Beranda / Romansa / Ei-Bree My Betelgeuse / 5 - Inkubus dan Njord

Share

5 - Inkubus dan Njord

Penulis: Vyas Cornanila
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-22 23:50:29

"Nee, niet doen." Tidak, jangan, aku berkata untuk mencegahnya, mendecak, meringis, dan tersenyum.

Aku sudah delapan belas tahun. Dia tidak boleh memanggilku boy—jongen. Apalagi dia telah membuatku merasa tertarik padanya. Dalam teorinya, seorang laki-laki tidak ingin terlihat lemah, kecil, atau awam di depan perempuan yang disukainya.

Bayangan May dalam kepalaku melotot padaku. Kau menyukainya? Tidak. Aku sungguh hanya suka penampilannya. Maksudku adalah dia keren. Kau tidak perlu marah, May.

Gesa memperlihatkan giginya dan bergeser sedikit ke sebelah kiri, memasukkan portafilter ke dalam mesin espresso. Oh, dia sejak tadi berdiri di depan grinder biji kopi. Mesin itulah yang mengeluarkan dengung seperti gergaji kayu.

"Spreek je Nederlands?" tanyaku sambil menghampiri meja bar kayu. Keharuman kopi mengobati paru-paruku. Biasanya aku mencium baju apak yang kutumpuk di samping meja belajar sebelum membawa gunungan baju terkutuk itu ke penatu.

"Tidak. Jangan gunakan bahasa Belanda denganku sebelum ada yang mengajariku secara layak."

"Pelafalanmu memiliki potensi. Kau sempat mempelajarinya?"

Gesa tertawa. Dia bisa berbicara sambil menekan tombol yang menghentikan aliran espresso dari mesin ke dalam cangkir hitam dan mengambil susu dari dalam kulkas. "Ayah Max sulit membedakan dirinya sebagai orang Jerman. Dia jatuh cinta dengan Belanda dan sejarah panjangnya dengan Indonesia. Jadi," dia menuang susu dari kotak karton ke dalam jug model stainless steel dan memosisikan mulut jug di bawah steamer. Aku suka warna cokelat cerah kaus polosnya, membuatnya terlihat seperti biji kopi yang di-roasting setengah matang. "dia suka sekali melakukan praktik salam sapa dalam bahasa Belanda setiap kali bertemu siapa saja." Dia mengangguk padaku sebelum mem-frothing susu. Wajahnya damai walau tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Tuhan pasti memilihkan wajah dari dekat air terjun di surga untuknya.

Terdengar gelak tawa dan seruan dari lantai dua. Aku dan dia mendongak bersamaan. Saat menatapnya lagi, dia sudah lebih dulu menatapku. "Kau ke sini untuk Max, kan?"

Kalau saja pahlawanku adalah Gesa dan bukannya Max… Ya Tuhan aku berharap dialah alasanku datang kemari. "Ya. Apakah dia di sini?"

"Dia selalu di sini, tapi sejak tadi siang harus menghadiri meeting restorasi gedung bank di daerah Bangli."

Jadi benar bahwa Max adalah kakaknya? Tapi dia memanggil ayah Max dengan sebutan Ayah Max alih-alih ayahku.

"Tujuh menit yang lalu dia baru berjalan menyeberangi parkiran hotel tempatnya menghadiri meeting. Jadi kau harus menunggunya." Mata cokelatnya melirik ke arah tangga. "Kuharap aku lebih bisa menahanmu di sini daripada keinginanmu untuk bisa bergabung dengan para berandalan kecil di atas sana."

Aku menunduk dan tersenyum. Tungkaiku kelihatan kurus di sebelah kaki kursi bundar yang berwarna cokelat terang. Rumah ini dirancang sesuai dengan mood Gesa yang kelihatannya selalu ceria dan stabil. Kalau mengikuti kemauan Junko, temanya pasti dinamis dan energik seperti kamarnya di lantai dua.

Tangannya mengangkat jug dengan ketetapan yang menakjubkan, seolah-olah benda itu adalah sesuatu yang harus dicengkram dengan cakar ekskavator. Gesa menuangkan susu yang telah di-frothing ke atas espresso-nya. Dengan sabar tangannya memutar, menarik, dan mengulur jug sampai akhirnya terbentuk sebuah hati yang manis di tengah-tengah latte-nya. Dia menyajikannya di atas tray kayu mungil dan meletakkannya di meja keramik yang berada di balik permukaan bar yang lebih tinggi.

"Kau suka mochaccino? Aku punya cokelat Belgia yang pahit di kulkas."

"Rasanya bakal pahit?"

"Rasanya bakal creamy. Aku akan membuatnya jadi creamy."

Aku mengangguk. "Aku suka creamy."

Seorang wanita yang kutebak berumur awal tiga puluhan keluar dari sebuah kamar yang terletak di sebelah dapur. Bisa dibilang kamar itu adalah bagian tersembunyi dari dapur itu sendiri. Tapi aku sempat mengintip dari celah pintu betapa luas dan tingginya kamar itu.

"Holla, Ma." Dia kali ini menggunakan bahasa Perancis. "Ini latte-mu." Kupikir itu latte-nya.

Tapi… Ma? Tunggu. Aku bahkan tidak tahu berapa umur Gesa. Apakah dia kembar dengan Junko atau berbeda hanya setahun? Mamanya masih sangat muda. Dan seksi. Gesa tidak mungkin berumur lebih dari dua puluh tahun.

Kau terpikat padanya, cemooh May dalam kepalaku.

Tidak, May. Tidak terpikat.

Tapi godam seolah menumbuk kepalaku dan membuat hatiku gentar. Aku tidak pernah memikirkan itu sebelumnya. Wajahnya manis dan muda seperti Junko. Tapi tubuhnya seperti raksasa. Dalam sebuah hubungan, dia bisa mendominasi dengan mudah. Dia bahkan cocok berprofesi sebagai dominatriks.

Tulang rawan tiroidnya lebih besar dari perempuan pada umumnya, yang mana membuatnya terlihat seperti memiliki jakun mungil. Tapi suaranya memang seperti sosok androgini sehingga jika ditaruh dalam sebuah kotak dan dia bicara kemudian aku disuruh menebak, aku tidak akan langsung tahu kalau dia seorang perempuan.

Peduli amat. Dia rupawan dan Victor benar tentang aku naksir padanya. Tapi ini hanya naksir. Aku juga naksir pada Sylvia yang cantik.

"Halo, Anak Cowok." Mama Gesa menyapaku. Tatapannya setajam Junko dan senyumnya semanis Gesa. Kombinasi dari keduanya menghasilkan nuansa jernih, menyenangkan, dan ceria di sekitarnya. "Teman kuliahnya Bree?"

Bree?

Aku mendesah lega. Ya Tuhan, dia masih kuliah. Kuharap kuliah di sini merujuk pada anak lulusan SMA yang langsung mendaftar kuliah dan saat ini masih berada di tahun ketiga atau keempat kuliahnya. Tapi itu berarti aku salah memperkirakan umur mamanya.

Gesa tertawa. "Ma, Anak Cowok ini temannya Junko. Dia tidak tahu kau memanggilku Bree."

Aku menahan tawa dan meliriknya. Gesa mengangkat satu alis sambil tersenyum padaku.

"Oh." Mama Gesa mendesah panjang dan bergerak maju untuk meremas lengan kurusku. Semoga dia berpikir ada cukup otot untuk membuatku pantas menjadi seorang pria. "Temannya Junko? Siapa namamu, Bocah Tampan?"

Gesa atau Bree tertawa. Melepaskan sesuatu yang kedengaran sangat memuaskan dan melegakan. Siapa pun tidak mungkin tidak terpengaruh oleh tawa seperti itu. "Tolong bilang pada Ayah Max untuk tidak memanggilnya jongenHij is een man." Dia seorang pria. Dia berkedip padaku. "Aku benar, kan?"

Aku memicing pada Gesa sebelum menghadapi mamanya. "Aku temannya Jake dan Victor. Sekarang aku temannya Junko juga. Namaku Thomas," kataku.

Mama Gesa mengangguk. Dia melepas cengkeramannya untuk menjangkau cangkir latte-nya melalui meja bar. Dengan jeans ciut indigo dan baju pink manis berlengan sabrina, Mama Gesa tentu saja wanita modis. Walau kelihatannya tidak benar, Mama Gesa mungkin saja sudah berumur empat puluh tahun.

"Nah, Thomas. Sebenarnya aku harus pergi," menyeruput latte. "tapi aku bingung anakku yang mana yang akan mengantarku." Menatapku dan Gesa secara bergantian.

"Itu aku, Ma," katanya, mempersiapkan diri menuang susu ke dalam campuran cokelat dan espresso dalam cangkir kaca. "Max memiliki urusan dengan si Anak Cowok. Tapi dia masih di jalan."

"Perjalanan jauh. Aku harus menunggu di kamar." Mama Gesa menunjukkan latte-nya padaku. "Kupikir kau adalah teman yang akan bergabung dengan bimbingan belajar rintisannya." Sambil memelankan suara, dia mengangkat kedua alis lukisnya. "Dia butuh rekan kerja di bidang science."

"Sudah kumantapkan." Ternyata Gesa masih bisa mendengar suara pelan mamanya. Gesa menyentuh dada dengan tangan kiri sementara tangan kanannya terangkat ke sebelah telinga. "Aku mencari yang ahli fisika dan matematika saja. Kimia dan biologi tentunya akan terselamatkan. Tapi itu boleh diurus belakangan."

Di sebelah lenganku telah diletakkan mochaccino bertabur bubuk cokelat. Bungkus kertas panjang berisi gula digeletakkan di pangkal cangkir. Wangi cokelat yang kuat menyengat hidungku. Mulutku penuh liur. Ini sensasi sugesti yang muncul berdasarkan provokasi penampilan. Singkat kata moccachino ini menggoda. Foam-nya setebal 1,5 cm dan aku bisa membayangkan kelembutan busa itu yang akan mengempis dan meleleh di mulutku.

"Thomas, kita bertemu lagi nanti saat Max sudah datang." Mama Gesa yang rupawan melenggang kembali ke dalam kamar megahnya, menutup pintu kayu di belakangnya.

"Jadi kau akan bertanya mamaku akan pergi ke mana atau aku kuliah di jurusan apa atau kalau bukan Belanda, lalu aku mempelajari bahasa apa? Atau tentang bimbingan belajar rintisanku? Ingat, kan? Aku berusaha menahanmu sampai Max datang, jadi kau harus merasa tertarik dulu padaku." Tangannya terjulur di tepi meja. Keadaan lengannya yang keluar dari pipa kausnya yang longgar membuatku berusaha mengukuhkan pandangan hanya ke arah wajahnya untuk tidak menyusuri lebih jauh ke dalam sana, membayangkan sebesar apa payudaranya yang kelihatan rata dari luar.

Aku memang tertarik padamu, kataku dalam hati.

"Keempatnya," jawabku sambil menurunkan pandangan ke moccachino-ku. "Biasanya kita butuh dua minuman untuk mengobrol."

"Kau benar." Dia mengangguk dan dengan gerakan ringkas menyalakan grinder. Bau kopi seperti diperbarui lagi dan lagi. Semakin lama semakin kuat tapi membuatku mulai terbiasa dan, parahnya, betah. Lalu dia memasukkan portafilter dan menunggu espresso keluar. Dia memakai seloki untuk yang satu ini. Seloki itu digeser ke arah meja di depan kursi di sebelahku. Gesa berjalan memutari meja bar untuk keluar dari dapur. Aku melihat celana parasut hitamnya yang hanya sepanjang paha dan memaki dalam hati karena harus memandangi tungkai yang bersih dari bulu itu. Betisnya kuat. Saat dia berjalan, terbentuk garis yang menonjolkan daging betis itu. Dan telapak kakinya bergerak tidak terburu-buru.

Jantungku berdentam, menggila di dalam rongga dadaku ketika Gesa menyentuhkan bokong ratanya ke atas kursi bundar lalu memutar badannya menghadapku. Dia menyugar poninya ke atas. Garis rambutnya rendah dan dahinya ditumbuhi banyak anak rambut. Aku ingin membelainya.

"Mama punya tempat konsultansi kecantikan di Jalan Tegal Jaya. Jam kerjanya berdasarkan desakan hati. Jadi salah satu dari anak-anaknya harus selalu berada dalam kondisi siap jika desakan hati itu datang. Tapi tempat itu diawasi oleh asisten Mama dan dipenuhi staf. Sebenarnya Mama tidak perlu datang, tapi dia suka datang untuk menghirup bau kehidupan di sana. Maksudnya bau serbuk bedak dan cairan maskara yang menyengat. Dan aku yakin Mama akan tetap begitu walau tempat itu nantinya sudah dikelola oleh Junko setelah lulus sekolah."

"Jadi kesukaan terhadap makeup diwariskan secara genetik."

Alisnya terangkat. "Gen yang itu tidak menyentuh tubuhku."

"Gen mana yang menyentuh tubuhmu?"

Aku mengingat moccachino-ku. Gesa juga menolehnya. Dia membuat gerakan dengan alisnya, menyuruhku untuk mencicipi moccachino buatannya. Aku meneguknya sekali. Kopi dan cokelat pahit berbaur saling melengkapi. Sebuah rasa yang menyentil dan kemudian menjotos lidahku. Rasanya pahit, asin, harum dan sedikit manis. Kupikir itu bubuk cokelat, tapi aku tahu sekarang kalau taburan itu adalah bubuk kayu manis. Aku tersenyum dan menjilat kumis busa di atas bibirku.

"Yang ini," katanya sambil memamerkan senyum bangga. "Ayahku seorang roaster kelahiran Mataram yang saat ini menetap di Marsiling, Singapura."

Jadi, Max pasti kakak tirinya.

"Junko bisa melakukan sesuatu tentang kopi?"

"Junko bisa melakukan makeup."

Kami saling tatap sejenak sebelum memuntahkan tawa yang puas. Lalu handphone di kantung celanaku bergetar. Aku mengambilnya dan melihat nama Jacob di layar.

"Jacob." Aku mengangguk pada seseorang yang tidak ada di depanku. "Aku di lantai satu bersama kakak iparmu."

"Tom, kupikir kau belum jalan."

"Akan kumatikan."

"Baiklah. Kami menonton Game of Thrones di sini."

"Tapi The Hunger Games belum selesai."

"Aku harus memancing minat cewek-cewek ini dulu. Setelah mereka mengemis agar kita melanjutkan, baru kita selesaikan secara serempak semuanya."

Ide bagus. Keduanya memiliki jalan cerita yang antimembosankan. Cewek-cewek itu akan merasakan yang namanya panas-dingin dan menggigil karena kecanduan pada film survival dan pertempuran. Mereka akan merasakan apa yang kami rasakan selama bertahun-tahun saat menunggu seri yang katanya akan segera dirilis dengan bulir keringat sebesar kemiri. Aku suka sekali dengan gagasan itu. "Bagus, Jake. Aku setuju."

"Oke." Telepon mati.

"Sinyalnya tidak mengalami gangguan, kan? Hm, sesuatu seperti interferensi gelombang. Kalian… Dia di atas." Maksudnya adalah kami sangat dekat.

Aku menggeleng. "Aku kepingin memperkenalkan cewek-cewek itu pada Ragnarok tanpa menyeret mereka ke dalam politik Captain America. Menurutmu bisa tidak?"

"Bisa." Gesa mengangguk dengan yakin dan patuh. "Asgard kan punya dunianya sendiri sementara semesta Marvel berputar. Kalau saja mereka menggilai sebuah bacaan. Akan lebih mudah memengaruhi mereka tentang mitologi Nordik dengan bukunya Roger Green atau komiknya Jack Kirby."

"Kau membaca mitologi Nordik?" Aku sadar telah memekik, jadi aku berdeham saat dia mengangkat alisnya karena terkejut.

"Biar kutebak." Dia kembali memasang pose satu tangan di dada dan satunya lagi di sebelah telinga. "Kau rela memberikan seluruh cahaya dalam hidupmu demi mencegah terjadinya Ragnarok."

"Aku rela menempa godam yang bisa menggantikan Mjollnir untuk Thor demi bisa menyentuh jenggot merahnya."

Gesa tertawa, panjang dan memengaruhi. Mau tidak mau aku pun tertawa. "Aku rela memberikan jiwa dermawan Max demi menukarnya dengan jiwa perkasa Thor. Dia akan semakin digilai cewek."

"Kupikir mitologi Nordik lantas membuatmu kepingin mempelajari bahasa Skandinavia."

"Seandainya saja kode bahasa bekerja dengan cara yang sama seperti cara kepalaku memproses pengaruh fluida terhadap benda terbang, aku akan mempelajari semua bahasa itu."

"Kau bilang holla, Ma tadi."

"Aku juga bisa bilang sawatdii kha, Anak Cowok."

Aku memutar bola mata dengan main-main. Kudengar desah senyum di sebelahku. "Kau mempelajari semua salam di dunia ini?"

"Tidak, tidak," Gesa menggeleng-geleng. "yang terjadi adalah aku cuma iseng. Dan sungguh, kalau sering didengarkan, sebuah kata asing memang akan akrab di ingatanku. Dan aku mulai mengucapkannya terus-menerus karena aku suka. Masalahnya adalah kalau mulai terlalu banyak, kepalaku bakal eror."

"Tentang fluida dan benda terbang? Sepertinya ini ada hubungannya dengan bimbingan belajar rintisan. Atau mungkin kuliahmu?"

"Oh, ya. Haruskah kita berkenalan secara resmi?" Dia menjangkau selokinya dan meneguk espresso dengan cepat. Jakun mungilnya naik dan turun dengan cara mengesankan. Jemariku akan terasa pas di sana. Aku disergap sebuah keyakinan yang terangnya seperti cahaya yang membutakan.

"Harus," kataku. "Kau boleh berhenti memanggilku Anak Cowok dan mulai memanggilku Thomas. Aku sudah semester tiga. Terlalu dewasa untuk dipanggil Anak Cowok."

"Baiklah, Thomas. Kita hanya berbeda dua tahun."

"Tapi aku seumuran Junko."

Gesa mengangkat busur alisnya. "Berarti kita berbeda empat tahun?"

Aku tersenyum, memperlihatkan kemenangan dalam ekspresiku.

"Jongen."

Dia mulai lagi.

"Tidak boleh marah. Kau mungkin sudah dewasa, tapi bagiku kau adik manis seperti Junko. Aku tahu bahasa Norwegianya nama laki-laki itu Thomas."

"Kau tahu?"

Dia mengangguk. "Han heter Thomas."

"Dan kau masih bilang kalau kau cuma iseng?"

"Aku menonton serial drama Norwegia berjudul SKAM. Jadi aku sedikit penasaran tentang kalimat yang sering digunakan di Norwegia."

"Kau mau menipuku, ya? Jangan bilang padaku kalau ternyata kau mengambil jurusan Sastra Sesuatu di kampusmu."

"Tidak, Thomas, sungguh. Aku akan segera menjalani tahun keempat penuh tekanan dan kegelapan di jurusan Aeronotika dan Astrononika, jadi aku mencari hiburan ke sana sini. Ke mana-mana. Termasuk menjarah drama-drama Junko dan belanja buku obralan secara masif dan kompulsif. Aku benar-benar butuh pelarian dari tugas akhir. Skripsi sebenarnya agak tidak berperikemanusiaan. Dia menyerap daya hidupku seperti Inkubus."

Inkubus menyerap daya hidup manusia melalui hubungan badan. Dia beruntung melakukan itu dengan Gesa. Aku meminum mochaccino dalam satu tegukan panjang sampai tersisa hanya sepertiga cangkir. "Kau harus mencari seseorang yang bisa meniupkan angin kehidupan dalam tubuhmu seperti Njord."

Aku menyadari arti kata-kataku dalam dua detik yang sangat terlambat. Ketika menolehnya, Gesa sedang menatapku. Menatap dengan cara yang mampu membuatku yakin kalau aku sedang ditatap. Dan selama ini orang-orang hanya bicara sekilas padaku tanpa pernah benar-benar menatap mataku. Bahkan ketika Junko memelototiku, menyalurkan rasa gemas dan kesalnya padaku, dia tidak sedang menatapku. Tapi ini adalah tatapan yang sesungguhnya: ketika dia melihatku dan dia hanya menatapku saja.

Tatapan itu membangkitkan bulu di tanganku. Aku tidak tahu sejauh apa aku telah menjangkaunya dengan mengatakan itu, tapi pasti sangat dalam.

Biasanya aku tahu waktu yang tepat untuk bangun dari kursiku dan mencium seorang gadis. Karena itulah waktu yang diinginkannya juga. Ketika aku bangun dan menyergap gadis itu dalam ciuman yang panjang dan dalam. Tapi ini pertama kalinya aku berpikir bahwa bisa saja dia yang melakukan itu padaku karena aku menginginkan ini sebagai waktu yang tepat untuk berciuman dengannya.

Mendadak aku gentar. Dengan malu aku mengakhiri tatapanku lebih dulu. Dia bisa membaca hasrat itu dalam mataku karena aku mempertontonkannya seperti ikan dalam akuarium kaca yang bening dan jernih. Aku membiarkan hasrat itu transparan dari tatapannya. Aku direbus dan dibekukan dari dalam. Dahiku panas-dingin.

Kemudian, saat mendongak ke depan, kudapati Max menjulang di tempat daun pintu seharusnya berada saat tertutup. Dia membuatku mengira-ngira tinggi pintu itu sekitar 210 cm dan dia sendiri setinggi 190 cm.

"Du kommst," katanya dengan nada main-main. Saat ini dia sedang bersandar pada lengan kiri—terbalut kain kemeja berwarna seperti lemon—yang menyentuh bagian atas kusen dengan gerakan lentur. Satu tangannya lagi tenggelam dalam jeans besar yang tampaknya sanggup membuatku tenggelam di dalamnya. Tapi dia keren.

"Aku tidak bicara dalam bahasa Jerman, Max." Aku memberitahu.

Max tertawa dan memantulkan telapak kakinya ke depan seperti pegas yang dilontarkan lalu melangkah dengan sangat lambat menuju kami.

"Terisa dua pertanyaan, tapi salah satunya tentang bahasa akan kujawab."

Aku menoleh Gesa dan seketika meraup wangi mint yang segar dari rambutnya. Jantungku kembali berdebar-debar. Sejak kapan kami terpisah dalam jarak sedekat ini? Siku kami sama-sama bersandar pada tepi meja bar. Bedanya, dia menggunakan siku kanannya dan aku menggunakan siku kiriku. Dan pose itu seolah bertujuan untuk menyatukan dahi kami dimulai dari sentuhan-sentuhan lembut antara ujung rambut satu sama lain.

"Inggris," lanjutnya, berbicara di depan wajahku. "tapi karena kau penggemar mitologi Nordik yang membuatku merasa cocok denganmu, sial, aku akan belajar bahasa Belanda untukmu."

"Untukku?"

Gesa mengangguk. "Mungkin kau sebenarnya merindukan Belanda dan ingin bicara dalam bahasa ayahmu? Kita bisa mengobrol di ruang terbuka agar kau bisa merokok."

"Kau tahu aku merokok?"

"Thomas." Dia menyebut namaku sambil tersenyum. Bibir itu kelihatan seperti buah persik. "Waktu aku tiba di halaman belakang Normal Roaster, kau sedang merokok."

Dia melihatku. Tanpa kusadari dia menyadari keberadaanku jauh sebelum aku bertanya pada Max apakah dia orang Jerman.

Gesa lalu menandaskan espresso-nya dan mengernyit sebelum bangkit berdiri. "Aku mau mengantar Mama ke Edrei Beauty, Max." Dia menepuk bahu panjang Max sebelum melirikku dari balik bulu mata hitamnya. Dan kemudian samar-samar dia tersenyum.

Lirikan itu takkan pernah kuketahui jika tidak benar-benar menatap matanya. Lirikan yang sama efektifnya dengan granat. Sebuah benda yang agak kecil untuk menimbulkan ledakan berbahaya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
puspa maharani
Bakal banyak ngomongin Belanda sama mito Nordik kayaknya ya?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Ei-Bree My Betelgeuse   6 - Aku Berutang pada Jerapah

    Diskusi dilakukan di sofa ruang tengah lantai satu. Tidak secara formal, tapi tetap beradab sehingga Mama Gesa berulang kali memperingati Max untuk tidak mengangkat kakinya ke meja jati berpermukaan kaca. Setelah berpamitan, Mama Gesa dan Gesa bergegas keluar rumah.Sementara jeritan kesal dan tawa keras menggelegak di lantai dua, aku dan Max melakukan perbincangan ringan, tentang kampusku, jurusanku, kelas-kelasku, bahkan SMAku, sebelum menjerat kami ke dalam bahasan utama pertemuan hari ini."Singkatnya, Tom," kami sempat berkenalan dengan semi-formal. "kau tidak bisa menandatangani kontrak itu karena belum memiliki izin."Aku mengernyit. "Benarkah?""Ya. Nanti kau akan mempelajari perihal izin di semester atas. Dulu di teknik sipil

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-23
  • Ei-Bree My Betelgeuse   7 - Mengunjungi Jotunheim

    Pesan dari Amelia Hyunji masuk pukul delapan pagi, dua hari setelah aku berunding dengan Max, saat aku sedang belanja keperluan mandi diminimarket. Restoran yang dia pesan terletak di dekat kampus Udayana Sudirman. Dia memintaku, jika tidak keberatan, untuk hadir pukul sepuluh pagi dengan rekanku pada hari Sabtu. Aku meminta tanggapan Max untuk kesediaannya menghadirimeeting pertama kami. Max menawar paling lambat hanya sampai pukul satu siang untuk hari Sabtu, dan kalau bersikeras pukul sepuluh pagi sampai waktu yang tidak ditentukan, harinya harus dipindah antara Kamis dan Minggu.Kami bertiga sepakat Minggu pagi. Sekarang masih hari Rabu. Aku mencuci sepatu (kalau kutaruh di penatu, robeknya bakal bertambah lebar) selama tiga puluh menit, membuat uitsmijterdan makan sendirian sampai pukul sepuluh pagi.

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-24
  • Ei-Bree My Betelgeuse   8 - Dia Seperti Renée

    "Tidak sepenuhnya benar. Tapi kau diterima dalam keluarga Sandra. Itulah sebabnya sebenarnya sejak tadi aku ingin menyuruhmu memanggilku Bree dan bukannya Gesa."Kenyataannya adalah aku tidak pernah menyebut namanya saat berbicara dengannya. Sebelum aku sempat menatap lama-lama matanya yang mirip batu pijar pada zaman Hadean, dia melenggang menuju rak buku dan berdengung panjang di depannya. "Kau mau di luar matematika atau di dalamnya?"Aku berdiri di sebelahnya dan mengulurkan tangan untuk menyentuh sebuah punggung buku berwarna marun. Tapi kemudian teringat sesuatu. "Bolehkah aku menyentuh ini?""Sebenarnya kau boleh menyentuh apa pun. Aku hanya galak terhadap mesin espresso."Judulnya Kemolekan Landa karangan Muriel Barbery. Aku membalik buku dan membaca blurb di sampul belakang."Sebuah novel terjemahan dari bahasa Perancis yang sangat sulit diucapkan.

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-25
  • Ei-Bree My Betelgeuse   9 - Dia dan Depresinya

    Sesuai kesepakatan kami bertiga, waktuku untuk mendesain rumah tinggal Hyunji hanyalah dua minggu, sudah termasuk semua revisi yang kemungkinan besar akan banyak sekali. Tapi Hyunji menawariku untuk membuat desain tersebut di rumah sewaannya. Empat belas hari dalam dua minggu. Selama dia mengajar di kampus, aku boleh menggunakan fasilitas di rumah itu. Termasuk mandi, memasak, mencuci baju, menjemur, dan menginap.Aku memanfaatkan fasilitas itu sebaik-baiknya. Selain karena semua fasilitas dan jaminan yang kudapatkan, aku jadi lebih mudah mengamati kebiasaan Hyunji selama seharian. Sifatnya secara langsung memengaruhi warna kesukaannya, abu-abu tua dan biru matanya. Perpaduan dua warna tersebut harus dimaksimalkan tanpa kesan paksaan. Hyunji juga menginginkan pencahayaan alami sehingga aku merancangkan jendela minimalis layar lipat atau yang biasa disebut dengan folding screen di bagian ruangan yang akan menghadap ke sebuah taman.

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-26
  • Ei-Bree My Betelgeuse   10 - Lemari Ekstra di Rumah Orang Lain

    Terpaksa aku membawanya pulang ke rumahku. Gerald tidak mungkin membawa temannya yang mabuk pulang ke rumah. Dia punya adik perempuan berumur delapan tahun yang merupakan permata keluarga, yang membuat semua masalah kecil yang diprakarsai adiknya dilimpahkan sebagai kesalahannya. Gerald merasa cukup dengan semua masalah itu, tidak perlu menambah masalah baru.Mengantar Yuda pulang ke rumahnya juga tidak mungkin. Aku bisa gila jika harus bertemu Marilyn Monroe dan adiknya Yuda.Lampu rumahku mati. Aku keluar mobil lebih dulu untuk membuka pintu rumah, kemudian kembali ke mobil untuk menggotong tubuh tegap Yuda masuk ke rumah bersama Gerald. Pintu kamar Edy tertutup saat aku melewatinya. Tidak ada suara apa pun, begitu hening sampai membuat telingaku berdengung. Aku dan Gerald membaringkan Yuda di atas seprai lecek kasurku. Aku selalu berpikir sudah membersihkan kamarku saat akan meninggalkan rumah, tapi ternyata itu hanyalah angan-angank

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-27
  • Ei-Bree My Betelgeuse   11 - Sehari Bersama Si Kutu Buku

    "Selamat malam. Mohon maaf, saya tidak terbiasa mengangkat panggilan masuk di atas pukul sebelas malam dari nomor tidak dikenal. Saya Gesa Edrei, sebelum melanjutkan, saya perlu tahu sedang bicara dengan siapa saat ini."Aku menahan napas. "Bre," panggilku, melarutkan aksen Belanda dalam namanya.Lama Bree terdiam sebelum mendesahkan senyuman. "Di mana aku bisa mencarimu besok?""Uluwatu.""Kau berada jauh sekali dari rumahmu.""Yuda bilang kau mencariku.""Ya. Bukankah kita membuat rencana untuk mendatangi pameran buku obral setiap hari sampai puas?"Aku tersenyum, membayangkan jemariku meraba lajur pipinya dari mata menuju bibirnya yang seperti buah persik dan disergap perasaan yakin bahwa dialah perempuan yang benar. May dalam kepalaku hanyalah sebuah suara, Sylvia hanyalah rekan untuk bersenang-senang, Hyunji hanyalah persinggahan sementara. Ba

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-29
  • Ei-Bree My Betelgeuse   12 - Daftar Kemustahilan

    Desain itu sudah kuselesaikan dan sedang berada dalam tahap revisi terakhir di tangan Max. Aku tetap harus mempelajari salinan revisinya, baik dalam bentuk 2D maupun 3D, tapi Max memberitahuku bahwa desain bentuk 3Dku jauh lebih baik daripada yang dia bayangkan sehingga revisinya tidak banyak.Kesibukan Max di tanah Canggu pun dimulai. Sesekali, pada rutinitas yang sudah kami rencanakan, aku harus mengawasi jalannya pembangunan untuk memeriksa apakah semuanya sesuai dengan maksud dan tujuan desainku. Tapi selain pengawasan rutin itu, selebihnya, aku dibebastugaskan. Lagipula, sebenarnya aku hanya drafter. Kerjaku di proyek ini hanya menggambar. Jika desainnya sudah sesuai dengan keinginan user dan apa yang Max perintahkan padaku, selesai sudah.Beberapa kali aku mempertimbangkan untuk menghubungi Bree. Tapi aneh rasanya mengangkat handphone untuk menghubungi perempuan selain ibu dan nenekku padahal aku ada di

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-30
  • Ei-Bree My Betelgeuse   13 - Merancang Malam

    Jumat malam di bulan September awal, tepat setelah aku menyelesaikan tugas menganalisis sebuah tapak, Sylvia mengirimiku pesan yang bersifat genting.Angkat teleponku. Ini telepon paling harus diangkat dari telepon-telepon harus diangkat lainnya.Handphone-ku berdering pada detik berikutnya. Hyunji sudah tertidur di kamar. Aku pergi ke sudut rumah, jauh dari kamarnya, berpikir untuk membuka pintu depan pelan-pelan tapi saat kusadari percakapan ini mungkin hanya akan terjadi secara satu arah—tentu dari pihak Sylvia—aku pun hanya bersandar pada pintu dan mulai mendengarkan."Ada pesta," dia memberitahu. "Besok di Uluwatu. Aku tidak akan menghadirinya, kau tahu? Karena Janet tidak akan datang. Tapi kupikir pesta bisa membangkitkan gairah seksualmu seperti dulu"—belakangan ini aku melakukannya secara berkala dengan Hyunji—"jadi aku ingin kau menghadiri pesta itu. Thomas, kau menden

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-31

Bab terbaru

  • Ei-Bree My Betelgeuse   74 - Penyelamat

    Aku dirawat di rumah sakit selama dua hari. Yuda tak mengatakan apa pun pada siapa pun. Bree tak mengatakan apa pun pada siapa pun. Hanya ada aku dan Yuda di parkiran seluas itu saat perkelahian itu berlangsung sehingga tak ada saksi mata lainnya. Kata Sandra, mengherankan betapa Bree bersikap sekalem ini menghadapi pengeroyokan terhadapku. Tapi berbeda dengan semua orang, Bree, walau tak melihat, tahu apa yang terjadi. Utangku pada Yuda sudah terbayarkan atau belum, aku juga tidak tahu. Pasalnya, aku merasa hanya berutang informasi bahwa aku tahu. Dan aksi penggebukan itu kumaksudkan sebagai pelunasan utang. Bonus pelunasan utang. Sekarang, seharusnya utangku telah terbayarkan. Tapi, kalau ditelaah lebih jauh, aku juga berutang waktu kepadanya, sesuatu yang takkan pernah berhasil kubayarkan dengan tuntas. Begitu siuman, aku dibawa pulang. Administrasi rumah sakit diselesaikan, keluargaku tak diberi kabar, sesuai pesanku pada

  • Ei-Bree My Betelgeuse   73 - Kisah tentang Pengkhianatan Diakhiri

    Pertanyaan terakhir Edy padaku sebelum terbang ke Belanda adalah, "Apakah ada alasan lain mengapa kau membenciku?" Bree menolehku, Edy menatapku, aku berdiri termangu-mangu beberapa detik, mencari-cari di antara serabut otakku, liku urat, dinding daging lembek, tapi aku yakin bahwa jawabannya hanya mentok sampai pertanyaannya saja. Aku pun menggeleng. Edy dan Bree saling mengangguk. Dan kemudian Edy pun pergi.Dua malam setelahnya, kami mengadakan perombakan besar-besaran pada kamar tamu di lantai satu rumah Bree karena aku tidak lagi tinggal sebagai penumpang, melainkan sebagai anggota tetap keluarga mereka. Terlepas dari ada atau tidaknya hubungan romantis dengan Bree, kini aku resmi menjadi anak kesayangan Sandra. Lemari lapuk dikeluarkan dari kamar seluas 12m² tersebut, diganti dengan walk-in closet yang kudesain secara darurat. Dinding di sebelah lemari kupajangi lukisan-lukisan abstrak geometris. Cetakan jernih lukisan Broadway Boogie

  • Ei-Bree My Betelgeuse   72 - Privasi Individu

    Aku menuruti penuturan Olaf. Sertai keterpurukannya sampai dia sadar aku ada di sana untuknya, menemaninya. Berbelit di sekitarnya, lakukan dengan mulus, tapi jangan intens. Sebab, Olaf ingin aku menjadi satu dari orang-orang yang cukup dipercayainya, dan bukan orang yang paling dipercayainya. Merunut cerita Victor tentang bagaimana Yuda melibatkan Mike dalam urusan privasinya, kata Olaf, Yuda pastilah orang yang mudah memercayai hampir siapa pun. Dia tepat dijuluki ekstrover putus asa. Begitu ingin bergabung dalam keramaian, tapi tak tahu bagaimana caranya membaurkan diri.Jadi dalam sebulan terakhir, aku, yang biasanya menghindari Yuda, berlaku sebaliknya. Dalam kerja-kerja kelompok, aku menyertakannya. Aku juga mengajaknya (kalau sempat melakukannya sebelum kelas pagi dimulai) sarapan dan makan siang. Dan kuceramahi pula dia tentang kelas-kelas semester lalu yang harus diulanginya pada semester ini.Dan aku, merasa sangat berkebalika

  • Ei-Bree My Betelgeuse   71 - Sesolid Tungsten

    Tubuh kebal Edy siap menjalani bertahun-tahun kembali tanpa diserang penyakit. Dia tampak lebih kuat setelah memutuskan untuk turun kasur permanen. Kami mencopot seluruh kain kotor berikut gorden, kasur, sampul bantal, selimut, pakaian apak yang terlalu lama digantung di lemari dari kamarnya, dan membawanya ke penatu terdekat. Pada bulan Februari, saat libur semester ganjilku berakhir, kampus Edy baru menjatah libur. Durasi libur itulah yang dipergunakannya sebaik mungkin untuk mengurus kelengkapan dokumen pengunduran diri dari kampus karena ternyata kabar dari Bree benar adanya: Edy memutuskan untuk pindah ke Belanda selamanya, meninggalkanku sebatang kara di sini sampai lulus kuliah. Mama masih agak khawatir padanya sehingga mengutusku untuk menemani Edy mengurus hampir segala keperluannya dan Edy, tampak sama sekali, tak keberatan. Mirip seperti dulu, yang baru saja dikatakan Reza beberapa waktu lalu. Aku mengikuti Edy ke mana pun

  • Ei-Bree My Betelgeuse   70 - Denyut Bintang Sekarat

    "Seharusnya memang begitu." "Tapi, katanya mustahil ada perempuan seperti aku. Sungguh, aku menahan diri untuk tidak bertanya seperti aku itu sebenarnya seperti apa? Dan demi mencegah berbagai macam spekulasi ngawur, seperti misalnya aku ini transgender atau lesbian atau disuntik hormon testosteron, kubilang saja kenapa mustahil kalau aku adalah bukti yang duduk di hadapanmu?Dan, yah, katanya, benar juga. Lalu kami mulai membicarakanmu." "Kalian tertawa-tawa. Sepertinya menertawakanku?" "Edward bilang kau belum bisa cuci pantat sendiri setelah buang air besar sampai kelas satu." Aku mulai mengerang. Bree tertawa dengan penuh kemenangan mendapati cerita itu ternyata benar. Dan memang benar. Dan juga memalukan. "Rambutmu dulu sulit sekali tumbuhnya. Mereka sudah membaluri minyak kemiri, gel lidah buaya, pasta bawang merah, dan segalanya, tapi rambutmu tumbuh dengan lambat. Dan ternyata

  • Ei-Bree My Betelgeuse   69 - Penentu Hubungan

    Aku dan Bree menyetir Jeep ke rumah Hyunji pada pukul sepuluh malam kurang dua belas menit karena perjalanan dari Dalung ke Canggu tidak memakan waktu lebih dari dua puluh menit. Seandainya kami terlambat, keterlambatan itu terletak dalam rentang waktu yang relatif bisa dimaafkan—lima menit? Tujuh? Sepuluh? Aman. Pokoknya, selama Hyunji tidak menganut idealisme hidup ala orang Jepang yang disiplin waktu, semuanya akan baik-baik saja. Mesin bermotor yang punya badan besi hitam tinggi-besar sempurna seperti raksasa ini menyorotkan lampu jauhnya pada jangkauan jalan-jalan tergelap di Canggu. Asap debu mengepul di sepanjang tongkat cahaya kekuningan lampu sorot yang bentuknya membesar di kejauhan, tempat kami bisa mengamati alam Indonesia yang liar dan lebih menyerupai alam yang sesungguhnya. Alam yang tak terjamah manusia dengan pelepah pohon kelapa setinggi lima meter yang tumbuh dari balik pembatas besi melingkar di tikungan jalan yang diterangi oleh lam

  • Ei-Bree My Betelgeuse   68 - Kembali ke Indonesia

    Setelah proses lepas landas selesai, Bree kembali menawariku permen karet mentol—yang kutolak dengan menggeleng—sambil menjabarkan seluruh kiat untuk menyukseskan ED Education. Katanya, dia harus berpikir cerdas untuk membagi waktu antara menyelesaikan skripsi dengan mengorganisasi bimbingan belajar rintisannya tersebut. Paling tidak, dia harus bisa mengejar kuota wisudawan bulan Maret. Di bulan itu, ED Education menargetkan sudah mendidik sekitar lima belas murid. "Dan tahukah kau bagian paling kacau dari semua ini?" "Apa?" tanyaku. "Promosi." "Kenapa dengan promosi? Kau bisa saja menyewa jasa orang untuk melakukannya." "Benar. Kok tidak kepikiran, ya?" Bree mengernyit, berpikir secara mendalam sampai akhirnya kembali menolehku. "Aku merasa payah dengan media sosial. Tapi baiklah. Aku akan menuruti saranmu." Kemudian, aku memikirkannya. Tentang menetap di Bel

  • Ei-Bree My Betelgeuse   67 - Skateboard Modifikasi

    "Bukankah kau harus mengambil semua barang-barangmu dari sana?" Aku masih merasa bingung. Bree mengangkat alis dan mencebik ketika melihatku menelengkan kepala. "Untuk memperbaiki hubunganmu dengan kakakmu, hal pertama yang harus kaulakukan adalah tinggal bersamanya, benar?" Barulah aku mengerti. Tapi, sayangnya, kini aku tahu Breelah yang tidak mengerti. Ada hal-hal yang tidak diketahuinya, yang tidak terlalu senang kubagi dengannya menyangkut persaudaraanku yang rusak dengan Edy. Salah satunya adalah ketakutan tidak mendasarku kembali ditinju Edy. Padahal, akulah yang mulai mengangkat tangan padanya, tapi ketika Edy membalas hanya demi melindungi dirinya sendiri dari terkamanku, aku malah merasa sedang dikeroyok, dihina, dipermalukan, dan disingkirkan. Kau tidak perlu merasa dirimu orang asing sehingga pantas disingkirkan, kata Olaf pada sesi konseling pertama kami. Dia benar. Seharusnya aku berhenti merasa begitu.

  • Ei-Bree My Betelgeuse   66 - Apa Bedanya Kau dan Aku?

    Kereta selanjutnya dari Leiden menuju Belgia berangkat pukul 18.15. May dan Jeremy segera berpamitan tepat pada pukul setengah enam sore. Mereka berkata akan mencari bus menuju Leiden tapi Papa mengoper kunci mobil padaku dan diam-diam memintaku mengeluarkan mobil dari garasi. Masalah membujuk, serahkan saja pada Bree. Dan begitu mobil siap di depan rumah, May dan Jeremy terbukti telah termakan bujuk rayu Bree. Tentu saja harus Bree karena baik Mama maupun Papa bukan merupakan orang yang tepat melakukan segala daya upaya persuasif. Perjalanan menuju Leiden menggunakan mobil memakan waktu delapan belas menit karena Papa yang menyetir. Setidaknya, kami memangkas waktu lima menit dari biasanya (kalau yang menyetir adalah orang selain Papa). May dan Jeremy segera turun di depan fasad kerangka besi Stasiun Leiden Centraal. Kebetulan, tidak banyak kendaraan yang mengantar pengunjung ke stasiun sore ini sehingga dalam satu lompatan lincah, May mengetu

DMCA.com Protection Status