“Buka pintu! Ada titah dari Gusti Prabu.”
Sebuah suara berirama tenor terdengar dari balik pintu. Disusul dengan suara gedoran pintu yang terdengar riuh mengganggu ketenangan malam.Seorang pemuda yang tengah bercakap ringan dengan sang Ibu, terpaksa menjeda perbincangan.“Siapa yang datang malam-malam begini, Le?” Dahi wanita tua itu mengernyit menampilkan kerutan yang begitu kentara.“Sepertinya prajurit pengawal Gusti Prabu, Mbok.” Anak muda itu berkata ragu, tak yakin.Ada apa Gusti Prabu memanggilnya malam-malam begini?“Gu-gusti Prabu? Ke-kenapa Gu-gusti Prabu memanggilmu, Le? Apa kamu melakukan kesalahan?” tanya Mbok Sumi dengan wajah pias, seakan darahnya berhenti mengalir.“Aku juga ndak tahu, Mbok. Aku ndak melakukan kesalahan apa-apa.” Tak hanya Mbok Sumi yang ketakutan, tubuh Elang sampai bergetar saat menjawab pertanyaan simboknya.Kenapa Gusti Prabu memanggil rakyat jelata sepertinya? Elang mulai mengingat semua yang dilakukannya dari pagi hingga malam ini. Mungkinkah salah satu perbuatannya menyinggung seseorang?“Cepat buka pintu! Jangan membuat titah Gusti Prabu menunggu terlalu lama!” Suara tenor itu kembali terdengar melerai lamunan Elang.Tergopoh-gopoh, Mbok Sumi segera bangkit menuju pintu biliknya. Disusul Elang di belakangnya.Krriieettt.Begitu pintu terbuka, sosok Prajurit istana berdiri dengan gagah berani di depan pintu. Tanpa seulas senyum, seorang prajurit mulai mengatakan maksud dan tujuannya."Kami diperintahkan Gusti Prabu untuk menjemput Elang ke Balairung Istana." Prajurit itu berkata dengan tegas.Mbok Sumi masih berdiri mematung di tempatnya. Antara sadar dan tidak, dia mendengarkan titah Baginda yang disampaikan oleh prajurit yang ada di depannya itu."B-baik, saya akan memanggil Elang," jawab Mbok Sumi.Sepasang Prajurit itu mengangguk serentak. Mereka menunggu dengan acuh tak acuh. Begitu mereka melihat Elang telah bersiap, keduanya segera mengiring Elang berjalan menuju Balairung Istana.“Paman Prajurit, kenapa Gusti Prabu menurunkan titah padaku? Apa yang terjadi?” tanya Elang takut-takut. Dua prajurit pengawal Gusti Prabu itu seusia dengan ayahnya, jadi Elang memanggilnya paman.“Kami juga ndak tahu. Mana mungkin kami berani bertanya pada Gusti Prabu. Huh!” dengkus salah satu prajurit itu dengan wajah tak bersahabat.Elang hanya bisa menelan air ludah yang tiba-tiba terasa pahit dibuatnya. Hidup menjadi abdi dalem di Damar Langit ternyata tak seindah harapan. Semua orang bersikap waspada dan egois. Demi keselamatan pribadi, mereka acuh tak acuh dengan keselamatan orang lain.“Kalau kamu ndak berbuat kesalahan, kamu tidak perlu takut, Elang!” Prajurit yang satunya bicara lebih ramah.“Aah, terima kasih, Paman.” Sudut bibir Elang melengkung tipis pada prajurit yang bersikap ramah padanya tersebut.Tak banyak bicara, mereka berjalan terburu-buru menuju Balairung Istana.Malam menyebarkan kegelapan. Hanya cahaya obor yang menyala di setiap sudut koridor menuju Balairung. Hati Elang Taraka mendadak takut, entah kenapa ucapan biyungnya yang dulu pernah memperingatkan untuk mempertimbangkan kembali keputusannya untuk menjadi asisten tabib di Istana, kembali terngiang di indra dengar.“Apa jangan-jangan, ada keluarga Istana yang tidak puas dengan ramuan yang aku buat?” gumamnya pelan."Aah, Simbok memang benar, menjadi Tabib Istana resikonya sangat besar," lanjutnya.Elang nampak gusar. Jelas sekali raut wajahnya nampak ketakutan membayangkan jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi nantinya.Sesampainya di hadapan Gusti Prabu, Elang menunduk tak berani mengangkat wajah.“Ampun beribu ampun, Gusti Prabu. Abdi dalem datang menghadap.”Pemuda itu menangkupkan kedua tangan di dada. Memberikan penghormatan pada Gusti Prabu Maheswara Kamandaka, pemilik tahta tertinggi di seantero Damar Langit."Benar kamu yang bernama Elang?" Dengan penuh wibawa Gusti Prabu bertanya memastikan pada pemuda itu. Tatapan sang Prabu menyelidik, ragu. Mungkinkah, seorang pemuda yang masih berusia belum genap dua puluh tahun ini mempunyai kemampuan mumpuni?Apakah Raden Mas Bratasena tidak salah merekomendasikan orang?Dahi Gusti Prabu berkerut dalam."Benar, Gusti Prabu. Saya Elang Taraka."Elang berusaha menormalkan detak jantungnya. Ini kali pertama pemuda itu dipanggil Gusti Prabu. Perasaannya campur aduk, antara bingung dan takut.Suasana istana sangat hening. Membuat perasaan takut di benak Elang makin membesar."Aku perintahkan, Kamu buatkan ramuan untuk membersihkan wajah Raden Ayu Kenes Kirana, putriku. Apa Kamu sanggup?"Begitu ucapan Gusti Prabu jatuh, Elang terkejut setengah mati.‘Ke-kenapa Gusti Prabu membuat titah seperti ini? Aku hanya seorang asisten tabib. Ilmu pengobatan aku masih minim. Bukankah ada tabib senior yang lebih mumpuni di istana?’ Dalam hati, Elang bertanya-tanya.Jujur, Elang tak tahu harus bagaimana. Menolak titah Gusti Prabu adalah sebuah kejahatan. Namun, dia juga tak cukup percaya diri dengan kemampuannya.“Romo Prabu, apa benar pemuda itu mempunyai kemampuan mumpuni dalam hal pengobatan?” Suara lembut mendayu-dayu menyapa indra dengar Elang Taraka. Reflek, asisten tabib itu mengangkat wajah. Tanpa sadar, tatapannya bersilang pandang dengan seorang gadis belia yang wajahnya ditutupi cadar tipis dari bahan sutera.“Raden Mas Bratasena yang merekomendasikannya, Raden Ayu. Katanya, pemuda yang bernama Elang Taraka ini mempunyai potensi bagus dalam ilmu pengobatan.” Gusti Prabu menatap teduh putrinya yang saat ini sedang resah dengan penyakit di kulit wajahnya.Sekali lagi, Kenes Kirana melirik Elang yang belum sempat membuang pandang.'Kenapa Gusti Putri memakai cadar? Separah apa rusak kulit wajahnya?’ batinnya.Padahal beberapa pekan yang lalu, Elang sempat melihat Kenes Kirana dari kejauhan, wajahnya masih cantik tiada bandingannya."Bagaimana, Elang. Kamu sanggup?" Gusti Prabu Maheswara Kamandaka kembali bersuara.Spontan, Elang Taraka menoleh pada Raja Damar Langit yang makmur sentosa. Kepalanya masih belum bisa menemukan alasan, kenapa Raden Mas Bratasena merekomendasikan dirinya untuk menyembuhkan Raden Ayu?Darimana Raden Mas Bratasena mengetahui dirinya. Elang masih berpikir. Namun, sang Prabu sudah menunggu keputusannya. Sebenarnya, jawabannya sudah dipastikan. Siapa yang berani menolak titah Raja?Tidak ada.Bisa atau tidak, Elang tetap harus menjawab iya. jika menolak dia akan mendapatkan hukuman. jika gagal menjalankan perintah dia juga akan mendapatkan hukuman. mau maju atau mundur hasilnya tetap akan sama.Menjadi rakyat jelata sepertinya, hanya dijadikan sebagai tumbal keserakahan dari seseorang yang berniat buruk untuk Damar Langit.“Sendiko dawuh, Gusti Prabu. Hamba akan mencobanya.”“Elang Taraka, jangan sampai melakukan kesalahan. hukumannya sangat berat kalau kamu teledor?” sebuah suara angkuh terdengar menyapa elang."Inggeh. Hamba akan berusaha, Gusti Prabu." Akhirnya ia dengan lantang bisa menyanggupi pertanyaan dari rajanya."Kalau begitu, lakukan sekarang juga! Kamu tidak punya banyak waktu!""Siap, Gusti Prabu! Saya mohon diri."Gusti Prabu mengulas senyum.Elang melirik Kenes dengan ekor matanya sebelum dia melangkah pergi.Ada beribu tanya berkelindan dalam benaknya. Tidak tahu kenapa, tiba-tiba dia didaulat untuk membuatkan ramuan obat untuk sang Putri.“Kenapa harus aku?” lirihnya yang hanya bisa didengarkannya sendiri.Di sepanjang perjalanan menuju bilik, Elang tidak berhenti memikirkan alasan dibalik tugas berat ini."Elang, ada apa? Kenapa Gusti Prabu memanggilmu, Le?" Mbok Sumi memecah lamunan Elang."Ndak papa, Mbok. Barusan Gusti Prabu memberi perintah membuat ramuan obat untuk menyembuhkan Raden Ayu," jawabnya."A-apa? Ke-kenapa harus kamu? Kamu ini hanya seorang asisten tabib. Harusnya tabib senior saja yang boleh melakukan pengobatan untuk keluarga kerajaan.” Mbok Sumi tak kalah kaget. Sebagaimana Elang, wanita paruh baya itu juga merasa titah Gusti Prabu kali ini tidak masuk akal.“Aku juga ndak tahu, Mbok. Kalau sudah begini, memangnya kita bisa apa? Kalau menolak, kita bisa mendapatkan hukuman. Kalau menerima, aku ndak cukup percaya diri dengan kemampuanku.” Elang menghempaskan bokongnya di dipan kayu dengan gusar.Mbok Sumi diam saja. Apa yang diucapkan putranya memang benar adanya.***Raden Ayu Kenes Kirana berjalan tergesa-gesa menghadap Gusti Prabu. Sepasang selop hitam berhiaskan sulaman benang emas ditambah manik-manik yang berkilauan terlihat begitu indah menghias sepasang kaki jenjangnya yang berwarna putih susu.Kebaya yang terbuat dari bahan beludru berwarna hijau giok berhiaskan sulaman berbentuk tanaman padi dari benang emas, begitu kontras dengan kulitnya yang seputih pualam. Sungguh, dia memang sangat layak menjadi dambaan para Pangeran.Sayangnya, wajahnya sekarang harus tertutup cadar sutera tipis. Ada jerawat meradang yang mengganggu kecantikan Raden Ayu.Raden Ayu Kenes Kirana melangkah dengan terburu-buru.Ketika hampir sampai di Balairung Istana, langkahnya terpaksa terhenti. Ada yang menarik perhatian sang Putri.Seorang pria berpakaian sederhana yang semalam dipanggil Gusti Prabu baru saja keluar dari Balairung. Sepertinya, sepagi ini ayahnya telah membuat pemuda ini tak bisa menjalani hidup dengan tenang.“Kamu yang bernama Elang Taraka?” Raden Ayu memutuskan untuk menyapa. Nasib kesembuhan wajahnya sedang dipertaruhkan dengan kemampuan pemuda di hadapannya ini.Mata mereka sempat saling bertaut. Namun, dengan sekejap berpaling. Pemuda gagah itu tidak berani berlama-lama menatap sang Putri.“Be-benar, Gusti Putri.”Pemuda itu menunduk hormat, diam di tempatnya. Menunggu titah dari gadis itu.Kenes membuang napas kasar. “Seberapa yakin kamu bisa menyembuhkan wajahku, Elang?”Nama Elang Taraka tidak pernah masuk dalam jajaran tabib ternama di Istana. Kenapa Raden Mas Bratasena merekomendasikan untuk menyembuhkan wajahnya? Raden Ayu juga bertanya-tanya.“Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk membuat ramuan mujarab, Gusti Putri.” Meski tak yakin, Elang tidak akan menjatuhkan harga dirinya dengan mengatakan dia tidak bisa. Nyawanya sudah berada di ujung tanduk, maju mundur sama saja. Mau tidak mau, dia harus mengandalkan diri sendiri untuk menyelamatkan nyawanya.Sang Putri cantik nan menawan itu melambaikan tangannya, memberi isyarat kepada pemuda tadi untuk segera pergi. Lalu, dia melanjutkan langkah menuju Balairung Istana. Dimana ayahandanya duduk di atas singgasana."Romo, aku sedang berada dalam dilema besar," lapor sang Putri dengan wajah penuh kesedihan."Ada apa, Kenes?"“Aku tidak yakin dengan kemampuan tabib bernama Elang Taraka itu, Romo,” cicitnya.Raden Ayu kemudian bercerita dengan berapi-api tentang keraguannya pada pemuda bernama Elang Taraka.Gusti Prabu hanya bisa menghela napas panjang.“Aku juga tidak tahu harus bagaimana, Kenes. Ramuan semua tabib senior di istana tidak manjur. Kamu sudah mencoba semua resep dari mereka, bukan? Alih-alih sembuh, malah makin parah seperti ini.” Gusti Prabu juga sudah pusing tujuh keliling dengan persoalan ini. Tidak punya pilihan lain kecuali menerima saran dari Raden Mas Bratasena, sang Tumenggung."Bagaimana kalau kali ini juga gagal lagi, Romo? Apa Romo rela jika berita ini akan tersebar di seantero negeri, bahwa putri Gusti Prabu Maheswara Kamandaka buruk rupa karena wajahnya rusak?" tanya Raden Ayu dengan wajahnya yang ditekuk. Sementara kedua tangannya dia lipat di depan.“Elang tidak akan sembarangan. Aku akan memberi hukuman berat jika dia melakukan mal praktik pada putriku!”“Tapi dia bukan tabib senior, Romo!”Raden Ayu Kenes Kirana tetap saja meragukan kemampuan Elang."Ada apa ini?" Permaisuri datang tergopoh-gopoh mendengar perdebatan ayah dan anak itu.Wajah Kenes yang tadi bermuram durja, seketika berseri-seri melihat kedatangan Ibunda Ratu. Dia sangat berharap, Permaisuri bisa membujuk Gusti Prabu untuk bersedia memenuhi keinginannya."Ibunda, tolong bujuk Romo untuk tidak sembarangan mendaulat tabib yunior untuk mengobati wajahku. Takutnya, malah jadi mal praktik," rajuknya lagi.Gusti Ratu hanya bisa menepuk-nepuk punggung putrinya, membujuknya untuk sedikit bersabar."Ibunda setuju dengan Romo, Kenes." Ucapan Gusti Ratu ini seperti suara petir di siang bolong. Kenes Kirana sampai tersentak mendengarnya."A-APA?"BersambungBerhari-hari sejak hari itu, Elang lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang obat. Istana Damar Langit yang makmur, berlimpah dengan berbagai macam bahan herbal. Gusti Prabu telah memberinya izin menggunakan semua fasilitas yang ada untuk uji coba membuat ramuan mujarab. Hanya berbekal buku pengobatan yang diwariskan dari sang Ayah yang telah tiada, Elang mendapatkan pengetahuan tentang berbagai jenis herbal, rimpang maupun jenis bunga tertentu yang mempunyai manfaat untuk perawatan kulit.Aah, untung saja dia mempunyai seorang ayah yang bisa diandalkan.“Baru kali ini aku serius membaca dan mempelajari kitab peninggalan ayah,” gumamnya lirih.Ada sedikit penyesalan, karena buku itu biasanya dibiarkan sampai berdebu tanpa pernah dibuka. Elang terlalu sibuk membantu tabib senior yang selalu menyuruhnya melakukan ini dan itu.“Aku selalu mengabaikanmu selama ini, sekarang aku mengandalkanmu. Tolong bantu aku selamat dari hukuman Gusti Prabu, ya,” keluhnya menyesal, berbicara sendiri
“Dayaaang ...." Suara lengkingan itu sejenak membuat aktivitas para Dayang di Kaputren terhenti. Dalam sekejap mata, mereka lari tunggang langgang menuju ke ruangan pribadi Raden Ayu Kenes Kirana."Mohon ampun, Raden Ayu. Kami datang menghadap," ucap salah seorang Dayang dengan suara bergetar. Terlihat wajah ketakutan di sana.Ada hal apa yang membuat sang Putri begitu tidak berkenan hatinya? Tak biasanya, Raden Ayu Kenes Kirana segusar ini memanggil mereka. "Dayang, kenapa wajahku seperti ini?" Tadi malam, mereka membalurkan ramuan buatan Elang di wajah Raden Ayu. Begitu bangun pagi, jerawat yang meradang di wajah sang Putri bukannya berkurang, malah makin bengkak parah. Kini, tak terlihat lagi sisa kecantikan Raden Ayu Kenes Kirana yang kecantikannya sudah dikenal di seantero Damar Langit. Yang tersisa hanyalah wajah yang dipenuhi jerawat meradang kemerahan, mengerikan.“Kenapa jadi begini, Dayang? Huwaaa….”Kehebohan di Istana Keputren, tempat tinggal Raden Ayu Kenes Kirana pagi
Rombongan para Prajurit membawa Elang Taraka ke penjara. Di sepanjang perjalanan menuju penjara, banyak pasang mata yang menyaksikan Elang Taraka diarak seperti layaknya pesakitan.Tak ada lagi tatapan kekaguman seperti beberapa hari yang lalu dari wajah-wajah mereka. Sebelumnya, Elang mendapatkan puja-puji karena mendapatkan anugerah untuk membuatkan ramuan obat bagi sang Putri. Sebuah anugerah yang membuat orang merasa iri, tapi hari ini semua sirna berganti dengan cemoohan."Sayang sekali, dia mendapatkan nasib sial.""Masih begitu muda, tampan lagi. Sayangnya harus masuk penjara."Ucapan-ucapan senada terdengar dari berbagai sudut. Kasak-kusuk yang menyebar dari mulut ke mulut itu spontan menjalar seperti jamur di musim hujan. Sehingga nama Elang Taraka sebagai asisten tabib yang gagal menjalankan tugas sudah terdengar di seluruh pelosok negeri.Elang Taraka berkali-kali harus mengelus dada, mendengar semua kasak-kusuk itu. Kadang manusia itu sibuk menghukumi orang lain, padahal b
Di ruang obat Istana, Agra Gajendra beberapa kali melirik tempat dimana beberapa hari terakhir ini, Elang menghabiskan waktu untuk membuat ramuan. Masih ada tersisa beberapa bahan herbal di sana. Setelah memastikan tidak ada orang, Agra mengayunkan langkah mendekati tempat dimana Elang menghabiskan waktu selama beberapa hari ini.“Cendana dan Akar wangi?” lirihnya setelah mencium bahan herbal yang ada di sana. Agra mencium tempat Elang menumbuk bahan-bahan herbal yang digunakan untuk mengobati sang Putri. Tabib mempunyai penciuman yang sangat sensitif. Dia bisa membedakan beberapa jenis bahan herbal yang terkandung dalam sebuah ramuan dengan akurat. Semua itu karena mereka melatih penciuman mereka selama bertahun-tahun. Sebagai asisten tabib, Agra juga harus mempunyai kemampuan dasar ini.Ketika Agra baru saja meletakkan lumpang kecil yang digunakan Elang, Gentala Wisesa tiba-tiba sudah berada di sana dengan wajah kaget.“Agra? Untuk apa kamu di sini?” sapa Gentala begitu melihat A
Seorang gadis melangkah dengan anggun menuju Kaputren dimana Raden Ayu Kenes Kirana tinggal. Di belakangnya, berbaris beberapa Dayang yang mengiringi langkah. Wajah semringah terpancar menguarkan aura kebahagiaan yang tak sanggup dideskripsikan dengan aksara. Sesekali dia tersenyum, sesekali bernyanyi, rasa bahagia tak tertandingi membuat suasana hatinya begitu riang.Dia adalah Gendhis Widuri. Malam ini putri kedua dari Gusti Prabu Maheswara Kamandaka itu berniat mengunjungi saudari tirinya yang sedang ditimpa bencana."Belum pernah aku sebahagia ini sebelumnya," gumamnya."Lanjar, sekarang aku telah menjadi yang paling cantik, bukan?" bisiknya pada salah satu Dayang pribadinya."Raden Ayu, jangan keras-keras. Dinding istana ini punya banyak telinga." Lanjar berbisik mengingatkan. Semua penghuni Keputren jelas-jelas bersaing, meski tak kentara. Jika didengar oleh orang lain, bisa-bisa akan memancing di air keruh. Akan ada masalah yang timbul merepotkan mereka.Gendhis menutup bibir d
Ayam jantan berkokok saling bersahut-sahutan, membangunkan penduduk kerajaan Damar Langit dari peraduan yang hangat. Kicauan burung cucak rowo yang bernyanyi di dahan pohon, menambah syahdu suasana pagi.Sialnya, suasana syahdu pagi ini sangat bertolak belakang dengan nasib malang Elang Taraka.Sejak matanya terbuka, atau lebih tepatnya dipaksa terbuka oleh tendangan Prajurit penjaga penjara, dia sudah harus kembali bergumul dengan rasa ngilu di seluruh tubuhnya yang terluka. Lebih mengenaskan lagi, ketika dia mulai diarak berjalan menuju alun-alun istana untuk diadili. Dia hanya bisa pasrah menjadi tontonan orang-orang, layaknya seorang penjahat kelas kakap.Sungguh keadaan yang sangat mengenaskan.Pemuda yang tubuhnya penuh luka itu hanya pasrah ketika Prajurit menyuruhnya duduk bersimpuh di tanah, untuk diadili. Gusti Prabu Maheswara Kamandaka sengaja mengadakan peradilan terbuka di alun-alun Istana, sebagai peringatan bagi siapapun yang mempunyai niat buruk mencelakai keluarga ker
"Hooo ....""Hooo ...."Siulan burung hantu di tengah malam buta serupa suara kematian yang mengkerdilkan jiwa yang larut dalam ketakutan. Banyak orang lebih memilih untuk merapatkan diri dalam hangatnya selimut, menyelami mimpi indah di peraduan.Suasana malam ini sangat lengang. Sesekali hanya terdengar suara derap sepatu Prajurit yang berkeliling di istana. Selebihnya hanya sunyi mencekam.Di Istana Kaputren, Kenes masih terduduk di pembaringan indahnya. Sepasang manik abu-abu miliknya masih bersinar indah, belum menandakan ada rasa kantuk di sana.Hal ini sangat bertolak belakang dengan penghuni istana yang lain, yang sudah terlelap dalam dunia mimpi. Kenes malam ini malah tidak bisa tidur sama sekali.Baru kali ini dia merasakan ada dilema antara hati dan logikanya sendiri. Jika digambarkan, sesungguhnya sedang terjadi perang besar antara hati dan logika yang ada dalam dirinya. Keduanya saling menyerang satu sama lain layaknya musuh."Kenapa aku jadi kepikiran tentang dia?" gumam
Matahari yang mulai menyingsing dari peraduannya kini terlihat menyemai cahaya untuk para penduduk bumi kerajaan Damar Langit. Satu persatu para penghuni istana mulai beraktifitas di tempat tugas masing-masing. Dapur istana yang tadinya berselimut dingin, menghangat karena kobaran tungku tanah mulai dipakai memasak hidangan mewah untuk keluarga kerajaan.Hiruk pikuk penduduk sekitar istana, seakan tak terpengaruh dengan Elang yang tengah dirundung derita. Sungguh kejam, tak ada seorang pun yang memedulikannya. Alam semesta tetap berputar seperti biasa. Elang memang hanya seonggok debu atau sampah tidak berguna yang tersungkur di bilik sangkar besi.Ini adalah hari pengadilan kedua untuknya. Prajurit kalap memukuli Elang karena pemuda itu tidak segera bangkit, ketika panggilan namanya bergema di ruang bawah tanah yang sempit dan pengap tak segera mendapatkan tanggapan.Elang tertatih. Sekuat tenaga berusaha bangkit, menahan ngilu. Semalaman dia benar-benar tidak bisa tidur barang sek
Gendhis terus berlari mengabaikan perintah sang Ibunda Selir yang terus memanggilnya tanpa jeda. Dia terus melangkah menjauh, karena hanya itu yang dia inginkan saat ini. Dia ingin pergi dari istana sejauh mungkin. Bulir-bulir air mata yang jatuh dari mata indah milik Gendhis menjadi saksi pilu. Bahwa, hatinya terluka melihat ayahandanya diperlakukan bagai tawanan di istana miliknya sendiri. Genangan basah itu semakin menganak sungai di wajah mulusnya. Sementara, tubuhnya naik turun oleh gerakan tangis yang begitu menyayat. Tidak bisa dibayangkan, jika Ibunda Selir dengan tega melakukan itu semua pada ayahandanya hanya demi tahta. Gendhis kecewa. Dalam benaknya, gadis itu tengah merutuki apa yang terjadi di ruang penjara bawah tanah. Bagaimana angkuh dan jumawanya seorang Gayatri ketika menyaksikan Gusti Prabu dan Gusti Ratu yang tengah menderita. Gendhis merasakan kemarahan dan kekecewaan yang berat terhadap Gayatri dan Senopati. Benar, jika Gendhis selalu iri melihat kecan
Hari ini mentari bersinar terik di seluruh penjuru Damar Langit. Sepasang anak muda tengah memacu kuda di jalanan tanah berhiaskan bebatuan. Mereka terus memacu kuda menuju Istana Damar Langit. Elang sama sekali tidak bisa menggoyahkan niat Kenes Kirana yang ingin melihat kondisi Kota Raja. "Hiyaa. Hiyaa." Suara derap sepatu kuda yang beradu dengan tanah terdengar memecah kesunyian di sepanjang jalan yang mereka lalui. Angin yang bertiup semilir seiring dengan laju kuda. Seolah mengalihkan hawa panas yang terasa menyengat membakar kulit mereka. Wajah putih seorang Raden Ayu Kenes Kirana tampak memerah, menjadikannya terlihat merona menggemaskan. Tepat ketika matahari tepat di atas kepala, si gadis sudah tidak tahan lagi untuk meneruskan perjalanan. Dia sudah tidak sanggup menahan panas yang menyengat kulit indahnya. "Elang, bisakah kita berteduh dulu? Duh, kulitku terlihat kusam," rengek gadis itu menyadari warna kulitnya. Ini pertama kali dirinya berkelana di alam liar ta
Istana terlihat sangat sibuk. Semenjak Senopati telah mendeklarasikan dirinya sebagai Raja. Dia sibuk menyiapkan kekuatan militer untuk memastikan semua sesuai dengan keinginannya. Para telik sandi telah memberi kabar padanya bahwa pasukan Patih Arya Wursita tidak bersedia patuh. Dia khawatir Arya Wursita akan bergabung dengan pasukan Tumenggung Mahawira dan menyusun kekuatan untuk menyerang kota raja.Para prajurit yang berada di bawah kendali Senopati berlatih dengan penuh semangat. Senopati sendiri turun tangan untuk memberi dorongan semangat pada prajuritnya. "Kita perjuangkan Istana ini, sampai titik darah penghabisan. Siap?" pidatonya berapi-api."Siap." Serentak para Prajurit menjawab ucapan Kanjeng Senopati.Suara pekikan semangat para Prajurit terdengar membahana membelah cakrawala.Tidak berbeda dengan bagian depan istana, para Tabib juga tidak kalah sibuk. Mereka menyiapkan obat-obatan untuk persiapan jika perang telah pecah, pasti akan ada banyak Prajurit yang terluka.Ag
Sepasang anak muda itu terjebak dalam keheningan yang memekakkan telinga. Ada begitu banyak kalimat yang ingin dimuntahkan Elang pada Kenes yang suka bertindak tanpa berpikir panjang, tapi melihat situasinya saat ini dia hanya bisa menelan kembali dengan pahit.Sementara Kenes dengan statusnya yang tinggi, sepanjang hidupnya tak ada yang berani menyalahkan, mana mungkin bersedia merendahkan dirinya untuk meminta maaf. Elang hanya bisa menyimpan rasa kesal di dalam hati, tidak tega memarahi gadis cantik yang masih berdiri dengan kepala tertunduk."Apa masih ingin melarikan diri dariku?" sindirnya sembari melipat tangan di depan dada.Bukannya menjawab, Kenes mendengkus sebal. Bibirnya mengerucut. Mana mungkin dia tidak paham dengan kalimat sindiran ini. "Aku pergi dulu!" Elang melangkah pergi. Namun, baru beberapa langkah, suara Kenes sudah terdengar."Elang." Langkah pemuda itu terhenti.Dia hanya berdiri tanpa suara, menunggu putri Maheswara Kamandaka itu melanjutkan kalimatnya."K
Apa yang saat ini terjadi padanya sungguh hal yang tak ada di dalam perhitungan Kenes. Sebelumnya, dia hanya merasa harus membuktikan kebenaran kabar yang didengarnya dengan datang sendiri ke Kota Raja. Sama sekali tidak memperhitungkan ada begitu banyak bahaya mengintainya sepanjang jalan menuju ke Kota Raja yang begitu jauh.Seorang dengan status Demang rendahan berani sekali menggoda, bahkan terang-terangan mengancamnya. Sungguh tidak bisa dimaafkan!"Saya bisa melindungi diri sendiri, sampeyan tidak perlu mengkhawatirkan saya," tolaknya tegas.Mana mungkin Kenes tidak mengerti setiap kalimat yang diucapkan oleh Demang itu mengandung niat buruk. Jika tetap tinggal, justru membahayakan dirinya sendiri."Ha-ha-ha, ternyata seorang gadis yang galak dan keras kepala. Baiklah, jika bersikeras melanjutkan perjalanan, aku tidak akan menghalangi," ucapnya sambil menyeringai. Ada kilat licik yang sempat ditangkap Kenes dari tatap matanya. "Terima kasih." Kenes menjawab acuh tak acuh.Pria
"Kenes, tolong tumbukkan rimpang dan herbal ini!" "Kenes, tolong ambilkan air di sebelah sana!" "Kenes, jangan bergerak begitu lambat, kamu harus bergerak cepat saat mengobati pasien!" Hari ini Kenes sangat sibuk disuruh-suruh melakukan ini dan itu. Ada begitu banyak hal yang diperintah oleh Elang Taraka untuknya. Pemuda tampan itu menurunkan titah dan memperlakukan seorang putri raja, sebagaimana kacung rendahan. Kendati sebesar apapun rasa kesal yang membuncah di dada Kenes Kirana, gadis itu mencoba bersabar. Ada begitu banyak orang sakit yang ada di pendopo ini. Mana mungkin dia tega mempermasalahkan sikap Elang. Bisa-bisa dia akan mendapatkan label buruk dari rakyatnya sendiri nantinya.Setengah hari dia terus berputar seperti gasing melakukan ini dan itu, Kenes akhirnya kelelahan.Tubuhnya dilanda rasa penat yang sangat. Setelan pabrik tubuh seorang Tuan Putri seperti dirinya adalah menerima pelayanan dari begitu banyak orang di Keputren, bukan melayani orang lain. Dia tidak
"Kalau begitu, katakan padaku, kamu memilih untuk mati dengan cara bagaimana?" Elang berkata jengkel. Gadis ini seharusnya mengucapkan terima kasih padanya, bukan malah menuduhnya sebagai penjahat. Kenes membuang wajah sambil memberengut. Tidak menyangka Elang berani berkata begitu padanya. Apa dia lupa, saat ini sedang bicara dengan Putri Raja Damar Langit? "Kenapa? Kamu tidak percaya padaku kalau aku bisa melemparmu ke bawah sana sekarang?" tambah Elang menantang. Sesekali, gadis ini memang harus diberi pelajaran, supaya tidak bersikap sesuka hati. "Kamu berani? Kamu akan menjadi buronan seluruh kerajaan Damar Langit jika berani bersikap kurang ajar padaku!" Kenes membalas kasar. "Tentu saja aku berani! Kamu jangan menantangku!" Ingin sekali Elang memukul kepala gadis cerewet ini, kesal. Kenes mendengkus sebal. Melihat ekspresi serius Elang saat mengatakan akan melemparnya ke bawah, Kenes mendadak ngeri. Lebih baik dia menahan diri dan mengomel lagi setelah turun dari punggung
Elang sama sekali tidak menyangka Kenes Kirana justru akan melakukan hal yang kontra produktif dengan rencananya. Setelah berhasil masuk ruangan untuk bertemu dengan Kenes dengan susah payah, gadis itu malah melaporkannya pada penjaga. "Gusti Putri, aku datang untuk menyelamatkanmu!" dengkus Elang tak berdaya."Menyelamatkan dari apa? Aku aman di sini!" balasnya masih dengan tatapan curiga.Pemuda tampan berambut panjang itu hanya bisa membuang napas gusar. Ucapan sudah terlanjur keluar tak bisa ditarik lagi. Suaranya begitu jelas menyapa indra dengar para pengawal yang berjaga dengan penuh kewaspadaan di luar. "Maaf, Raden Ayu. Aku terpaksa melakukannya!" Elang Taraka menotok titik akupuntur Raden Ayu. Daripada Kenes akan bertindak di luar kontrol Elang, lebih baik dia membuat Kenes pingsan saja. Tak ingin memperpanjang dialog yang tidak berguna.Bersamaan dengan itu, terdengar derap suara langkah kaki memasuki ruangan dengan tergesa-gesa."Kurang ajar! Orang jahat berani masuk ke
Burung rajawali raksasa terbang melayang di cakrawala berputar-putar di langit Kahuripan. Kepakan sayapnya menampar angin yang menciptakan deru yang berisik. “Kamu yakin ini Desa Kahuripan?” tanya Elang memastikan. Elang yang tampak duduk dengan tenang di punggung rajawali, bersikap waspada. Dia belum sembuh dari keterkejutan. Dirinya sendiri masih belum percaya sepenuhnya dengan apa yang dialaminya saat ini. Sehebat inikah bisa menguasai ajian gineng? Tidak disangka sebuah keluhan ringan untuk bisa terbang menuju Kahuripan didengar oleh burung ini."Kamu bisa lihat di sebelah sana, di rumah itu orang yang kamu cari disekap," balasnya."Hey, kamu bahkan bisa mengerti apa yang sedang kupikirkan?" Elang mengelus kepala rajawali raksasa dengan tatapan curiga.Rajawali tidak menjawab. Dengan pongah dia mencari tempat nyaman untuk mendarat.Langit yang sehitam tinta menyamarkan keberadaan mereka. Orang yang di bawah seakan tak terpengaruh. Suasana tetap lengang. Kesunyian melanda hanya t