"Silahkan, jika perlu sekarang juga anda laporkan saya!" tantang Zea dengan berani.
Tatapan mata Zea tidak terlihat takut sama sekali, justru dia memperlihatkan sorot mata yang begitu berani.Pria yang baru saja di hajar oleh Zea pergi meninggalkan kerumunan orang-orang. Sebelum pergi, dia menatap Zea sekilas.Zea tersenyum sinis ke arahnya."Zea, terimakasih ya Kamu udah mau bantuin Aku," ucap Sinta dengan mendekat."Santai aja, yang terpenting Kamu gak papa. Lain kali kalau ada yang seperti itu, Kamu bisa panggil Aku. Atau enggak, Kamu hajar aja pria seperti itu," tutur Zea.Sinta mengangguk dan memeluk Zea. Sinta bersyukur karena bisa kenal dengan Zea yang baik dan mau menolong dia.Semua pengunjung sudah bubar dan melakukan aktivitasnya kembali. Begitupun dengan para karyawan yang bertugas kembali melayani pengunjung.Zea yang tengah membetulkan posisi baju yang berantakan, tiba-tiba salah satu karyawan pria menghampirinya."Kamu dipanggil tuh sama Pak Manager," ucap karyawan tersebut.Awalnya Zea mengerutkan kening, tapi tak lama kemudian dia mengangguk.Sepanjang jalan dia tersenyum kecut, ternyata ancaman pria tadi benar-benar tidak bisa dianggap remeh."Dia kira Aku bakalan takut? Heh, bukan Zea namanya jika penakut!" gumam Zea.Sampai di depan ruangan, dengan sopan Zea mengetuk pintu lalu dia masuk.Di dalam sana ternyata sudah ada pria tadi dengan Manajernya sedang berbincang. Pria itu menatap Zea dengan remeh, dan Zea membalasnya dengan tatapan menantang."Silahkan duduk, Nona Zea," perintah Manajer.Zea duduk di hadapan kedua pria tersebut, tentunya dengan wajah yang santai."Apa betul bahwa Anda sudah melakukan kekerasan kepada Pak Erik?" tanya Hans—Manajer."Ya, betul," jawab Zea dengan cepat.Hans sedikit terkejut karena Zea menjawab pertanyaannya dengan santai dan cepat. Hans pikir bahwa Zea akan berbohong dan membela dirinya, tapi ternyata pemikirannya salah."Atas dasar apa Anda melakukan kekerasan dan membuat Pak Erik tidak nyaman dengan tindakan tersebut?" tanya Hans dengan sedikit tegas.Zea membetulkan posisi duduknya, dia menatap Hans dan Erik bergantian. Senyuman kecutnya dia tampilkan dihadapan mereka berdua. Sekarang Zea tidak peduli jika dia akan dipecat.Hans yang melihat wajah Zea begitu tenang jadi sedikit heran dan waspada. Dia menginterogasi Zea sebelum tahu kebenarannya seperti apa."Atas dasar pelecehan kepada karyawan wanita. Dan asal Bapak Hans tau, bahwa Bapak Erik yang terhormat ini sudah saya beri peringatan, tapi dia tetap saja menggoda bahkan merem*s bok*ng Sinta. Apa menurut Pak Hans itu adalah sebuah tindakan yang wajar? Jika Bapak tidak percaya dengan ucapan saya, Bapak bisa tanyakan langsung kepada Sinta. Atau, Bapak bisa langsung cek CCTV," jelas Zea panjang lebar.Hans langsung terkesima, bahkan dia percaya tidak percaya. Sebelum melanjutkan bertanya, Hans segera merogoh ponselnya dan menelpon seseorang menyuruh membawa rekaman CCTV beserta memanggil Sinta.Wajah menantang Erik seketika berubah menjadi pias, bahkan dia terlihat gelisah. Kali ini Zea yang menatap Erik dengan remeh.Tidak lama kemudian, Sinta dan orang suruhan Hans datang dengan membawa rekaman CCTV. Disana Hans mengecek langsung kejadian beberapa menit yang lalu di lantai bawah.Bola mata Hans seketika membulat, ternyata benar yang diucapkan oleh Zea."Bagaimana Pak Hans? Apakah saya berbohong?" zea melipat kedua tangannya dengan santai, dia melihat wajah Hans yang seakan masih tidak percaya."Maafkan saya Nona Zea, ternyata Anda tidak salah. Dan untuk Pak Erik, mohon maaf ini bukan kesalahan karyawan saya, tapi ini murni kesalahan Pak Erik sendiri yang dengan lancangnya mengganggu kenyamanan karyawan saya," tutur Hans."Setahu saya sekarang pelecehan bisa dilaporkan ke pihak berwajib, loh. Sinta, jika Kamu perlu bantuan untuk melapor, Aku siap jadi saksi Kamu," sindir Zea yang membuat Erik terlihat panik.Erik panik ketika mendengar kata pihak berwajib. Tapi, tak lama kemudian dia menyeringai. Senyuman liciknya bisa dilihat jelas oleh Zea."Dan setahu saya juga, kekerasan bisa dilaporkan ke pihak berwajib. Bagaimana Nona Zea, apa kita mau sama-sama melapor?" ucap Erik.Zea dengan beraninya mendekat ke arah Erik, dia melihat Erik dari ujung rambut hingga ujung kepala. Seketika Zea menampakkan raut wajah yang ketakutan."Owhh, Pak Erik tolong jangan laporkan saya. Saya minta maaf atas kejadian tadi," mohon Zea dengan wajah yang ketakutan.Dari arah luar Agam mendengar suara banyak orang dari ruangan Hans, dia menghentikan langkahnya dan mendengar dari balik pintu semua percakapan mereka. Agam mengerutkan kening, dia tidak tahu apa yang terjadi di dalam dan kenapa bawa-bawa pihak berwajib.Agam masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, membuat semua orang menoleh. Agam dibuat semakin bingung karena dua karyawan barunya berada di ruangan Hans.Sorot mata Agam yang tajam, mampu membuat Hans dan yang lainnya menundukan kepala. Kecuali Zea dan Erik."Ada apa ini?" tanya Agam dengan suara dinginnya.Tak ada yang menjawab sama sekali."Saya tanya sekali lagi. Ada apa ini?" tanya Agam dengan keras."A-ada kesalahpahaman, Pak," jawab Hans dengan nada suara yang ketakutan"Jelaskan!" ucap Agam tegas.Hans terdiam kembali, dia tidak berani menjelaskan karena tahu jika kejadian seperti ini Agam akan marah besar. Agam paling menjaga kenyamanan para karyawannya maupun itu pria atau wanita."Biar aku yang jelaskan," celetuk Zea.Zea menjelaskan semuanya dengan detail, bahkan dia juga menunjukan rekaman CCTV dan menyuruh Sinta berbicara.Brak.Agam menggebrak meja dengan keras, bahkan komputer yang berada di atas meja terjatuh ke lantai."Sejak kapan di Mall ini pelanggan lebih dihargai daripada Karyawan?" murka Agam."Ma-maafkan saya, Pak. Sa-saya mengaku salah karena tidak menyelidikinya terlebih dahulu," jawab Hans.Erik tidak terima karena dia tidak ada yang membela sama sekali. Bagaimana bisa, dia sebagai pengunjung tidak dihargai di Mall ini."Peraturan macam apa ini? Apa di Mall ini lebih membutuhkan karyawan daripada pembeli?" murka Erik."Saya heran dengan Mall ini, kenapa bisa karyawan seperti dia dibela dan saya sebagai pembeli tidak ada yang membela sama sekali. Padahal disini saya korban kekerasan dia!" Erik menunjuk Zea dengan emosi yang memburu.Agam tidak memperdulikan ucapan Erik. Bagi Agam pembeli bisa dicari, tapi kenyamanan karyawan tidak bisa dicari kecuali dijaga."Bawa pria ini keluar dari sini!" perintah Agam."Baik, Pak," jawab Arman—orang kepercayaan Hans.Arman segera menyeret Erik keluar. Tapi Arman tidak terima dan dia mengamuk. Arman demgan gagahnya terus menyeret Erik keluar dari Mall tersebut.Seperginya Erik dan Arman, Agam menatap Hans dengan tajam membuat Hans menundukan kepala."perhatian buat kalian semua! Jika terjadi hal serupa, maka yang akan saya pecat adalah Kamu Hans," ucap Agam dengan nada suara yang begitu tegas."Baik, Pak," ucap Semuanya serempak.Agam segera melangkahkan kaki meninggalkan ruangan Hans.Hans yang melihat Agam pergi, dia langsung menatap Zea dan Sinta."Lain kali kalau ada yang begitu langsung pergi aja, jangan dipukul. Nanti malah saya yang kena dampaknya," pesan Hans, yang membuat Zea mengerutkan kening."Maaf, Pak, saya tidak bisa melihat wanita dilecehkan!" jawab Zea dengan lantang.Satu bulan kemudian…."Selamat datang dan selamat berbelanja, Nyonya," sapa Zea dengan begitu sopan dan ramah."Terimakasih. Bisa bantu saya mengambilkan baju yang tergantung?" ucap pembeli yang Zea sapa, umurnya sekitar 60 tahun tapi wajahnya masih terlihat muda.Zea mengangguk sambil tersenyum. Dia segera mengambilkannya."Ini, Nyonya." Zea menyerahkan baju tersebut dan langsung diterima.Dari kejauhan terlihat Amira berjalan mendekati Zea dengan membawa cacatan. Amira melihat Zea begitu semangat ikut tersenyum bahagia. Ini adalah hari pertama gajian untuk Zea, wajar saja jika sahabatnya itu merasa sangat bersemangat."Ze, bisa bantu aku tolong carikan barang yang ada dicatatan ini gak?" tanya Amira sembari menyerahkan catatannya."Bisa, tapi setelah aku melayani Ibu ini ya. Gak papa, kan?" ucap Zea."Iya, gak papa. Kalau udah nanti bawa keruangan aku ya, sekalian sama bonnya," jawab Amira.Mata Amira merasa tidak asing dengan pembeli yang sedang dilayani oleh Zea. Dari postur tubuh
Sekarang Zea sudah berada di ruangan Agam."Pak Agam manggil saya?" tanya Zea basa basi.Agam menatap Zea sekilas."Duduk," perintah Agam.Zea menurut dan duduk di kursi hadapan Agam. Jantungnya tiba-tiba berdebar sangat kencang, padahal Agam belum berbicara apa-apa. Pikiran buruk menghampirinya, dia takut jika akan dipecat gara-gara menemukan dompet Oma Rini tadi.'Aduh, masa sih nemu dompet terus dikembaliin aja mau dipecat,' batin Zea.Kaki Zea bergetar, tangannya terasa dingin, pikiran Zea juga kalut. Antara takut dan bingung, padahal waktu dia menampar pengunjung tidak setakut ini.Agam yang masih fokus pada layar ponselnya, dia segera menyimpan ponselnya. Ditatapnya Zea dengan intens yang membuat kaki Zea semakin bergetar."Mulai besok kamu jadi karyawan di ruangan VVIP," ucap Agam yang membuat Zea mematung.Zea tidak bekedip sama sekali, bahkan detak jantungnya berhenti sejenak.Agam berdehem karena melihat Zea diam saja."Ehem," dehem Agam.Zea tersadar kembali, lalu menatap
Nafas Zea memburu, antara menahan emosi dan menahan sabar."Jika aku tidak bisa gimana?" tanya Zea dengan sedikit meninggikan suaranya.Tangan Pak Yanto yang satunya lagi mencengkram rahang Zea dengan sangat kuat. Dia tersenyum miring di hadapan Zea.Tidak ada rasa takut sama sekali dalam diri Zea, yang ada tinggal rasa muak. Ingin rasanya Zea menghajar pria tua di hadapannya itu, tapi untungnya rasa kemanusiaan dan rasa hormat Zea masih ada."Jika Kamu tidak mampu, maka kamu harus pergi dari rumah ini!" ancam Pak Yanto."Apa hak Bapak mengusir Aku dari sini?" sela Zea cepat."Karena Kamu hanya beban keluarga dan anak pembawa s*al bagi Saya!" sentak Pak Yanto tepat di depan wajah Zea.Tangan Zea bergerak melepaskan cengkraman Pak Yanto. Setelah bersusah payah, akhirnya Zea berhasil melepaskan cengkraman itu.Sorot mata Zea menunjukan kebencian dan amarah yang begitu besar. Giginya gemeretuk menahan emosi yang sewaktu-waktu bisa meledak."Gimana tawaran saya? Gaji kamu saya yang pegang
'Njir, Pak Agam sat set banget ngajakin aku ke KUA,' batin Zea.Agak terkejut, tapi Zea tidak berani bertanya lagi. Sepanjang jalan Zea hanya menatap jalanan. Tapi, jika diingat-ingat jalanan ini seperti jalanan yang selalu dia lalui ketika akan berangkat dan pulang dari Mall.Akhirnya setelah beberapa menit, mereka sampai juga di halaman Mall. Agam segera memarkirkan mobilnya, dan mematikan mesin mobil. "Gak mau turun?" sindir Agam ketika melihat Zea hanya diam saja sambil terlihat bingung."Ini mah Mall, Pak, bukan KUA. Katanya tadi mau ke KUA, kok sekarang malah ke Mall," ucap Zea dengan bingung.Agam tidak menghiraukan ucapan Zea, dia segera turun meninggalkan Zea di dalam.Zea segera menyusul ketika melihat Agam semakin menjauh. Zea menepuk jidatnya sedikit keras. Sekarang Zea sadar bahwa dia hanya ditawari menumpang sampai Mall, bukan mau diajak ke KUA."B*go banget sih Aku ini. Kenapa juga malah mikir mau dibawa ke KUA beneran coba? Memalukan sekali," gumam Zea dengan naik ke l
Zea terjatuh tepat di pelukan Agam. Mereka saling pandang satu sama lain.'Kalau dari dekat gini ganteng juga ya ni orang. Tapi, sayangnya ketampanan dia terhalang oleh sikap dingin dan kesombongannya,' batin Zea.Agam yang sadar bahwa mereka sedang di posisi tidak baik, dengan segera menurunkan Zea tanpa perasaan.Bruk."Aduh! Kenapa gak pelan-pelan sih nurunin nya. Sakit tau!" omel Zea, dia terlalu kesal hinggal tidak memperdulikan bahwa Agam adalah atasannya.Rama yang melihat Zea terjatuh ke atas lantai, dengan segera dia menolong Zea. "Kamu gak papa?" tanya Rama dengan membantu Zea berdiri."Aku gak papa, makasih ya udah bantuin," ucap Zea.Agam menatap Zea dan Rama bergantian. Setelah itu, Agam meninggalkan Rama yang masih terus memandangi wajah Zea.Entah kenapa jantung Agam berdebar sangat kecang ketika menatap bola mata Zea. Bola matanya yang bening, wajah cantik, membuat Agam sedikit salah tingkah.Rama yang melihat Agam semakin menjauh, dia segera menyusulnya dengan langka
Mata Zea membulat sempurna, begitupun dengan Agam."Kenapa Mama selalu memutuskan secara sepihak?" sentak Agam."Ini semua demi terhindar dari fitnah dan juga zina!" jelas Oma Rini dengan lantang."Seharusnya Mama bertanya terlebih dahulu sebelum menyimpulkan sesuatu!" marah Agam.Kali ini Agam banyak bicara karena dia tidak mau menikah untuk kedua kalinya tanpa didasari oleh cinta lagi.Zea juga tidak tinggal dia, dia segera beranjak dari ranjang dan mendekat ke arah Oma Rini."Kenapa aku dan Pak Agam harus menikah?" tanya Zea dengan polos.Agam menatap Zea dengan tatapan yang begitu tajam. Tapi, Zea tidak takut sama sekali, justru dia menatap balik Agam dengan tatapan yang sama."Aku dan dia tidak tidur satu ranjang! Jadi aku mohon sama Mama, jangan pernah bawa-bawa pernikahan hanya karena kesalah pahaman!" bantah Agam.Zea mengangguk tanda setuju dengan ucapan Agam barusan.Wajah Agam begitu merah, dia menahan amarah kepada Mamanya. Agam tidak akan pernah mau menerima pernikahan at
Bruk."Maaf… Aku gak sengaja," ucap gadis tersebut.Di bawah teriknya matahari, seorang gadis cantik dengan membawa amplop coklat berjalan dengan tergesa. Sesekali dia mengelap keringat yang bercucuran di dahi dan jidatnya. Dia menabrak seorang pria berjas. Saat mendongak, pria itu malah pergi begitu saja tidak memperdulikan kata maaf yang keluar dari mulutnya."Apa dia marah karena aku tidak sengaja menabraknya?" gumam Zea.Zea Alia Quinsha, terlahir dari kalangan sederhana dan baru saja lulus sekolah. Dia memiliki kulit putih, rambut pendek yang diwarnai coklat tua, dan bola mata yang hitam. Zea hanya lulusan SMA, tapi untungnya dia mempunyai teman yang merekomendasikan dia untuk bekerja di salah satu Mall ternama di kotanya."Ribet banget sih pake sepatu hak tinggi begini. Jalan jadi susah kan!" gerutu Zea.Drrtt.Satu panggilan masuk membuat Zea menghentikan langkahnya. "Hallo?" "Ze, Kamu masih lama? Kamu udah nyampe mana?" tanya Amira dibalik telepon."Ini sudah di depan, sebe
Glek.Zea menelan ludahnya dengan kasar."Ba-baik, Pak," jawab Zea dengan gugup.Amira dibuat greget dengan Agam yang tidak langsung memberikan jawaban. Dia berdiri, tapi saat Amira akan angkat bicara, tiba-tiba Agam berbicara lebih cepat daripada Amira."Besok dia bisa mulai bekerja, dan Kamu Amira. Tolong kasih tau semua peraturan dan cara kerja disini," ucap Agam dengan tegas."Bak, Pak!" jawab Amira dengan antusias.Sedangkan Zea, dia masih diam mematung hingga Agam pergi meninggalkan mereka berdua. Zea masih mencerna jawaban Agam barusan. Saking tidak percayanya, dia sampai menepuk-nepuk pipinya sendiri."Aaaa, selamat Zea. Akhirnya kita bisa kerja bareng disini, dan aku doakan semoga kamu bisa jadi karyawan tetap plus jadi karyawan di VVIP," ucap Amira memberikan semangat, bahkan dia memeluk Zea dengan erat.Zea tersadar dan langsung mengembangkan senyumannya. Dia berdiri, lalu berjingkrak-jingkrak bersama Amira. "Alhamdulillah, makasih banyak ya, Ra. Ini semua berkat Kamu," uj