Nafas Zea memburu, antara menahan emosi dan menahan sabar.
"Jika aku tidak bisa gimana?" tanya Zea dengan sedikit meninggikan suaranya.Tangan Pak Yanto yang satunya lagi mencengkram rahang Zea dengan sangat kuat. Dia tersenyum miring di hadapan Zea.Tidak ada rasa takut sama sekali dalam diri Zea, yang ada tinggal rasa muak. Ingin rasanya Zea menghajar pria tua di hadapannya itu, tapi untungnya rasa kemanusiaan dan rasa hormat Zea masih ada."Jika Kamu tidak mampu, maka kamu harus pergi dari rumah ini!" ancam Pak Yanto."Apa hak Bapak mengusir Aku dari sini?" sela Zea cepat."Karena Kamu hanya beban keluarga dan anak pembawa s*al bagi Saya!" sentak Pak Yanto tepat di depan wajah Zea.Tangan Zea bergerak melepaskan cengkraman Pak Yanto. Setelah bersusah payah, akhirnya Zea berhasil melepaskan cengkraman itu.Sorot mata Zea menunjukan kebencian dan amarah yang begitu besar. Giginya gemeretuk menahan emosi yang sewaktu-waktu bisa meledak."Gimana tawaran saya? Gaji kamu saya yang pegang, mengganti semua biaya kebutuhan kamu selama 21 tahun atau… pergi dari rumah ini untuk mengurangi beban?" ucap Pak Yanto dengan tersenyum licik.Emosi Zea semakin naik, dadanya naik turun. Zea tidak habis pikir dengan sikap Pak Yanto yang selalu berubah-ubah. Jika di hadapan Bu Maryam sikapnya begitu baik kepada Zea, tapi jika dibelakang Pak Yanto berani berbuat kasar bahkan merampas uang Zea."Dasar parasit! Selama ini yang ada di dalam otak Bapak hanyalah tentang uang dan uang. Apa Bapak tidak puas selama ini selalu merampas uang jajan aku? Di depan Ibu selalu bersikap baik, tapi di belakangnya berani membentak bahkan berlaku kasar!" ucap lantang Zea.Emosi Zea sudah tidak bisa ditahan lagi. Dia sudah capek harus terus menerus mengalah. Untung saja Bu Maryam belum pulang dan tidak menyaksikan kejadian yang akan membuatnya merasa terpukul.Jika seperti ini, mungkin Zea akan lebih memilih pergi dari rumah ini daripada harus tinggal satu atap dengan orang yang selalu memerasnya."Lebih baik aku pergi dan ngontrak sendiri daripada harus terus disini tapi tersiksa!" sambung Zea, dia segera pergi meninggalkan Pak Yanto.Badan, hati dan pikirannya begitu lelah. Seharian bekerja, pulang ke rumah berniat untuk istirahat tapi kenyataannya malah membuat Zea emosi.Untuk meredam emosinya, Zea merebahkan diri terlebih dahulu. Zea menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Tidak lama kemudian matanya terpejam dan tertidur pulas.****Malam hari.Zea yang baru saja bangun terdiam sejenak, memikirkan kemana dia akan pergi dan alasan apa yang tepat untuk bicara kepada Bu Maryam.Tok.Tok.Tok.Suara ketukan pintu membuat Zea tersadar, dia segera beranjak dan membuka kunci."Ze, kamu belum mandi?" ucap Bu Maryam ketika melihat anak gadisnya masih mengenakan baju seragam kerja."Iya, Bu. Tadi Aku keburu capek, jadinya langsung tidur," kilah Zea."Emmm, Bu masuk dulu yu. Ada yang mau Aku bicarakan sama Ibu," ajak Zea dengan menarik lengan Bu Maryam dan menutup kembali pintu kamarnya.di ruang televisi, Pak Yanto menatap Zea dengan tajam. Seolah-olah dia mengatakan jangan mengadu dari sorot matanya.Tapi, sayangnya Zea tidak memperdulikan tatapan itu."Ada apa, Ze?" tanya Bu Maryam saat mereka sudah berhasil duduk di ujung ranjang.Ditatapnya wajah yang sudah mulai keriput itu, terlihat jelas raut wajah lelah dari sorot matanya. Tubuhnya yang semakin kurus, membuat hati Zea seakan tersayat.Zea mengeluarkan amplop coklat berisi uang dan diberikannya amplop tersebut dengan senyuman manisnya."Apa ini?" tanya Bu Maryam bingung."Ini adalah gaji pertama Aku, dan Aku berikan sebagian untuk Ibu. Tolong diterima, ya, mungkin ini gak seberapa dengan pengorbanan Ibu selama ini. Tapi, siapa tau uang ini bisa membeli kebutuhan yang Ibu mau," tutur Zea.Bu Maryam mulai berkaca-kaca, dia terharu karena gaji pertama anak gadisnya malah diberikan kepadanya. Selama ini Bu Maryam pikir, Zea bekerja satu bulan full gajinya untuk membeli keinginan yang dia inginkan, tapi nyatanya Zea malah memberikan kepada Bu Maryam."Tidak usah, Ze, ini uang Kamu dan hasil kerja kamu. Kamu simpan uang ini untuk kebutuhan Kamu," tolak halus Bu Maryam."Ibu, Zea sudah janji pada diri Zea sendiri bahwa akan memberikan setiap gaji Zea kepada Ibu. Lagian, Ibu tenang aja Aku sudah sisihkan buat kebutuhan aku, kok," ucap Zea.Zea sedikit memaksa dan akhirnya diterima oleh Bu Maryam. Meskipun dalam hati, Bu Maryam tidak tega menerimanya. Tapi, dia juga tidak mau mengecewakan Zea.Bu Maryam bersyukur memiliki anak yang berbakti seperti Zea. Rasa lelahnya seketika hilang melihat anak gadis yang dia rawat sedari kecil sudah bisa bekerja dan bisa membahagiakannya.*****Siang menjelang sore.Dikarenakan hari ini Zea bagian shift sore, jadi sekarang dia bisa sedikit bersantai sejenak. Sambil bersantai dia memikirkan bagaimana caranya meminta izin untuk ngontrak sendiri.'Kalau bisa, Aku harus ngontrak hari ini juga. Aku sudah muak jika harus satu atap terus dengan Pak tua yang pandai bersandiwara itu,' batin Zea.Bu Maryam menghampiri anaknya yang terlihat sedang melamun di teras rumah."Ze, kamu belum siap-siap?" ucap Bu Maryam sembari duduk di dekat Zea.Zea menoleh dan tersenyum."Sebentar lagi aku siap-siap, Bu" sahut Zea."Emmm, Bu. Boleh gak aku mau ngontrak di dekat Mall? Ibu gak usah khawatir, setiap minggu aku pasti kesini, kok. Dan aku juga gak sendiri ngontraknya," ucap Zea ragu-ragu.Bu Maryam menatap Zea dengan lekat."Untuk apa kamu ngontrak? Kamu kan punya rumah, kenapa harus ngontrak, Ze?" tanya bu Maryam lembut. Zea menggenggam tangan Bu Maryam dengan erat, dia tersenyum manis seolah-olah Zea menyampaikan bahwa dia akan baik-baik saja."Agar aku tidak terlalu capek bolak-balik ke Mall dan ke rumah. Dan jika shift sore, pas pulang gak terlalu jauh," jelas Zea berbohong.Bu Maryam menghela nafas kasar."Ibu gak bisa ngelarang Kamu. Ibu hanya berpesan, jaga diri kamu baik-baik," ucap Bu Maryam.Zea mengangguk dan memeluk Bu Maryam dengan erat. Air matanya menetes, tapi dengan cepat Zea menghapusnya.Hari sudah semakin sore, Zea segera bersiap karena jam masuk kerjanya pukul 16.00 WIB.Selesai bersiap, Zea pamit dan segera berangkat. Seperti biasa, Zea berjalan kaki terlebih dahulu ke depan gang.Asyik berjalan dan menatap layar ponsel, Zea tidak menyadari jika di belakang ada sebuah mobil sport berwarna biru memperhatikannya."Gadis itu selalu berjalan kaki?" gumam seseorang yang mengikuti Zea dari dalam mobil.Orang itu segera mensejajarkan mobilnya dengan badan Zea.Tin… Tin…Suara klakson mobil mengagetkan Zea, membuat Zea menoleh ke asal suara.kening Zea mengernyit ketika melihat Agam yang berada di dalam mobil sport itu."Pak Agam? Ada apa?" tanya Zea kepada orang tersebut.Agam tidak menjawab, dia menatap Zea dari atas hingga bawah."Masuk!" perintah Agam.Zea mengernyitkan kening."Masuk kemana?" tanya Zea tidak mengerti.Melihat tatapan mata Agam yang tajam, membuat Zea bergidik ngeri. Seketika Zea langsung mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Agam dsn tatapan matanya barusan."I-iya, A-aku masuk sekarang," ucap Zea dengan segera masuk ke dalam mobil. Zea duduk di samping Agam, karena tidak mungkin dia duduk di kursi belakang.'Orang ini kenapa setiap berbicara harus menggunakan tatapan mata yang tajam, sih! Apa jangan-jangan, itu adalah bahasa isyarat dia?' batin Zea.Zea menatap Agam, dia bingung akan dibawa kemana oleh atasannya itu. Padahal setengah jam lagi dia harus masuk kerja."Kita mau kemana, Pak?" tanya Zea yang membuat Agam menoleh sekilas.Karena tidak mendapat jawaban dari Agam, Zea semakin penasaran dengan Agam yang akan membawanya kemana. "Pak, kita mau kemana?" tanya Zea sekali lagi.Kuping Agam merasa panas mendengar Zea terus bertanya. Dia menoleh sekilas, lalu fokus kembali pada jalanan."KUA!" jawab Agam singkat yang membuat mata Zea membulat sempurna.'Njir, Pak Agam sat set banget ngajakin aku ke KUA,' batin Zea.Agak terkejut, tapi Zea tidak berani bertanya lagi. Sepanjang jalan Zea hanya menatap jalanan. Tapi, jika diingat-ingat jalanan ini seperti jalanan yang selalu dia lalui ketika akan berangkat dan pulang dari Mall.Akhirnya setelah beberapa menit, mereka sampai juga di halaman Mall. Agam segera memarkirkan mobilnya, dan mematikan mesin mobil. "Gak mau turun?" sindir Agam ketika melihat Zea hanya diam saja sambil terlihat bingung."Ini mah Mall, Pak, bukan KUA. Katanya tadi mau ke KUA, kok sekarang malah ke Mall," ucap Zea dengan bingung.Agam tidak menghiraukan ucapan Zea, dia segera turun meninggalkan Zea di dalam.Zea segera menyusul ketika melihat Agam semakin menjauh. Zea menepuk jidatnya sedikit keras. Sekarang Zea sadar bahwa dia hanya ditawari menumpang sampai Mall, bukan mau diajak ke KUA."B*go banget sih Aku ini. Kenapa juga malah mikir mau dibawa ke KUA beneran coba? Memalukan sekali," gumam Zea dengan naik ke l
Zea terjatuh tepat di pelukan Agam. Mereka saling pandang satu sama lain.'Kalau dari dekat gini ganteng juga ya ni orang. Tapi, sayangnya ketampanan dia terhalang oleh sikap dingin dan kesombongannya,' batin Zea.Agam yang sadar bahwa mereka sedang di posisi tidak baik, dengan segera menurunkan Zea tanpa perasaan.Bruk."Aduh! Kenapa gak pelan-pelan sih nurunin nya. Sakit tau!" omel Zea, dia terlalu kesal hinggal tidak memperdulikan bahwa Agam adalah atasannya.Rama yang melihat Zea terjatuh ke atas lantai, dengan segera dia menolong Zea. "Kamu gak papa?" tanya Rama dengan membantu Zea berdiri."Aku gak papa, makasih ya udah bantuin," ucap Zea.Agam menatap Zea dan Rama bergantian. Setelah itu, Agam meninggalkan Rama yang masih terus memandangi wajah Zea.Entah kenapa jantung Agam berdebar sangat kecang ketika menatap bola mata Zea. Bola matanya yang bening, wajah cantik, membuat Agam sedikit salah tingkah.Rama yang melihat Agam semakin menjauh, dia segera menyusulnya dengan langka
Mata Zea membulat sempurna, begitupun dengan Agam."Kenapa Mama selalu memutuskan secara sepihak?" sentak Agam."Ini semua demi terhindar dari fitnah dan juga zina!" jelas Oma Rini dengan lantang."Seharusnya Mama bertanya terlebih dahulu sebelum menyimpulkan sesuatu!" marah Agam.Kali ini Agam banyak bicara karena dia tidak mau menikah untuk kedua kalinya tanpa didasari oleh cinta lagi.Zea juga tidak tinggal dia, dia segera beranjak dari ranjang dan mendekat ke arah Oma Rini."Kenapa aku dan Pak Agam harus menikah?" tanya Zea dengan polos.Agam menatap Zea dengan tatapan yang begitu tajam. Tapi, Zea tidak takut sama sekali, justru dia menatap balik Agam dengan tatapan yang sama."Aku dan dia tidak tidur satu ranjang! Jadi aku mohon sama Mama, jangan pernah bawa-bawa pernikahan hanya karena kesalah pahaman!" bantah Agam.Zea mengangguk tanda setuju dengan ucapan Agam barusan.Wajah Agam begitu merah, dia menahan amarah kepada Mamanya. Agam tidak akan pernah mau menerima pernikahan at
Bruk."Maaf… Aku gak sengaja," ucap gadis tersebut.Di bawah teriknya matahari, seorang gadis cantik dengan membawa amplop coklat berjalan dengan tergesa. Sesekali dia mengelap keringat yang bercucuran di dahi dan jidatnya. Dia menabrak seorang pria berjas. Saat mendongak, pria itu malah pergi begitu saja tidak memperdulikan kata maaf yang keluar dari mulutnya."Apa dia marah karena aku tidak sengaja menabraknya?" gumam Zea.Zea Alia Quinsha, terlahir dari kalangan sederhana dan baru saja lulus sekolah. Dia memiliki kulit putih, rambut pendek yang diwarnai coklat tua, dan bola mata yang hitam. Zea hanya lulusan SMA, tapi untungnya dia mempunyai teman yang merekomendasikan dia untuk bekerja di salah satu Mall ternama di kotanya."Ribet banget sih pake sepatu hak tinggi begini. Jalan jadi susah kan!" gerutu Zea.Drrtt.Satu panggilan masuk membuat Zea menghentikan langkahnya. "Hallo?" "Ze, Kamu masih lama? Kamu udah nyampe mana?" tanya Amira dibalik telepon."Ini sudah di depan, sebe
Glek.Zea menelan ludahnya dengan kasar."Ba-baik, Pak," jawab Zea dengan gugup.Amira dibuat greget dengan Agam yang tidak langsung memberikan jawaban. Dia berdiri, tapi saat Amira akan angkat bicara, tiba-tiba Agam berbicara lebih cepat daripada Amira."Besok dia bisa mulai bekerja, dan Kamu Amira. Tolong kasih tau semua peraturan dan cara kerja disini," ucap Agam dengan tegas."Bak, Pak!" jawab Amira dengan antusias.Sedangkan Zea, dia masih diam mematung hingga Agam pergi meninggalkan mereka berdua. Zea masih mencerna jawaban Agam barusan. Saking tidak percayanya, dia sampai menepuk-nepuk pipinya sendiri."Aaaa, selamat Zea. Akhirnya kita bisa kerja bareng disini, dan aku doakan semoga kamu bisa jadi karyawan tetap plus jadi karyawan di VVIP," ucap Amira memberikan semangat, bahkan dia memeluk Zea dengan erat.Zea tersadar dan langsung mengembangkan senyumannya. Dia berdiri, lalu berjingkrak-jingkrak bersama Amira. "Alhamdulillah, makasih banyak ya, Ra. Ini semua berkat Kamu," uj
"Silahkan, jika perlu sekarang juga anda laporkan saya!" tantang Zea dengan berani.Tatapan mata Zea tidak terlihat takut sama sekali, justru dia memperlihatkan sorot mata yang begitu berani. Pria yang baru saja di hajar oleh Zea pergi meninggalkan kerumunan orang-orang. Sebelum pergi, dia menatap Zea sekilas.Zea tersenyum sinis ke arahnya."Zea, terimakasih ya Kamu udah mau bantuin Aku," ucap Sinta dengan mendekat."Santai aja, yang terpenting Kamu gak papa. Lain kali kalau ada yang seperti itu, Kamu bisa panggil Aku. Atau enggak, Kamu hajar aja pria seperti itu," tutur Zea.Sinta mengangguk dan memeluk Zea. Sinta bersyukur karena bisa kenal dengan Zea yang baik dan mau menolong dia.Semua pengunjung sudah bubar dan melakukan aktivitasnya kembali. Begitupun dengan para karyawan yang bertugas kembali melayani pengunjung.Zea yang tengah membetulkan posisi baju yang berantakan, tiba-tiba salah satu karyawan pria menghampirinya. "Kamu dipanggil tuh sama Pak Manager," ucap karyawan te
Satu bulan kemudian…."Selamat datang dan selamat berbelanja, Nyonya," sapa Zea dengan begitu sopan dan ramah."Terimakasih. Bisa bantu saya mengambilkan baju yang tergantung?" ucap pembeli yang Zea sapa, umurnya sekitar 60 tahun tapi wajahnya masih terlihat muda.Zea mengangguk sambil tersenyum. Dia segera mengambilkannya."Ini, Nyonya." Zea menyerahkan baju tersebut dan langsung diterima.Dari kejauhan terlihat Amira berjalan mendekati Zea dengan membawa cacatan. Amira melihat Zea begitu semangat ikut tersenyum bahagia. Ini adalah hari pertama gajian untuk Zea, wajar saja jika sahabatnya itu merasa sangat bersemangat."Ze, bisa bantu aku tolong carikan barang yang ada dicatatan ini gak?" tanya Amira sembari menyerahkan catatannya."Bisa, tapi setelah aku melayani Ibu ini ya. Gak papa, kan?" ucap Zea."Iya, gak papa. Kalau udah nanti bawa keruangan aku ya, sekalian sama bonnya," jawab Amira.Mata Amira merasa tidak asing dengan pembeli yang sedang dilayani oleh Zea. Dari postur tubuh
Sekarang Zea sudah berada di ruangan Agam."Pak Agam manggil saya?" tanya Zea basa basi.Agam menatap Zea sekilas."Duduk," perintah Agam.Zea menurut dan duduk di kursi hadapan Agam. Jantungnya tiba-tiba berdebar sangat kencang, padahal Agam belum berbicara apa-apa. Pikiran buruk menghampirinya, dia takut jika akan dipecat gara-gara menemukan dompet Oma Rini tadi.'Aduh, masa sih nemu dompet terus dikembaliin aja mau dipecat,' batin Zea.Kaki Zea bergetar, tangannya terasa dingin, pikiran Zea juga kalut. Antara takut dan bingung, padahal waktu dia menampar pengunjung tidak setakut ini.Agam yang masih fokus pada layar ponselnya, dia segera menyimpan ponselnya. Ditatapnya Zea dengan intens yang membuat kaki Zea semakin bergetar."Mulai besok kamu jadi karyawan di ruangan VVIP," ucap Agam yang membuat Zea mematung.Zea tidak bekedip sama sekali, bahkan detak jantungnya berhenti sejenak.Agam berdehem karena melihat Zea diam saja."Ehem," dehem Agam.Zea tersadar kembali, lalu menatap
Mata Zea membulat sempurna, begitupun dengan Agam."Kenapa Mama selalu memutuskan secara sepihak?" sentak Agam."Ini semua demi terhindar dari fitnah dan juga zina!" jelas Oma Rini dengan lantang."Seharusnya Mama bertanya terlebih dahulu sebelum menyimpulkan sesuatu!" marah Agam.Kali ini Agam banyak bicara karena dia tidak mau menikah untuk kedua kalinya tanpa didasari oleh cinta lagi.Zea juga tidak tinggal dia, dia segera beranjak dari ranjang dan mendekat ke arah Oma Rini."Kenapa aku dan Pak Agam harus menikah?" tanya Zea dengan polos.Agam menatap Zea dengan tatapan yang begitu tajam. Tapi, Zea tidak takut sama sekali, justru dia menatap balik Agam dengan tatapan yang sama."Aku dan dia tidak tidur satu ranjang! Jadi aku mohon sama Mama, jangan pernah bawa-bawa pernikahan hanya karena kesalah pahaman!" bantah Agam.Zea mengangguk tanda setuju dengan ucapan Agam barusan.Wajah Agam begitu merah, dia menahan amarah kepada Mamanya. Agam tidak akan pernah mau menerima pernikahan at
Zea terjatuh tepat di pelukan Agam. Mereka saling pandang satu sama lain.'Kalau dari dekat gini ganteng juga ya ni orang. Tapi, sayangnya ketampanan dia terhalang oleh sikap dingin dan kesombongannya,' batin Zea.Agam yang sadar bahwa mereka sedang di posisi tidak baik, dengan segera menurunkan Zea tanpa perasaan.Bruk."Aduh! Kenapa gak pelan-pelan sih nurunin nya. Sakit tau!" omel Zea, dia terlalu kesal hinggal tidak memperdulikan bahwa Agam adalah atasannya.Rama yang melihat Zea terjatuh ke atas lantai, dengan segera dia menolong Zea. "Kamu gak papa?" tanya Rama dengan membantu Zea berdiri."Aku gak papa, makasih ya udah bantuin," ucap Zea.Agam menatap Zea dan Rama bergantian. Setelah itu, Agam meninggalkan Rama yang masih terus memandangi wajah Zea.Entah kenapa jantung Agam berdebar sangat kecang ketika menatap bola mata Zea. Bola matanya yang bening, wajah cantik, membuat Agam sedikit salah tingkah.Rama yang melihat Agam semakin menjauh, dia segera menyusulnya dengan langka
'Njir, Pak Agam sat set banget ngajakin aku ke KUA,' batin Zea.Agak terkejut, tapi Zea tidak berani bertanya lagi. Sepanjang jalan Zea hanya menatap jalanan. Tapi, jika diingat-ingat jalanan ini seperti jalanan yang selalu dia lalui ketika akan berangkat dan pulang dari Mall.Akhirnya setelah beberapa menit, mereka sampai juga di halaman Mall. Agam segera memarkirkan mobilnya, dan mematikan mesin mobil. "Gak mau turun?" sindir Agam ketika melihat Zea hanya diam saja sambil terlihat bingung."Ini mah Mall, Pak, bukan KUA. Katanya tadi mau ke KUA, kok sekarang malah ke Mall," ucap Zea dengan bingung.Agam tidak menghiraukan ucapan Zea, dia segera turun meninggalkan Zea di dalam.Zea segera menyusul ketika melihat Agam semakin menjauh. Zea menepuk jidatnya sedikit keras. Sekarang Zea sadar bahwa dia hanya ditawari menumpang sampai Mall, bukan mau diajak ke KUA."B*go banget sih Aku ini. Kenapa juga malah mikir mau dibawa ke KUA beneran coba? Memalukan sekali," gumam Zea dengan naik ke l
Nafas Zea memburu, antara menahan emosi dan menahan sabar."Jika aku tidak bisa gimana?" tanya Zea dengan sedikit meninggikan suaranya.Tangan Pak Yanto yang satunya lagi mencengkram rahang Zea dengan sangat kuat. Dia tersenyum miring di hadapan Zea.Tidak ada rasa takut sama sekali dalam diri Zea, yang ada tinggal rasa muak. Ingin rasanya Zea menghajar pria tua di hadapannya itu, tapi untungnya rasa kemanusiaan dan rasa hormat Zea masih ada."Jika Kamu tidak mampu, maka kamu harus pergi dari rumah ini!" ancam Pak Yanto."Apa hak Bapak mengusir Aku dari sini?" sela Zea cepat."Karena Kamu hanya beban keluarga dan anak pembawa s*al bagi Saya!" sentak Pak Yanto tepat di depan wajah Zea.Tangan Zea bergerak melepaskan cengkraman Pak Yanto. Setelah bersusah payah, akhirnya Zea berhasil melepaskan cengkraman itu.Sorot mata Zea menunjukan kebencian dan amarah yang begitu besar. Giginya gemeretuk menahan emosi yang sewaktu-waktu bisa meledak."Gimana tawaran saya? Gaji kamu saya yang pegang
Sekarang Zea sudah berada di ruangan Agam."Pak Agam manggil saya?" tanya Zea basa basi.Agam menatap Zea sekilas."Duduk," perintah Agam.Zea menurut dan duduk di kursi hadapan Agam. Jantungnya tiba-tiba berdebar sangat kencang, padahal Agam belum berbicara apa-apa. Pikiran buruk menghampirinya, dia takut jika akan dipecat gara-gara menemukan dompet Oma Rini tadi.'Aduh, masa sih nemu dompet terus dikembaliin aja mau dipecat,' batin Zea.Kaki Zea bergetar, tangannya terasa dingin, pikiran Zea juga kalut. Antara takut dan bingung, padahal waktu dia menampar pengunjung tidak setakut ini.Agam yang masih fokus pada layar ponselnya, dia segera menyimpan ponselnya. Ditatapnya Zea dengan intens yang membuat kaki Zea semakin bergetar."Mulai besok kamu jadi karyawan di ruangan VVIP," ucap Agam yang membuat Zea mematung.Zea tidak bekedip sama sekali, bahkan detak jantungnya berhenti sejenak.Agam berdehem karena melihat Zea diam saja."Ehem," dehem Agam.Zea tersadar kembali, lalu menatap
Satu bulan kemudian…."Selamat datang dan selamat berbelanja, Nyonya," sapa Zea dengan begitu sopan dan ramah."Terimakasih. Bisa bantu saya mengambilkan baju yang tergantung?" ucap pembeli yang Zea sapa, umurnya sekitar 60 tahun tapi wajahnya masih terlihat muda.Zea mengangguk sambil tersenyum. Dia segera mengambilkannya."Ini, Nyonya." Zea menyerahkan baju tersebut dan langsung diterima.Dari kejauhan terlihat Amira berjalan mendekati Zea dengan membawa cacatan. Amira melihat Zea begitu semangat ikut tersenyum bahagia. Ini adalah hari pertama gajian untuk Zea, wajar saja jika sahabatnya itu merasa sangat bersemangat."Ze, bisa bantu aku tolong carikan barang yang ada dicatatan ini gak?" tanya Amira sembari menyerahkan catatannya."Bisa, tapi setelah aku melayani Ibu ini ya. Gak papa, kan?" ucap Zea."Iya, gak papa. Kalau udah nanti bawa keruangan aku ya, sekalian sama bonnya," jawab Amira.Mata Amira merasa tidak asing dengan pembeli yang sedang dilayani oleh Zea. Dari postur tubuh
"Silahkan, jika perlu sekarang juga anda laporkan saya!" tantang Zea dengan berani.Tatapan mata Zea tidak terlihat takut sama sekali, justru dia memperlihatkan sorot mata yang begitu berani. Pria yang baru saja di hajar oleh Zea pergi meninggalkan kerumunan orang-orang. Sebelum pergi, dia menatap Zea sekilas.Zea tersenyum sinis ke arahnya."Zea, terimakasih ya Kamu udah mau bantuin Aku," ucap Sinta dengan mendekat."Santai aja, yang terpenting Kamu gak papa. Lain kali kalau ada yang seperti itu, Kamu bisa panggil Aku. Atau enggak, Kamu hajar aja pria seperti itu," tutur Zea.Sinta mengangguk dan memeluk Zea. Sinta bersyukur karena bisa kenal dengan Zea yang baik dan mau menolong dia.Semua pengunjung sudah bubar dan melakukan aktivitasnya kembali. Begitupun dengan para karyawan yang bertugas kembali melayani pengunjung.Zea yang tengah membetulkan posisi baju yang berantakan, tiba-tiba salah satu karyawan pria menghampirinya. "Kamu dipanggil tuh sama Pak Manager," ucap karyawan te
Glek.Zea menelan ludahnya dengan kasar."Ba-baik, Pak," jawab Zea dengan gugup.Amira dibuat greget dengan Agam yang tidak langsung memberikan jawaban. Dia berdiri, tapi saat Amira akan angkat bicara, tiba-tiba Agam berbicara lebih cepat daripada Amira."Besok dia bisa mulai bekerja, dan Kamu Amira. Tolong kasih tau semua peraturan dan cara kerja disini," ucap Agam dengan tegas."Bak, Pak!" jawab Amira dengan antusias.Sedangkan Zea, dia masih diam mematung hingga Agam pergi meninggalkan mereka berdua. Zea masih mencerna jawaban Agam barusan. Saking tidak percayanya, dia sampai menepuk-nepuk pipinya sendiri."Aaaa, selamat Zea. Akhirnya kita bisa kerja bareng disini, dan aku doakan semoga kamu bisa jadi karyawan tetap plus jadi karyawan di VVIP," ucap Amira memberikan semangat, bahkan dia memeluk Zea dengan erat.Zea tersadar dan langsung mengembangkan senyumannya. Dia berdiri, lalu berjingkrak-jingkrak bersama Amira. "Alhamdulillah, makasih banyak ya, Ra. Ini semua berkat Kamu," uj
Bruk."Maaf… Aku gak sengaja," ucap gadis tersebut.Di bawah teriknya matahari, seorang gadis cantik dengan membawa amplop coklat berjalan dengan tergesa. Sesekali dia mengelap keringat yang bercucuran di dahi dan jidatnya. Dia menabrak seorang pria berjas. Saat mendongak, pria itu malah pergi begitu saja tidak memperdulikan kata maaf yang keluar dari mulutnya."Apa dia marah karena aku tidak sengaja menabraknya?" gumam Zea.Zea Alia Quinsha, terlahir dari kalangan sederhana dan baru saja lulus sekolah. Dia memiliki kulit putih, rambut pendek yang diwarnai coklat tua, dan bola mata yang hitam. Zea hanya lulusan SMA, tapi untungnya dia mempunyai teman yang merekomendasikan dia untuk bekerja di salah satu Mall ternama di kotanya."Ribet banget sih pake sepatu hak tinggi begini. Jalan jadi susah kan!" gerutu Zea.Drrtt.Satu panggilan masuk membuat Zea menghentikan langkahnya. "Hallo?" "Ze, Kamu masih lama? Kamu udah nyampe mana?" tanya Amira dibalik telepon."Ini sudah di depan, sebe