Setelah enam bulan pendekatan, Jake akhirnya memantapkan diri untuk meminta Junko menjadi kekasihnya. Bukannya Jake cupu, payah, atau apa. Dia bilang Junko adalah satu-satunya gadis yang tidak menunjukkan minat besar terhadap gelar bangsawan ayahnya. Aku setuju. Junko sepertinya tidak begitu tertarik pada uang. Dia butuh uang, tentu saja. Tetapi minat utamanya adalah makeup. Jika tidak punya uang, dia bisa meminjam makeup teman-temannya. Karena Junko orang yang loyal, teman-temannya tidak mungkin tidak meminjamkan makeup mereka. Teman-temannya kalang kabut jika kehabisan makeup. Itu sebabnya mereka punya stock masing-masing alat makeup. Sungguh menarik. Aku juga pasti kalang kabut saat refill pensil mekanikku habis.
Malam ini, Jake tampil gagah. Seperti biasanya. Aku heran bagaimana dia tampak selalu keren tanpa berusaha keras untuk tampak keren. Maksudku, seharusnya sesuatu yang stabil dan cenderung sama akan menyebabkannya menjadi monoton. Dan sesuatu yang monoton selalu membosankan. Kecuali Jake.
Hanya dalam kaus setrip navy-putih berkerah bulat yang dirangkapinya dengan parka berwarna seperti lumut, Jake sudah menjadi cowok terkeren dalam rombongan ini. Aku melirik kaus abu longgar dan celana jeans hitam yang kukenakan. Lalu melirik kaus putih dan kemeja berkain tipis berpola setrip vertikal hitam-putih Victor. Sekarang aku sampai pada kesimpulan: kami berdua tidak berpotensi jadi model.
Pantas saja Junko merespon Jake.
Hari ini Victor mendapatkan luka baru di bawah matanya. Sebuah garis menganga di bawah perban luka. Itu adalah pecahan kaca dari gedung tempatnya berlatih karate. Seorang pengemudi mobil di parkiran sepertinya tidak bisa membedakan pedal rem dan gas sehingga memutuskan bahwa gas adalah cara terbaik untuk mengakhiri derum mesin mobil. Tapi ternyata dia salah. Dia membuat mobil menabrak dinding kaca. Victor duduk di baliknya, sedang minum air ketika pecahan kaca mencuat melewati pipinya. Victor bercanda tentang Coraline. Mungkin Neil Gaiman tertarik membuat cerita tentang mata kaca. Tapi aku lebih suka ide mata kancing.
Semua orang sudah datang, kecuali Junko sendiri. Kami duduk mengelilingi meja persegi panjang yang permukaannya ditutupi kain katun cerah. Masing-masing orang mendapatkan piring dan gelas. Kerang, kepiting, lobster, gurita, dan udang sedang dibakar (atau dipanggang? Mungkin hanya digoreng. Andrea mengurus pemesanan, jadi aku tidak tahu banyak).
Ketika seorang pelayan perempuan berseragam kemeja putih dengan kerah biru langit dan waist apron sewarna wijen menutupi celana hitamnya datang membawa tiga pitcher kaca di atas tray bulat, Andrea bangun dari kursinya dan mengangkat satu pitcher berisi minuman berwarna hijau transparan. "Ini mojito tanpa alkohol. Jadi kita bebas minum sebanyak-banyaknya."
Victor merosot di kursi kayu dan berbisik kepadaku. Rokok menggantung di ujung bibirku. Aku mencondongkan tubuh ke arah Victor untuk mendengarnya. "Kau dengar dia? Mojito tanpa alkohol." Dia mendengus. "Soto tanpa nasi, masih benar. Tapi gitar tanpa senar? Masih gitar, hanya saja… Tampaknya tidak benar. Itulah yang terjadi pada mojito tanpa alkohol."
Aku mengangguk setuju. Victor senantiasa waspada. Sahabatku itu setangguh dua ajudan yang dulu pernah diutus untuk melindungi Jake sampai kelas enam. Berdasarkan cerita mereka, Jake mengeluh kepada Mr. Johnson karena dia jadi kelihatan seperti bocah cengeng jika ditemani dua ajudan itu. Jadi Mr. Johnson mulai membayari Victor pelatihan bela diri. Jake juga menjalaninya, tapi tidak seserius Victor.
"Apa kau tahu di mana Putri Elsa kita?" Sikap dingin Junko setara dengan es yang Elsa keluarkan dari sentuhannya. Dan Junko secantik Elsa, dengan tone kulit lebih gelap. Dia seksi.
"Mungkin memeriksa penampilannya sekali lagi di spion tengah Chevroletnya."
"Kenapa Jake tidak menjemputnya?"
Victor menatapku, mengunciku dalam tatapan itu kemudian menggeleng. "Maxus dan Gege yang akan mengantarnya."
"Maxus dan Gege?"
Victor mengangguk. Bibirnya besar, matanya besar, hidungnya besar. Entah kenapa segala sesuatu tampak kebesaran di wajahnya yang kecil. "Kupikir kemarin kau melihat-lihat fotonya Gege dan Juny?"
Oh, Tuhan. Dia memenggal nama-nama itu. "Ya. Hanya saja aku tidak mengerti kenapa kau berpikir Gege lebih oke dari Gesa. Dan Junko, lebih dari apa pun, adalah nama terkeren yang pernah kudengar." Tapi kemudian aku tersentak. "Gesa ikut?"
Bibir Victor merah segar karena dia bukan seorang perokok. Dan sekarang bibir itu mencebik ke arahku. "Kau boleh naksir dia. Tapi Junko tak akan membiarkanmu berpacaran dengan kakaknya. Tahu, kan?" Victor membuat gerakan mata yang menjengkelkan. "Kita brengsek. Jadi kita tak akan mendapatkan cewek baik-baik."
Itulah sebabnya aku tidak repot-repot untuk kembali serius dengan seorang cewek. Atau dengan seorang pun. May sudah cukup. Hanya akan ada satu May di hatiku. Begitu terus selamanya.
Tapi sebenarnya yang kumaksud adalah… Gesa Edrei akan datang dan ikut duduk bersama kami. Tapi kursi kami sudah pas. Apakah Gesa hanya mengantar Junko sampai di parkiran?
Aku kepingin melihat Gesa Edrei.
Pitcher berisi minuman kuning transparan sampai di dekatku. Aku mencari-cari yang warnanya hijau. Dan minuman itu ternyata ada di kepala meja, di samping Andrea. Cewek itu mengatur jalannya permainan. Aku akan menghajar Jake untuk itu. Seharusnya aku dapat minuman hijau, bukan kuning. Tapi aku cukup senang karena Andrea mempertimbangkan kebiasaanku merokok. Dia memesan meja di halaman belakang restoran yang terbuka sehingga aku dan Gerald bisa merokok dengan bebas. Kalau begitu Jake selamat.
Meski begitu, wangi citrus minuman kuning itu begitu menyengat sehingga membuatku penasaran. Ludah menyelip di antara gigi bawahku. Jadi aku tetap menuang minuman itu ke gelasku.
"Serius?" Hardik Victor. Aku mengangkat alis. "Itu mojito tanpa alkohol. Minuman yang salah." Aku tertawa. Dia rupanya penganut fanatisme konstruksi minuman.
Saat itulah dia datang.
Sangat tinggi. Jauh lebih tinggi daripada yang pernah kuantisipasi. Junko adalah cewek seksi setinggi 172 cm.
Gesa lain cerita.
Dia menjulang seperti Yggdrasil yang besar dan keramat. Pohon raksasa itu menghubungkan sembilan dunia dalam kosmologi Nordik. Gesa terlihat seperti itu. Dia datang dengan seorang cowok bule yang lebih tinggi lagi. Ada apa sebenarnya dengan orang-orang ini? Mereka berdua berjalan di belakang Junko, yang melangkah dengan anggun di balik gaun putih sepanjang betisnya, membentuk sebuah segitiga. Formasi catwalk paling keren yang bisa dibuat oleh tiga orang yang melangkah dengan sangat kasual.
Sebenarnya bagian paling menarik dari semua itu adalah bundel-bundel cokelat madu itu sudah dipangkas pendek. Rambut Gesa kini berbentuk seperti sebuah jamur kempes. Itu potongan model pixie yang keren. Dia tidak bisa membuatku berhenti mengatakan keren.
Masalahnya adalah dia kelihatan sangat tampan. Seandainya lima hari lalu aku tidak melihat-lihat koleksi fotonya bersama Beatrice, hari ini aku akan berpikir dia seorang cowok. Aku akan kelihatan bodoh dengan bertanya-tanya lalu di mana Gesa? Padahal dia sedang ada di situ, berdiri dan bercanda di sisi tengah meja, memegang punggung kursi Rain dan kursi kosong yang akan menjadi milik Junko malam ini.
"Cobalah jangan terlalu menonjol." Victor menyikut rusukku. Aku mengerjap dan membalas tatapannya. "Kau memandanginya terus-menerus tanpa berkedip." Padahal cewek besar itu hanya mengenakan hoodie abu polos, jeans hitam, dan sneakers hitam-putih. Tapi dia sangat memikat.
Satu lagi yang menarik jika orang-orang memerhatikan.
Pakaian kami berwarna sama. Dari mulai baju sampai ke sepatu.
Aku merasakan getaran panas di balik telingaku. Aku mematikan rokok dan membuang puntungnya di antara kakiku dan kaki Victor. Selain fakta bahwa kini rambutnya jadi sangat pendek, dia tetaplah Gesa yang waktu lalu kulihat dalam koleksi foto Junko. Bibirnya, caranya tersenyum, hidung yang tegak, dan mata yang indah.
Aku sampai melupakan Junko dan baru mengingatnya kembali saat Gesa menarik mundur kursi untuk Junko dan melepaskan jaket jeans yang tadinya disampirkan untuk menutupi pundak Junko yang terbuka. Hanya ada tali gaun yang kecil di situ.
Maxus–benarkah namanya begitu? Aku punya firasat Victor mengubah-ubah nama semua orang. Namaku selamanya adalah Timmy bagi Victor–sedang bergurau tentang pajak negara dengan Yuda. Dan ketika Tino bertanya pada Gesa kenapa dia tidak membela pendapat Maxus, Gesa menggeleng sambil tersenyum.
"Pajak." Suaranya seperti menyimpan banyak dahak, tetapi kedengaran tangguh. "Satu-satunya hal termatematika yang bisa kuambil dari sana terbentuk dalam soal cerita yang disusun dengan bahasa membingungkan. Tidak, aku tidak memelajari perpajakan."
"Saudari-saudariku mencintai matematika di atas segala disiplin ilmu lainnya." Maxus menyentuh dada dan menunduk dengan hormat.
Junko mencibirnya. "Kayak yang aku peduli matematika saja."
"Kecuali dia." Maxus menambahkan.
"Kalau tidak salah, aku mendengarmu berkata saudari-saudariku. Dan aku sangsi, berapa saudari yang kau miliki tanpa memperhitungkan Junko." Jake menahan tawa dalam suaranya. Mereka bercakap-cakap dengan jenaka. Apakah Maxus kakak laki-laki Edrei bersaudara? Yang berarti nama belakangnya juga Edrei?
Satu lagi. Sebenarnya berapa banyak jam yang telah Jake dan Victor lalui di rumah Junko? Untuk alasan yang tidak masuk akal, aku merasakan tusukan rasa iri. Jake punya alasan untuk main ke rumah Junko. Dan Victor sebagai ajudan pribadi Jake juga punya alasan untuk main ke rumah Junko.
Aku tidak.
"Kau mau aku menghitung?" Maxus menyebutkan nama beberapa gadis. Bahasa Indonesianya yang jernih mendadak terbiaskan menjadi sebuah aksen tebal berlapis-lapis. Aku mengenal aksen itu.
"Kau orang Jerman?" Tanyaku saat dia selesai menyebutkan sembilan nama gadis berdasarkan lipatan jemarinya. Semua orang menolehku, termasuk Gesa. "German?" Aku mengulanginya.
Maxus dan Gesa bertatapan sebelum keduanya kembali menatapku. "Genau. Und dir?" Tanya Maxus.
Aku tidak menguasai bahasa Jerman. Tetapi sepotong-sepotong memperhatikannya. Dicampur dengan bahasa Skandinavia, aku tahu mereka menggunakan du untuk menyebut kau. Dan entah kenapa dir terdengar seperti du di telingaku.
Aku tersenyum, memperlihatkan gigiku. "Ik ben Indonesisch. Mijn vader is Niederländer." Aku orang Indonesia. Ayahku orang Belanda, jawabku. Orang Jerman menyebut orang Belanda dengan sebutan Niederländer.
Sementara Maxus mendesah takjub dan semua orang tertawa, Gesa menatapku lekat-lekat. Antara serius dan jenaka. Untuk pertama kalinya setelah setahun, aku merasakan debaran yang selalu kutujukan untuk May.
Tubuhku merinding.
Tidak, May. Dia memang telah menyita perhatianku, tapi semuanya hanya sebatas aku menyadari bahwa dia atraktif. Tidak secara romantis.
Kemudian Junko membuat tatapanku berpindah padanya. "Tadi kau berkata matematika?" Junko bertanya pada Gesa sambil menunjukku. "Dia juga orang yang tepat untuk topik itu. Nah, silakan. Bicaralah yang puas, Kalian."
"Kurasa itu semacam lampu hijau."
"Jangan berbisik-bisik di depanku!" Gertak Junko.
Victor langsung menegakkan punggungnya disertai derai tawa Maxus dan Gesa. "Aye, Lady!"
"Apa yang kau baca?" Gesa kemudian menyela, tampak begitu fokus padaku. Kepalaku rasanya panas-dingin.
"Teori bilangan."
Kami terpaut jarak dua kursi secara menyerong. Tapi tatapannya yang tak tergoyahkan tampak begitu intens. "Khususnya?"
"Tidak secara khusus. Tapi aku sedang membaca Fermat."
"Ah." Gesa mengangguk.
"Kau?"
"Secara khusus, Euler tak tergantikan."
Lalu kami bertukar senyum. Dan aku membayangkan berdiri di sebelahnya sebagai cowok yang lebih pendek enam senti dan menggandeng tangannya. Sofa empuk di lantai dua di rumahnya. Kasur queen size-nya yang bersih dan rapi. Meja kayu di teras depan kamarnya. Balkon batu andesit di belakang bunga lonceng putih. Kami bisa menempati semuanya secara bergantian. Seharian penuh saling berpelukan atau berciuman. Ada mesin espresso mini di dapurnya. Dia bisa membuatkan kami dua cappuccino tanpa gula dan aku akan membuatkannya uitsmijter yang praktis tapi lezat.
"Bro, Junko memperhatikanmu. Sebaiknya kau tidak bengong memandangi kakaknya."
Junko menggeram. "Kubilang jangan berbisik-bisik di depanku!"
Aku memalingkan tatapanku dari Gesa dan tersenyum pada Victor. Biasanya aku tidak tersenyum pada Victor. Karena senyumku kali ini terasa manis dan aku sadar sedang tersipu. Aku ingin menujukkan senyum ini pada Gesa tapi juga sadar kalau semua orang sejak tadi menyimak percakapan kami sampai mengheningkan meja sehingga tidak mungkin aku mempersembahkan senyum semanis ini padanya. Mereka akan langsung menggodaku jika aku melakukannya.
Untung bagiku karena dua pelayan datang membawa tray kayu bulat besar mereka. Gesa dan Maxus mundur agar pelayan-pelayan itu bisa menurunkan makanan ke atas meja. Sekali lagi aku memastikan kalau kursi di meja ini hanya berjumlah tiga belas. Samar-samar aku merasa kecewa. Aku tidak ingin merasa begitu, tapi perasaan itu muncul seperti bayangan dengan opasitas 100%. Gesa tidak akan ikut makan.
"Kau serius, Max, Ge?" Jake bertanya. Jadi aku benar, Maxus hanyalah salah satu kreasi Victor.
Masakan laut itu beragam, tidak hanya dipanggang atau dibakar. Aku mencium bau kecap, saus pedas, bau ikan segar, potongan lemon, mentega, dan asap.
"Apa? Kalian tidak akan ikut makan?" Yuda menunjuk makanan-makanan di atas meja. Dia duduk di ujung, di depan kiri Andrea. Aku sengaja mengajak Victor duduk di sisi yang agak jauh dari Yuda. Dan kebetulan, karena Jake mengambil kursi bagian tengah, maka Victor harus duduk di sebelahnya. Tadinya Jake memintaku duduk mengapitnya bersama Victor, tapi aku menolak dengan sopan dan bersekongkol dengan Gerald untuk merokok, jadi Gerald mengambil kursi terujung dan aku di sebelahnya.
"Aku akan mengambilkan kursi." Andrea berkedip pada Max.
Max jangkung, tampan, dan sangat bule. Rambut keriting yang dibiarkannya menutupi telinga sampai sepanjang leher berwarna pirang. Hidungnya tipikal orang Jerman dan matanya yang gelap tampak sedikit berwarna hijau. Ditambah, dia punya selera berpakaian yang rapi tapi tetap terkesan kasual. Edrei bersaudara bagaikan produk tanpa cacat.
"Tidak perlu, Andrea," jawab Max. "Terimakasih, omong-omong."
Aku menangkap Beatrice sedang memicing pada Andrea.
"Baiklah. Selamat makan malam!" Gesa menepuk sekali punggung kursi Junko dan Rain kemudian mundur selangkah dan tersenyum secara rahasia pada Jake. "Semoga menyenangkan!"
"Semoga sukses." Max menggerakkan bibirnya tanpa suara. Jake mengangguk samar pada mereka berdua.
Lalu dia melirikku. Aku mengangkat kedua alis. Gesa melangkah mundur sambil tersenyum padaku. Mereka berdua lalu berbalik, menaiki teras, masuk ke dalam restoran berlampu kuning hangat lewat pintu kaca, dan menyeberangi ruangan untuk mencapai pintu depan.
"Aku melihatnya." Kali ini Victor tidak mencoba mencondongkan tubuhnya padaku. Dia menyendok satu kepiting ke piring putihnya sambil tetap melirikku dan berusaha menurunkan suaranya serendah mungkin.
Aku meneguk minuman kuning di gelas kaca silinderku sambil balas meliriknya. Rasa asam dan manis lemon dan markisa membuat dinding mulutku merinding. "Apa?" Tanyaku.
"Kurasa kau berhasil mendapatkan perhatiannya."
Kami menyendok hewan laut yang kami mau ke piring masing-masing. Seekor lobster merah besar disajikan bersama irisan lemon dan seledri di bagian tengah meja. Gerald bercanda tentang haruskah dia berjalan untuk memotong lobster itu untuknya atau seseorang akan memotong dan kemudian mengoper setiap potongan melintasi meja? Jake tertawa dan menyuruhnya memotong sendiri untuknya. Aku suka udang dan kepiting. Tapi cangkang kepiting sangat menggangu dan tentu saja demi mendapat tampilan udang yang cantik, mereka tidak mengupas kulitnya. Krustasea. Restoran ini mencoba mengingatkanku bahwa udang termasuk dalam kelompok artropoda yang memiliki eksoskeleton berupa kulit keras sialan yang tidak mereka kupas.
Piring-piring dikosongkan dengan cepat. Victor terpaksa minum mojito yang salah itu. Dan berkat dia, aku berhasil menjangkau mojito hijau yang ternyata merupakan varian kiwi asam dan menyegarkan. Satu mojito lagi warnanya terlihat seperti metilen biru dan aku tidak tertarik untuk mencicipi minuman yang terlihat seperti disinfektan pada budidaya perikanan.
Jake dan Victor saling menoleh dan bicara lewat mata. Jake kemudian berdeham. Victor menutupi mulutnya sambil melirikku. "Sekarang saatnya."
"Junko," panggil Jake. Tenang, sabar, tidak menuntut, tapi cukup untuk menarik perhatian semua orang. Dan para cewek bergetar antusias di kursi masing-masing. Gerald menaruh kembali kotak rokok yang sempat diambilnya di atas meja. "Kau tahu aku menyukaimu." Gadis-gadis mulai menjerit tertahan, membuatku tersenyum. Aku tidak berani bergerak karena takut momen berharga ini akan kulewatkan.
"Aku menyukaimu, May." Kami menumpukan kedua siku pada kayu pembatas di dalam sanggar seni sekolah yang tidak berdinding.
"Aku suka bagaimana kau dengan cekatan membelokkan setir mobil ketika kita hampir menabrak mobil yang berpapasan dengan kita dari arah yang berlawanan. Aku menyukai kemauanmu untuk belajar bermain voli agar bisa bergabung denganku di lapangan saat latihan."
Junko menatap Jake dengan serius. Aku merasa terharu.
"Kau mengejutkanku dengan menantangku untuk bertanding saat panjat tebing. Aku suka pada kecerobohanmu saat menuang terlalu banyak saus tomat untuk satu telur goreng. Dan pada keluhanmu tentang kebiasaan makan malammu yang semakin menjadi-jadi."
Kurasa semua orang menahan napas. Aku mengingat bagianku dulu itu dengan sangat baik
"Hari-hari di sekolah ini akan terasa jauh lebih menyenangkan jika aku melaluinya bersamamu. Tidakkah menurutmu kita mampu menjalaninya dalam sebuah hubungan yang romantis?"
Senyum May menyihir angin di dalam dadaku, membuaiku dengan penuh harapan. Ketika May mengangguk, aku merasa dedaunan di luar sanggar seni bergemerisik untuk saling berbisik, tupai-tupai berhenti melompati dahan pepohonan untuk melirik, dan debur sungai di bawah sanggar mengalir semakin deras. Aku tersenyum dan menggenggam tangannya. May mengangkat tangan kami dan menciumnya. Aku memeluk lehernya, mengajaknya menatap langit dari celah dedaunan pohon mangga.
"Dan kupikir aku ingin melihat kebiasaanmu-kebiasaanmu lainnya. Aku ingin mendengar semakin banyak keluhan dan gertakanmu. Kau tahu butuh keberanian untuk mengungkapkan perasaanku pada cewek galak sepertimu. Tapi aku tetap melakukannya karena aku ingin kau tahu perasaanku yang sebenarnya terhadapmu."
"Aku tahu," jawab Junko sambil menyeringai. Dari caranya tersenyum, aku bisa menyimpulkan bahwa Putri Elsa ini sudah sering menjadi pusat perhatian.
"Kau tahu." Jake mengulangi. Kami tersenyum dan beberapa menggeram karena tidak sabar dengan ritual tarik-ulur seperti ini. "Kalau begitu, kau mungkin tahu tujuanku mengajakmu makan malam hari ini."
"Karena ini tanggal 06/06?"
Aku bahkan baru menyadarinya. Teman-teman tergelak. Jake tersipu. Kemungkinan besar dia sudah mempertimbangkannya. Aku menoleh Victor untuk mendapatkan jawaban karena Victor Garcia tahu segala hal yang Jacob Johnson tahu. Bahkan beberapa hal yang Jacob Johnson tidak tahu. Mereka tercipta seperti dua sisi koin yang menghadapi kerasnya dunia ini bersama-sama. Hanya saja, sisi milik Victor Garcia lebih sering terbuka untuk berhubungan langsung dengan alam di sekitarnya. Sayangnya, Victor sedang sangat fokus pada Jake dan Junko sehingga tidak menyadari tatapanku.
Tapi jauh di dalam hati, aku ingin Junko menerimanya. Dia satu-satunya cewek yang kukenal yang pantas menyanding gelar Lady Johnson. Bahkan Junko sepertinya memang terlahir untuk menjadi seorang Lady.
"Aku hanya punya satu hati, Jacob." Akhirnya Junko melanjutkan. "Kalau kau menghancurkannya, aku tidak akan punya lagi. Lebih baik kau mengembalikannya baik-baik daripada menghancurkannya. Mengerti?"
"Ya, May, aku mengerti." Rambut May yang warnanya cokelat karat begitu halus dan harum di bawah rahangku. Dekapannya, di depan pintu rumahnya ketika aku hendak pulang pada suatu malam setelah mengunjunginya, begitu sesuai dengan lekuk tubuhku. Seolah-olah kami adalah potongan puzzle yang saling melengkapi.
Sekarang aku mengerti kenapa aku begitu menyukai Junko sejak pertama kali berkenalan dengannya. Bayangan May ada di sana, melekat mengelilingi tubuhnya seperti pendar aura.
Jake menarik napas dengan panik. Cowok itu biasanya ceria dan antusias, tapi aku jarang melihatnya panik dan itulah yang membuatku terbahak-bahak sehingga mengundang tatapan tajam Junko. Dia curang. Tadi saat semua orang tertawa, dia mengabaikan mereka. Saat aku tertawa, dia ingin membunuhku dengan tatapannya. Aku menjulurkan lidah pada Junko dan dia mengerutkan hidungnya.
"Aku mengerti," kata Jake pada akhirnya.
Tiba-tiba saja bayangan May memudar dari tubuh Junko, digantikan oleh senyum kekanakan dan tubuh jangkung Gesa Edrei. Dia melirikku dari atas ke bawah lalu mengangkat kedua busur alisnya. "Secara khusus, Thomas Emerens Dustin tak tergantikan."
Aku tersenyum dan menunduk. Tuhan yang tahu tidak mustahil suatu hari nanti Gesa Edrei akan mengatakan itu.
Kampus tempat Edy mengajar tutup pukul sebelas malam. Meski begitu, kegiatan belajar mengajar dalam lingkup formal berakhir sejak pukul sembilan. Itu artinya dia seharusnya sudah berada di rumah paling lambat pukul sepuluh, mengingat butuh waktu tiga puluh menit untuk mencapai rumah kami dari kampusnya ditambah tiga puluh menit kelonggaran lainnya seperti misalnya menuntun motor karena kehabisan bensin atau ban motor meletus. Tapi Edy tidak pernah berada di rumah sebelum pukul enam pagi. Lagipula sistem libur kampus tempat Edy mengajar dan kampusku sangat berbeda. Aku sedang liburan. Tapi Edy masih terus datang ke kampus untuk mengajar.Persetan dengannya.Mungkin saja dia meringkuk di balik selimut yang sama tempat Ibu Yuda juga meringkuk.Jadi aku memanfaatkan malam-malamku sebaik-ba
Kepalanya bersandar di bahuku sehingga sulit rasanya menghela tubuhku untuk duduk tanpa membangunkannya. Aku mengucek mata dan melakukan hal pertama yang selalu kulakukan saat terbangun di tempat selain kamarku: memeriksa pakaianku di lantai. Masih tergeletak serampangan di sana. Aku menguap dan bengong memandangi langit-langit kamar yang berwarna putih. Segalanya putih di sini, membuatku mudah mengingat siapa gadis yang kutiduri semalam. Karena kebelet kencing, aku terpaksa mengangkat tangannya dari perutku dan kemudian menggeser tubuhku menjauh darinya. Sylvia menarik tangannya lalu berguling memunggungiku. Rambutnya yang tebal kelihatan berantakan, mirip surai singa. Biasanya air di daerah selatan Bali tidak terasa sesegar ini. Maka aku memutuskan untuk sekalian mandi. Selesai mandi aku bergegas keluar kamar. Sylvia melambaikan tangan dari tepi kasur lalu meregangkan tubuhnya sebelum berjalan menyusulku. Di ruang tengah, aku menemukan Gerald sedang menonton acara
"Nee, niet doen."Tidak, jangan, aku berkata untuk mencegahnya, mendecak, meringis, dan tersenyum. Aku sudah delapan belas tahun. Dia tidak boleh memanggilkuboy—jongen. Apalagi dia telah membuatku merasa tertarik padanya. Dalam teorinya, seorang laki-laki tidak ingin terlihat lemah, kecil, atau awam di depan perempuan yang disukainya. Bayangan May dalam kepalaku melotot padaku.Kau menyukainya?Tidak. Aku sungguh hanya suka penampilannya. Maksudku adalah dia keren. Kau tidak perlu marah, May. Gesa memperlihatkan giginya dan bergeser sedikit ke sebelah kiri, memasukkanportafilterke dalam mesinespresso. Oh, dia sejak tadi berdiri di depangrinderbiji kopi. Mesin itulah yang
Diskusi dilakukan di sofa ruang tengah lantai satu. Tidak secara formal, tapi tetap beradab sehingga Mama Gesa berulang kali memperingati Max untuk tidak mengangkat kakinya ke meja jati berpermukaan kaca. Setelah berpamitan, Mama Gesa dan Gesa bergegas keluar rumah.Sementara jeritan kesal dan tawa keras menggelegak di lantai dua, aku dan Max melakukan perbincangan ringan, tentang kampusku, jurusanku, kelas-kelasku, bahkan SMAku, sebelum menjerat kami ke dalam bahasan utama pertemuan hari ini."Singkatnya, Tom," kami sempat berkenalan dengan semi-formal. "kau tidak bisa menandatangani kontrak itu karena belum memiliki izin."Aku mengernyit. "Benarkah?""Ya. Nanti kau akan mempelajari perihal izin di semester atas. Dulu di teknik sipil
Pesan dari Amelia Hyunji masuk pukul delapan pagi, dua hari setelah aku berunding dengan Max, saat aku sedang belanja keperluan mandi diminimarket. Restoran yang dia pesan terletak di dekat kampus Udayana Sudirman. Dia memintaku, jika tidak keberatan, untuk hadir pukul sepuluh pagi dengan rekanku pada hari Sabtu. Aku meminta tanggapan Max untuk kesediaannya menghadirimeeting pertama kami. Max menawar paling lambat hanya sampai pukul satu siang untuk hari Sabtu, dan kalau bersikeras pukul sepuluh pagi sampai waktu yang tidak ditentukan, harinya harus dipindah antara Kamis dan Minggu.Kami bertiga sepakat Minggu pagi. Sekarang masih hari Rabu. Aku mencuci sepatu (kalau kutaruh di penatu, robeknya bakal bertambah lebar) selama tiga puluh menit, membuat uitsmijterdan makan sendirian sampai pukul sepuluh pagi.
"Tidak sepenuhnya benar. Tapi kau diterima dalam keluarga Sandra. Itulah sebabnya sebenarnya sejak tadi aku ingin menyuruhmu memanggilku Bree dan bukannya Gesa."Kenyataannya adalah aku tidak pernah menyebut namanya saat berbicara dengannya. Sebelum aku sempat menatap lama-lama matanya yang mirip batu pijar pada zaman Hadean, dia melenggang menuju rak buku dan berdengung panjang di depannya. "Kau mau di luar matematika atau di dalamnya?"Aku berdiri di sebelahnya dan mengulurkan tangan untuk menyentuh sebuah punggung buku berwarna marun. Tapi kemudian teringat sesuatu. "Bolehkah aku menyentuh ini?""Sebenarnya kau boleh menyentuh apa pun. Aku hanya galak terhadap mesin espresso."Judulnya Kemolekan Landa karangan Muriel Barbery. Aku membalik buku dan membaca blurb di sampul belakang."Sebuah novel terjemahan dari bahasa Perancis yang sangat sulit diucapkan.
Sesuai kesepakatan kami bertiga, waktuku untuk mendesain rumah tinggal Hyunji hanyalah dua minggu, sudah termasuk semua revisi yang kemungkinan besar akan banyak sekali. Tapi Hyunji menawariku untuk membuat desain tersebut di rumah sewaannya. Empat belas hari dalam dua minggu. Selama dia mengajar di kampus, aku boleh menggunakan fasilitas di rumah itu. Termasuk mandi, memasak, mencuci baju, menjemur, dan menginap.Aku memanfaatkan fasilitas itu sebaik-baiknya. Selain karena semua fasilitas dan jaminan yang kudapatkan, aku jadi lebih mudah mengamati kebiasaan Hyunji selama seharian. Sifatnya secara langsung memengaruhi warna kesukaannya, abu-abu tua dan biru matanya. Perpaduan dua warna tersebut harus dimaksimalkan tanpa kesan paksaan. Hyunji juga menginginkan pencahayaan alami sehingga aku merancangkan jendela minimalis layar lipat atau yang biasa disebut dengan folding screen di bagian ruangan yang akan menghadap ke sebuah taman.
Terpaksa aku membawanya pulang ke rumahku. Gerald tidak mungkin membawa temannya yang mabuk pulang ke rumah. Dia punya adik perempuan berumur delapan tahun yang merupakan permata keluarga, yang membuat semua masalah kecil yang diprakarsai adiknya dilimpahkan sebagai kesalahannya. Gerald merasa cukup dengan semua masalah itu, tidak perlu menambah masalah baru.Mengantar Yuda pulang ke rumahnya juga tidak mungkin. Aku bisa gila jika harus bertemu Marilyn Monroe dan adiknya Yuda.Lampu rumahku mati. Aku keluar mobil lebih dulu untuk membuka pintu rumah, kemudian kembali ke mobil untuk menggotong tubuh tegap Yuda masuk ke rumah bersama Gerald. Pintu kamar Edy tertutup saat aku melewatinya. Tidak ada suara apa pun, begitu hening sampai membuat telingaku berdengung. Aku dan Gerald membaringkan Yuda di atas seprai lecek kasurku. Aku selalu berpikir sudah membersihkan kamarku saat akan meninggalkan rumah, tapi ternyata itu hanyalah angan-angank
Aku dirawat di rumah sakit selama dua hari. Yuda tak mengatakan apa pun pada siapa pun. Bree tak mengatakan apa pun pada siapa pun. Hanya ada aku dan Yuda di parkiran seluas itu saat perkelahian itu berlangsung sehingga tak ada saksi mata lainnya. Kata Sandra, mengherankan betapa Bree bersikap sekalem ini menghadapi pengeroyokan terhadapku. Tapi berbeda dengan semua orang, Bree, walau tak melihat, tahu apa yang terjadi. Utangku pada Yuda sudah terbayarkan atau belum, aku juga tidak tahu. Pasalnya, aku merasa hanya berutang informasi bahwa aku tahu. Dan aksi penggebukan itu kumaksudkan sebagai pelunasan utang. Bonus pelunasan utang. Sekarang, seharusnya utangku telah terbayarkan. Tapi, kalau ditelaah lebih jauh, aku juga berutang waktu kepadanya, sesuatu yang takkan pernah berhasil kubayarkan dengan tuntas. Begitu siuman, aku dibawa pulang. Administrasi rumah sakit diselesaikan, keluargaku tak diberi kabar, sesuai pesanku pada
Pertanyaan terakhir Edy padaku sebelum terbang ke Belanda adalah, "Apakah ada alasan lain mengapa kau membenciku?" Bree menolehku, Edy menatapku, aku berdiri termangu-mangu beberapa detik, mencari-cari di antara serabut otakku, liku urat, dinding daging lembek, tapi aku yakin bahwa jawabannya hanya mentok sampai pertanyaannya saja. Aku pun menggeleng. Edy dan Bree saling mengangguk. Dan kemudian Edy pun pergi.Dua malam setelahnya, kami mengadakan perombakan besar-besaran pada kamar tamu di lantai satu rumah Bree karena aku tidak lagi tinggal sebagai penumpang, melainkan sebagai anggota tetap keluarga mereka. Terlepas dari ada atau tidaknya hubungan romantis dengan Bree, kini aku resmi menjadi anak kesayangan Sandra. Lemari lapuk dikeluarkan dari kamar seluas 12m² tersebut, diganti dengan walk-in closet yang kudesain secara darurat. Dinding di sebelah lemari kupajangi lukisan-lukisan abstrak geometris. Cetakan jernih lukisan Broadway Boogie
Aku menuruti penuturan Olaf. Sertai keterpurukannya sampai dia sadar aku ada di sana untuknya, menemaninya. Berbelit di sekitarnya, lakukan dengan mulus, tapi jangan intens. Sebab, Olaf ingin aku menjadi satu dari orang-orang yang cukup dipercayainya, dan bukan orang yang paling dipercayainya. Merunut cerita Victor tentang bagaimana Yuda melibatkan Mike dalam urusan privasinya, kata Olaf, Yuda pastilah orang yang mudah memercayai hampir siapa pun. Dia tepat dijuluki ekstrover putus asa. Begitu ingin bergabung dalam keramaian, tapi tak tahu bagaimana caranya membaurkan diri.Jadi dalam sebulan terakhir, aku, yang biasanya menghindari Yuda, berlaku sebaliknya. Dalam kerja-kerja kelompok, aku menyertakannya. Aku juga mengajaknya (kalau sempat melakukannya sebelum kelas pagi dimulai) sarapan dan makan siang. Dan kuceramahi pula dia tentang kelas-kelas semester lalu yang harus diulanginya pada semester ini.Dan aku, merasa sangat berkebalika
Tubuh kebal Edy siap menjalani bertahun-tahun kembali tanpa diserang penyakit. Dia tampak lebih kuat setelah memutuskan untuk turun kasur permanen. Kami mencopot seluruh kain kotor berikut gorden, kasur, sampul bantal, selimut, pakaian apak yang terlalu lama digantung di lemari dari kamarnya, dan membawanya ke penatu terdekat. Pada bulan Februari, saat libur semester ganjilku berakhir, kampus Edy baru menjatah libur. Durasi libur itulah yang dipergunakannya sebaik mungkin untuk mengurus kelengkapan dokumen pengunduran diri dari kampus karena ternyata kabar dari Bree benar adanya: Edy memutuskan untuk pindah ke Belanda selamanya, meninggalkanku sebatang kara di sini sampai lulus kuliah. Mama masih agak khawatir padanya sehingga mengutusku untuk menemani Edy mengurus hampir segala keperluannya dan Edy, tampak sama sekali, tak keberatan. Mirip seperti dulu, yang baru saja dikatakan Reza beberapa waktu lalu. Aku mengikuti Edy ke mana pun
"Seharusnya memang begitu." "Tapi, katanya mustahil ada perempuan seperti aku. Sungguh, aku menahan diri untuk tidak bertanya seperti aku itu sebenarnya seperti apa? Dan demi mencegah berbagai macam spekulasi ngawur, seperti misalnya aku ini transgender atau lesbian atau disuntik hormon testosteron, kubilang saja kenapa mustahil kalau aku adalah bukti yang duduk di hadapanmu?Dan, yah, katanya, benar juga. Lalu kami mulai membicarakanmu." "Kalian tertawa-tawa. Sepertinya menertawakanku?" "Edward bilang kau belum bisa cuci pantat sendiri setelah buang air besar sampai kelas satu." Aku mulai mengerang. Bree tertawa dengan penuh kemenangan mendapati cerita itu ternyata benar. Dan memang benar. Dan juga memalukan. "Rambutmu dulu sulit sekali tumbuhnya. Mereka sudah membaluri minyak kemiri, gel lidah buaya, pasta bawang merah, dan segalanya, tapi rambutmu tumbuh dengan lambat. Dan ternyata
Aku dan Bree menyetir Jeep ke rumah Hyunji pada pukul sepuluh malam kurang dua belas menit karena perjalanan dari Dalung ke Canggu tidak memakan waktu lebih dari dua puluh menit. Seandainya kami terlambat, keterlambatan itu terletak dalam rentang waktu yang relatif bisa dimaafkan—lima menit? Tujuh? Sepuluh? Aman. Pokoknya, selama Hyunji tidak menganut idealisme hidup ala orang Jepang yang disiplin waktu, semuanya akan baik-baik saja. Mesin bermotor yang punya badan besi hitam tinggi-besar sempurna seperti raksasa ini menyorotkan lampu jauhnya pada jangkauan jalan-jalan tergelap di Canggu. Asap debu mengepul di sepanjang tongkat cahaya kekuningan lampu sorot yang bentuknya membesar di kejauhan, tempat kami bisa mengamati alam Indonesia yang liar dan lebih menyerupai alam yang sesungguhnya. Alam yang tak terjamah manusia dengan pelepah pohon kelapa setinggi lima meter yang tumbuh dari balik pembatas besi melingkar di tikungan jalan yang diterangi oleh lam
Setelah proses lepas landas selesai, Bree kembali menawariku permen karet mentol—yang kutolak dengan menggeleng—sambil menjabarkan seluruh kiat untuk menyukseskan ED Education. Katanya, dia harus berpikir cerdas untuk membagi waktu antara menyelesaikan skripsi dengan mengorganisasi bimbingan belajar rintisannya tersebut. Paling tidak, dia harus bisa mengejar kuota wisudawan bulan Maret. Di bulan itu, ED Education menargetkan sudah mendidik sekitar lima belas murid. "Dan tahukah kau bagian paling kacau dari semua ini?" "Apa?" tanyaku. "Promosi." "Kenapa dengan promosi? Kau bisa saja menyewa jasa orang untuk melakukannya." "Benar. Kok tidak kepikiran, ya?" Bree mengernyit, berpikir secara mendalam sampai akhirnya kembali menolehku. "Aku merasa payah dengan media sosial. Tapi baiklah. Aku akan menuruti saranmu." Kemudian, aku memikirkannya. Tentang menetap di Bel
"Bukankah kau harus mengambil semua barang-barangmu dari sana?" Aku masih merasa bingung. Bree mengangkat alis dan mencebik ketika melihatku menelengkan kepala. "Untuk memperbaiki hubunganmu dengan kakakmu, hal pertama yang harus kaulakukan adalah tinggal bersamanya, benar?" Barulah aku mengerti. Tapi, sayangnya, kini aku tahu Breelah yang tidak mengerti. Ada hal-hal yang tidak diketahuinya, yang tidak terlalu senang kubagi dengannya menyangkut persaudaraanku yang rusak dengan Edy. Salah satunya adalah ketakutan tidak mendasarku kembali ditinju Edy. Padahal, akulah yang mulai mengangkat tangan padanya, tapi ketika Edy membalas hanya demi melindungi dirinya sendiri dari terkamanku, aku malah merasa sedang dikeroyok, dihina, dipermalukan, dan disingkirkan. Kau tidak perlu merasa dirimu orang asing sehingga pantas disingkirkan, kata Olaf pada sesi konseling pertama kami. Dia benar. Seharusnya aku berhenti merasa begitu.
Kereta selanjutnya dari Leiden menuju Belgia berangkat pukul 18.15. May dan Jeremy segera berpamitan tepat pada pukul setengah enam sore. Mereka berkata akan mencari bus menuju Leiden tapi Papa mengoper kunci mobil padaku dan diam-diam memintaku mengeluarkan mobil dari garasi. Masalah membujuk, serahkan saja pada Bree. Dan begitu mobil siap di depan rumah, May dan Jeremy terbukti telah termakan bujuk rayu Bree. Tentu saja harus Bree karena baik Mama maupun Papa bukan merupakan orang yang tepat melakukan segala daya upaya persuasif. Perjalanan menuju Leiden menggunakan mobil memakan waktu delapan belas menit karena Papa yang menyetir. Setidaknya, kami memangkas waktu lima menit dari biasanya (kalau yang menyetir adalah orang selain Papa). May dan Jeremy segera turun di depan fasad kerangka besi Stasiun Leiden Centraal. Kebetulan, tidak banyak kendaraan yang mengantar pengunjung ke stasiun sore ini sehingga dalam satu lompatan lincah, May mengetu