Home / Romansa / Ei-Bree My Betelgeuse / 7 - Mengunjungi Jotunheim

Share

7 - Mengunjungi Jotunheim

last update Last Updated: 2021-08-24 22:22:19

Pesan dari Amelia Hyunji masuk pukul delapan pagi, dua hari setelah aku berunding dengan Max, saat aku sedang belanja keperluan mandi di minimarket. Restoran yang dia pesan terletak di dekat kampus Udayana Sudirman. Dia memintaku, jika tidak keberatan, untuk hadir pukul sepuluh pagi dengan rekanku pada hari Sabtu. Aku meminta tanggapan Max untuk kesediaannya menghadiri meeting pertama kami. Max menawar paling lambat hanya sampai pukul satu siang untuk hari Sabtu, dan kalau bersikeras pukul sepuluh pagi sampai waktu yang tidak ditentukan, harinya harus dipindah antara Kamis dan Minggu.

Kami bertiga sepakat Minggu pagi. Sekarang masih hari Rabu. Aku mencuci sepatu (kalau kutaruh di penatu, robeknya bakal bertambah lebar) selama tiga puluh menit, membuat uitsmijter dan makan sendirian sampai pukul sepuluh pagi.

Dulu, sebelum Mama memutuskan untuk menemani Papa tinggal di Belanda lebih lama, kami menempati rumah satu lantai berhalaman luas yang memiliki paviliun dua lantai. Kami menaruh meja makan rendah seperti milik orang Jepang di lantai dua yang tak beratap dan seringkali menikmati makan malam bersama di sana. Kami melakukan estafet untuk memindahkan makanan dari dapur dalam rumah ke paviliun. Aku akan berdiri di pertengahan jalan batu di halaman rumah dan menunggu makanan dioperkan Papa, lalu aku mengopernya pada Edy di dasar tangga yang akan membawa makanan itu ke lantai dua.

Dia begitu kuat. Dia tidak banyak bicara tapi selalu menggendongku di bahunya. Dia menemaniku makan di lantai dua paviliun saat aku terbangun kelaparan pukul sebelas malam. Dia menepuk bokongku sampai aku ketiduran di atas kasurnya.

Dia juga yang memaksaku untuk berkhianat.

Aku mencuci piring dan segera saja berharap ada jasa cuci piring yang bersedia datang untuk menyingkirkan kotoran dari: satu gelas, satu sendok, dan satu piring. Edy berada di yang pintunya selalu ditutup sampai mendekati jam kerjanya. Kalau dia keluar dari kamarnya, aku akan masuk ke kamarku. Kami menghindari obrolan, rasanya lebih adil dan nyaman.

Sampai sekarang dia tidak mengatakan apa pun tentang Amelia Hyunji dan aku juga tidak bertanya. Aku mematikan TV dan masuk ke kamar meski Edy belum keluar dari kamarnya, duduk di meja gambar kaca yang kupesan dari toko furnitur dan seni di Seminyak. Bacaanku habis. Aku bisa saja membaca ulang buku-buku yang kuletakkan dalam nakas, tapi merasa seharusnya aku mengerahkan waktu itu untuk membaca buku-buku baru. Seandainya saja aku berada di tempat yang memiliki banyak buku… Seperti, misalnya, rumah Gesa-

Pergilah ke perpusda, Thomas.

May, perpusda tidak memiliki The Divine Matrix.

Minta pada Junko, bukan Gesa.

Itu benar. Dan May, aku tidak berkhianat. Tapi aku benar-benar harus pergi ke rumah Junko sekarang karena pameran obral buku belum akan buka sampai buku-buku bekas atau reject terkumpul setinggi tembok Asgard dan sepadat struktur berlian. Musim pameran buku adalah bulan Juli sampai Agustus, saat murid-murid kembali ke sekolah, atau menjelang akhir tahun.

Sebentar lagi bulan Juli.

Kau tidak muncul sesering ini biasanya.

Kau mulai bertingkah tidak biasa.

Aku digerayangi kecurigaan. Seketika berdiri untuk menghampiri nakas dan meraup handphone. Ada tujuh belas panggilan tak terjawab dari Sylvia sejak pukul delapan pagi. Dia mengirim pesan di seluruh media sosial dan juga email-ku. Tapi Sylvia Malore bisa menunggu karena… Mungkin saja May tidak lagi melakukannya.

Kau menuduhku.

Mungkin saja May memutuskan untuk berhenti.

May itu aku.

Telepon tersambung. Mamalah yang mengangkatnya. Suaranya mirip Cardi B, menyambutku dengan riang dan penuh gaya. Bahasa Belandanya beraksen Indonesia. Aku kini menjadi sangat merindukannya. Kami membicarakan tentang rencana kepindahanku ke Belanda, kapan pun aku siap, mereka akan mengatur agar rumah Opa dan Oma muat untukku. Tapi aku tidak mau pergi ke sana sebelum merasa siap.

Inilah bagian yang paling kutunggu setelah mengungkapkan kerinduanku pada Mama. "Teman gadisku masih sering mengunjungimu, Ma?" tanyaku dalam bahasa Indonesia.

Awalnya Mama mencoba menjawab dalam bahasa Belanda, tapi setelah mendapatkan banyak pembenahan gramatika dariku, Mama akhirnya lebih memilih kembali pada bahasa ibunya. "Masih. Baru sekitar empat hari lalu dia membawakanku cetakan waffle dari Brussel. Dia berharap kami bisa membuat waffle dan sirop maple bersama saat salju pertama turun di Eropa. Dia akan naik kereta api untuk sampai ke Lissebersama pacarnya."

Kaulah yang telah mengkhianatiku.

Tak akan, kalau kau tak memulainya.

Rahangku mengatup dengan keras sampai aku bisa merasakan pipiku berdenyut. "Pacar," ucapku dengan gigi tertutup rapat.

"Pria Belgia keturunan Italia. Alisnya bagus, Thomas. Kita pernah membicarakan tentang jembatan Ampera yang lurus dan tegas. Nah, seperti itulah alisnya. Dan wajahnya? Kau tahu? Kau pasti akan setuju kalau kukatakan dia mirip anak ayam paling kuning dalam sebuah kandang, yang artinya paling lucu dan manis. Dan, Thomas, walau manis, dia punya berewok!"

Ah, itukah alasanmu, May? Kau berpaling dariku demi jenggot?

Berewok, Thomas. Demi Tuhan, memangnya kenapa?

Karena aku tidak memiliki bakal jenggot atau apa pun. Aku tak akan peduli lagi apa katamu. Kau meninggalkanku. Aku akan mencari Gesa. Dan kau akan menyesal telah meninggalkanku.

Gesa? Bukankah itu hanya alasanmu? Kau pandai sekali berkilah.

Aku meraih hoodie hitam dari gantungan di belakang pintu dan kembali pada handphone yang kuletakkan di atas nakas. "Seleranya selalu bagus," kataku pada Mama.

Kau bilang saat salju pertama turun di Eropa, huh? Kau akan mendapatkan waffle-mu, May. Kau akan dapatkan aku di balik pintu rumah papaku saat itu.

"Aku setuju."

"Ma, aku harus meminjam buku di rumah temanku. Bulan depan kirimi aku uang, oke? Akan ada pameran obral buku. Aku mau belanja buku-buku penting."

"Kau selalu lebih mementingkan buku di atas segalanya."

"Semua orang punya tempat pelariannya masing-masing."

.

Gerbang menganga lebar. Aku memarkir motor di garasi rumah Gesa. Sebuah mobil melintas di depan rumahnya dan memutuskan untuk berhenti. Aku terdiam di tangga teras ketika menyadari itu Chevroletnya Junko. Kaca jendela penumpang diturunkan. Suara Junko berteriak memanggil namaku. Aku berlari ke pintu penumpang di depan dan mengangkat daguku padanya. "Kau pikir kau mau ke mana? Aku mau pinjam buku."

"Buku-buku itu punya sertifikat kepemilikan," dia memutar bola mata. "Dan kau akan menemukan nama Bree di atasnya. Omong-omong tolong tutup gerbangnya, oke? Aku tadi lupa. Kalau kau mau pinjam buku, urusanmu dengan Bree. Dia ada di kamarnya. Kalau tirainya diturunkan, ketuk pintunya dengan keras. Kalau tirainya tidak diturunkan, aku takutnya dia sedang telanjang…" Junko terdiam sesaat. "Lebih baik kau gunakan telepon rumah yang terletak di atas meja kecil depan dinding kamar Max. Gunakan telepon itu untuk menghubungi Bree dan tanyakan, apakah dia sedang telanjang atau tidak."

"Aku bahkan tidak tahu yang mana kamar Max." Ada tiga kamar di lantai satu. Satu adalah kamar Sandra. Satu pintu di dekat dinding tangga, satu lagi di belakang sofa ruang tengah.

"Kalau begitu, temukan saja teleponnya di lantai satu. Dan jangan mencuri apa pun di rumahku. Apalagi kakakku." Junko meniupkan sebuah kecupan. Aku sedang bertanya-tanya apakah aku perlu tersinggung atau tidak.

"Kau mau ke mana?"

"Keliling Bali. Aku dan Rain memutuskan untuk bekerja sama membangun sebuah butik. Jadi kami harus melakukan riset besar-besaran mengunjungi butik di seluruh Bali. Jangan ajak aku bicara lama-lama di atas jalan, Tom. Dah!"

Maka aku menuruti perintahnya. Gerbang sudah. Sekarang gagang telepon menempel di telingaku. Ada buku telepon kecil di atas meja. Dan di halaman ketiganya tertulis jelas dalam huruf kapital tebal HANDPHONE BREE - 0831xxxxxxxx.

Ke mana perginya Max? Apa di dalam rumah berlantai dua yang punya lima kamar dan tiga teras ini hanya ada Gesa saja? Sepertinya kenyataan itu tidak baik untukku. Bagi dahiku yang kini merasa panas tak terkendali sementara tanganku yang menggenggam telepon membeku. Kami akan berduaan saja.

"Berandalan. Aku sudah pakai baju. Apa maumu? Kau mau keliling Bali sudah kuizinkan, Penguasa Bedak."

"Atas izinmu, dia sudah berangkat."

Hening. Setelah tiga detik, "Ada tamu? Sebentar. Aku akan pergi ke bawah."

"Ini Thomas. Kalau kau sudah pakai baju, bolehkah aku naik ke atas?" Betapa menyenangkannya ada cewek yang selalu telanjang di rumahnya.

"Oh, Thomas!" Dia berseru. Benar-benar berseru. Lalu tertawa. "Aku agak bermusuhan dengan kain, jadi… Baiklah. Kita harus membuatkanmu minuman terlebih dahulu di dapur. Setelah itu kita akan naik ke lantai dua." Sambungan terputus. Aku menaruh gagang telepon kembali dan menutup buku telepon bertuliskan make ur contacts stay longer dalam tinta emas di sampul berwarna putih gadingnya.

Pintu kamar Max terbuka. Pada saat rumah ini benar-benar sepi pengunjung, aku melihat sisi lain yang benar-benar berbeda. Mereka yang kelihatannya selalu keren ternyata hanyalah manusia biasa. Selimut Batman belum dilipat padahal ini sudah hampir pukul dua belas siang. Di atasnya ada kaus berwarna abu-abu yang lecek. Di bawah selimut yang setengah menggantung dari kasur itu, di atas lantai, sebuah botol soda tanpa tutup tergeletak miring tak berdaya. Untungnya botol itu sudah kosong. Laptop silver diletakkan secara serampangan di atas bantal.

Debum kaki terdengar di tangga, aku bergerak menjauhi pintu kamar Max ke arah sofa yang… Sepertinya baru saja menangani sebuah jamuan kecil. Tray kayu bulat besar dibanjiri cairan berwarna cokelat susu. Dua cangkir kosong menganga di atasnya, seperti mulut yang kehausan. Bunga seruni yang belum diganti mulai kelihatan layu dan aku merasa takjub—wow, ternyata itu bunga sungguhan.

"Hi!" sapa Gesa. Berdiri tegak di jalan menuju dapur seorang perempuan jangkung yang ternyata sangat malas memakai pakaian. Dia sepertinya hanya asal-asalan menempelkan karung goni di badan langsingnya. Dan memutuskan paduan terbaik untuk karung goni itu adalah celana tenis wanita yang warnanya seperti baguette. "Selamat datang di… Eh," dia melirik ke sekitar dan agaknya merasa terkejut. "Ada yang menyentuh mesinku." Matanya seketika mendelik. Gesa berlari menghampiri mesin espresso yang memendarkan lampu biru pada kolom digitalnya.

Bahunya seketika melunglai. Tangannya terentang di dekat kolom digital biru yang menunjukkan angka suhu sementara tangan satunya lagi berkacak pinggang. "Dasar para Raksasa! Seharusnya mereka tinggal di Jotunheim! Ini Asgardku!"

"Kabar baik!" Aku memekik. Dia menoleh ketika aku menunjuk seluruh lantai di rumahnya. "Tidak ada kotoran hewan yang harus ditutupi alang-alang di sini."

"Terimakasih, Tuhan. Kau memberikan hati yang murni pada keluargaku."

"Kita akan membersihkannya?"

"Kita?" Gesa melangkah sampai perut ratanya membentur tepian meja keramik. "Mamaku tidak bakal membiarkan telingaku tetap dua kalau seorang tamu ikut bersih-bersih di rumahnya."

"Nah," aku melesat ke dalam dapurnya dan mencari-cari kain lap, yang kutemukan banyak sekali bergelantungan di dalam lemari dinding. Aku melirik Gesa dan menunjuk koleksi lap itu dengan rahangku. "Tolong, dong. Aku tidak sampai."

Agaknya dia berusaha menahan senyum sambil menyilangkan tangannya di bawah tempat payudara seharusnya berada. "Bilang dulu kau mau apa."

"Karena aku selalu kepingin memiliki adik semanis Junko… Kini aku bagian dari keluarga Edrei!"

"Edrei itu nama ayahku."

Lalu kenapa Sandra sudi menamai tempat bisnisnya Edrei Beauty?

"Keluarga Sandra," ralatku.

Dia menimbang-nimbang. "Kedengaran lebih benar."

Jadi kami membagi tugas. Karena Gesa ternyata menyarankan orang lain tidak menyentuh mesinnya, apalagi tanpa sepengetahuan atau pengawasannya, aku mendapat bagian membersihkan area ruang tengah lantai satu sementara dia mensterilkan kandang piringnya sampai kembali seperti sebuah dapur. Dan itu tugas berat karena dia harus menyusun ulang saucer dan cangkir di atas mesin espresso-nya, mengembalikan stoples bahan-bahan dapur sesuai urutan yang benar, mencuci peralatan makan—hal yang paling kubenci adalah mencuci sesuatu, termasuk diriku sendiri—mengumpulkan sampah dalam keranjang sampah beralaskan kantung plastik, mengosongkan sampah itu ke tong sampah besar di depan rumah, mengelap noda (yang jumlahnya berlimpah) di semua permukaan meja di dapur, dan akhirnya mengepel seluruh lantai.

Setelah selesai, kami melemparkan bokong ke atas sofa bersama-sama. Melihat leher dan dahinya mengilap karena keringat dari jarak tidak mungkin lebih dari lima puluh sentimeter seperti ini menimbulkan kesan intim. Kepalanya dan kepalaku tergeletak tak berdaya di atas sandaran sofa. Aku sudah sejak tadi memandanginya. Lehernya bergulir sehingga wajahnya yang tadi menghadap langit-langit putih kini menghadapku. Bibir tebalnya kelihatan seksi luar biasa hari ini. Kebetulan sekali bibir itu terbuka. Aku menelan ludah. Dia kembali menghadap langit-langit dan matanya perlahan terpejam.

Lalu dia tertawa. Aku terbius tawanya. Kami terbahak-bahak sambil memukuli sofa. "Keluargaku mengerjaiku."

"Aku punya sayap malaikat di punggungku." 

Begitu tawa kami reda, dia menghela napas sangat dalam. "Kau tahu? Tidak ada satu pun dari keluargaku yang memanggilku Gesa."

"Apa artinya Bree—nama panggilan mereka untukmu?"

Di puncak sofanya, Gesa kembali tertawa. "Kau berpikir mereka yang memilihkan nama panggilan itu untukku." Aku mengangguk. Dia tidak melihatku, tapi pasti merasakannya karena dia melanjutkan, "Padahal tidak. Aku bisa mengucapkan huruf R dengan jelas sejak umur empat tahun. Saat itulah mereka memintaku mengeja namaku sendiri. Ge-sa Ed-ree. Tapi aku mengucapkannya begini." Punggungnya tegak dan kini tubuhnya dihadapkan padaku. Kedua telapak tangannya terarah lurus dan digerakkannya berpindah-pindah dari kiri ke kanan sesuai irama ejaannya. "Ge-sa Ei-Bree."

"Kenapa kau melakukan itu? Edree dan Eibree adalah dua kata yang sama sekali berbeda."

"Kenapa aku melakukan itu bagaimana aku tahu? Mereka bilang cara membacanya adalah Ei-Bree. Dan aku mengulanginya. Mereka malah menertawaiku. Katanya yang benar adalah Ed-Ree. Dan aku bilang mereka bohong. Tadi mereka bilang Ei-Bree bukan Ed-Ree."

Bersikeras sekali. Bagaimana wujud gadis berusia empat tahun yang menuduh keluarganya salah padahal jelas-jelas dialah yang salah mendengar ejaan namanya sendiri? Aku akan sangat bersenang hati jika dia memberiku album yang memuat foto-foto kecilnya.

Kau menyukainya, Thomas. Berengsek.

Hari ini kau diam, Pengkhianat. Nikmatilah pacar berewokmu itu.

Kau yang memulainya…

Diam.

"Tibalah waktunya! Coffee time!" Gesa mendorong tubuhnya dari kursi dan berdiri. Aku ikut berdiri. "Apa permintaanmu?"

"Es boleh?"

"Es?" Gesa menelengkan kepalanya. "Seperti es krim?" Dia berpikir sejenak. Saat dia berbicara, kami mengatakannya serempak. "Ide bagus."

Tapi aku lalu menjelaskan. "Sebenarnya maksudku minuman dingin. Misalnya moccachino ice."

"Kita buat keduanya. Aku punya gelatin dan freezer di kulkasku lumayan bagus."

Tadinya kupikir aku akan berperan sebagai penonton seperti ketika dia membuatkanku moccachino. Tapi ternyata aku harus membuat whipped cream sementara dia membuat moccachino. Kaleng whipped cream di kulkasnya kosong. Waktu tombol ditekan, terciprat gas dan sisa-sisa whipped cream. Keadaan kaleng itu menyedihkan. Jadi aku mengolah adonan whipped cream berdasarkan resepnya. Katanya, "Kita butuh SP, tapi karena ternyata aku juga tidak punya SP keparat, ya sudah persetan. Kita kini hanya mengandalkan kepercayaan diriku yang tinggi."

"Kau sebenarnya bisa membuat es krim atau tidak?"

"Aku lupa aku bisa membuat es krim atau tidak," katanya sambil mengeluarkan mixer dari lemari dinding di atas bak cuci piring. "Kita akan menggunakan mixer untuk mencampur adonannya supaya lebih lembut karena tidak ada SP. Entah berfungsi atau tidak. Aku tidak mengambil jasa boga selama sekolah, jadi kalau tidak dicoba, kita tidak akan pernah tahu."

Dia pun mencampurkan moccachino ke dalam whipped cream buatan dan menyerang adonan es krim itu dengan mixer. "Sepertinya kau tidak bisa menggunakan mixer," kataku.

"Benar. Mamalah yang menggunakan mixer."

Akhirnya kami pasrah. Dapur yang sempat rapi dan layak huni kini berubah jadi ladang noda berwarna cokelat yang menciprati barang-barang di dekat meja bar dan meja keramik. Adonan yang tadi memenuhi setengah baskom kini hanya tersisa seperempat bagian baskom. Dia menertawai kekonyolannya sendiri dan memintaku sebaik mungkin merahasiakan kiamat kecil di dapurnya hari ini.

Sampai akhirnya kami meletakkan adonan es krim—yang kuragukan layak dikonsumsi—ke dalam kontainer plastik dan memasukkannya ke dalam freezer.

"Berapa jam?" tanyaku.

Dia mengangkat pergelangan tangannya yang dilapisi bekas arloji. "Arlojiku di kamar rupanya. Pukul berapa ini?"

Aku mengeluarkan handphone. "Satu lebih empat puluh tiga."

"Nah. Kita coba periksa pukul empat lebih empat puluh tiga."

Kami merapikan kembali dapurnya dan akhirnya naik ke lantai dua. "Apa yang kau butuhkan?" tanyanya di ruang tangga.

"Buku. Aku kemari untuk membaca buku. Dan ternyata..." Aku merasa lelah. Di puncak tangga, aku bersandar pada dinding kamar mandi dan bernapas pendek-pendek. Bukan karena mendaki tangga yang tak seberapa tinggi ini aku kelelahan tapi pasti karena bersih-bersih dan berdiri terus-menerus selama beberapa puluh menit di dapurnya. Gesa menoleh ke belakang dan tertawa.

"Sebentar," kataku. "Terakhir kali aku berolahraga, bumi ini masih diselimuti batu pijar yang sebutannya adalah Zaman Hadean."

"Terakhir kali aku berolahraga, langit masih dikuasai oleh Pterosaurus."

"Kalau begitu aku kalah. Setidaknya kau olahraga sekitar tujuh puluh enam juta tahun lalu."

"Benar. Mau kugendong?"

"Kemarilah." Aku merentangkan tangan.

"Dasar Bayi Moccachino." Tapi dia menurutiku. Membungkuk dan mengayunkan tangannya ke belakang di depanku, bersiap menangkap tubuhku.

Aku tertawa, menepuk-nepuk punggungnya, dan menjauhkan punggungku dari dinding kamar mandi, tapi tidak naik ke punggungnya, malah memutar ke hadapannya. "Jadi kau serius soal menganggapku adik manismu?"

Karena rasanya sungguh tidak benar. Bukan dekat seperti itu yang kumau.

Related chapters

  • Ei-Bree My Betelgeuse   8 - Dia Seperti Renée

    "Tidak sepenuhnya benar. Tapi kau diterima dalam keluarga Sandra. Itulah sebabnya sebenarnya sejak tadi aku ingin menyuruhmu memanggilku Bree dan bukannya Gesa."Kenyataannya adalah aku tidak pernah menyebut namanya saat berbicara dengannya. Sebelum aku sempat menatap lama-lama matanya yang mirip batu pijar pada zaman Hadean, dia melenggang menuju rak buku dan berdengung panjang di depannya. "Kau mau di luar matematika atau di dalamnya?"Aku berdiri di sebelahnya dan mengulurkan tangan untuk menyentuh sebuah punggung buku berwarna marun. Tapi kemudian teringat sesuatu. "Bolehkah aku menyentuh ini?""Sebenarnya kau boleh menyentuh apa pun. Aku hanya galak terhadap mesin espresso."Judulnya Kemolekan Landa karangan Muriel Barbery. Aku membalik buku dan membaca blurb di sampul belakang."Sebuah novel terjemahan dari bahasa Perancis yang sangat sulit diucapkan.

    Last Updated : 2021-08-25
  • Ei-Bree My Betelgeuse   9 - Dia dan Depresinya

    Sesuai kesepakatan kami bertiga, waktuku untuk mendesain rumah tinggal Hyunji hanyalah dua minggu, sudah termasuk semua revisi yang kemungkinan besar akan banyak sekali. Tapi Hyunji menawariku untuk membuat desain tersebut di rumah sewaannya. Empat belas hari dalam dua minggu. Selama dia mengajar di kampus, aku boleh menggunakan fasilitas di rumah itu. Termasuk mandi, memasak, mencuci baju, menjemur, dan menginap.Aku memanfaatkan fasilitas itu sebaik-baiknya. Selain karena semua fasilitas dan jaminan yang kudapatkan, aku jadi lebih mudah mengamati kebiasaan Hyunji selama seharian. Sifatnya secara langsung memengaruhi warna kesukaannya, abu-abu tua dan biru matanya. Perpaduan dua warna tersebut harus dimaksimalkan tanpa kesan paksaan. Hyunji juga menginginkan pencahayaan alami sehingga aku merancangkan jendela minimalis layar lipat atau yang biasa disebut dengan folding screen di bagian ruangan yang akan menghadap ke sebuah taman.

    Last Updated : 2021-08-26
  • Ei-Bree My Betelgeuse   10 - Lemari Ekstra di Rumah Orang Lain

    Terpaksa aku membawanya pulang ke rumahku. Gerald tidak mungkin membawa temannya yang mabuk pulang ke rumah. Dia punya adik perempuan berumur delapan tahun yang merupakan permata keluarga, yang membuat semua masalah kecil yang diprakarsai adiknya dilimpahkan sebagai kesalahannya. Gerald merasa cukup dengan semua masalah itu, tidak perlu menambah masalah baru.Mengantar Yuda pulang ke rumahnya juga tidak mungkin. Aku bisa gila jika harus bertemu Marilyn Monroe dan adiknya Yuda.Lampu rumahku mati. Aku keluar mobil lebih dulu untuk membuka pintu rumah, kemudian kembali ke mobil untuk menggotong tubuh tegap Yuda masuk ke rumah bersama Gerald. Pintu kamar Edy tertutup saat aku melewatinya. Tidak ada suara apa pun, begitu hening sampai membuat telingaku berdengung. Aku dan Gerald membaringkan Yuda di atas seprai lecek kasurku. Aku selalu berpikir sudah membersihkan kamarku saat akan meninggalkan rumah, tapi ternyata itu hanyalah angan-angank

    Last Updated : 2021-08-27
  • Ei-Bree My Betelgeuse   11 - Sehari Bersama Si Kutu Buku

    "Selamat malam. Mohon maaf, saya tidak terbiasa mengangkat panggilan masuk di atas pukul sebelas malam dari nomor tidak dikenal. Saya Gesa Edrei, sebelum melanjutkan, saya perlu tahu sedang bicara dengan siapa saat ini."Aku menahan napas. "Bre," panggilku, melarutkan aksen Belanda dalam namanya.Lama Bree terdiam sebelum mendesahkan senyuman. "Di mana aku bisa mencarimu besok?""Uluwatu.""Kau berada jauh sekali dari rumahmu.""Yuda bilang kau mencariku.""Ya. Bukankah kita membuat rencana untuk mendatangi pameran buku obral setiap hari sampai puas?"Aku tersenyum, membayangkan jemariku meraba lajur pipinya dari mata menuju bibirnya yang seperti buah persik dan disergap perasaan yakin bahwa dialah perempuan yang benar. May dalam kepalaku hanyalah sebuah suara, Sylvia hanyalah rekan untuk bersenang-senang, Hyunji hanyalah persinggahan sementara. Ba

    Last Updated : 2021-08-29
  • Ei-Bree My Betelgeuse   12 - Daftar Kemustahilan

    Desain itu sudah kuselesaikan dan sedang berada dalam tahap revisi terakhir di tangan Max. Aku tetap harus mempelajari salinan revisinya, baik dalam bentuk 2D maupun 3D, tapi Max memberitahuku bahwa desain bentuk 3Dku jauh lebih baik daripada yang dia bayangkan sehingga revisinya tidak banyak.Kesibukan Max di tanah Canggu pun dimulai. Sesekali, pada rutinitas yang sudah kami rencanakan, aku harus mengawasi jalannya pembangunan untuk memeriksa apakah semuanya sesuai dengan maksud dan tujuan desainku. Tapi selain pengawasan rutin itu, selebihnya, aku dibebastugaskan. Lagipula, sebenarnya aku hanya drafter. Kerjaku di proyek ini hanya menggambar. Jika desainnya sudah sesuai dengan keinginan user dan apa yang Max perintahkan padaku, selesai sudah.Beberapa kali aku mempertimbangkan untuk menghubungi Bree. Tapi aneh rasanya mengangkat handphone untuk menghubungi perempuan selain ibu dan nenekku padahal aku ada di

    Last Updated : 2021-08-30
  • Ei-Bree My Betelgeuse   13 - Merancang Malam

    Jumat malam di bulan September awal, tepat setelah aku menyelesaikan tugas menganalisis sebuah tapak, Sylvia mengirimiku pesan yang bersifat genting.Angkat teleponku. Ini telepon paling harus diangkat dari telepon-telepon harus diangkat lainnya.Handphone-ku berdering pada detik berikutnya. Hyunji sudah tertidur di kamar. Aku pergi ke sudut rumah, jauh dari kamarnya, berpikir untuk membuka pintu depan pelan-pelan tapi saat kusadari percakapan ini mungkin hanya akan terjadi secara satu arah—tentu dari pihak Sylvia—aku pun hanya bersandar pada pintu dan mulai mendengarkan."Ada pesta," dia memberitahu. "Besok di Uluwatu. Aku tidak akan menghadirinya, kau tahu? Karena Janet tidak akan datang. Tapi kupikir pesta bisa membangkitkan gairah seksualmu seperti dulu"—belakangan ini aku melakukannya secara berkala dengan Hyunji—"jadi aku ingin kau menghadiri pesta itu. Thomas, kau menden

    Last Updated : 2021-08-31
  • Ei-Bree My Betelgeuse   14 - Lumpuh di bawah Kusen Pintu

    Lia menginterupsi nostalgiaku yang payah. Gaun satin putih yang jatuh lurus di luar tubuhnya bergelombang ketika dia berlari kecil ke arahku. Lia lalu melompat ke sebelah kiriku dan langsung menjatuhkan kepalanya di bahuku. Manis, pikirku. Sulit beradaptasi, tapi sekalinya menemukan titik teraman, dia akan menjeratkan diri selamanya di sana."Kau terbiasa tidur di kamar yang dingin?" Aku merengkuh perut ratanya.Lia tersenyum, menolehku, menyusurkan ujung hidungnya di dekat bibirku dan mendusal daguku dengan dahi di balik poni bergelembungnya. "Kau kedinginan?" Suaranya seperti remah roti saat terpisah dari bagian utamanya: lembut, nyaris tak terdengar, dan kalaupun terdengar pasti bunyinya serenyah ini."Aku biasanya mudah kedinginan. Tapi sebenarnya ada cara lain untuk menghangatkan tubuh kita."Lia tertawa sampai lehernya terbusung ke depan. Aku langsung mencium bagian di bawah tonjolan le

    Last Updated : 2021-09-01
  • Ei-Bree My Betelgeuse   15 - Mendiami Atau Didiami?

    Sulit memungkiri semuanya berawal dari egosentrismeku. Bahwa kupikir segalanya bisa kulakukan dalam rangka menyenangkan diriku. Bahwa aku memang merindukan May dan walau tak bisa mencari duplikat kehangatan tubuhnya, setidaknya aku berada dalam rasa hangat. Detik itu juga aku mendapatkan segalanya. Pelampiasan nafsu, akomodasi, teman, dan kenyamanan. Entah itu dari Hyunji, Sylvia, atau pun perempuan lain yang kukenal dari pesta dan acara serupa.Daftarnya terus bertambah. Dan aku tidak pernah lelah.Lalu serentetan momen melambat, lentur tapi tidak pernah lenyap. Tersisalah diriku yang berusaha meloloskan diri dari momen-momen yang semakin lama terasa seperti hari murung yang mengitariku tanpa henti. Aku merasa semua orang bersalah. Mereka berperan dalam merusak kondisiku.Aku tetap pergi ke rumah Hyunji, menemaninya dalam diskusi soal pekerjaan atau hubungannya dengan keluarganya, menjadi 'teman malamnya', menunggunya

    Last Updated : 2021-09-02

Latest chapter

  • Ei-Bree My Betelgeuse   74 - Penyelamat

    Aku dirawat di rumah sakit selama dua hari. Yuda tak mengatakan apa pun pada siapa pun. Bree tak mengatakan apa pun pada siapa pun. Hanya ada aku dan Yuda di parkiran seluas itu saat perkelahian itu berlangsung sehingga tak ada saksi mata lainnya. Kata Sandra, mengherankan betapa Bree bersikap sekalem ini menghadapi pengeroyokan terhadapku. Tapi berbeda dengan semua orang, Bree, walau tak melihat, tahu apa yang terjadi. Utangku pada Yuda sudah terbayarkan atau belum, aku juga tidak tahu. Pasalnya, aku merasa hanya berutang informasi bahwa aku tahu. Dan aksi penggebukan itu kumaksudkan sebagai pelunasan utang. Bonus pelunasan utang. Sekarang, seharusnya utangku telah terbayarkan. Tapi, kalau ditelaah lebih jauh, aku juga berutang waktu kepadanya, sesuatu yang takkan pernah berhasil kubayarkan dengan tuntas. Begitu siuman, aku dibawa pulang. Administrasi rumah sakit diselesaikan, keluargaku tak diberi kabar, sesuai pesanku pada

  • Ei-Bree My Betelgeuse   73 - Kisah tentang Pengkhianatan Diakhiri

    Pertanyaan terakhir Edy padaku sebelum terbang ke Belanda adalah, "Apakah ada alasan lain mengapa kau membenciku?" Bree menolehku, Edy menatapku, aku berdiri termangu-mangu beberapa detik, mencari-cari di antara serabut otakku, liku urat, dinding daging lembek, tapi aku yakin bahwa jawabannya hanya mentok sampai pertanyaannya saja. Aku pun menggeleng. Edy dan Bree saling mengangguk. Dan kemudian Edy pun pergi.Dua malam setelahnya, kami mengadakan perombakan besar-besaran pada kamar tamu di lantai satu rumah Bree karena aku tidak lagi tinggal sebagai penumpang, melainkan sebagai anggota tetap keluarga mereka. Terlepas dari ada atau tidaknya hubungan romantis dengan Bree, kini aku resmi menjadi anak kesayangan Sandra. Lemari lapuk dikeluarkan dari kamar seluas 12m² tersebut, diganti dengan walk-in closet yang kudesain secara darurat. Dinding di sebelah lemari kupajangi lukisan-lukisan abstrak geometris. Cetakan jernih lukisan Broadway Boogie

  • Ei-Bree My Betelgeuse   72 - Privasi Individu

    Aku menuruti penuturan Olaf. Sertai keterpurukannya sampai dia sadar aku ada di sana untuknya, menemaninya. Berbelit di sekitarnya, lakukan dengan mulus, tapi jangan intens. Sebab, Olaf ingin aku menjadi satu dari orang-orang yang cukup dipercayainya, dan bukan orang yang paling dipercayainya. Merunut cerita Victor tentang bagaimana Yuda melibatkan Mike dalam urusan privasinya, kata Olaf, Yuda pastilah orang yang mudah memercayai hampir siapa pun. Dia tepat dijuluki ekstrover putus asa. Begitu ingin bergabung dalam keramaian, tapi tak tahu bagaimana caranya membaurkan diri.Jadi dalam sebulan terakhir, aku, yang biasanya menghindari Yuda, berlaku sebaliknya. Dalam kerja-kerja kelompok, aku menyertakannya. Aku juga mengajaknya (kalau sempat melakukannya sebelum kelas pagi dimulai) sarapan dan makan siang. Dan kuceramahi pula dia tentang kelas-kelas semester lalu yang harus diulanginya pada semester ini.Dan aku, merasa sangat berkebalika

  • Ei-Bree My Betelgeuse   71 - Sesolid Tungsten

    Tubuh kebal Edy siap menjalani bertahun-tahun kembali tanpa diserang penyakit. Dia tampak lebih kuat setelah memutuskan untuk turun kasur permanen. Kami mencopot seluruh kain kotor berikut gorden, kasur, sampul bantal, selimut, pakaian apak yang terlalu lama digantung di lemari dari kamarnya, dan membawanya ke penatu terdekat. Pada bulan Februari, saat libur semester ganjilku berakhir, kampus Edy baru menjatah libur. Durasi libur itulah yang dipergunakannya sebaik mungkin untuk mengurus kelengkapan dokumen pengunduran diri dari kampus karena ternyata kabar dari Bree benar adanya: Edy memutuskan untuk pindah ke Belanda selamanya, meninggalkanku sebatang kara di sini sampai lulus kuliah. Mama masih agak khawatir padanya sehingga mengutusku untuk menemani Edy mengurus hampir segala keperluannya dan Edy, tampak sama sekali, tak keberatan. Mirip seperti dulu, yang baru saja dikatakan Reza beberapa waktu lalu. Aku mengikuti Edy ke mana pun

  • Ei-Bree My Betelgeuse   70 - Denyut Bintang Sekarat

    "Seharusnya memang begitu." "Tapi, katanya mustahil ada perempuan seperti aku. Sungguh, aku menahan diri untuk tidak bertanya seperti aku itu sebenarnya seperti apa? Dan demi mencegah berbagai macam spekulasi ngawur, seperti misalnya aku ini transgender atau lesbian atau disuntik hormon testosteron, kubilang saja kenapa mustahil kalau aku adalah bukti yang duduk di hadapanmu?Dan, yah, katanya, benar juga. Lalu kami mulai membicarakanmu." "Kalian tertawa-tawa. Sepertinya menertawakanku?" "Edward bilang kau belum bisa cuci pantat sendiri setelah buang air besar sampai kelas satu." Aku mulai mengerang. Bree tertawa dengan penuh kemenangan mendapati cerita itu ternyata benar. Dan memang benar. Dan juga memalukan. "Rambutmu dulu sulit sekali tumbuhnya. Mereka sudah membaluri minyak kemiri, gel lidah buaya, pasta bawang merah, dan segalanya, tapi rambutmu tumbuh dengan lambat. Dan ternyata

  • Ei-Bree My Betelgeuse   69 - Penentu Hubungan

    Aku dan Bree menyetir Jeep ke rumah Hyunji pada pukul sepuluh malam kurang dua belas menit karena perjalanan dari Dalung ke Canggu tidak memakan waktu lebih dari dua puluh menit. Seandainya kami terlambat, keterlambatan itu terletak dalam rentang waktu yang relatif bisa dimaafkan—lima menit? Tujuh? Sepuluh? Aman. Pokoknya, selama Hyunji tidak menganut idealisme hidup ala orang Jepang yang disiplin waktu, semuanya akan baik-baik saja. Mesin bermotor yang punya badan besi hitam tinggi-besar sempurna seperti raksasa ini menyorotkan lampu jauhnya pada jangkauan jalan-jalan tergelap di Canggu. Asap debu mengepul di sepanjang tongkat cahaya kekuningan lampu sorot yang bentuknya membesar di kejauhan, tempat kami bisa mengamati alam Indonesia yang liar dan lebih menyerupai alam yang sesungguhnya. Alam yang tak terjamah manusia dengan pelepah pohon kelapa setinggi lima meter yang tumbuh dari balik pembatas besi melingkar di tikungan jalan yang diterangi oleh lam

  • Ei-Bree My Betelgeuse   68 - Kembali ke Indonesia

    Setelah proses lepas landas selesai, Bree kembali menawariku permen karet mentol—yang kutolak dengan menggeleng—sambil menjabarkan seluruh kiat untuk menyukseskan ED Education. Katanya, dia harus berpikir cerdas untuk membagi waktu antara menyelesaikan skripsi dengan mengorganisasi bimbingan belajar rintisannya tersebut. Paling tidak, dia harus bisa mengejar kuota wisudawan bulan Maret. Di bulan itu, ED Education menargetkan sudah mendidik sekitar lima belas murid. "Dan tahukah kau bagian paling kacau dari semua ini?" "Apa?" tanyaku. "Promosi." "Kenapa dengan promosi? Kau bisa saja menyewa jasa orang untuk melakukannya." "Benar. Kok tidak kepikiran, ya?" Bree mengernyit, berpikir secara mendalam sampai akhirnya kembali menolehku. "Aku merasa payah dengan media sosial. Tapi baiklah. Aku akan menuruti saranmu." Kemudian, aku memikirkannya. Tentang menetap di Bel

  • Ei-Bree My Betelgeuse   67 - Skateboard Modifikasi

    "Bukankah kau harus mengambil semua barang-barangmu dari sana?" Aku masih merasa bingung. Bree mengangkat alis dan mencebik ketika melihatku menelengkan kepala. "Untuk memperbaiki hubunganmu dengan kakakmu, hal pertama yang harus kaulakukan adalah tinggal bersamanya, benar?" Barulah aku mengerti. Tapi, sayangnya, kini aku tahu Breelah yang tidak mengerti. Ada hal-hal yang tidak diketahuinya, yang tidak terlalu senang kubagi dengannya menyangkut persaudaraanku yang rusak dengan Edy. Salah satunya adalah ketakutan tidak mendasarku kembali ditinju Edy. Padahal, akulah yang mulai mengangkat tangan padanya, tapi ketika Edy membalas hanya demi melindungi dirinya sendiri dari terkamanku, aku malah merasa sedang dikeroyok, dihina, dipermalukan, dan disingkirkan. Kau tidak perlu merasa dirimu orang asing sehingga pantas disingkirkan, kata Olaf pada sesi konseling pertama kami. Dia benar. Seharusnya aku berhenti merasa begitu.

  • Ei-Bree My Betelgeuse   66 - Apa Bedanya Kau dan Aku?

    Kereta selanjutnya dari Leiden menuju Belgia berangkat pukul 18.15. May dan Jeremy segera berpamitan tepat pada pukul setengah enam sore. Mereka berkata akan mencari bus menuju Leiden tapi Papa mengoper kunci mobil padaku dan diam-diam memintaku mengeluarkan mobil dari garasi. Masalah membujuk, serahkan saja pada Bree. Dan begitu mobil siap di depan rumah, May dan Jeremy terbukti telah termakan bujuk rayu Bree. Tentu saja harus Bree karena baik Mama maupun Papa bukan merupakan orang yang tepat melakukan segala daya upaya persuasif. Perjalanan menuju Leiden menggunakan mobil memakan waktu delapan belas menit karena Papa yang menyetir. Setidaknya, kami memangkas waktu lima menit dari biasanya (kalau yang menyetir adalah orang selain Papa). May dan Jeremy segera turun di depan fasad kerangka besi Stasiun Leiden Centraal. Kebetulan, tidak banyak kendaraan yang mengantar pengunjung ke stasiun sore ini sehingga dalam satu lompatan lincah, May mengetu

DMCA.com Protection Status