buta serupa suara kematian yang mengkerdilkan jiwa yang larut dalam ketakutan. Banyak orang lebih memilih untuk merapatkan diri dalam hangatnya selimut, menyelami mimpi indah di peraduan.Suasana malam ini sangat lengang. Sesekali hanya terdengar suara derap sepatu Prajurit yang berkeliling di istana. Selebihnya hanya sunyi mencekam.Di Istana Kaputren, Kenes masih terduduk di pembaringan indahnya. Sepasang manik abu-abu miliknya masih bersinar indah, belum menandakan ada rasa kantuk di sana.Hal ini sangat bertolak belakang dengan penghuni istana yang lain, yang sudah terlelap dalam dunia mimpi. Kenes malam ini malah tidak bisa tidur sama sekali.Baru kali ini dia merasakan ada dilema antara hati dan logikanya sendiri. Jika digambarkan, sesungguhnya sedang terjadi perang besar antara hati dan logika yang ada dalam dirinya. Keduanya saling menyerang satu sama lain layaknya musuh."Kenapa aku jadi kepikiran tentang dia?" gumam

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-19
  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Part 9 : Ganjaran untuk Elang

    Matahari yang mulai menyingsing dari peraduannya kini terlihat menyemai cahaya untuk para penduduk bumi kerajaan Damar Langit. Satu persatu para penghuni istana mulai beraktifitas di tempat tugas masing-masing. Dapur istana yang tadinya berselimut dingin, menghangat karena kobaran tungku tanah mulai dipakai memasak hidangan mewah untuk keluarga kerajaan.Hiruk pikuk penduduk sekitar istana, seakan tak terpengaruh dengan Elang yang tengah dirundung derita. Sungguh kejam, tak ada seorang pun yang memedulikannya. Alam semesta tetap berputar seperti biasa. Elang memang hanya seonggok debu atau sampah tidak berguna yang tersungkur di bilik sangkar besi.Ini adalah hari pengadilan kedua untuknya. Prajurit kalap memukuli Elang karena pemuda itu tidak segera bangkit, ketika panggilan namanya bergema di ruang bawah tanah yang sempit dan pengap tak segera mendapatkan tanggapan.Elang tertatih. Sekuat tenaga berusaha bangkit, menahan ngilu. Semalaman dia benar-benar tidak bisa tidur barang sek

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-19

Bab terbaru

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 52: Dewa Cinta

    Elang duduk di atas batu besar yang ada di pinggir sungai. Selepas mengantar pergi para Ksatria Jumantara sampai di batas desa, dia memilih duduk sendirian di tempat ini. Elang mencoba menenangkan diri. Hatinya porak-poranda. Dadanya sesak. Darah di tubuhnya mendidih. Sungguh, dia butuh sendiri. Menikmati gemericik air mengalir dari tanah yang permukaannya lebih tinggi jatuh membentur bebatuan di bawahnya. Desau angin yang menampar batang-batang bambu membuatnya saling berkeretak, meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri. Kicauan burung-burung dan jangkrik yang mengerik. Semua suara seakan bersatu padu dengan irama khasnya masing-masing, hingga tercipta nyanyian semesta yang sedikit banyak membuat dadanya yang tadi terasa sesak jadi sedikit lebih lega. Elang memejamkan mata meresapi. Andai waktu bisa berputar ulang, dia pasti akan membuat keputusan yang berbeda. Dengan gagah berani, dia akan menyetujui keinginan Kenes Kirana untuk melamar gadis itu.“Aah, andai saja….” Tanpa sadar, dia mengg

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 51: Berita Baik vs Berita Buruk

    Kedatangan Tumenggung Mahawira dan pasukannya makin menambah bahan bakar kobaran api semangat semua orang. Mereka siap mempersembahkan kesetiaan kepada Gusti Prabu Maheswara Kamandaka. Apapun taruhannya. Apalagi setelah terkuaknya jati diri Pimpinan mereka Kanjeng Senopati Ing Palaga mewarisi darah Naga Biru di dalam tubuhnya dari jalur sang Ibu. Tidak semua orang mengenal nama Sukmo Sentolo memang. Orang lebih mengenal nama Pendekar Naga Biru yang legendaris daripada nama aslinya, Sukmo Sentolo. Ditambah Elang juga mewarisi darah biru kebangsawanan Putra Gusti Prabu Kameswara. Kedudukannya kokoh di mata siapapun sebagai Gusti Pangeran Arya Elang Taraka yang sakti mandraguna.Betapa bungah hati Gusti Prabu mendapati kenyataan dua orang pilih tanding ini berada di sisinya. Jangkap sudah pimpinan militer yang memimpin pasukan untuk menyerang Bratasena.Sialnya, dalam menghadapi peperangan, tidak cukup dengan keterampilan fisik dan olah kanuragan ataupun semangat semata. Ada hal pentin

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 50: Malam yang Luar Biasa

    Sepertinya, hidup sedang mengajaknya bercanda. Apa mungkin inilah yang disebutkan orang sebagai putaran roda nasib yang kadang di atas, kadang di bawah? Selepas Elang merasakan ujung hidupnya ada di ujung tanduk, dihukum pengasingan di Wono Daksino atas perbuatan yang sengaja direncanakan orang lain. Bahkan orang itu masih mengutus pendekar sakti untuk membunuhnya. Sekonyong-konyong, dia berubah menjadi sosok berbeda. Bukan lagi seorang abdi dalem keraton, melainkan putra seorang raja yang telah mangkat.“Malam ini, kalian semua telah menyaksikan apa yang juga kusaksikan. Aku tidak perlu mengulangnya. Elang Taraka adalah keponakanku.” Bukan hanya satu atau dua orang yang menyaksikan kejadian penyatuan Naga Biru dalam tubuh Elang Taraka. Mereka yang tinggal di desa ini berbondong-bondong mengikuti arah bayangan cahaya biru berbentuk naga itu terbang. Halaman tempat tinggal kini Elang ternyata dipenuhi oleh penduduk desa.“Makin teguh keyakinanku untuk merebut kembali Damar Langit. Ti

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 49: Terkuak

    Mbok Sumi mengeluarkan sebuah kotak kayu ukir-ukiran berwarna hitam yang disimpannya dalam buntelan kain batik yang dibawanya dari Kotaraja. Perasaannya berkecamuk tidak karuan terlihat dari tangan yang gemeraran ketika mengulurkan kotak itu pada Elang. Dengan tatapan kosong, Elang menerima.“Bukalah, Le. Hanya itu satu-satunya barang yang bisa kamu gunakan untuk mengungkap identitasmu yang sebenarnya. Simbok sama sekali ndak tahu siapa orang tuamu. Simbok hanya bisa merawatmu sebaik mungkin semampu Simbok.” Masih diiringi isak tangis, Mbok Sumi menumpahkan semua kalimat sakral itu. Selama ini dia terus saja menolak untuk memberitahu, berharap bisa mengubur kenyataan itu sampai kematian datang menjemput. Akan tetapi, takdir berkehendak lain.Elang membuka kotak itu perlahan. Dengan rasa penasaran yang membuncah, dia tetap bisa menahan diri. Sepasang netranya menangkap sebuah gelang emas dengan ukiran naga yang melilit. “Kata Ki Rekso suamiku, gelang itu milikmu. Pesan darinya, aku ha

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 48: Berkumpul Kembali dalam Situasi Berbeda

    Elang menyipitkan mata. Butuh waktu sedikit lebih lama baginya untuk bisa menyadari sesuatu.“Agra?” Elang mengeja sebuah nama untuk memastikan tebakannya.“Elang, jahat sekali kamu ndak mengenali kami!” Salah satu penumpang pedati yang disebut sebagai Agra itu melompat turun. Belum lepas dari keterkejutan karena suara yang terdengar tidak asing ini makin mengukuhkan tebakannya. Orang itu melepaskan ikatan kepalanya. Rambut palsu yang digunakan oleh Agra untuk menyempurnakan penyamaran kini dilepasnya. “Bagaimana, jangan bilang kamu masih ndak kenal aku, Lang!” dengkus Agra kemudian. Begitu rambut palsu berwarna putih kelabu itu tersingkir, Elang menepuk dahi.“Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku ada di sini, Agra?” Senyum Elang mulai terkembang. Keduanya berpelukan, saling menepuk punggung. Terlepas dari sikap Agra yang blak-blakan apa adanya, bahkan kadang menyinggung, mereka telah berteman sejak lama. “Simbok merindukanmu selama ini, Lang,” ucapnya sembari membantu sosok wanita ya

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 47: Siapa Mereka?

    Suara dentang pedang saling beradu memenuhi Alun-alun Desa Sekar Sari. Tak ada kata istirahat, mereka begitu bersemangat menyambut perintah dari Kanjeng Senopati Ing Palaga Elang Taraka. Dengan gelar baru yang disandangnya, bertambahlah kesibukan Elang dalam menyiapkan pasukan untuk perang besar yang sudah pasti akan terjadi. Mengembalikan Damar Langit pada pemilik tahta yang sah telah menjadi misi yang akan diembannya sampai tetes darah terakhir.Tak semua prajurit ini berpengalaman, ada puluhan prajurit baru yang harus dilatih lebih keras supaya mempunyai kemampuan setara dengan yang lainnya. Perang besar ini akan membutuhkan jumlah prajurit yang besar. Siapapun yang bersedia bergabung, Patih Arya Wursita menerimanya. Kendati akan membutuhkan waktu lebih panjang untuk mengajarkan teknik-teknik dasar. Mereka mengambil pilihan tersebut. “Kuda-kudamu kurang kuat, lakukan dengan benar seperti yang kuajarkan!” Dengan tendangan ringan dari Elang, prajurit itu terjengkang. Puluhan prajuri

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 46: Mahawira dan Gendhis

    Mahawira dengan sabar menunggui Gendhis mencuci di sungai dengan sabar. Bahkan dia membantunya membawakan bakul yang berisi pakaian basah saat mereka beranjak meninggalkan sungai. Wajah gadis itu terlihat tak nyaman dengan perhatian Mahawira. Mereka baru saja berjumpa, perhatian ini terlalu berlebihan.“Kanjeng Tumenggung, terima kasih karena Andika telah membantu saya hari ini. Tidak perlu mengantar, saya tidak enak dilihat penduduk desa. Khawatir mereka akan bicara yang tidak-tidak.” Gendhis mengusir pria itu dengan cara halus. “Bicara tidak-tidak seperti apa contohnya, Nimas?” Dahi pria matang itu mengernyit. Bukan tak paham, dia memang sengaja memancing Gendhis bicara lebih intim.“Ah, anu, maksud saya … mereka mungkin mengira….” Gendhis menjeda kalimatnya. Sungkan untuk melanjutkan.“Mengira aku dan Nimas mempunyai hubungan khusus, begitu?” Sudut bibir Mahawira melengkung. Dia mengujur gadis yang berjalan beriringan dengannya itu. Usianya masih belasan tahun. Sementara dirinya s

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 45: Tumenggung Mahawira

    Sejak pagi menjelang, kepala iring-iringan pasukan yang dipimpin oleh Tumenggung Mahawira telah memasuki sebuah desa kecil yang berbatasan dengan hutan. Penduduk desa tak ada yang berani keluar dari rumah. Pintu-pintu rumah mereka ditutup sedemikian rupa. Sepanjang jalan masuk desa, Sang Tumenggung tidak menjumpai seorang pun di sana. Pasukan itu berjumlah sekitar seribu orang. Mungkin para penduduk merasa jeri melihat begitu banyaknya orang yang berbadan tegap bersenjata lengkap.“Kalian dirikan tenda di sebelah sana, malam ini kita istirahat di tempat ini!” titah Tumenggung Mahawira sembari menunjuk ada tempat luas di tengah desa. Sudah berhari-hari mereka berjalan dengan sedikit istirahat. Tumenggung memutuskan untuk menginap di tempat ini memulihkan tenaga. Lapangan yang luas ini mungkin biasa dijadikan tempat berkumpul warganya.Dengan gesit, para prajurit melaksanakan titah junjungannya. Ada yang mendirikan tenda, ada yang mencari air dan memasak. Mereka berbagi tugas secara cer

  • Elang Taraka: Lahirnya Pendekar Terhebat   Bab 44: Retak

    Kendati hanya dibalut pakaian sederhana, tetap saja tidak bisa menyembunyikan tubuh molek Kenes Kirana yang mempunyai aura putri keraton begitu kuat. Hanya dengan sekilas pandang saja, orang jelas melihat perbedaannya dengan para gadis penduduk asli Desa Sekar Sari. Dari arah sungai, gadis cantik itu berjalan cepat dengan wajah kecewa, Elang mengekor di belakang dengan perasaan campur aduk. “Gusti Putri, hati-hati,” panggil Elang lembut disela langkahnya. Yang dipanggil tidak menggubris. Hujan mengguyur semalaman membuat jalanan setapak yang menghubungkan desa dengan sungai itu basah dan licin.“Jangan pedulikan aku!” “Gusti Putri, awas jalannya licin….” Belum usai Elang menyelesaikan kalimatnya, Kenes sudah tergelincir. Elang berusaha secepat mungkin menggapai, tapi terlambat. Kenes jatuh terduduk di tanah. Pada dasarnya, dia takut lancang sembarangan menyentuh Kenes yang merupakan junjungannya.Antara kaget dan malu dengan kesialan yang menimpa dirinya, untuk beberapa saat Kenes

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status