Share

Bab 3. Di introgasi

"Silahkan, jika perlu sekarang juga anda laporkan saya!" tantang Zea dengan berani.

Tatapan mata Zea tidak terlihat takut sama sekali, justru dia memperlihatkan sorot mata yang begitu berani.

Pria yang baru saja di hajar oleh Zea pergi meninggalkan kerumunan orang-orang. Sebelum pergi, dia menatap Zea sekilas.

Zea tersenyum sinis ke arahnya.

"Zea, terimakasih ya Kamu udah mau bantuin Aku," ucap Sinta dengan mendekat.

"Santai aja, yang terpenting Kamu gak papa. Lain kali kalau ada yang seperti itu, Kamu bisa panggil Aku. Atau enggak, Kamu hajar aja pria seperti itu," tutur Zea.

Sinta mengangguk dan memeluk Zea. Sinta bersyukur karena bisa kenal dengan Zea yang baik dan mau menolong dia.

Semua pengunjung sudah bubar dan melakukan aktivitasnya kembali. Begitupun dengan para karyawan yang bertugas kembali melayani pengunjung.

Zea yang tengah membetulkan posisi baju yang berantakan, tiba-tiba salah satu karyawan pria menghampirinya.

"Kamu dipanggil tuh sama Pak Manager," ucap karyawan tersebut.

Awalnya Zea mengerutkan kening, tapi tak lama kemudian dia mengangguk.

Sepanjang jalan dia tersenyum kecut, ternyata ancaman pria tadi benar-benar tidak bisa dianggap remeh.

"Dia kira Aku bakalan takut? Heh, bukan Zea namanya jika penakut!" gumam Zea.

Sampai di depan ruangan, dengan sopan Zea mengetuk pintu lalu dia masuk.

Di dalam sana ternyata sudah ada pria tadi dengan Manajernya sedang berbincang. Pria itu menatap Zea dengan remeh, dan Zea membalasnya dengan tatapan menantang.

"Silahkan duduk, Nona Zea," perintah Manajer.

Zea duduk di hadapan kedua pria tersebut, tentunya dengan wajah yang santai.

"Apa betul bahwa Anda sudah melakukan kekerasan kepada Pak Erik?" tanya Hans—Manajer.

"Ya, betul," jawab Zea dengan cepat.

Hans sedikit terkejut karena Zea menjawab pertanyaannya dengan santai dan cepat. Hans pikir bahwa Zea akan berbohong dan membela dirinya, tapi ternyata pemikirannya salah.

"Atas dasar apa Anda melakukan kekerasan dan membuat Pak Erik tidak nyaman dengan tindakan tersebut?" tanya Hans dengan sedikit tegas.

Zea membetulkan posisi duduknya, dia menatap Hans dan Erik bergantian. Senyuman kecutnya dia tampilkan dihadapan mereka berdua. Sekarang Zea tidak peduli jika dia akan dipecat.

Hans yang melihat wajah Zea begitu tenang jadi sedikit heran dan waspada. Dia menginterogasi Zea sebelum tahu kebenarannya seperti apa.

"Atas dasar pelecehan kepada karyawan wanita. Dan asal Bapak Hans tau, bahwa Bapak Erik yang terhormat ini sudah saya beri peringatan, tapi dia tetap saja menggoda bahkan merem*s bok*ng Sinta. Apa menurut Pak Hans itu adalah sebuah tindakan yang wajar? Jika Bapak tidak percaya dengan ucapan saya, Bapak bisa tanyakan langsung kepada Sinta. Atau, Bapak bisa langsung cek CCTV," jelas Zea panjang lebar.

Hans langsung terkesima, bahkan dia percaya tidak percaya. Sebelum melanjutkan bertanya, Hans segera merogoh ponselnya dan menelpon seseorang menyuruh membawa rekaman CCTV beserta memanggil Sinta.

Wajah menantang Erik seketika berubah menjadi pias, bahkan dia terlihat gelisah. Kali ini Zea yang menatap Erik dengan remeh.

Tidak lama kemudian, Sinta dan orang suruhan Hans datang dengan membawa rekaman CCTV. Disana Hans mengecek langsung kejadian beberapa menit yang lalu di lantai bawah.

Bola mata Hans seketika membulat, ternyata benar yang diucapkan oleh Zea.

"Bagaimana Pak Hans? Apakah saya berbohong?" zea melipat kedua tangannya dengan santai, dia melihat wajah Hans yang seakan masih tidak percaya.

"Maafkan saya Nona Zea, ternyata Anda tidak salah. Dan untuk Pak Erik, mohon maaf ini bukan kesalahan karyawan saya, tapi ini murni kesalahan Pak Erik sendiri yang dengan lancangnya mengganggu kenyamanan karyawan saya," tutur Hans.

"Setahu saya sekarang pelecehan bisa dilaporkan ke pihak berwajib, loh. Sinta, jika Kamu perlu bantuan untuk melapor, Aku siap jadi saksi Kamu," sindir Zea yang membuat Erik terlihat panik.

Erik panik ketika mendengar kata pihak berwajib. Tapi, tak lama kemudian dia menyeringai. Senyuman liciknya bisa dilihat jelas oleh Zea.

"Dan setahu saya juga, kekerasan bisa dilaporkan ke pihak berwajib. Bagaimana Nona Zea, apa kita mau sama-sama melapor?" ucap Erik.

Zea dengan beraninya mendekat ke arah Erik, dia melihat Erik dari ujung rambut hingga ujung kepala. Seketika Zea menampakkan raut wajah yang ketakutan.

"Owhh, Pak Erik tolong jangan laporkan saya. Saya minta maaf atas kejadian tadi," mohon Zea dengan wajah yang ketakutan.

Dari arah luar Agam mendengar suara banyak orang dari ruangan Hans, dia menghentikan langkahnya dan mendengar dari balik pintu semua percakapan mereka. Agam mengerutkan kening, dia tidak tahu apa yang terjadi di dalam dan kenapa bawa-bawa pihak berwajib.

Agam masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, membuat semua orang menoleh. Agam dibuat semakin bingung karena dua karyawan barunya berada di ruangan Hans.

Sorot mata Agam yang tajam, mampu membuat Hans dan yang lainnya menundukan kepala. Kecuali Zea dan Erik.

"Ada apa ini?" tanya Agam dengan suara dinginnya.

Tak ada yang menjawab sama sekali.

"Saya tanya sekali lagi. Ada apa ini?" tanya Agam dengan keras.

"A-ada kesalahpahaman, Pak," jawab Hans dengan nada suara yang ketakutan

"Jelaskan!" ucap Agam tegas.

Hans terdiam kembali, dia tidak berani menjelaskan karena tahu jika kejadian seperti ini Agam akan marah besar. Agam paling menjaga kenyamanan para karyawannya maupun itu pria atau wanita.

"Biar aku yang jelaskan," celetuk Zea.

Zea menjelaskan semuanya dengan detail, bahkan dia juga menunjukan rekaman CCTV dan menyuruh Sinta berbicara.

Brak.

Agam menggebrak meja dengan keras, bahkan komputer yang berada di atas meja terjatuh ke lantai.

"Sejak kapan di Mall ini pelanggan lebih dihargai daripada Karyawan?" murka Agam.

"Ma-maafkan saya, Pak. Sa-saya mengaku salah karena tidak menyelidikinya terlebih dahulu," jawab Hans.

Erik tidak terima karena dia tidak ada yang membela sama sekali. Bagaimana bisa, dia sebagai pengunjung tidak dihargai di Mall ini.

"Peraturan macam apa ini? Apa di Mall ini lebih membutuhkan karyawan daripada pembeli?" murka Erik.

"Saya heran dengan Mall ini, kenapa bisa karyawan seperti dia dibela dan saya sebagai pembeli tidak ada yang membela sama sekali. Padahal disini saya korban kekerasan dia!" Erik menunjuk Zea dengan emosi yang memburu.

Agam tidak memperdulikan ucapan Erik. Bagi Agam pembeli bisa dicari, tapi kenyamanan karyawan tidak bisa dicari kecuali dijaga.

"Bawa pria ini keluar dari sini!" perintah Agam.

"Baik, Pak," jawab Arman—orang kepercayaan Hans.

Arman segera menyeret Erik keluar. Tapi Arman tidak terima dan dia mengamuk. Arman demgan gagahnya terus menyeret Erik keluar dari Mall tersebut.

Seperginya Erik dan Arman, Agam menatap Hans dengan tajam membuat Hans menundukan kepala.

"perhatian buat kalian semua! Jika terjadi hal serupa, maka yang akan saya pecat adalah Kamu Hans," ucap Agam dengan nada suara yang begitu tegas.

"Baik, Pak," ucap Semuanya serempak.

Agam segera melangkahkan kaki meninggalkan ruangan Hans.

Hans yang melihat Agam pergi, dia langsung menatap Zea dan Sinta.

"Lain kali kalau ada yang begitu langsung pergi aja, jangan dipukul. Nanti malah saya yang kena dampaknya," pesan Hans, yang membuat Zea mengerutkan kening.

"Maaf, Pak, saya tidak bisa melihat wanita dilecehkan!" jawab Zea dengan lantang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status