"Tidak sepenuhnya benar. Tapi kau diterima dalam keluarga Sandra. Itulah sebabnya sebenarnya sejak tadi aku ingin menyuruhmu memanggilku Bree dan bukannya Gesa."
Kenyataannya adalah aku tidak pernah menyebut namanya saat berbicara dengannya. Sebelum aku sempat menatap lama-lama matanya yang mirip batu pijar pada zaman Hadean, dia melenggang menuju rak buku dan berdengung panjang di depannya. "Kau mau di luar matematika atau di dalamnya?"
Aku berdiri di sebelahnya dan mengulurkan tangan untuk menyentuh sebuah punggung buku berwarna marun. Tapi kemudian teringat sesuatu. "Bolehkah aku menyentuh ini?"
"Sebenarnya kau boleh menyentuh apa pun. Aku hanya galak terhadap mesin espresso."
Judulnya Kemolekan Landa karangan Muriel Barbery. Aku membalik buku dan membaca blurb di sampul belakang.
"Sebuah novel terjemahan dari bahasa Perancis yang sangat sulit diucapkan. Sebenarnya aku hanya tidak mengerti cara membaca abjad Perancis."
"Kau membaca novel?"
"Aku membaca buku. Jadi ya, novel termasuk salah satunya. Aku bahkan akan mengambil buku apa pun di pameran obral buku." Aku menoleh dengan cepat, tapi tak mampu berkata-kata sehingga dia bertanya, "Apa?"
"Pameran obral buku. Kau membicarakannya sejak waktu itu."
"Harga buku-bukunya murah. Terkadang bisa sampai sembilan ribu rupiah."
"Aku memutuskan untuk pergi ke sana bulan Juli ini."
"Kita bisa mengunjunginya setiap hari sampai puas."
Tawaku pecah. Saking senangnya, dada dan perutku terasa ngilu. Kami menggemari mitologi Nordik. Kami menggilai pameran obral buku. Dan saat ini kami hanya berdua saja di rumahnya. Apa yang akan kulakukan saat ditinggal berduaan saja dengan seorang gadis? Jawabannya sudah pasti bercinta. Tapi ini Gesa, yang sekarang memintaku memanggilnya Bree. Kalau diperhatikan lebih seksama sebenarnya tubuhnya langsing, yang merupakan indikasi lain bahwa dia bukan laki-laki. Tapi tetap saja, badannya lebih besar dariku. Mudah saja baginya memitingku ke tembok lalu membantingku ke lantai. Jadi sebaiknya aku tidak mencoba mengajaknya untuk bercinta. Apalagi aku akan menghadapi amarah Junko. Dan Sandra…
Baiklah. Aku hanya akan membaca di sini.
Aku memilih tiga buku dari rak. Kemolekan Landak, Kisah-Kisah dari Negeri Belanda, dan Astrophysics for People in A Hurry. Bree menuntunku ke teras depan lantai dua dan mengajakku duduk bersama di salah satu meja. Dia baru menempelkan bokongnya ke kursi kayu selama satu milidetik sebelum memutuskan untuk kembali berdiri. "Seharusnya kita minum moccachino ice." Benar juga. Kami lupa. "Kembali dalam dua puluh menit." Dia melesat pergi. Aku mengeluarkan kotak rokok ke atas meja, menyalakan pemantik api, dan mulai merokok.
Kemolekan Landak bercerita tentang gadis cilik bernama Paloma Josse yang yang merencanakan bunuh diri saat berumur tiga belas tahun nanti. Tapi kemudian dia bertemu dengan penjaga gedung yang diam-diam sangat pintar. Aku pun mulai membaca. Dalam dua puluh menit, aku baru membaca sampai halaman dua puluh lima.
Pintu kaca dari ruang tengah terbuka di belakangku. Aku menoleh dan mendapati Bree membawa tray kayu dan kakinya sedang menahan bukaan pintu. Aku segera menghampirinya untuk mengambil alih tray. Kami duduk di meja, menikmati cuaca cerah akhir Juni sambil sesekali menyedot moccachino dingin masing-masing. Sejujurnya, minuman ini terasa seperti cokelat putih yang kemanisan. Itu membuatku lebih menyukai versi panasnya.
Bree tanpa sadar selalu menghindari asap rokokku, dan mengeluarkan bunyi seperti orang batuk. Lalu dia memutuskan untuk bangun dari kursinya dan mengambil bola basket yang diletakkan di balik pot-pot pohon palem di sudut teras. "Aku memberimu irama untuk membaca." Itu hanya alasan untuk berbuat iseng.
"Siapa yang bermain basket?"
"Tentu saja Max dan ayahnya. Aku sudah pasti tidak. Apalagi Junko."
"Tapi kau tinggi sekali, Bree. Kau-" kata-kataku terhenti karena bola basket dipantulkan ke depan, tepat ke arahku. Dia menggiring bola sampai akhirnya duduk di sebelahku dalam arah sebaliknya. Bree mendorong punggunya sampai menyentuh tepian meja untuk bisa menatapku. Bola basket menggelinding kembali ke sudut teras.
"Kau tinggi sekali," ulangku karena saat di depanmu duduk seorang gadis yang cantiknya minta ampun, yang bisa kau lakukan hanyalah membantah keinginan kuat untuk menciumnya. Konsekuensinya, memikirkan hal lain jadi terasa lebih sulit.
"Coba sebut namaku sekali lagi."
"Bree?"
Bree mengangguk dengan khidmat. Matanya memancarkan kepuasan dan kelegaan. "Bagaimana mengucapkannya dalam bahasa Belanda?"
"Bre," jawabku sambil tersenyum.
"Aku menyukainya. R-mu kedengaran menyenangkan. Itu akan jadi moccachino-ku."
Dia kembali melakukan dribble dan melempar bolanya ke keranjang basket di dinding sementara aku kembali membaca. Pukul empat, kami memeriksa es krim di lantai satu bersama-sama. Tekstur bagian atasnya sudah padat, tapi ternyata itu hanya tipuan. Kami sepakat untuk kembali dua jam lagi lalu naik ke lantai dua.
Bree menjelaskan bahwa kepergian tiba-tiba Max dari rumah bisa jadi karena meeting dadakan dan kukatakan pada Bree bahwa Max tidak membawa laptopnya, tapi ternyata Bree bilang Max punya tiga laptop. Ayah Max lebih banyak menghabiskan waktu di kantor staf hotel tempat dia mengelola lounge-nya di Legian. Sandra sudah berangkat ke Edrei Beauty sejak subuh untuk memimpin general cleaning yang rutin diadakan setiap bulan.
Saat ini yang tersisa hanyalah dirinya yang malang yang berusaha menyelesaikan skripsi tentang kompresor sentrifugal. Pusing memilah-milah bahan yang melimpah di seluruh website penyedia e-journal untuk dasar teorinya.
"Lantas apa yang terjadi pada bimbingan belajar rintisanmu kalau kau sibuk seperti ini?"
Dia melirik dengan malas sebelum melempar bolanya ke tiang basket. Bola hanya berputar-putar pada kerangka besi sebelum jatuh ke luar dan memantul di lantai parket. Bree tidak mengambilnya. Dia kembali ke kursinya di hadapanku. "Itu sebabnya aku butuh rekan."
"Kau tidak berpersuasi tentang rekan padaku."
"Kau anak Arsitektur." Dugaan Max tidak meleset.
"Aku akan membantu sebisaku."
Thomas, selain pengkhianat, kau ternyata juga bodoh.
Jangan bilang aku bodoh.
Kemarin kau menolak tawaran Max. Kini kau menawarkan diri. Pengkhianat, bodoh, plinplan.
Kau bukan May. Kau suara sialan. Enyah dari kepalaku.
Aku May, Thomas. Suara itu berubah menjadi pilu. Aku bisa mendengarnya bergetar dalam ketidakpercayaan dan mengingat kekecewaan dalam tatapannya hari itu di ruang ganti gimnasium.
Maafkan aku. Aku tidak bermaksud begitu.
Kau mengusirku.
"Thomas?" Aku terkesiap. Ruang di dalam dada dan kepalaku terhubung oleh gemuruh, seolah ada badai tanpa akhir seperti yang terjadi di planet Jupiter dalam tubuhku dan aku sangat sulit mengendalikan diriku sendiri. "Aku… Bicara padamu."
Kami menoleh ke balkon saat mendengar gerbang didorong. "Aku akan menyelamatkan es krim kita yang belum padat itu." Bree melesat memasuki ruang tengah dan menghilang di tangga. Aku memandangi kamarnya yang lapang dan—mengabaikan kerusuhan kertas, cangkir, piring, dan laptop mati di meja belajarnya—rapi.
Aku tidak mengusirmu. Tapi May tidak menjawab. Dia terlanjur terluka. Aku sungguh menyesal, May. Dia masih tidak menjawab. Sampai Bree dan Max berkejaran di tangga untuk memperebutkan kotak es krim di tangan Bree, May belum juga muncul.
.
Pendaftaran ulang murid baru di kampusku akan diadakan selama seminggu. Panitia OSPEK memberi kesempatan pada mahasiswa di luar kepanitiaan itu untuk menambah SKKM (Satuan Kredit Kegiatan Mahasiswa) mereka dengan cara berpartisipasi menjadi panitia sukarelawan. Aku mendaftarkan diri sebagai panitia sukarelawan yang akan bekerja selama seminggu penuh mulai hari Senin.
Tapi pagi ini aku harus menghadiri meeting pertama proyekku dengan Amelia Hyunji. Aku mengirim lokasi rumahku pada Max, yang ternyata berangkat bersama Bree dan Junko naik Jeep raksasa yang bodinya memenuhi satu lajur di atas jalanan kota Denpasar. Kalau Chevrolet adalah mobil Junko dan Jeep adalah mobil Max, lantas mana mobil Bree? Aku bertanya.
"Itulah sebabnya Mama selalu bertanya mana anakku yang akan mengantarku? kalau tahu bahwa akulah satu-satunya anak yang ada saat Mama ingin pergi ke Edrei Beauty. Karena biasanya aku mengalami kesulitan meminjam mobil saudara dan saudariku."
"Kalian tidak punya motor?"
"Aku punya motor sport yang kujual waktu semester enam. Uangnya kutabung untuk merintis bimbingan belajarku."
"Kau naik motor sport?" Aku menelengkan kepala di tengah kursi depan. Bree tersenyum penuh rahasia padaku.
"Motor itu punya ayah kami. Dia merawatnya saat Ayah pergi ke Marsiling. Lalu saat Ayah menikah, Bree menjualnya."
Senyum di wajahnya lenyap. Bree menoleh ke depan tanpa mengatakan apa pun. Aku memandanginya dari samping. Kerlipan matanya mengungkapkan keterkejutan dan… Trauma? Apakah dia sedang menahan laju napasnya sendiri? Bree mengedip dengan cepat sampai-sampai aku yakin dia sedang berjuang untuk tidak menangis.
Setelah itu mobil Max sepi. Bree memilih untuk memalingkan wajahnya ke jendela. Dan Junko hanya mendesah berulang kali. Max sendiri hanya tersenyum di belakang kemudinya. Tidak ada yang bicara, tidak ada yang menyenandungkan lagu, bahkan tidak ada yang bergumam. Suasananya intim tapi negatif. Ini seharusnya menjadi masalah dalam sebuah keluarga yang tidak boleh diketahui orang lain.
Di seberang FEB Udayana, aku dan Max turun dari Jeepnya. Bree melompat ke kursi kemudi. Aku baru melihat kalau sejak tadi rahangnya mengeras. Dia menatap lurus ke kaca lanskap mobil. Junko melambaikan tangan lalu menaikkan jendela kaca hitam. Bree akan menemani Junko melanjutkan kegiatan survei butik di seluruh Bali, menggantikan Rain yang mengejar deadline pesanan desain ilustrasi doodle untuk cendera mata berbahan keramik.
Kami berjalan melintasi parkiran mobil menuju pintu masuk. "Mereka punya idealisme yang berbeda soal ayah mereka. Bree merasa dirinya berada di sisi malaikat dan Junko di sisi iblis. Tapi aku harus bilang kalau itu hanyalah pendapat tidak masuk akal Bree dan kalaupun kedua sisi itu benar-benar ada di dunia, sisi iblis Junko lebih rasional."
Serasional apa? Selamanya kupikir emosi yang bisa terlintas di wajah Bree hanyalah kebahagiaan dan keceriaan. Aku tiba-tiba mengingat Renée si penjaga gedung dari novel Kemolekan Landak. Keluarga borjuis mana yang akan menyangka bahwa seorang penjaga gedung yang memelihara kucing jantan pemalas ternyata membaca karyanya Marx? Kurasa aku terlalu cepat menilai Bree, sama seperti keluarga-keluarga borjuis itu terlalu cepat menilai Renée.
Pintu kaca dibukakan oleh seorang pelayan laki-laki. Aku menyebut nama Amelia Hyunji dan laki-laki itu menuntun kami menuju meja pesanan Amelia. Tentang restoran ini, aku jadi membayangkan lounge yang dikelola ayah Max. Tempat ini seharusnya dijadikan semacam lounge.
Langit-langitnya tinggi, mungkin sekitar tujuh meter. Lantainya berbahan porselen dengan motif tangkai bunga berwarna pastel yang memanjang dari bagian depan ke tengah ruangan. Setiap kursi yang mengelilingi sebuah meja adalah sofa tunggal yang ditutupi bahan kulit. Meja kami terletak dekat dinding belakang, di depan pohon sintetis pendek berdaun kecil berwarna jingga yang memancarkan cahaya putih lembut dari dalam guci.
Amelia Hyunji sudah menunggu.
Dan karena aku sudah pernah tidur dengan banyak perempuan, sulit untuk menyebut wanita itu cantik karena… Dia adalah porsi ekstrem dari kecantikan. Kalau di dunia ini kutub utara dan selatan bisa disebut ujung bumi, dialah kutub itu. Titik terujung kecantikan. Sulit sekali memahami alasan Edy memperkenalkanku pada wanita seperti ini kalau dia sendiri bisa memperistrinya.
Dia punya mata sipit berwarna biru yang bertindak seperti lautan memantulkan kembali sinar matahari sore yang panas. Rambut pirang panjangnya yang ikal itu sungguh tidak manusiawi (bisakah rambut manusia tercipta seelok itu?). Alis cokelat gelapnya mungkin dicukur atau ditata, atau bahkan sengaja ditanam supaya tumbuh subur beraturan di atas kelopak matanya yang sempurna. Yah, hidung itu juga sangat bagus.
Amelia Hyunji berdiri. Aku merasa perlu menceritakan tentang kesempatan berjumpa dengan Freya pada Bree. Dia mempersilakan kami untuk duduk. Tapi pelayan itulah yang menarik kursi untuk kami. Aku melirik Max yang tampak profesional dalam kemeja biru langitnya. Wajahnya berseri-seri karena antusias.
Siapa yang akan tidak?
Gaun biru sewarna matanya tampak seperti gliter yang tumpah saat dia kembali duduk. Kain rok gaunnya berupa brokat yang bagian atasnya tidak berkerah atau berlengan sehingga memperlihatkan tulang selangkanya yang menonjol, belikatnya yang ramping, dan bahu yang bisa dibilang berkilau dan dihujani freckles manis seperti pipi dan hidungnya.
Amelia mulai membicarakan tentang lahan yang dia beli dari seorang pemilik tanah di Canggu. Kemudian, yang kutahu adalah aku memandangi bibir mengilapnya yang mengucapkan setiap kata dengan teratur, sabar, dan berhati-hati. Saat dia tertawa dengan mata berbinar-binar, aku membayangkan pantai biru di Maldives.
Tibalah saat Amelia berpaling padaku. Max juga. Dan aku mengerjap-ngerjap di sana, seperti anak kecil yang sengaja dibawa Max untuk latihan makan siang ala kaum borjuis. Aku lupa peranku di sini adalah sebagai drafter. Setidaknya aku harus mendengarkan paparan Amelia tentang sirkulasi dan ruang-ruang utama yang dia mau.
"Bagaimana menurutmu, Thomas?"
"Aku akan membuat draft pertamanya…" Aku bernapas tanpa berusaha membuat mereka mengetahui aku sedang mengambil napas dalam-dalam. "Kita akan menyesuaikannya dengan anggaran yang…" Rasanya bahkan sangat mentah mengucapkan kau pada Amelia. Jadi begitulah. "Anda sediakan."
"Benar. Kalian akan sering bertemu untuk membicarakan tentang revisi—kalau revisinya banyak. Dan semua itu wajar karena Thomas baru belajar. Anda akan menoleransinya, Nona Hyunji?"
"Hyunji saja, Max, kalau kau berkenan. Dan kurasa tidak perlu terlalu formal begitu, kalian mengingatkanku pada ragam arkais di KBBI."
"Baiklah, Hyunji. Tapi memanggilmu dengan nama keluargamu, apakah itu baik untuk dilakukan?"
"Aku tidak punya nama keluarga. Ayahku sembarangan memberiku nama itu hanya agar orang-orang tahu aku adalah keturunan orang Korea. Padahal Hyunji rasanya adalah susunan nama yang kurang benar."
Max mengangguk. "Boleh aku tahu kau bekerja di mana?"
"Aku bekerja di kampus yang sama dengan Edward Dustin, kakaknya Thomas."
Jantungku berdentam dengan keras. Aku sangat yakin wanita inilah yang waktu itu mengajakku untuk minum anggur bersama. Wanita yang kata Edy tertarik padaku—wanita yang kutolak. Edy tolol itu seharusnya mengirimiku fotonya. Aku dulu pastilah makhluk terkutuk yang harus bereinkarnasi untuk mengalami takdir terkutuk karena… Seharusnya tidak ada orang yang menolak wanita seperti Hyunji.
Kami bertiga saling bersalaman. Tanganku dan tangan Hyunji terkait dengan erat. Dan dalam sekejap yang kelihatannya sepele, sorot mata birunya memancarkan ketidakprofesionalan dan rasa lapar. Aku sangat mengenali sorot seperti itu sehingga membalasnya dengan ketidakprofesionalan dan rasa lapar yang sama.
Sesuai kesepakatan kami bertiga, waktuku untuk mendesain rumah tinggal Hyunji hanyalah dua minggu, sudah termasuk semua revisi yang kemungkinan besar akan banyak sekali. Tapi Hyunji menawariku untuk membuat desain tersebut di rumah sewaannya. Empat belas hari dalam dua minggu. Selama dia mengajar di kampus, aku boleh menggunakan fasilitas di rumah itu. Termasuk mandi, memasak, mencuci baju, menjemur, dan menginap.Aku memanfaatkan fasilitas itu sebaik-baiknya. Selain karena semua fasilitas dan jaminan yang kudapatkan, aku jadi lebih mudah mengamati kebiasaan Hyunji selama seharian. Sifatnya secara langsung memengaruhi warna kesukaannya, abu-abu tua dan biru matanya. Perpaduan dua warna tersebut harus dimaksimalkan tanpa kesan paksaan. Hyunji juga menginginkan pencahayaan alami sehingga aku merancangkan jendela minimalis layar lipat atau yang biasa disebut dengan folding screen di bagian ruangan yang akan menghadap ke sebuah taman.
Terpaksa aku membawanya pulang ke rumahku. Gerald tidak mungkin membawa temannya yang mabuk pulang ke rumah. Dia punya adik perempuan berumur delapan tahun yang merupakan permata keluarga, yang membuat semua masalah kecil yang diprakarsai adiknya dilimpahkan sebagai kesalahannya. Gerald merasa cukup dengan semua masalah itu, tidak perlu menambah masalah baru.Mengantar Yuda pulang ke rumahnya juga tidak mungkin. Aku bisa gila jika harus bertemu Marilyn Monroe dan adiknya Yuda.Lampu rumahku mati. Aku keluar mobil lebih dulu untuk membuka pintu rumah, kemudian kembali ke mobil untuk menggotong tubuh tegap Yuda masuk ke rumah bersama Gerald. Pintu kamar Edy tertutup saat aku melewatinya. Tidak ada suara apa pun, begitu hening sampai membuat telingaku berdengung. Aku dan Gerald membaringkan Yuda di atas seprai lecek kasurku. Aku selalu berpikir sudah membersihkan kamarku saat akan meninggalkan rumah, tapi ternyata itu hanyalah angan-angank
"Selamat malam. Mohon maaf, saya tidak terbiasa mengangkat panggilan masuk di atas pukul sebelas malam dari nomor tidak dikenal. Saya Gesa Edrei, sebelum melanjutkan, saya perlu tahu sedang bicara dengan siapa saat ini."Aku menahan napas. "Bre," panggilku, melarutkan aksen Belanda dalam namanya.Lama Bree terdiam sebelum mendesahkan senyuman. "Di mana aku bisa mencarimu besok?""Uluwatu.""Kau berada jauh sekali dari rumahmu.""Yuda bilang kau mencariku.""Ya. Bukankah kita membuat rencana untuk mendatangi pameran buku obral setiap hari sampai puas?"Aku tersenyum, membayangkan jemariku meraba lajur pipinya dari mata menuju bibirnya yang seperti buah persik dan disergap perasaan yakin bahwa dialah perempuan yang benar. May dalam kepalaku hanyalah sebuah suara, Sylvia hanyalah rekan untuk bersenang-senang, Hyunji hanyalah persinggahan sementara. Ba
Desain itu sudah kuselesaikan dan sedang berada dalam tahap revisi terakhir di tangan Max. Aku tetap harus mempelajari salinan revisinya, baik dalam bentuk 2D maupun 3D, tapi Max memberitahuku bahwa desain bentuk 3Dku jauh lebih baik daripada yang dia bayangkan sehingga revisinya tidak banyak.Kesibukan Max di tanah Canggu pun dimulai. Sesekali, pada rutinitas yang sudah kami rencanakan, aku harus mengawasi jalannya pembangunan untuk memeriksa apakah semuanya sesuai dengan maksud dan tujuan desainku. Tapi selain pengawasan rutin itu, selebihnya, aku dibebastugaskan. Lagipula, sebenarnya aku hanya drafter. Kerjaku di proyek ini hanya menggambar. Jika desainnya sudah sesuai dengan keinginan user dan apa yang Max perintahkan padaku, selesai sudah.Beberapa kali aku mempertimbangkan untuk menghubungi Bree. Tapi aneh rasanya mengangkat handphone untuk menghubungi perempuan selain ibu dan nenekku padahal aku ada di
Jumat malam di bulan September awal, tepat setelah aku menyelesaikan tugas menganalisis sebuah tapak, Sylvia mengirimiku pesan yang bersifat genting.Angkat teleponku. Ini telepon paling harus diangkat dari telepon-telepon harus diangkat lainnya.Handphone-ku berdering pada detik berikutnya. Hyunji sudah tertidur di kamar. Aku pergi ke sudut rumah, jauh dari kamarnya, berpikir untuk membuka pintu depan pelan-pelan tapi saat kusadari percakapan ini mungkin hanya akan terjadi secara satu arah—tentu dari pihak Sylvia—aku pun hanya bersandar pada pintu dan mulai mendengarkan."Ada pesta," dia memberitahu. "Besok di Uluwatu. Aku tidak akan menghadirinya, kau tahu? Karena Janet tidak akan datang. Tapi kupikir pesta bisa membangkitkan gairah seksualmu seperti dulu"—belakangan ini aku melakukannya secara berkala dengan Hyunji—"jadi aku ingin kau menghadiri pesta itu. Thomas, kau menden
Lia menginterupsi nostalgiaku yang payah. Gaun satin putih yang jatuh lurus di luar tubuhnya bergelombang ketika dia berlari kecil ke arahku. Lia lalu melompat ke sebelah kiriku dan langsung menjatuhkan kepalanya di bahuku. Manis, pikirku. Sulit beradaptasi, tapi sekalinya menemukan titik teraman, dia akan menjeratkan diri selamanya di sana."Kau terbiasa tidur di kamar yang dingin?" Aku merengkuh perut ratanya.Lia tersenyum, menolehku, menyusurkan ujung hidungnya di dekat bibirku dan mendusal daguku dengan dahi di balik poni bergelembungnya. "Kau kedinginan?" Suaranya seperti remah roti saat terpisah dari bagian utamanya: lembut, nyaris tak terdengar, dan kalaupun terdengar pasti bunyinya serenyah ini."Aku biasanya mudah kedinginan. Tapi sebenarnya ada cara lain untuk menghangatkan tubuh kita."Lia tertawa sampai lehernya terbusung ke depan. Aku langsung mencium bagian di bawah tonjolan le
Sulit memungkiri semuanya berawal dari egosentrismeku. Bahwa kupikir segalanya bisa kulakukan dalam rangka menyenangkan diriku. Bahwa aku memang merindukan May dan walau tak bisa mencari duplikat kehangatan tubuhnya, setidaknya aku berada dalam rasa hangat. Detik itu juga aku mendapatkan segalanya. Pelampiasan nafsu, akomodasi, teman, dan kenyamanan. Entah itu dari Hyunji, Sylvia, atau pun perempuan lain yang kukenal dari pesta dan acara serupa.Daftarnya terus bertambah. Dan aku tidak pernah lelah.Lalu serentetan momen melambat, lentur tapi tidak pernah lenyap. Tersisalah diriku yang berusaha meloloskan diri dari momen-momen yang semakin lama terasa seperti hari murung yang mengitariku tanpa henti. Aku merasa semua orang bersalah. Mereka berperan dalam merusak kondisiku.Aku tetap pergi ke rumah Hyunji, menemaninya dalam diskusi soal pekerjaan atau hubungannya dengan keluarganya, menjadi 'teman malamnya', menunggunya
Pengamatanku tidak mungkin salah. Jalan menuju rumah Junko hanya akan sepi selama dua jam dalam sehari. Sejak pukul dua sampai empat pagi. Aku membayangkan kelelahan gedung beton dan aspal yang harus menyaksikan kegaduhan manusia. Tapi untuk apa repot-repot bersimpati pada gedung dan aspal? Manusia memang biang gaduh. Kalau manusia tidak gaduh, manusia bukanlah manusia.Tapi tak kusangka aku—sebagai manusia—juga termasuk salah satu yang membuat kegaduhan. Di rumah Sandra, melompati atau melangkahi sandaran sofa untuk kemudian merebahkan diri di atas sofa ternyata merupakan hal ilegal. Tingkahku itu membuatku diburu. Junko dan Max berlomba-lomba menebas kepalaku, tapi aku melesat menuju kamar Max dan terus berkelit sampai akhirnya kalah di depan anak tangga pertama menuju lantai dua. Max mengunci tanganku di punggung lalu menggiringku bersama Junko ke ruang tengah lantai dua.Tirai berat kamar Bree diturunkan. Artinya dia ada
Aku dirawat di rumah sakit selama dua hari. Yuda tak mengatakan apa pun pada siapa pun. Bree tak mengatakan apa pun pada siapa pun. Hanya ada aku dan Yuda di parkiran seluas itu saat perkelahian itu berlangsung sehingga tak ada saksi mata lainnya. Kata Sandra, mengherankan betapa Bree bersikap sekalem ini menghadapi pengeroyokan terhadapku. Tapi berbeda dengan semua orang, Bree, walau tak melihat, tahu apa yang terjadi. Utangku pada Yuda sudah terbayarkan atau belum, aku juga tidak tahu. Pasalnya, aku merasa hanya berutang informasi bahwa aku tahu. Dan aksi penggebukan itu kumaksudkan sebagai pelunasan utang. Bonus pelunasan utang. Sekarang, seharusnya utangku telah terbayarkan. Tapi, kalau ditelaah lebih jauh, aku juga berutang waktu kepadanya, sesuatu yang takkan pernah berhasil kubayarkan dengan tuntas. Begitu siuman, aku dibawa pulang. Administrasi rumah sakit diselesaikan, keluargaku tak diberi kabar, sesuai pesanku pada
Pertanyaan terakhir Edy padaku sebelum terbang ke Belanda adalah, "Apakah ada alasan lain mengapa kau membenciku?" Bree menolehku, Edy menatapku, aku berdiri termangu-mangu beberapa detik, mencari-cari di antara serabut otakku, liku urat, dinding daging lembek, tapi aku yakin bahwa jawabannya hanya mentok sampai pertanyaannya saja. Aku pun menggeleng. Edy dan Bree saling mengangguk. Dan kemudian Edy pun pergi.Dua malam setelahnya, kami mengadakan perombakan besar-besaran pada kamar tamu di lantai satu rumah Bree karena aku tidak lagi tinggal sebagai penumpang, melainkan sebagai anggota tetap keluarga mereka. Terlepas dari ada atau tidaknya hubungan romantis dengan Bree, kini aku resmi menjadi anak kesayangan Sandra. Lemari lapuk dikeluarkan dari kamar seluas 12m² tersebut, diganti dengan walk-in closet yang kudesain secara darurat. Dinding di sebelah lemari kupajangi lukisan-lukisan abstrak geometris. Cetakan jernih lukisan Broadway Boogie
Aku menuruti penuturan Olaf. Sertai keterpurukannya sampai dia sadar aku ada di sana untuknya, menemaninya. Berbelit di sekitarnya, lakukan dengan mulus, tapi jangan intens. Sebab, Olaf ingin aku menjadi satu dari orang-orang yang cukup dipercayainya, dan bukan orang yang paling dipercayainya. Merunut cerita Victor tentang bagaimana Yuda melibatkan Mike dalam urusan privasinya, kata Olaf, Yuda pastilah orang yang mudah memercayai hampir siapa pun. Dia tepat dijuluki ekstrover putus asa. Begitu ingin bergabung dalam keramaian, tapi tak tahu bagaimana caranya membaurkan diri.Jadi dalam sebulan terakhir, aku, yang biasanya menghindari Yuda, berlaku sebaliknya. Dalam kerja-kerja kelompok, aku menyertakannya. Aku juga mengajaknya (kalau sempat melakukannya sebelum kelas pagi dimulai) sarapan dan makan siang. Dan kuceramahi pula dia tentang kelas-kelas semester lalu yang harus diulanginya pada semester ini.Dan aku, merasa sangat berkebalika
Tubuh kebal Edy siap menjalani bertahun-tahun kembali tanpa diserang penyakit. Dia tampak lebih kuat setelah memutuskan untuk turun kasur permanen. Kami mencopot seluruh kain kotor berikut gorden, kasur, sampul bantal, selimut, pakaian apak yang terlalu lama digantung di lemari dari kamarnya, dan membawanya ke penatu terdekat. Pada bulan Februari, saat libur semester ganjilku berakhir, kampus Edy baru menjatah libur. Durasi libur itulah yang dipergunakannya sebaik mungkin untuk mengurus kelengkapan dokumen pengunduran diri dari kampus karena ternyata kabar dari Bree benar adanya: Edy memutuskan untuk pindah ke Belanda selamanya, meninggalkanku sebatang kara di sini sampai lulus kuliah. Mama masih agak khawatir padanya sehingga mengutusku untuk menemani Edy mengurus hampir segala keperluannya dan Edy, tampak sama sekali, tak keberatan. Mirip seperti dulu, yang baru saja dikatakan Reza beberapa waktu lalu. Aku mengikuti Edy ke mana pun
"Seharusnya memang begitu." "Tapi, katanya mustahil ada perempuan seperti aku. Sungguh, aku menahan diri untuk tidak bertanya seperti aku itu sebenarnya seperti apa? Dan demi mencegah berbagai macam spekulasi ngawur, seperti misalnya aku ini transgender atau lesbian atau disuntik hormon testosteron, kubilang saja kenapa mustahil kalau aku adalah bukti yang duduk di hadapanmu?Dan, yah, katanya, benar juga. Lalu kami mulai membicarakanmu." "Kalian tertawa-tawa. Sepertinya menertawakanku?" "Edward bilang kau belum bisa cuci pantat sendiri setelah buang air besar sampai kelas satu." Aku mulai mengerang. Bree tertawa dengan penuh kemenangan mendapati cerita itu ternyata benar. Dan memang benar. Dan juga memalukan. "Rambutmu dulu sulit sekali tumbuhnya. Mereka sudah membaluri minyak kemiri, gel lidah buaya, pasta bawang merah, dan segalanya, tapi rambutmu tumbuh dengan lambat. Dan ternyata
Aku dan Bree menyetir Jeep ke rumah Hyunji pada pukul sepuluh malam kurang dua belas menit karena perjalanan dari Dalung ke Canggu tidak memakan waktu lebih dari dua puluh menit. Seandainya kami terlambat, keterlambatan itu terletak dalam rentang waktu yang relatif bisa dimaafkan—lima menit? Tujuh? Sepuluh? Aman. Pokoknya, selama Hyunji tidak menganut idealisme hidup ala orang Jepang yang disiplin waktu, semuanya akan baik-baik saja. Mesin bermotor yang punya badan besi hitam tinggi-besar sempurna seperti raksasa ini menyorotkan lampu jauhnya pada jangkauan jalan-jalan tergelap di Canggu. Asap debu mengepul di sepanjang tongkat cahaya kekuningan lampu sorot yang bentuknya membesar di kejauhan, tempat kami bisa mengamati alam Indonesia yang liar dan lebih menyerupai alam yang sesungguhnya. Alam yang tak terjamah manusia dengan pelepah pohon kelapa setinggi lima meter yang tumbuh dari balik pembatas besi melingkar di tikungan jalan yang diterangi oleh lam
Setelah proses lepas landas selesai, Bree kembali menawariku permen karet mentol—yang kutolak dengan menggeleng—sambil menjabarkan seluruh kiat untuk menyukseskan ED Education. Katanya, dia harus berpikir cerdas untuk membagi waktu antara menyelesaikan skripsi dengan mengorganisasi bimbingan belajar rintisannya tersebut. Paling tidak, dia harus bisa mengejar kuota wisudawan bulan Maret. Di bulan itu, ED Education menargetkan sudah mendidik sekitar lima belas murid. "Dan tahukah kau bagian paling kacau dari semua ini?" "Apa?" tanyaku. "Promosi." "Kenapa dengan promosi? Kau bisa saja menyewa jasa orang untuk melakukannya." "Benar. Kok tidak kepikiran, ya?" Bree mengernyit, berpikir secara mendalam sampai akhirnya kembali menolehku. "Aku merasa payah dengan media sosial. Tapi baiklah. Aku akan menuruti saranmu." Kemudian, aku memikirkannya. Tentang menetap di Bel
"Bukankah kau harus mengambil semua barang-barangmu dari sana?" Aku masih merasa bingung. Bree mengangkat alis dan mencebik ketika melihatku menelengkan kepala. "Untuk memperbaiki hubunganmu dengan kakakmu, hal pertama yang harus kaulakukan adalah tinggal bersamanya, benar?" Barulah aku mengerti. Tapi, sayangnya, kini aku tahu Breelah yang tidak mengerti. Ada hal-hal yang tidak diketahuinya, yang tidak terlalu senang kubagi dengannya menyangkut persaudaraanku yang rusak dengan Edy. Salah satunya adalah ketakutan tidak mendasarku kembali ditinju Edy. Padahal, akulah yang mulai mengangkat tangan padanya, tapi ketika Edy membalas hanya demi melindungi dirinya sendiri dari terkamanku, aku malah merasa sedang dikeroyok, dihina, dipermalukan, dan disingkirkan. Kau tidak perlu merasa dirimu orang asing sehingga pantas disingkirkan, kata Olaf pada sesi konseling pertama kami. Dia benar. Seharusnya aku berhenti merasa begitu.
Kereta selanjutnya dari Leiden menuju Belgia berangkat pukul 18.15. May dan Jeremy segera berpamitan tepat pada pukul setengah enam sore. Mereka berkata akan mencari bus menuju Leiden tapi Papa mengoper kunci mobil padaku dan diam-diam memintaku mengeluarkan mobil dari garasi. Masalah membujuk, serahkan saja pada Bree. Dan begitu mobil siap di depan rumah, May dan Jeremy terbukti telah termakan bujuk rayu Bree. Tentu saja harus Bree karena baik Mama maupun Papa bukan merupakan orang yang tepat melakukan segala daya upaya persuasif. Perjalanan menuju Leiden menggunakan mobil memakan waktu delapan belas menit karena Papa yang menyetir. Setidaknya, kami memangkas waktu lima menit dari biasanya (kalau yang menyetir adalah orang selain Papa). May dan Jeremy segera turun di depan fasad kerangka besi Stasiun Leiden Centraal. Kebetulan, tidak banyak kendaraan yang mengantar pengunjung ke stasiun sore ini sehingga dalam satu lompatan lincah, May mengetu