Home / Romansa / Ei-Bree My Betelgeuse / 1 - Marilyn Monroe

Share

Ei-Bree My Betelgeuse
Ei-Bree My Betelgeuse
Author: Vyas Cornanila

1 - Marilyn Monroe

last update Last Updated: 2021-08-18 11:38:21

Waktu kecil, cerita favorit Papa untukku adalah cerita tentang bangsa Viking yang ditakuti. Mereka mengenakan helm-helm besi berbentuk menyerupai tanduk, pandai berperang, dan terampil membuat kapal. Papa bilang para Viking menamai pedang mereka dan bahkan mengukir sesuatu di sana. Sesuatu tentang nama keluarga mereka, sejarah prestasi, momen-momen paling berkesan, dan dewa-dewa kepercayaan mereka.

Viking adalah hal pertama yang kupikirkan saat pertama kali melihat senyum yang lembut di bibir tebal dan merah pudar Gesa Edrei. Kemudian aku menjadi lebih dari sekadar melihat—kini aku memperhatikan. Ketika jemari Beatrice hendak menyelipkan foto itu ke bagian bawah tumpukan foto di pegangannya, aku merebutnya dan memilikinya untuk diriku sendiri.

Apakah para Viking itu pernah tersenyum? Papa mungkin tidak tahu jawabannya. Muncul pertanyaan lain. Jika mereka tersenyum, kapan mereka melakukannya? Setelah melakukan penyerbuan?

Wajah cantik Gesa telah menyerbuku. Dia seharusnya terdaftar dalam Viking.

Naik ke atas dari bibirnya, melekat hidung runcing yang miring sempurna tanpa lekukan atau bengkok yang tegas. Kapal yang para Viking itu buat, apakah setegak hidung Gesa? Aku juga tidak tahu jawabannya. Tapi yang jelas, aku tahu Viking senang menjelajahi samudera yang seringkali berkecamuk. Dan aku melihat kecamuk itu dalam mata cokelat terangnya yang menatap dengan ceria, cemerlang, penuh semangat, tapi tetap terkendali. Magma bergemeletuk di dalam sana seolah mata itu menyimpan energi yang sangat besar.

Di sebelah Gesa, Junko Edrei tersenyum lebar. Sama lembutnya, tetapi lebih seperti mengikuti keadaan. Singkat kata tidak setulus kakaknya. Mereka sama-sama mengenakan topi rajut. Milik Gesa berwarna seperti cangkang telur dan milik Junko berwarna putih bersih. Di atas kepala mereka, bola kecil matahari putih menyebarkan jarum cahaya. Tampak sebuah chalet Swiss dengan karakteristik atap steep dan overhang-nya yang panjang yang mencuat dari punggung keduanya. Pepohonan alpine tersebar di tanah bersalju yang menanjak. Di antara mereka dan chalet Swiss, salju di tanah menyembur naik karena gaya yang diberikan seorang pemain ski bertopi rajut merah dan mengenakan kacamata biru yang tertangkap kamera.

Coretan hitam spidol melengkungkan panah ke sebuah kata di dekat topi rajut Gesa: Bree. Dan kata di dekat pipi tembam Junko: Junko.

Bree?

Aku berpaling pada Beatrice yang masih sibuk mengagumi koleksi foto yang dia rampas dari laci meja belajar di kamar Junko. Foto-foto yang diletakkan dalam sebuah peti kayu berukuran 10 x 15 cm. "Apa nama tengah Gesa Edrei adalah Bree?"

Tanpa berpaling kepadaku, Beatrice menggeleng dan menjawab, "Bukan. Itu nama panggilan yang diberikan keluarganya untuk Gesa."

Rambut panjang mereka terurai di bawah topi rajut, menutupi dua telinga yang mungkin memerah karena kedinginan. Aku memanjakan diriku sendiri dengan berlama-lama mengamati helai-helai rambut Gesa yang membentuk sebuah bundel dan menjuntai sebagai bingkai wajahnya. Wajah yang ekspresif dan bahagia.

Beatrice baru saja menyodoriku foto baru dengan acuh tak acuh ketika suara Junko terdengar lantang. "Cukup!" Terselubung berlapis-lapis kebosanan di dalam suaranya. Seolah-olah ini bukan kali pertama kamarnya di jarah dan para penjarahnya berkeliaran di antara kamarnya dan ruang menonton di lantai dua rumahnya.

Aku dan Beatrice serempak menoleh ke belakang. Melalui puncak punggung sofa, kami melihat Junko berdiri di depan pintu kaca kamar akuariumnya dengan tangan bersedekap dan satu kaki dijulurkan lebih panjang ke sisi samping tubuhnya sehingga membentuk huruf V terbalik di antara kaki rampingnya yang jenjang.

Jacob—semua orang memanggilnya Jake—mengangkat wajahnya dari sebuah buku yang diambilnya di rak kayu yang ditanam di dinding berwarna seperti alabaster. Buku itu milik Gregg Braden yang berjudul The Divine Matrix, salah satu buku yang kedua tanganku sangat terbuka untuk membacanya. Jake duduk di kursi dadu, yang seperti sofa di sini, berkain sewarna sirup cokelat di dekatku dan Beatrice.

Akhirnya dia menutup buku dan bangun sementara teman-teman cewek Junko menghambur keluar dari kamar Junko. Teman-teman laki-lakiku dan Jake yang menumpahkan UNO balok dan catur dari dalam kotak mainan langsung meringkasi kegaduhan kecil mereka dan ikut berkumpul di sekitar sofa. Aku dan Victor menarik mundur sofa sementara Beatrice dan Rain menggelar sebuah alas tidur yang menggelembung tetapi empuk. Yuda dan Tino langsung berebut tempat di atas situ, menyelonjorkan kaki pendek mereka sementara aku dan Victor saling menoleh dan menyeringai.

Kami berniat menarik sofa sejauh mungkin, tidak terlalu jauh sehingga efek bioskop buatan yang berusaha kami tampilkan masih memengaruhi kami, tetapi membuat anak-anak itu berpikir sofa tidak boleh digunakan karena semua orang harus duduk berjubelan di atas alas cokelat seluas 2 x 2 meter itu.

Jake mengoperasikan laptop Junko di meja yang sudah digotong sedekat mungkin dengan dinding pojok di bawah layar proyektor bagian kanan di dinding putih gading di hadapan kami. Semua orang mengambil tempat masing-masing, patuh menunggu Jake memberikan aba-aba. Aku dan Victor melompat ke sofa saat semuanya sudah duduk di bawah. Terdengar pekikan protes, bahkan Junko mengangkat sebelah alisnya terhadap kami. Tapi kami tidak gentar dan berniat mempertahankan armada menonton kami yang nyaman ini. Akhirnya mereka hanya menggerutu sambil kembali menghadap ke layar proyektor. Lampu-lampu di lantai dua sudah dipadamkan. Setelah mengangkat jempolnya sebagai aba-aba, opening pun berputar dan Jake melesat ke salah satu kursi dadu yang tersisa—satunya lagi diduduki oleh Gerald.

Dengan uang Jake yang terus mengalir dari ayahnya, dia membeli DVD orisinal The Hunger Games series. Dan menurutku, meski kawanku itu gila, kami sangat diuntungkan. Jake dan Victor boleh saja sudah menonton film-film itu ratusan kali, tetapi cewek-cewek yang lebih suka mengoleksi lima jenis bedak dalam dompet makeup besar mereka harus diperkenalkan dengan koleksi cakram padat berisi isu tentang kemiskinan, kelaparan, penindasan, dan efek perang. Baru setelah itu mereka boleh dilepaskan ke dunia bebas tempat orang-orang beradab diperbolehkan memilih antara bedak dan DVD The Hunger Games.

Jumlah kami tiga belas orang, tetapi begitu percakapan antara dua pria yang keluar dari speaker bluetooth Junko di kisi rak buku teratas terdengar, tidak ada seorang pun yang mengganggu percakapan itu. Semua orang bahkan tampaknya menahan napas mereka. Kami seperti sandera perang yang diancam oleh penawan terkutuk kami agar tidak bergerak sedikit pun. Dan aku menyukai jenis ketenangan dalam konsentrasi ini, begitu mengingatkanku pada cara kerja otakku ketika menghadapi persamaan-persamaan kompleks dalam matematika.

Aku sudah menonton seri pertama ini sebelumnya, tetapi rasanya benar ketika menontonnya lagi dan masih mengingat betul adegan yang akan terjadi. Katniss akan memutuskan menjadi sukarelawan untuk menggantikan Prim, menjadi sukarelawan Distrik 12 bersama Peeta. Dan tiba-tiba saja aku terlena pada plot yang sudah sangat kukenal ini. Terlena sehingga aku merasa aman untuk melamun karena aku tahu apa saja yang akan terjadi selama seri pertama itu.

Kata-kata Edy memberondong masuk dalam keadaan lengahku itu. Kau akan segera pulih, tidak perlu berlama-lama. Gadis itu sudah pergi.

Padahal tidak. Bagaimana Edy bisa berpikir aku benar-benar membiarkan May pergi begitu saja dari kepalaku? Aku menahannya, dan dia aman di sana, tenang dan bahagia.

Victor meneriakkan makian ketika Gale datang dan membuat rusa buruan Katniss melesat kabur. "Untung saja dia Liam Hemsworth, tahu."

Aku tersenyum begitu kembali ke The Hunger Games.

Tapi kemudian kami merasakan getaran yang menuntut itu bersama-sama. Aku dan Victor saling toleh. Dia memeriksa sofa sementara aku menggerayangi kantung celana cargo selututku. Itu panggilan masuk untukku. Victor memicing padaku. Menurutku matanya itu agak sedikit feminin di wajah sangar Victor yang mirip Robin Amerika. 

Aku menunjukkan layar handphone-ku padanya, membiarkan Victor mengeja nama Edy dengan cepat. Victor menanggapiku dengan mengangkat kedua alisnya. Aku pun menyelinap ke pintu kaca yang menghubungkan ruang menonton dengan teras terbuka.

Kesejukan rumpun pohon palem terasa seperti riak berbentuk udara yang memerciki seluruh kulitku yang terekspose. Kerah kemeja putihku yang berkain tipis dan kubuka tiga kancing berkelepak di dada kerempengku. Aku menyentuh balkon batu andesit yang bertekstur kasar dan menyusuri tepiannya sejauh satu rentangan tangan sambil menerima panggilan masuk Edy. Di belakangku ada dua meja yang memiliki dua kursi di sisi meja yang lebih panjang. Meja dan kursi itu berbahan bilah kayu yang ditanam dengan baut ke lantai parket.

Aku memandang ke depan, ke arah bunga-bunga putih kecil berbentuk lonceng yang bergerak mengayun dari dahan pipa hijau muda yang melengkung seperti gagang payung terbalik. Rimbun tanaman berdaun sejajar itu tampak anggun di atas pot beton balkon yang praktis. Di dalam balkon tempatku berdiri terdapat sebuah ruangan kecil terbuka, yang kalau dilihat dari lantai satu akan tampak seperti atap yang menjorok ke luar. Di ruangan itu dibangun sebuah meja dan dua kursi berhadapan yang juga terbuat dari batu andesit.

"Seorang temanku tertarik padamu." Tidak ada salam sapaan. Bukankah memang itu yang akan diucapkan seorang kakak yang akrab dengan adiknya? Akan tetapi, sadarkah dia bahwa kami tidak seperti itu?

"Temanmu? Seorang dosen tertarik padaku?"

Aku hampir bisa merasakan Edy mengangguk. Suara beratnya seperti tertanam sejauh kiloan meter di balik serat-serat tubuhnya sendiri. Edy adalah jenis laki-laki yang tak pernah berbicara kecuali mengatakan hal-hal manis bernada sopan kepada wanita. Dan kepada laki-laki, mereka harus merasa cukup jika Edy menganggukkan kepalanya karena Edy bahkan tidak sibuk-sibuk melirik para laki-laki yang lewat di dekatnya.

"Ya. Dia mengajakmu minum anggur…"

"Dia ingin kutiduri."

"Tidur denganmu." Aku mendengus. Dan Edy segera menambahkan. "Dosen juga memiliki nafsu hewani, Thomas."

"Tidak perlu disangsikan."

Lebih dari itu, terserah dia dosen atau astronot, akankah dia senang jika tahu bahwa Edy menyampaikan nafsu hewaninya secara blak-blakan padaku? Taruhan, siapa pun dia, dia tak akan senang. Lagipula sejak kapan Edy berpikir May bisa dikucek seperti noda di baju agar menghilang selamanya dari kepalaku? Apalagi dengan menawariku hal-hal yang selalu bisa kudapatkan tanpa bantuannya.

Tino tahu sinyal pesta memancar dari mana saja. Dan walau tubuhku ceking, cewek-cewek cantik ternyata sangat menyukai wajah Belanda-Indonesia-Chinaku ini. Hanya saja, aku tidak pernah memberitahu hal tersebut pada Edy. Dengan kolot dia berpikir bahwa hal-hal yang tidak pernah dia lihat atau dengar sendiri berarti tidak pernah ada di dunia ini.

Tapi Edy harus tahu adik kandungnya ini bukan seorang gigolo.

"Katakan padanya. Persetan."

Bukannya aku tidak tertarik pada, merujuk pada usia Edy yang saat ini menginjak dua puluh delapan tahun (aku berasumsi temannya itu juga seumuran dengannya), wanita-wanita dewasa yang hobi minum alkohol. Aku hanya tidak menginginkan campur tangan Edy. Mungkin dia terlalu rendah hati pada jabatannya sebagai kakakku sehingga dia berpikir aku adalah adik kecil yang malang karena belum juga berhasil melupakan mantan kekasih SMAnya. Tapi aku ingin dia tahu kalau itu seperti kamar Junko, kamar bersuasana dinamis karena terus dia ubah-ubah temanya setiap bulan sehingga membuat teman-temannya selalu penasaran, seharusnya bersifat pribadi dan sentimental. Tidak ada yang boleh menjarahnya tanpa izinku.

Aku mengeluarkan sebatang rokok dari dalam kotak kertas yang kusimpan di celana sebelah kiriku. Melingkupinya dengan satu tangan selagi tanganku yang satunya menjentikkan korek gas.

Satu isapan. Wangi tembakau merembesi dinding tenggorokanku, dengan halus dan lancar menuruni dadaku. Asap putih setipis tirai sifon naik bersulur-sulur. Aku melepaskan satu napas panjang yang melegakan. Getaran lagi. Aku menunduk untuk membaca nama Edy kembali berkedip di layar dan aku mengunci handphone kembali sambil menahan tawa.

Kalau temannya tertarik padaku, apa peduliku pada Edy? Sampai saat ini, aku hidup sebagai manusia bebas yang bertanggung jawab. Dia memang kakakku, tapi sebaiknya dia berpikir dua kali kalau ingin memaksakan kehendaknya padaku.

Sebenarnya, sampai aku berumur tujuh tahun, Edy adalah kakak yang baik. Umur kami terpaut sepuluh tahun dan aku berpikir masa SMA Edy nyaris sempurna karena dia tidak merusaknya seperti teman-temannya yang lain yang mabuk di sembarang tempat atau menyalahgunakan narkotika. Dia tidak pandai dalam mata pelajaran yang menyangkut science dan matematika, tetapi Edy benar-benar berusaha mencari jawabannya untuk tugas rumahku. Entah dia bertanya pada gurunya atau meminta teman-temannya yang pintar untuk mengerjakan tugasku. Dulu aku sangat bangga terhadap kejeniusannya.

Lalu Edy pulang dengan wanita itu saat Mama dan Papa melakukan kunjungan rutin ke Belanda pada waktu bunga-bunga tulip di Keukenhof yang mahsyur sedang bermekaran.

Dulu kupikir malam itu Edy melukainya sehingga dia merintih kesakitan dan aku hanya mendekam di balik selimut di kamarku, tidak percaya kakakku yang jenius sanggup menyiksa seorang wanita. Keesokan harinya, aku tidak turun dari kasur. Aku takut Edy menyakitiku juga.

Tetapi, betapa terkejutnya aku ketika wanita itu menghampiriku pagi itu, berdiri di ambang pintu kamarku, menggigit ujung telunjuknya yang berkuku panjang dan mengangkat dagu lancipnya padaku. Dia secantik Marilyn Monroe. Penuh provokasi dengan tatapan yang liar. Dia tidak mengatakan apa pun karena menurutnya itu tidak perlu. Cukup menggeser telunjuk di ujung bibirnya itu ke tengah-tengah hidung kecilnya yang mancung dan bibir lebarnya yang berwarna merah gelap, wanita itu tahu aku akan bungkam seumur hidupku.

Aku membenci bagian diriku yang lemah karena membiarkan semua sandiwara bodoh Edy dan wanita itu terus berlanjut sampai Yuda memiliki seorang adik. Itu adalah salah satu alasanku berkomplot dengan Victor untuk merebut sofa ini. Setiap kali berada di dekat Yuda, satu-satunya hal yang ingin kulakukan adalah membinasakan Edy.

Aku sudah memberi sinyal yang kuat pada Jake dan Victor. Setiap kali mereka menyebut nama Yuda, aku pasti akan mulai mengabaikan mereka. Namun, mereka terlalu baik hati dan ramah untuk menyadari itu. Seperti hari ini dan hari-hari lainnya ketika Yuda menumpang di Fortuner Jake, aku lebih memilih untuk mengendarai motorku sendiri. Dan aku juga tidak akan senang berada di atas satu karpet yang sama dengan Yuda.

Terakhir kali melihat Yuda, kami berada di sebuah aula hotel kecil minimalis di sekitar Jalan Raya Gatot Subroto timur untuk merayakan kelulusan SD kami. Lalu mimpi burukku hadir kembali saat melihat Yuda berada di barisan regu pencatat tugas OSPEK jurusan yang sama denganku. Kehadirannya seolah-olah dimaksudkannya khusus untuk menagih padaku segala hal yang seharusnya menjadi haknya. Bahkan saat Gerald dan Tino memutuskan untuk keluar dari siksaan makhluk tidak hidup yang menamakan dirinya sebagai sketsa bangunan dan pendambaan kuat akan tidur tenang satu malam saja, Yuda masih bertahan bersamaku, Jake, dan Victor di jurusan Arsitektur.

Dan dengan semangat persatuan yang tinggi, Jake dan Victor berusaha mempertahankan ikatan kuat regu OSPEK jurusan kami dulu, yang membuat Yuda tertambat semakin erat padaku. Tuhan sepertinya memang berencana membuatku terjebak dalam dosa kakakku. Dalam dosaku.

Semakin aku berusaha melupakannya, semakin lidahku gatal ingin menanyakan kabar ibunya. Seharusnya adiknya berumur sepuluh atau sebelas tahun sekarang. Apakah wajahnya lebih mirip Edy atau ayah Yuda?

Aku membencinya. Ibu Yuda. Edy. Adik Yuda.

Pengkhianatan yang panas seolah telah meleburkanku dari dalam. Aku berharap tak pernah dihadapkan pada suatu situasi di mana aku diharuskan memilih untuk terus mengkhianati Yuda atau mulai mengkhianati Edy.

Rintik api di ujung rokok tergerus menjadi serpihan abu di atas balkon hitam. Aku hendak berjalan menuju keranjang rotan dekat pintu teras untuk membuang rokokku saat menyadari gorden kamar akuarium Gesa tertutup. Kain yang berwarna seperti tubuh ngengat itu terlihat berat. Tadinya kain itu tersingkap di atas dinding kaca sehingga aku bisa melihat seisi kamar Gesa yang tenang dan rapi. Sekarang, ketebalan kain itu membuatku tidak dapat melihat menembus ke dalam kamarnya.

Apakah dia sudah pulang?

Tadinya aku berniat untuk menahan teman-temanku selama mungkin di sini sampai kiranya Gesa pulang dari… Entahlah dari mana karena aku ingin mendapatkan kesempatan untuk melihatnya secara langsung. Apakah benar wajahnya sehalus itu? Mungkin bibirnya tidak setebal yang kupikirkan setelah melihatnya di hadapanku? Atau ada tahi lalat tanda kecantikan yang hanya akan kasatmata jika diamati dari dekat? Benarkah wajahnya kelihatan ceria tapi kalem?

Kini aku tidak bisa mencari-cari letupan gelembung panas di dalam mata cokelatnya yang bersinar. Tidak bisa merasakan momen seperti tulip putih yang mekar di kampung halaman Papa. Gorden itu menjadi penghalang di antara kami. Aku membayangkan rambutnya bergerak dengan malas di sekitar pundaknya saat dia mondar-mandir di kamarnya, ruang privasinya. Mungkin dia tipe cewek yang menemukan dirinya secara utuh di tengah-tengah kasur empuk queen size-nya setelah melewati cobaan seharian penuh dan yakin bahwa dirinya nyaris saja terbelah menjadi dua setiap kali ada kesempatan.

Aku mengenal Junko selama enam bulan belakangan, sejak Jake jatuh cinta pada pandangan pertama di Nastah O! pada Junko, salah satu tempat nongkrong kami di kota Denpasar yang terletak sekitar enam ratus meter jauhnya dari Patung Catur Muka. Selama enam bulan itu, peranku tidak terlalu banyak untuk Jake. Victor, yang merupakan anak dari sekretaris pribadi ayah Jake yang merupakan seorang aristokrat, adalah satu-satunya pihak yang paling banyak berkorban. Kalau aku hadir di tengah-tengah acara kecil nongkrong bersama kami—biasanya hanya ada aku, Jake, Victor, Junko, Rain, dan Beatrice—maka Victor hadir di setiap kencan Junko dan Jake. Dia mengantar Jake menjemput Junko (terkadang Junko yang perkasa lebih memilih berangkat sendiri dengan Chevrolet besarnya) dan membawa mereka ke tempat kencan yang telah ditentukan lalu Victor akan menunggu dengan sabar di parkiran. Seringnya, dia akan menghubungiku saat sedang menunggu. Dan kami hanya akan membiarkan telepon itu tetap terhubung walau dia menonton siaran di Netflix di handphone-nya dan aku mengerjakan tugas, membaca buku-buku tentang arsitek atau iseng menurunkan beberapa persamaan matematika.

Junko tidak menunjukkan sikap tertarik yang kentara pada Jake, tetapi dia tidak pernah menolak kebaikan hati Jake. Dan dia sebenarnya cenderung membela Jake untuk hal-hal ringan seperti debat politik yang terkadang tiba-tiba begitu saja terlempar ke meja nongkrong kami seperti dadu ular tangga. Aku menyukai sifat cuek dan mandiri Junko. Dia sangat cocok menjadi Lady Johnson. Dia berwibawa, tegas, teratur, cerdas, dan menawan. Itu secara tidak langsung memberiku sebuah batasan untuk tidak mengganggu atau menggoda teman-temannya. Karena aku menghormatinya. Aku ingin disukai Junko, mungkin menjadi seperti kakak kelas keren yang selalu dimintainya pendapat untuk hal-hal sepele sekalipun.

Umur kami sama, tetapi Junko masih kelas dua belas sementara aku sudah semester tiga di jurusan arsitektur. Itulah sebabnya tak peduli dia selalu membelot ketika aku menyuruhnya memanggilku dengan sebutan Kak Thomas, dia jadi kelihatan seperti adik perempuan yang manis dan lucu bagiku. Sejak enam bulan kenal dengannya dan sekitar empat bulan menjadi lebih akrab dan akhirnya dua bulan menjadi sangat akrab, Junko baru kali ini bersedia mengundangku—teman-teman Jake dan Victor lainnya hanya beruntung tidak sengaja diajak juga kemari—bermain ke rumahnya yang banyak mengadaptasi gaya scandinavian.

Dan ketika mengetahui bahwa Junko yang rupawan ini memiliki seorang kakak yang juga sama rupawannya, aku menjadi semakin yakin bahwa aku memang mungkin saja tercipta untuk menjadi kakaknya. Kakak iparnya.

Aku menertawakan gagasan itu sambil melangkah masuk kembali ke dalam ruang tamu. Apa aku benar-benar berpikir untuk memacari Gesa atau aku sebenarnya hanya ingin bersenang-senang saja dengannya?

Bayangan May di kepalaku merajuk dan ketika kukatakan padanya bahwa aku masih tetap lebih memilih gadis pendaki gunung yang membuatku jatuh cinta setengah mati saat SMA daripada kakak kandung Junko Edrei yang secantik bunga lonceng putih di balkon rumahnya, bayangan May dalam kepalaku tersenyum, merasa posisinya kembali aman.

Begitu mendengar derit pintu terbuka, teman-temanku langsung meraung marah menyebutku tidak setia kawan dan lainnya. Namun, mataku hanya tertuju pada Yuda. Tahukah dia terhadapnya, aku memang tidak setia kawan?

Comments (6)
goodnovel comment avatar
puspa maharani
loh ada mbanya juga wkwkwk hi
goodnovel comment avatar
puspa maharani
tergempurkan ke sini juga ya? wkwkwk pasukannya dibawa semua
goodnovel comment avatar
puspa maharani
We bisa juga ya nulis kayak gini wkwkwk padet sih. Ini bahasanya formal gini gimana coba dijelasin?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Ei-Bree My Betelgeuse   2 - Dia Membaca Euler

    Setelah enam bulan pendekatan, Jake akhirnya memantapkan diri untuk meminta Junko menjadi kekasihnya. Bukannya Jake cupu, payah, atau apa. Dia bilang Junko adalah satu-satunya gadis yang tidak menunjukkan minat besar terhadap gelar bangsawan ayahnya. Aku setuju. Junko sepertinya tidak begitu tertarik pada uang. Dia butuh uang, tentu saja. Tetapi minat utamanya adalah makeup. Jika tidak punya uang, dia bisa meminjammakeupteman-temannya. Karena Junko orang yang loyal, teman-temannya tidak mungkin tidak meminjamkanmakeupmereka. Teman-temannya kalang kabut jika kehabisanmakeup. Itu sebabnya mereka punyastockmasing-masing alatmakeup. Sungguh menarik. Aku juga pasti kalang kabut saatrefillpensil mekanikku habis.Malam ini, Jake tampil gagah. Seperti biasanya. Aku heran bag

    Last Updated : 2021-08-18
  • Ei-Bree My Betelgeuse   3 - Sylvia Malore

    Kampus tempat Edy mengajar tutup pukul sebelas malam. Meski begitu, kegiatan belajar mengajar dalam lingkup formal berakhir sejak pukul sembilan. Itu artinya dia seharusnya sudah berada di rumah paling lambat pukul sepuluh, mengingat butuh waktu tiga puluh menit untuk mencapai rumah kami dari kampusnya ditambah tiga puluh menit kelonggaran lainnya seperti misalnya menuntun motor karena kehabisan bensin atau ban motor meletus. Tapi Edy tidak pernah berada di rumah sebelum pukul enam pagi. Lagipula sistem libur kampus tempat Edy mengajar dan kampusku sangat berbeda. Aku sedang liburan. Tapi Edy masih terus datang ke kampus untuk mengajar.Persetan dengannya.Mungkin saja dia meringkuk di balik selimut yang sama tempat Ibu Yuda juga meringkuk.Jadi aku memanfaatkan malam-malamku sebaik-ba

    Last Updated : 2021-08-19
  • Ei-Bree My Betelgeuse   4 - Efek Domino

    Kepalanya bersandar di bahuku sehingga sulit rasanya menghela tubuhku untuk duduk tanpa membangunkannya. Aku mengucek mata dan melakukan hal pertama yang selalu kulakukan saat terbangun di tempat selain kamarku: memeriksa pakaianku di lantai. Masih tergeletak serampangan di sana. Aku menguap dan bengong memandangi langit-langit kamar yang berwarna putih. Segalanya putih di sini, membuatku mudah mengingat siapa gadis yang kutiduri semalam. Karena kebelet kencing, aku terpaksa mengangkat tangannya dari perutku dan kemudian menggeser tubuhku menjauh darinya. Sylvia menarik tangannya lalu berguling memunggungiku. Rambutnya yang tebal kelihatan berantakan, mirip surai singa. Biasanya air di daerah selatan Bali tidak terasa sesegar ini. Maka aku memutuskan untuk sekalian mandi. Selesai mandi aku bergegas keluar kamar. Sylvia melambaikan tangan dari tepi kasur lalu meregangkan tubuhnya sebelum berjalan menyusulku. Di ruang tengah, aku menemukan Gerald sedang menonton acara

    Last Updated : 2021-08-20
  • Ei-Bree My Betelgeuse   5 - Inkubus dan Njord

    "Nee, niet doen."Tidak, jangan, aku berkata untuk mencegahnya, mendecak, meringis, dan tersenyum. Aku sudah delapan belas tahun. Dia tidak boleh memanggilkuboy—jongen. Apalagi dia telah membuatku merasa tertarik padanya. Dalam teorinya, seorang laki-laki tidak ingin terlihat lemah, kecil, atau awam di depan perempuan yang disukainya. Bayangan May dalam kepalaku melotot padaku.Kau menyukainya?Tidak. Aku sungguh hanya suka penampilannya. Maksudku adalah dia keren. Kau tidak perlu marah, May. Gesa memperlihatkan giginya dan bergeser sedikit ke sebelah kiri, memasukkanportafilterke dalam mesinespresso. Oh, dia sejak tadi berdiri di depangrinderbiji kopi. Mesin itulah yang

    Last Updated : 2021-08-22
  • Ei-Bree My Betelgeuse   6 - Aku Berutang pada Jerapah

    Diskusi dilakukan di sofa ruang tengah lantai satu. Tidak secara formal, tapi tetap beradab sehingga Mama Gesa berulang kali memperingati Max untuk tidak mengangkat kakinya ke meja jati berpermukaan kaca. Setelah berpamitan, Mama Gesa dan Gesa bergegas keluar rumah.Sementara jeritan kesal dan tawa keras menggelegak di lantai dua, aku dan Max melakukan perbincangan ringan, tentang kampusku, jurusanku, kelas-kelasku, bahkan SMAku, sebelum menjerat kami ke dalam bahasan utama pertemuan hari ini."Singkatnya, Tom," kami sempat berkenalan dengan semi-formal. "kau tidak bisa menandatangani kontrak itu karena belum memiliki izin."Aku mengernyit. "Benarkah?""Ya. Nanti kau akan mempelajari perihal izin di semester atas. Dulu di teknik sipil

    Last Updated : 2021-08-23
  • Ei-Bree My Betelgeuse   7 - Mengunjungi Jotunheim

    Pesan dari Amelia Hyunji masuk pukul delapan pagi, dua hari setelah aku berunding dengan Max, saat aku sedang belanja keperluan mandi diminimarket. Restoran yang dia pesan terletak di dekat kampus Udayana Sudirman. Dia memintaku, jika tidak keberatan, untuk hadir pukul sepuluh pagi dengan rekanku pada hari Sabtu. Aku meminta tanggapan Max untuk kesediaannya menghadirimeeting pertama kami. Max menawar paling lambat hanya sampai pukul satu siang untuk hari Sabtu, dan kalau bersikeras pukul sepuluh pagi sampai waktu yang tidak ditentukan, harinya harus dipindah antara Kamis dan Minggu.Kami bertiga sepakat Minggu pagi. Sekarang masih hari Rabu. Aku mencuci sepatu (kalau kutaruh di penatu, robeknya bakal bertambah lebar) selama tiga puluh menit, membuat uitsmijterdan makan sendirian sampai pukul sepuluh pagi.

    Last Updated : 2021-08-24
  • Ei-Bree My Betelgeuse   8 - Dia Seperti Renée

    "Tidak sepenuhnya benar. Tapi kau diterima dalam keluarga Sandra. Itulah sebabnya sebenarnya sejak tadi aku ingin menyuruhmu memanggilku Bree dan bukannya Gesa."Kenyataannya adalah aku tidak pernah menyebut namanya saat berbicara dengannya. Sebelum aku sempat menatap lama-lama matanya yang mirip batu pijar pada zaman Hadean, dia melenggang menuju rak buku dan berdengung panjang di depannya. "Kau mau di luar matematika atau di dalamnya?"Aku berdiri di sebelahnya dan mengulurkan tangan untuk menyentuh sebuah punggung buku berwarna marun. Tapi kemudian teringat sesuatu. "Bolehkah aku menyentuh ini?""Sebenarnya kau boleh menyentuh apa pun. Aku hanya galak terhadap mesin espresso."Judulnya Kemolekan Landa karangan Muriel Barbery. Aku membalik buku dan membaca blurb di sampul belakang."Sebuah novel terjemahan dari bahasa Perancis yang sangat sulit diucapkan.

    Last Updated : 2021-08-25
  • Ei-Bree My Betelgeuse   9 - Dia dan Depresinya

    Sesuai kesepakatan kami bertiga, waktuku untuk mendesain rumah tinggal Hyunji hanyalah dua minggu, sudah termasuk semua revisi yang kemungkinan besar akan banyak sekali. Tapi Hyunji menawariku untuk membuat desain tersebut di rumah sewaannya. Empat belas hari dalam dua minggu. Selama dia mengajar di kampus, aku boleh menggunakan fasilitas di rumah itu. Termasuk mandi, memasak, mencuci baju, menjemur, dan menginap.Aku memanfaatkan fasilitas itu sebaik-baiknya. Selain karena semua fasilitas dan jaminan yang kudapatkan, aku jadi lebih mudah mengamati kebiasaan Hyunji selama seharian. Sifatnya secara langsung memengaruhi warna kesukaannya, abu-abu tua dan biru matanya. Perpaduan dua warna tersebut harus dimaksimalkan tanpa kesan paksaan. Hyunji juga menginginkan pencahayaan alami sehingga aku merancangkan jendela minimalis layar lipat atau yang biasa disebut dengan folding screen di bagian ruangan yang akan menghadap ke sebuah taman.

    Last Updated : 2021-08-26

Latest chapter

  • Ei-Bree My Betelgeuse   74 - Penyelamat

    Aku dirawat di rumah sakit selama dua hari. Yuda tak mengatakan apa pun pada siapa pun. Bree tak mengatakan apa pun pada siapa pun. Hanya ada aku dan Yuda di parkiran seluas itu saat perkelahian itu berlangsung sehingga tak ada saksi mata lainnya. Kata Sandra, mengherankan betapa Bree bersikap sekalem ini menghadapi pengeroyokan terhadapku. Tapi berbeda dengan semua orang, Bree, walau tak melihat, tahu apa yang terjadi. Utangku pada Yuda sudah terbayarkan atau belum, aku juga tidak tahu. Pasalnya, aku merasa hanya berutang informasi bahwa aku tahu. Dan aksi penggebukan itu kumaksudkan sebagai pelunasan utang. Bonus pelunasan utang. Sekarang, seharusnya utangku telah terbayarkan. Tapi, kalau ditelaah lebih jauh, aku juga berutang waktu kepadanya, sesuatu yang takkan pernah berhasil kubayarkan dengan tuntas. Begitu siuman, aku dibawa pulang. Administrasi rumah sakit diselesaikan, keluargaku tak diberi kabar, sesuai pesanku pada

  • Ei-Bree My Betelgeuse   73 - Kisah tentang Pengkhianatan Diakhiri

    Pertanyaan terakhir Edy padaku sebelum terbang ke Belanda adalah, "Apakah ada alasan lain mengapa kau membenciku?" Bree menolehku, Edy menatapku, aku berdiri termangu-mangu beberapa detik, mencari-cari di antara serabut otakku, liku urat, dinding daging lembek, tapi aku yakin bahwa jawabannya hanya mentok sampai pertanyaannya saja. Aku pun menggeleng. Edy dan Bree saling mengangguk. Dan kemudian Edy pun pergi.Dua malam setelahnya, kami mengadakan perombakan besar-besaran pada kamar tamu di lantai satu rumah Bree karena aku tidak lagi tinggal sebagai penumpang, melainkan sebagai anggota tetap keluarga mereka. Terlepas dari ada atau tidaknya hubungan romantis dengan Bree, kini aku resmi menjadi anak kesayangan Sandra. Lemari lapuk dikeluarkan dari kamar seluas 12m² tersebut, diganti dengan walk-in closet yang kudesain secara darurat. Dinding di sebelah lemari kupajangi lukisan-lukisan abstrak geometris. Cetakan jernih lukisan Broadway Boogie

  • Ei-Bree My Betelgeuse   72 - Privasi Individu

    Aku menuruti penuturan Olaf. Sertai keterpurukannya sampai dia sadar aku ada di sana untuknya, menemaninya. Berbelit di sekitarnya, lakukan dengan mulus, tapi jangan intens. Sebab, Olaf ingin aku menjadi satu dari orang-orang yang cukup dipercayainya, dan bukan orang yang paling dipercayainya. Merunut cerita Victor tentang bagaimana Yuda melibatkan Mike dalam urusan privasinya, kata Olaf, Yuda pastilah orang yang mudah memercayai hampir siapa pun. Dia tepat dijuluki ekstrover putus asa. Begitu ingin bergabung dalam keramaian, tapi tak tahu bagaimana caranya membaurkan diri.Jadi dalam sebulan terakhir, aku, yang biasanya menghindari Yuda, berlaku sebaliknya. Dalam kerja-kerja kelompok, aku menyertakannya. Aku juga mengajaknya (kalau sempat melakukannya sebelum kelas pagi dimulai) sarapan dan makan siang. Dan kuceramahi pula dia tentang kelas-kelas semester lalu yang harus diulanginya pada semester ini.Dan aku, merasa sangat berkebalika

  • Ei-Bree My Betelgeuse   71 - Sesolid Tungsten

    Tubuh kebal Edy siap menjalani bertahun-tahun kembali tanpa diserang penyakit. Dia tampak lebih kuat setelah memutuskan untuk turun kasur permanen. Kami mencopot seluruh kain kotor berikut gorden, kasur, sampul bantal, selimut, pakaian apak yang terlalu lama digantung di lemari dari kamarnya, dan membawanya ke penatu terdekat. Pada bulan Februari, saat libur semester ganjilku berakhir, kampus Edy baru menjatah libur. Durasi libur itulah yang dipergunakannya sebaik mungkin untuk mengurus kelengkapan dokumen pengunduran diri dari kampus karena ternyata kabar dari Bree benar adanya: Edy memutuskan untuk pindah ke Belanda selamanya, meninggalkanku sebatang kara di sini sampai lulus kuliah. Mama masih agak khawatir padanya sehingga mengutusku untuk menemani Edy mengurus hampir segala keperluannya dan Edy, tampak sama sekali, tak keberatan. Mirip seperti dulu, yang baru saja dikatakan Reza beberapa waktu lalu. Aku mengikuti Edy ke mana pun

  • Ei-Bree My Betelgeuse   70 - Denyut Bintang Sekarat

    "Seharusnya memang begitu." "Tapi, katanya mustahil ada perempuan seperti aku. Sungguh, aku menahan diri untuk tidak bertanya seperti aku itu sebenarnya seperti apa? Dan demi mencegah berbagai macam spekulasi ngawur, seperti misalnya aku ini transgender atau lesbian atau disuntik hormon testosteron, kubilang saja kenapa mustahil kalau aku adalah bukti yang duduk di hadapanmu?Dan, yah, katanya, benar juga. Lalu kami mulai membicarakanmu." "Kalian tertawa-tawa. Sepertinya menertawakanku?" "Edward bilang kau belum bisa cuci pantat sendiri setelah buang air besar sampai kelas satu." Aku mulai mengerang. Bree tertawa dengan penuh kemenangan mendapati cerita itu ternyata benar. Dan memang benar. Dan juga memalukan. "Rambutmu dulu sulit sekali tumbuhnya. Mereka sudah membaluri minyak kemiri, gel lidah buaya, pasta bawang merah, dan segalanya, tapi rambutmu tumbuh dengan lambat. Dan ternyata

  • Ei-Bree My Betelgeuse   69 - Penentu Hubungan

    Aku dan Bree menyetir Jeep ke rumah Hyunji pada pukul sepuluh malam kurang dua belas menit karena perjalanan dari Dalung ke Canggu tidak memakan waktu lebih dari dua puluh menit. Seandainya kami terlambat, keterlambatan itu terletak dalam rentang waktu yang relatif bisa dimaafkan—lima menit? Tujuh? Sepuluh? Aman. Pokoknya, selama Hyunji tidak menganut idealisme hidup ala orang Jepang yang disiplin waktu, semuanya akan baik-baik saja. Mesin bermotor yang punya badan besi hitam tinggi-besar sempurna seperti raksasa ini menyorotkan lampu jauhnya pada jangkauan jalan-jalan tergelap di Canggu. Asap debu mengepul di sepanjang tongkat cahaya kekuningan lampu sorot yang bentuknya membesar di kejauhan, tempat kami bisa mengamati alam Indonesia yang liar dan lebih menyerupai alam yang sesungguhnya. Alam yang tak terjamah manusia dengan pelepah pohon kelapa setinggi lima meter yang tumbuh dari balik pembatas besi melingkar di tikungan jalan yang diterangi oleh lam

  • Ei-Bree My Betelgeuse   68 - Kembali ke Indonesia

    Setelah proses lepas landas selesai, Bree kembali menawariku permen karet mentol—yang kutolak dengan menggeleng—sambil menjabarkan seluruh kiat untuk menyukseskan ED Education. Katanya, dia harus berpikir cerdas untuk membagi waktu antara menyelesaikan skripsi dengan mengorganisasi bimbingan belajar rintisannya tersebut. Paling tidak, dia harus bisa mengejar kuota wisudawan bulan Maret. Di bulan itu, ED Education menargetkan sudah mendidik sekitar lima belas murid. "Dan tahukah kau bagian paling kacau dari semua ini?" "Apa?" tanyaku. "Promosi." "Kenapa dengan promosi? Kau bisa saja menyewa jasa orang untuk melakukannya." "Benar. Kok tidak kepikiran, ya?" Bree mengernyit, berpikir secara mendalam sampai akhirnya kembali menolehku. "Aku merasa payah dengan media sosial. Tapi baiklah. Aku akan menuruti saranmu." Kemudian, aku memikirkannya. Tentang menetap di Bel

  • Ei-Bree My Betelgeuse   67 - Skateboard Modifikasi

    "Bukankah kau harus mengambil semua barang-barangmu dari sana?" Aku masih merasa bingung. Bree mengangkat alis dan mencebik ketika melihatku menelengkan kepala. "Untuk memperbaiki hubunganmu dengan kakakmu, hal pertama yang harus kaulakukan adalah tinggal bersamanya, benar?" Barulah aku mengerti. Tapi, sayangnya, kini aku tahu Breelah yang tidak mengerti. Ada hal-hal yang tidak diketahuinya, yang tidak terlalu senang kubagi dengannya menyangkut persaudaraanku yang rusak dengan Edy. Salah satunya adalah ketakutan tidak mendasarku kembali ditinju Edy. Padahal, akulah yang mulai mengangkat tangan padanya, tapi ketika Edy membalas hanya demi melindungi dirinya sendiri dari terkamanku, aku malah merasa sedang dikeroyok, dihina, dipermalukan, dan disingkirkan. Kau tidak perlu merasa dirimu orang asing sehingga pantas disingkirkan, kata Olaf pada sesi konseling pertama kami. Dia benar. Seharusnya aku berhenti merasa begitu.

  • Ei-Bree My Betelgeuse   66 - Apa Bedanya Kau dan Aku?

    Kereta selanjutnya dari Leiden menuju Belgia berangkat pukul 18.15. May dan Jeremy segera berpamitan tepat pada pukul setengah enam sore. Mereka berkata akan mencari bus menuju Leiden tapi Papa mengoper kunci mobil padaku dan diam-diam memintaku mengeluarkan mobil dari garasi. Masalah membujuk, serahkan saja pada Bree. Dan begitu mobil siap di depan rumah, May dan Jeremy terbukti telah termakan bujuk rayu Bree. Tentu saja harus Bree karena baik Mama maupun Papa bukan merupakan orang yang tepat melakukan segala daya upaya persuasif. Perjalanan menuju Leiden menggunakan mobil memakan waktu delapan belas menit karena Papa yang menyetir. Setidaknya, kami memangkas waktu lima menit dari biasanya (kalau yang menyetir adalah orang selain Papa). May dan Jeremy segera turun di depan fasad kerangka besi Stasiun Leiden Centraal. Kebetulan, tidak banyak kendaraan yang mengantar pengunjung ke stasiun sore ini sehingga dalam satu lompatan lincah, May mengetu

DMCA.com Protection Status