Kepalanya bersandar di bahuku sehingga sulit rasanya menghela tubuhku untuk duduk tanpa membangunkannya. Aku mengucek mata dan melakukan hal pertama yang selalu kulakukan saat terbangun di tempat selain kamarku: memeriksa pakaianku di lantai. Masih tergeletak serampangan di sana. Aku menguap dan bengong memandangi langit-langit kamar yang berwarna putih. Segalanya putih di sini, membuatku mudah mengingat siapa gadis yang kutiduri semalam.
Karena kebelet kencing, aku terpaksa mengangkat tangannya dari perutku dan kemudian menggeser tubuhku menjauh darinya. Sylvia menarik tangannya lalu berguling memunggungiku. Rambutnya yang tebal kelihatan berantakan, mirip surai singa.
Biasanya air di daerah selatan Bali tidak terasa sesegar ini. Maka aku memutuskan untuk sekalian mandi. Selesai mandi aku bergegas keluar kamar. Sylvia melambaikan tangan dari tepi kasur lalu meregangkan tubuhnya sebelum berjalan menyusulku. Di ruang tengah, aku menemukan Gerald sedang menonton acara pagi di televisi. Ini hari apa?
"Kau sudah memikirkan kita pulang naik apa?" Tanya Gerald saat aku mencari-cari air mineral di dapur putih. Sylvia mengambil pitcher dari bawah lemari gantung di dinding dan menuangkan air di gelas silinder lalu menyodorkannya padaku.
"Taksi?" Tanyaku, sambil kepalaku masih sibuk bertanya-tanya kenapa aku tidak memikirkan jadwal kuliahku? Ini hari apa? Dan bersamaan dengan itu aku ingat bahwa aku tidak menggosok gigiku pagi ini. Tidak ada sikat gigi baru di kamar mandi Sylvia. Minum air mineral di antara gigi-gigi kotorku rasanya sedikit tidak sehat.
Seorang cewek bule—dia mirip dengan Sylvia kecuali ukuran matanya jauh lebih kecil dan rambutnya berwarna cokelat terang—yang hanya memakai bra kain dan handuk putih tersampir di pinggangnya menuruni tangga melingkar yang terletak dekat pintu teras. Dia menyapa kami semua dan kemudian pergi ke teras belakang. Memoriku yang hilang tiba-tiba muncul saat melihatnya menggeser tutup pintu teras. Kemarin aku sudah menentukan bahwa hari ini aku boleh mengatasi mabuk sepanjang pagi karena hari ini agendaku hanyalah menyelesaikan The Joy of X. Dan ini masih bulan liburan. Aku pun menyayangkan kenapa semalam tidak minum lebih banyak anggur. Pagi ini aku merasa terlalu sehat dan bahagia.
"Taksi menarif terlalu tinggi, Tom. Aku kan mahasiswa."
"Tidakkah kalian mengenal jasa ojek online di Bali?" Sylvia memeluk perutku dari belakang. Rasanya geli. "Aku menggunakan jasa seperti itu selama ini." Dan dia mengecup pipiku. Aku tersenyum dan segera menghindar tepat ketika dia memutuskan untuk keluar dari dapur dan masuk kembali ke kamarnya.
"Dia benar." Gerald segera mengeluarkan handphone dari kantung celana bermudanya. Jadi pakaiannya sudah kering? Dalam waktu semalam? Aku celingukan mencari mesin pengering, tapi tidak ada sejauh mataku memandang. Kemungkinan mesin-mesin ajaib berbobot besar diletakkan di lantai atas.
Sekarang harus memeriksa tarif ojek online. Aku menggerayangi kantung celanaku dan… Di mana handphone-ku?
Sylvia lalu mengacungkannya sambil berkata dengan lantang, "Beri aku nomor handphone-mu atau handphone ini kutahan! Tidak ada kuncinya, omong-omong."
Memang tidak kupasang pengamanan berupa sandi atau pola atau deteksi wajah dan sidik jari atau apa pun. Aku mendesah dan menyuruhnya menghubungi nomornya menggunakan handphone-ku. Sylvia terlalu senang dengan gagasan itu sehingga dia mengetikkan jemarinya di atas layar handphone-ku dengan keantusiasan setara seorang pemburu alien menemukan UFO di langit malam.
Kupikir dia tidak tertarik pada sebuah komitmen? Nomor handphone termasuk elemen yang mengikat dalam sebuah komitmen.
Aku menggeleng dengan pasrah.
Aturan nomor satu dalam one night stand: jangan bertukar nomor handphone. Apalagi dia masih akan tinggal di sini selama lima bulan.
.
Usaha cewek itu untuk membuatku tidak pernah melupakannya perlu dihadiahi penghargaan. Walau cara itu sedikit mengganggu dan lebih banyak menghiburku. Sylvia akan menghubungi sekitar pukul sepuluh malam dan bertanya apa aku sudah mau tidur? Dan kalau kujawab belum, aku masih harus menyelesaikan bacaanku, dia akan berkata baiklah, sepakat, aku akan menghubungimu lagi setelah kau selesai. Tapi dia melakukan itu setiap lima belas menit sekali dan ketika aku menegurnya, Sylvia malah terbahak-bahak. Jadi aku ikut tertawa.
Dia memaksaku. "Thomas Dustin, kau punya waktu sekitar empat setengah bulan untuk memutuskan bahwa kau bisa membuat pilihan untuk kita,"—aku bertanya di sini, sejak kapan ada kita? Sejak awal selalu hanya kau dan/atau aku, tapi Sylvia tidak peduli dan melanjutkan—"kita jelas bisa kencan selama empat bulan. Cukup empat bulan saja. Karena kau single dan apalagi aku, kita tidak perlu khawatir untuk tidak mendapatkan teman seks. F-W-B pernah dengar? Tapi aku tidak mau jadi temanmu. Aku mau jadi pacarmu selama empat bulan. Bagaimana?"
Tidak. Dan jawabanku tidak pernah berubah. Tapi cewek itu pun tidak juga menyerah sampai aku benar-benar mulai memikirkan tawarannya. …kita tidak perlu khawatir untuk tidak mendapatkan teman seks.
Aku sedang main PS di kamar mahabesar Jake bersama Victor ketika sebuah panggilan menyela perdebatanku dengan mereka berdua.
"Tom, kau harus mengangkat teleponmu," kata Jake, yang belum mendapat giliran bermain. Dia punya empat controller, tetapi hanya dua yang masih sehat.
Aku memaki dan menyuruhnya pergi ke neraka karena aku tahu itu Sylvia. Walau tahu tidak akan mengangkat teleponnya, aku tetap saja merancang kata-kata untuk menggodanya dan mengancam kalau dia masih terus menggangguku padahal sudah kukatakan tadi pagi bahwa aku akan sibuk siang ini dengan teman-temanku, aku mungkin akan benar-benar datang ke vilanya dengan kostum ala Captain America dan memaksanya bercinta denganku sampai dia berangkat ke Chili.
"Aku tidak bisa pergi ke neraka sebelum memegang controller-ku kembali. Lagipula kenapa kau tidak menyimpan nomor orang ini, sih?"
"Apa?" Aku menoleh sekilas.
"Nih, dia menghubungimu terus."
Jake benar. Itu adalah nomor tidak dikenal. Karena lengah, aku hanya bisa melongo ketika Jake merebut controller putih dari tanganku dan langsung berguling menjauh dariku.
"Pergi ke neraka sana," katanya sambil tersenyum geli. Mata sipitnya langsung melesak menjadi seperti cacing pita di bawah alis hitamnya. Aku menendang pahanya dengan pelan sambil tertawa.
"Nomor baru Edymu, mungkin?" Victor memberi pendapat tanpa menggeser sedikit pun bola matanya dari layar televisi.
Jelas bukan. Edy punya dua nomor telepon yang tidak pernah dia ganti sejak SMP dan SMA. Aku lalu keluar dari kamar Jake untuk mengangkat teleponku. "Halo, selamat siang, saya Thomas Dustin, sedang bicara dengan siapa?"
"Amelia Hyunji. Aku mendapatkan nomormu dari Edward Dustin. Dia bilang kau sanggup merancangkan sebuah desain rumah tinggal untukku."
Wisudaku bahkan masih tiga tahun lagi. Itu pun kalau aku berhasil menyelesaikan kuliahku tepat waktu. Baiklah, paling cepat dua setengah tahun lagi. Jika saat ini aku mampu merancang sebuah desain rumah tinggal, aku akan mulai menghambakan diri pada diriku sendiri, yang sayangnya aku yakin mustahil. Aku tahu semua dasarnya tapi aku belum belajar menggunakan AutoCAD dan software sejenisnya untuk merancang desain secara 3D. Hitung-hitunganku tidak mungkin meleset, tapi aku harus mulai dari mana?
Aku benar-benar ingin langsung menolak tapi bagaimana bisa aku menyia-nyiakan kesempatan seperti ini? Dan aku… Sialan. Ayolah, Thomas, berpikir. Aku mondar-mandir di depan pintu ganda kamar Jake dengan pelipis berdenyut-denyut. Tidak boleh terlalu lama menanggapi atau aku akan kehilangan kesempatan yang mungkin saja masih bisa kudapatkan dan kurampungkan.
Tapi untuk apa aku ragu? Aku punya banyak sekali referensi desain bangunan di folder arsip tugasku. Tapi itu kan untuk tugas.
Telapak tanganku berkeringat. Aku menjilat bibirku yang kering dan akhirnya berhenti melangkah di kusen daun pintu yang tertutup. "Sebuah rumah? Bolehkah saya tahu di mana lokasinya?"
"Canggu. Kalau kau mau tahu lokasi detailnya, kita bisa bertemu untuk membicarakan itu lebih lanjut."
Aku ingin tahu alasan Edy tiba-tiba memberikanku kesempatan sebesar ini. Dari seorang wanita. Dalam pikiranku aku sudah menuduhnya. Dia mungkin hanya ingin memperolokku. Kemampuanku memang belum mumpuni. Bulan September nanti aku baru akan menjalani tahun keduaku. Atau bisa jadi wanita ini adalah teman dosen yang dia bilang ingin berkenalan denganku dan mengajakku minum anggur. Tapi wanita ini mengungkit soal desain rumah. Jika dia hendak memanfaatkan kesempatan ini untuk mendekatiku—mungkin saja wanita ini benar-benar wanita yang Edy maksud waktu itu—aku juga harus mendapatkan poin dalam permainan ini. One-one dan aku tidak peduli lagi soal siapa perantara yang menghubungkan kami.
"Rumah siapa yang ingin Anda bangun kalau boleh tahu? Ini untuk keperluan terkait ruangan…" Aku akan menyebutnya apa? "User." Dihadapkan pada tanggung jawab sebesar ini, kepalaku mendadak jadi kosong. "Aku perlu memiliki gambaran singkat tentang user rumah ini." Aku bernapas dengan lega.
"Aku. Rumah milikku. Aku memerlukannya dalam waktu maksimal lima bulan untuk siap ditinggali. Jika kau berhasil memberiku desainnya dalam waktu dua minggu, aku akan mencari kontraktor yang sanggup membangunnya dalam waktu paling lambat empat bulan."
Paling lambat empat bulan. Dia benar-benar ingin menempati rumah itu secepatnya. "Tapi Anda tahu saya adalah seorang mahasiswa tahun pertama. Bagaimana Anda yakin dengan kemampuan saya?"
"Apakah kau tidak yakin dengan kemampuanmu sendiri?"
Aku meneguk ludah. Alisku terasa gatal dan dahiku memanas. Kesempatan besar. Ini gila. Aku belum siap tapi merasa sangat antusias. Seandainya saja Edward gila itu punya sedikit waktu untuk membicarakannya terlebih dahulu denganku supaya kami bisa mengklarifikasi sejauh mana kemampuanku beserta kelemahanku. Kalau itu tidak perlu diragukan lagi. Aku sangat payah dalam memikirkan garis mulainya. Walau ini bidangku, aku belum kepikiran menerima klien. Oh, Odin yang bijaksana, bagaimanakah menurutmu?
Tapi satu yang kutahu: aku tak pernah meragukan kemampuanku sendiri atas segala hal yang telah kupelajari, jadi aku mengangguk untuk diriku sendiri dan berkata dengan suara mantap padanya, "Anda tidak perlu khawatir soal itu. Kalau yang Anda bicarakan ini benar soal desain rumah, saya akan berusaha menanganinya sebaik mungkin."
"Aku akan mengirimimu waktu dan lokasi meeting pertama kita. Kau mungkin butuh rekan untuk dijadikan asisten? Atau mungkin kau lebih nyaman bekerja sendiri? Aku perlu tahu karena itu penting dalam pemesanan meja di restoran."
Ini dia. Aku akan datang dengan siapa? Jake? Victor? Gerald? Tino sudah pasti tidak. Dia menyerah pada arsitektur dan mendadak jadi galak luar biasa jika ada yang menyinggung soal jurusan lamanya. Yuda juga tidak. Jake dan Victor satu paket. Aku ingin membawa satu orang saja. Gerald? Dia bisa menjadi anak patuh yang menuruti semua perintahku. Tapi aku butuh seorang penasihat dan fokus utama Gerald adalah cewek. Mungkin Gerald bisa membantuku memahami sifat Amelia. Sifat yang akan mencerminkan desain rumah paling tepat untuknya. Baiklah waktu berpikir habis. Untuk saat ini aku memilih Gerald. Aku yakin wanita ini serius. Dia bicara dengan nada seorang kakak perempuan yang sangat mengenal baik rekam jejak kenakalan adik laki-lakinya.
Aku meniupkan napas panjang dan menjawab, "Aku akan datang berdua dengan seorang asisten."
Hyunji lalu berkata bahwa dia akan memperkenalkan dirinya lebih lanjut saat meeting pertama kami nanti. Kemudian dia menutup telepon. Aku menggenggam handphone di sisi tubuhku erat-erat.
Aku baru saja mendapatkan job. Di bidang arsitektur. Arsitektur!
Dadaku membusung ketika mendorong daun pintu sampai membentur dinding kamar Jake. Victor dan Jake rupanya sudah menyelesaikan permainan mereka. Mereka mendongak dan terheran-heran karena melihatku berseri-seri setelah menerima telepon.
"Kau pasti akhirnya menerima cewek dari Uluwatu itu," celetuk Victor sambil menyeringai. Dia kelihatan seperti bocah. Tiba-tiba aku didesak keinginan untuk menjodohkannya dengan Sylvia. Tapi aku tidak mengatakan sesuatu tentang Sylvia karena begitu ingin menceritakan tentang wanita bernama Amelia.
Dengan nada sabar dan kalem tetapi semangat dan yakin aku menjelaskan kepada mereka tentang pekerjaan dadakan yang kudapatkan. Begitu ceritaku selesai, mereka bertatapan dan kemudian menatapku kembali. Hal pertama yang kupikir ada dalam benak mereka adalah dude, kau keren banget! Dan hal kedua adalah aku menawarkan diri untuk menjadi asistenmu, wahai saudaranya Thor yang Perkasa. Tapi ternyata aku sangat salah.
"Menurutku ini pekerjaan darurat." Jake yang pertama memberi pendapat.
Victor mengonfirmasinya dengan sebuah anggukan. "Kau menghilang selama lima menit dan muncul kembali dengan nama wanita yang berbeda. Menurutku kau benar-benar butuh bantuan, Kawan."
"Itu benar. Tapi aku lebih menyoroti pekerjaanmu daripada cewek itu," balas Jake.
Victor menunjukku. "Oh, ya. Kita memang akan menyoroti pekerjaanmu. Kau memang butuh bantuan."
"Betul." Aku mengangguk dengan gerakan seolah-olah leherku patah dan kepalaku hendak menggelundung ke lantai.
Victor dan Jake saling menoleh sebelum Jake menyeringai. "Dan kau datang kepada orang yang tepat."
Aku nyaris berpikir maksud Jake adalah dirinya sendiri jika Victor tidak menambahkan, "Maxus akan menjadi pahlawanmu."
Maxus. Sebenarnya aku tidak tahu apa hubungannya semua ini dengan Max. Kecuali jika Max ternyata adalah seorang arsitek. Tapi daripada memikirkan Max, aku malah memikirkan efek yang lebih jauh lagi di belakang Max. Efek domino. Balok-balok di belakangnya akan runtuh setelah aku mendorong balok Max yang akan membawaku sampai pada balok Gesa. Berurusan dengan Junko atau Max pasti akan memberiku alasan untuk berjumpa dengan Gesa. Itu artinya selangkah lebih dekat dengan Gesa.
Aku tersenyum, merasakan pipiku gatal luar biasa jika aku tidak melebarkan senyumku. Hanya Victor yang tahu maksud senyum itu karena dia berkedip padaku dan balas tersenyum.
.
Jake mengirim pesan untuk mengatakan bahwa dia sudah sampai di rumah Junko saat aku berada di lampu merah terakhir menuju ke rumah Junko.
Gerbang hitamnya ditutup, tapi kata Junko sekali waktu buka saja karena pintu utamalah yang menentukan seseorang boleh masuk atau tidak. Dan pintu ganda kayu itu terbuka salah satunya. Aku melepas sandal gunungku di tangga teras, menaruhnya untuk bergabung dengan kerubutan alas kaki lainnya. Pelan-pelan aku berjalan mencapai gagang besi pintu yang memanjang secara vertikal dari dada ke betisku. Aku curiga pintu ini sebenarnya portal untuk memasuki dunia Snowhite yang penuh kurcaci karena bayi baru lahir yang berusaha berdiri pun akan sanggup mencapai gagang pintu ini.
Aku mendengar dengung sebuah mesin dari dalam. Bunyi yang mendahuluiku sebelum aku melihatnya di depan mesin espresso mininya. Tubuh tegapnya kelihatan mengintimidasi mesin espresso itu. Tangannya terjulur untuk menekan sebuah tuas yang membuat lajur bubuk kopi mengalir keluar dari tempat penampungnya. Poninya tidak rapi-rapi amat sehingga menyingkap busur alisnya yang melengkung sempurna.
Sepertinya dia melihat sekelebat gerakan di ekor matanya, yang membuatnya memutuskan untuk menoleh. Hal pertama yang dilakukannya saat melihatku berdiri dengan sikap canggung adalah mematikan mesin. Dengung yang terdengar seperti gergaji memotong kayu pun menghilang. Hal kedua, tentu saja tersenyum. Dia kan Gesa Edrei. Dia melumpuhkan lawannya dengan sebuah senyuman.
"Goedenacht, Jongen." Dia menyapa.
"Nee, niet doen."Tidak, jangan, aku berkata untuk mencegahnya, mendecak, meringis, dan tersenyum. Aku sudah delapan belas tahun. Dia tidak boleh memanggilkuboy—jongen. Apalagi dia telah membuatku merasa tertarik padanya. Dalam teorinya, seorang laki-laki tidak ingin terlihat lemah, kecil, atau awam di depan perempuan yang disukainya. Bayangan May dalam kepalaku melotot padaku.Kau menyukainya?Tidak. Aku sungguh hanya suka penampilannya. Maksudku adalah dia keren. Kau tidak perlu marah, May. Gesa memperlihatkan giginya dan bergeser sedikit ke sebelah kiri, memasukkanportafilterke dalam mesinespresso. Oh, dia sejak tadi berdiri di depangrinderbiji kopi. Mesin itulah yang
Diskusi dilakukan di sofa ruang tengah lantai satu. Tidak secara formal, tapi tetap beradab sehingga Mama Gesa berulang kali memperingati Max untuk tidak mengangkat kakinya ke meja jati berpermukaan kaca. Setelah berpamitan, Mama Gesa dan Gesa bergegas keluar rumah.Sementara jeritan kesal dan tawa keras menggelegak di lantai dua, aku dan Max melakukan perbincangan ringan, tentang kampusku, jurusanku, kelas-kelasku, bahkan SMAku, sebelum menjerat kami ke dalam bahasan utama pertemuan hari ini."Singkatnya, Tom," kami sempat berkenalan dengan semi-formal. "kau tidak bisa menandatangani kontrak itu karena belum memiliki izin."Aku mengernyit. "Benarkah?""Ya. Nanti kau akan mempelajari perihal izin di semester atas. Dulu di teknik sipil
Pesan dari Amelia Hyunji masuk pukul delapan pagi, dua hari setelah aku berunding dengan Max, saat aku sedang belanja keperluan mandi diminimarket. Restoran yang dia pesan terletak di dekat kampus Udayana Sudirman. Dia memintaku, jika tidak keberatan, untuk hadir pukul sepuluh pagi dengan rekanku pada hari Sabtu. Aku meminta tanggapan Max untuk kesediaannya menghadirimeeting pertama kami. Max menawar paling lambat hanya sampai pukul satu siang untuk hari Sabtu, dan kalau bersikeras pukul sepuluh pagi sampai waktu yang tidak ditentukan, harinya harus dipindah antara Kamis dan Minggu.Kami bertiga sepakat Minggu pagi. Sekarang masih hari Rabu. Aku mencuci sepatu (kalau kutaruh di penatu, robeknya bakal bertambah lebar) selama tiga puluh menit, membuat uitsmijterdan makan sendirian sampai pukul sepuluh pagi.
"Tidak sepenuhnya benar. Tapi kau diterima dalam keluarga Sandra. Itulah sebabnya sebenarnya sejak tadi aku ingin menyuruhmu memanggilku Bree dan bukannya Gesa."Kenyataannya adalah aku tidak pernah menyebut namanya saat berbicara dengannya. Sebelum aku sempat menatap lama-lama matanya yang mirip batu pijar pada zaman Hadean, dia melenggang menuju rak buku dan berdengung panjang di depannya. "Kau mau di luar matematika atau di dalamnya?"Aku berdiri di sebelahnya dan mengulurkan tangan untuk menyentuh sebuah punggung buku berwarna marun. Tapi kemudian teringat sesuatu. "Bolehkah aku menyentuh ini?""Sebenarnya kau boleh menyentuh apa pun. Aku hanya galak terhadap mesin espresso."Judulnya Kemolekan Landa karangan Muriel Barbery. Aku membalik buku dan membaca blurb di sampul belakang."Sebuah novel terjemahan dari bahasa Perancis yang sangat sulit diucapkan.
Sesuai kesepakatan kami bertiga, waktuku untuk mendesain rumah tinggal Hyunji hanyalah dua minggu, sudah termasuk semua revisi yang kemungkinan besar akan banyak sekali. Tapi Hyunji menawariku untuk membuat desain tersebut di rumah sewaannya. Empat belas hari dalam dua minggu. Selama dia mengajar di kampus, aku boleh menggunakan fasilitas di rumah itu. Termasuk mandi, memasak, mencuci baju, menjemur, dan menginap.Aku memanfaatkan fasilitas itu sebaik-baiknya. Selain karena semua fasilitas dan jaminan yang kudapatkan, aku jadi lebih mudah mengamati kebiasaan Hyunji selama seharian. Sifatnya secara langsung memengaruhi warna kesukaannya, abu-abu tua dan biru matanya. Perpaduan dua warna tersebut harus dimaksimalkan tanpa kesan paksaan. Hyunji juga menginginkan pencahayaan alami sehingga aku merancangkan jendela minimalis layar lipat atau yang biasa disebut dengan folding screen di bagian ruangan yang akan menghadap ke sebuah taman.
Terpaksa aku membawanya pulang ke rumahku. Gerald tidak mungkin membawa temannya yang mabuk pulang ke rumah. Dia punya adik perempuan berumur delapan tahun yang merupakan permata keluarga, yang membuat semua masalah kecil yang diprakarsai adiknya dilimpahkan sebagai kesalahannya. Gerald merasa cukup dengan semua masalah itu, tidak perlu menambah masalah baru.Mengantar Yuda pulang ke rumahnya juga tidak mungkin. Aku bisa gila jika harus bertemu Marilyn Monroe dan adiknya Yuda.Lampu rumahku mati. Aku keluar mobil lebih dulu untuk membuka pintu rumah, kemudian kembali ke mobil untuk menggotong tubuh tegap Yuda masuk ke rumah bersama Gerald. Pintu kamar Edy tertutup saat aku melewatinya. Tidak ada suara apa pun, begitu hening sampai membuat telingaku berdengung. Aku dan Gerald membaringkan Yuda di atas seprai lecek kasurku. Aku selalu berpikir sudah membersihkan kamarku saat akan meninggalkan rumah, tapi ternyata itu hanyalah angan-angank
"Selamat malam. Mohon maaf, saya tidak terbiasa mengangkat panggilan masuk di atas pukul sebelas malam dari nomor tidak dikenal. Saya Gesa Edrei, sebelum melanjutkan, saya perlu tahu sedang bicara dengan siapa saat ini."Aku menahan napas. "Bre," panggilku, melarutkan aksen Belanda dalam namanya.Lama Bree terdiam sebelum mendesahkan senyuman. "Di mana aku bisa mencarimu besok?""Uluwatu.""Kau berada jauh sekali dari rumahmu.""Yuda bilang kau mencariku.""Ya. Bukankah kita membuat rencana untuk mendatangi pameran buku obral setiap hari sampai puas?"Aku tersenyum, membayangkan jemariku meraba lajur pipinya dari mata menuju bibirnya yang seperti buah persik dan disergap perasaan yakin bahwa dialah perempuan yang benar. May dalam kepalaku hanyalah sebuah suara, Sylvia hanyalah rekan untuk bersenang-senang, Hyunji hanyalah persinggahan sementara. Ba
Desain itu sudah kuselesaikan dan sedang berada dalam tahap revisi terakhir di tangan Max. Aku tetap harus mempelajari salinan revisinya, baik dalam bentuk 2D maupun 3D, tapi Max memberitahuku bahwa desain bentuk 3Dku jauh lebih baik daripada yang dia bayangkan sehingga revisinya tidak banyak.Kesibukan Max di tanah Canggu pun dimulai. Sesekali, pada rutinitas yang sudah kami rencanakan, aku harus mengawasi jalannya pembangunan untuk memeriksa apakah semuanya sesuai dengan maksud dan tujuan desainku. Tapi selain pengawasan rutin itu, selebihnya, aku dibebastugaskan. Lagipula, sebenarnya aku hanya drafter. Kerjaku di proyek ini hanya menggambar. Jika desainnya sudah sesuai dengan keinginan user dan apa yang Max perintahkan padaku, selesai sudah.Beberapa kali aku mempertimbangkan untuk menghubungi Bree. Tapi aneh rasanya mengangkat handphone untuk menghubungi perempuan selain ibu dan nenekku padahal aku ada di
Aku dirawat di rumah sakit selama dua hari. Yuda tak mengatakan apa pun pada siapa pun. Bree tak mengatakan apa pun pada siapa pun. Hanya ada aku dan Yuda di parkiran seluas itu saat perkelahian itu berlangsung sehingga tak ada saksi mata lainnya. Kata Sandra, mengherankan betapa Bree bersikap sekalem ini menghadapi pengeroyokan terhadapku. Tapi berbeda dengan semua orang, Bree, walau tak melihat, tahu apa yang terjadi. Utangku pada Yuda sudah terbayarkan atau belum, aku juga tidak tahu. Pasalnya, aku merasa hanya berutang informasi bahwa aku tahu. Dan aksi penggebukan itu kumaksudkan sebagai pelunasan utang. Bonus pelunasan utang. Sekarang, seharusnya utangku telah terbayarkan. Tapi, kalau ditelaah lebih jauh, aku juga berutang waktu kepadanya, sesuatu yang takkan pernah berhasil kubayarkan dengan tuntas. Begitu siuman, aku dibawa pulang. Administrasi rumah sakit diselesaikan, keluargaku tak diberi kabar, sesuai pesanku pada
Pertanyaan terakhir Edy padaku sebelum terbang ke Belanda adalah, "Apakah ada alasan lain mengapa kau membenciku?" Bree menolehku, Edy menatapku, aku berdiri termangu-mangu beberapa detik, mencari-cari di antara serabut otakku, liku urat, dinding daging lembek, tapi aku yakin bahwa jawabannya hanya mentok sampai pertanyaannya saja. Aku pun menggeleng. Edy dan Bree saling mengangguk. Dan kemudian Edy pun pergi.Dua malam setelahnya, kami mengadakan perombakan besar-besaran pada kamar tamu di lantai satu rumah Bree karena aku tidak lagi tinggal sebagai penumpang, melainkan sebagai anggota tetap keluarga mereka. Terlepas dari ada atau tidaknya hubungan romantis dengan Bree, kini aku resmi menjadi anak kesayangan Sandra. Lemari lapuk dikeluarkan dari kamar seluas 12m² tersebut, diganti dengan walk-in closet yang kudesain secara darurat. Dinding di sebelah lemari kupajangi lukisan-lukisan abstrak geometris. Cetakan jernih lukisan Broadway Boogie
Aku menuruti penuturan Olaf. Sertai keterpurukannya sampai dia sadar aku ada di sana untuknya, menemaninya. Berbelit di sekitarnya, lakukan dengan mulus, tapi jangan intens. Sebab, Olaf ingin aku menjadi satu dari orang-orang yang cukup dipercayainya, dan bukan orang yang paling dipercayainya. Merunut cerita Victor tentang bagaimana Yuda melibatkan Mike dalam urusan privasinya, kata Olaf, Yuda pastilah orang yang mudah memercayai hampir siapa pun. Dia tepat dijuluki ekstrover putus asa. Begitu ingin bergabung dalam keramaian, tapi tak tahu bagaimana caranya membaurkan diri.Jadi dalam sebulan terakhir, aku, yang biasanya menghindari Yuda, berlaku sebaliknya. Dalam kerja-kerja kelompok, aku menyertakannya. Aku juga mengajaknya (kalau sempat melakukannya sebelum kelas pagi dimulai) sarapan dan makan siang. Dan kuceramahi pula dia tentang kelas-kelas semester lalu yang harus diulanginya pada semester ini.Dan aku, merasa sangat berkebalika
Tubuh kebal Edy siap menjalani bertahun-tahun kembali tanpa diserang penyakit. Dia tampak lebih kuat setelah memutuskan untuk turun kasur permanen. Kami mencopot seluruh kain kotor berikut gorden, kasur, sampul bantal, selimut, pakaian apak yang terlalu lama digantung di lemari dari kamarnya, dan membawanya ke penatu terdekat. Pada bulan Februari, saat libur semester ganjilku berakhir, kampus Edy baru menjatah libur. Durasi libur itulah yang dipergunakannya sebaik mungkin untuk mengurus kelengkapan dokumen pengunduran diri dari kampus karena ternyata kabar dari Bree benar adanya: Edy memutuskan untuk pindah ke Belanda selamanya, meninggalkanku sebatang kara di sini sampai lulus kuliah. Mama masih agak khawatir padanya sehingga mengutusku untuk menemani Edy mengurus hampir segala keperluannya dan Edy, tampak sama sekali, tak keberatan. Mirip seperti dulu, yang baru saja dikatakan Reza beberapa waktu lalu. Aku mengikuti Edy ke mana pun
"Seharusnya memang begitu." "Tapi, katanya mustahil ada perempuan seperti aku. Sungguh, aku menahan diri untuk tidak bertanya seperti aku itu sebenarnya seperti apa? Dan demi mencegah berbagai macam spekulasi ngawur, seperti misalnya aku ini transgender atau lesbian atau disuntik hormon testosteron, kubilang saja kenapa mustahil kalau aku adalah bukti yang duduk di hadapanmu?Dan, yah, katanya, benar juga. Lalu kami mulai membicarakanmu." "Kalian tertawa-tawa. Sepertinya menertawakanku?" "Edward bilang kau belum bisa cuci pantat sendiri setelah buang air besar sampai kelas satu." Aku mulai mengerang. Bree tertawa dengan penuh kemenangan mendapati cerita itu ternyata benar. Dan memang benar. Dan juga memalukan. "Rambutmu dulu sulit sekali tumbuhnya. Mereka sudah membaluri minyak kemiri, gel lidah buaya, pasta bawang merah, dan segalanya, tapi rambutmu tumbuh dengan lambat. Dan ternyata
Aku dan Bree menyetir Jeep ke rumah Hyunji pada pukul sepuluh malam kurang dua belas menit karena perjalanan dari Dalung ke Canggu tidak memakan waktu lebih dari dua puluh menit. Seandainya kami terlambat, keterlambatan itu terletak dalam rentang waktu yang relatif bisa dimaafkan—lima menit? Tujuh? Sepuluh? Aman. Pokoknya, selama Hyunji tidak menganut idealisme hidup ala orang Jepang yang disiplin waktu, semuanya akan baik-baik saja. Mesin bermotor yang punya badan besi hitam tinggi-besar sempurna seperti raksasa ini menyorotkan lampu jauhnya pada jangkauan jalan-jalan tergelap di Canggu. Asap debu mengepul di sepanjang tongkat cahaya kekuningan lampu sorot yang bentuknya membesar di kejauhan, tempat kami bisa mengamati alam Indonesia yang liar dan lebih menyerupai alam yang sesungguhnya. Alam yang tak terjamah manusia dengan pelepah pohon kelapa setinggi lima meter yang tumbuh dari balik pembatas besi melingkar di tikungan jalan yang diterangi oleh lam
Setelah proses lepas landas selesai, Bree kembali menawariku permen karet mentol—yang kutolak dengan menggeleng—sambil menjabarkan seluruh kiat untuk menyukseskan ED Education. Katanya, dia harus berpikir cerdas untuk membagi waktu antara menyelesaikan skripsi dengan mengorganisasi bimbingan belajar rintisannya tersebut. Paling tidak, dia harus bisa mengejar kuota wisudawan bulan Maret. Di bulan itu, ED Education menargetkan sudah mendidik sekitar lima belas murid. "Dan tahukah kau bagian paling kacau dari semua ini?" "Apa?" tanyaku. "Promosi." "Kenapa dengan promosi? Kau bisa saja menyewa jasa orang untuk melakukannya." "Benar. Kok tidak kepikiran, ya?" Bree mengernyit, berpikir secara mendalam sampai akhirnya kembali menolehku. "Aku merasa payah dengan media sosial. Tapi baiklah. Aku akan menuruti saranmu." Kemudian, aku memikirkannya. Tentang menetap di Bel
"Bukankah kau harus mengambil semua barang-barangmu dari sana?" Aku masih merasa bingung. Bree mengangkat alis dan mencebik ketika melihatku menelengkan kepala. "Untuk memperbaiki hubunganmu dengan kakakmu, hal pertama yang harus kaulakukan adalah tinggal bersamanya, benar?" Barulah aku mengerti. Tapi, sayangnya, kini aku tahu Breelah yang tidak mengerti. Ada hal-hal yang tidak diketahuinya, yang tidak terlalu senang kubagi dengannya menyangkut persaudaraanku yang rusak dengan Edy. Salah satunya adalah ketakutan tidak mendasarku kembali ditinju Edy. Padahal, akulah yang mulai mengangkat tangan padanya, tapi ketika Edy membalas hanya demi melindungi dirinya sendiri dari terkamanku, aku malah merasa sedang dikeroyok, dihina, dipermalukan, dan disingkirkan. Kau tidak perlu merasa dirimu orang asing sehingga pantas disingkirkan, kata Olaf pada sesi konseling pertama kami. Dia benar. Seharusnya aku berhenti merasa begitu.
Kereta selanjutnya dari Leiden menuju Belgia berangkat pukul 18.15. May dan Jeremy segera berpamitan tepat pada pukul setengah enam sore. Mereka berkata akan mencari bus menuju Leiden tapi Papa mengoper kunci mobil padaku dan diam-diam memintaku mengeluarkan mobil dari garasi. Masalah membujuk, serahkan saja pada Bree. Dan begitu mobil siap di depan rumah, May dan Jeremy terbukti telah termakan bujuk rayu Bree. Tentu saja harus Bree karena baik Mama maupun Papa bukan merupakan orang yang tepat melakukan segala daya upaya persuasif. Perjalanan menuju Leiden menggunakan mobil memakan waktu delapan belas menit karena Papa yang menyetir. Setidaknya, kami memangkas waktu lima menit dari biasanya (kalau yang menyetir adalah orang selain Papa). May dan Jeremy segera turun di depan fasad kerangka besi Stasiun Leiden Centraal. Kebetulan, tidak banyak kendaraan yang mengantar pengunjung ke stasiun sore ini sehingga dalam satu lompatan lincah, May mengetu