"Tumben ngajakin makan di luar," "Mumpung nenek sama kakeknya Kai nginep dirumah."Untuk pertama kalinya Dewangga Aditama yang lempeng-lempeng aja itu, malam ini mengajaknya keluar katanya malam Rabuan. Aneh kan, biasanya kan malam mingguan la ini suaminya ngajak malam rabuan memang ada-ada saja sekarang suaminya itu."Makan bakso di deket kantor kamu aja yuk, Mas. Aku udah lama nggak makan sate." "Bakso?" tanya Dewa tidak percaya.Padahal malam ini rencananya ingin makan malam romantis di restoran gitu, tapi sepertinya akan gagal karena istrinya lebih memilih makan bakso kaki lima."Masa ngedate makan bakso pinggir jalan," "Pengennya itu..." ujar Kanaya mengerucutkan bibirnya cemberut."Kamu nggak ngidam kan?" tanya Dewa yang merasa ada yang beda dari istrinya yang tiba-tiba menginginkan bakso."Iyaa ngidam pengen bakso." "Iya, beneran mau makan bakso?" tanya Dewa membuat Naya tersenyum dengan wajah imutnya hal itu membuat Dewa tersenyum."Oke."Setelah sampai di tempat langgana
Rian sudah tidak habis pikir dengan kelakuan papinya yang selalu memperdulikan tentang kekuasan saja. Sejak awal Rian memang tidak mau menjadi penerus Soedrajat, dirinya lebih suka menjadi dirinya sendiri melakukan apapun yang dirinya sukai.Dia lelah, sungguh. Ada banyak beban yang dirinya tanggung sejak kecil. Menjadi anak tunggal dari orang tuanya bukan hal yang mudah, semua hal di kendalikan oleh orang tuanya. Bahkan sampai sekarang mereka masih mengendalikannya dan Rian merasa muak akan hal itu.Rian berhenti di tepian kota, rasanya malas untuk pulang, belum juga dirinya tenang handphonenya berdering menampilkan panggilan dari mamanya.Sudah pasti beliau akan marah-marah karena Rian selalu menghindar dari acara keluarga. Karena dirinya tidak suka dengan acara formal yang hanya menjadi ajang pamer itu.Rian menghela nafas dalam, dirinya merindukan Kanaya yang di saat sedang seperti ini wanita itu akan selalu menghiburnya dengan tindakan-tindakan yang selalu bisa membuatnya gemas
Malam ini Naya tidak bisa tidur, karena anaknya demam dan rewel dari pagi tadi, tapi malam ini anaknya sudah sedikit tenang dan demamnya juga sudah turun."Maafin mama ya sayang." ujar Naya mengelus pipi cubby putranya dengan sayang.Dirinya merasa belum bisa menjadi mama yang baik buat Kai, bahkan saat anaknya sedang menangis hebat tadi siang dirinya justru ikut menangis."Den Kai sudah tidur, Mbak?" tanya Bi Rosma membuat Naya mengangguk memandang wajah polos Kai yang sudah tertidur pulas."Tadi bapak telfon, Mbak. Tanya kenapa telpon Mbak Naya tidak aktif." Dirinya bahkan tidak ingat dengan handphonenya sama sekali karena terlalu fokus dengan putranya yang sedang demam. "Nanti saya telpon balik Mas Dewa, Bik. Sekarang bibik boleh istirahat," ujar tersenyum.Sejak pagi tadi Bik Rosma ikut membantunya menenangkan Kai bahkan sampai mencoba segala cara agar Kai tenang dan demanya turun.Hingga tengah malam seperti ini, Bik Rosma masih setia menemaninya."Yasudah, Mbak. Saya turun dul
"Jadi Rian sama si Savira saudara tiri satu ayah?" tanya Citra membuat Naya mengangguk.Hari ini Citra bermain kerumahnya dengan alasan merindukan Kai."Terus lo mau gimana setelah tau?" Naya menggeleng pelan, karena dirinya benar-benar tidak tau harus bagaimana. Apalagi Wirawan masih terus menemui suaminya entah apa lagi yang laki-laki tua itu inginkan dari suaminya.Bertanggung jawab soal kehamilan Savira, Naya rasa bukan karena sudah pasti berita Savira yang hamil dengan rekan kerjanya sudah sudah menyebar kemana-mana.Meminta Dewa kembali dengan Savira? Ahh itu masih menjadi kemungkinan yang masuk akal. Tapi mengapa, bahkan jika di lihat dari pisahnya Savira dan Dewa itu sudah sangat lama dan kenapa baru sekarang setelah Dewa sudah menikah kembali?Entahlah semakin hari bertambah semakin banyak pula pertanyaan yang ada di pikirannya mengenai hubungan Wirawan, Savira dan juga suaminya belum belum dirinya ketahui."Yang lo rasain sekarang apa?" "Gue nggak tau, sebenernya gue hanya
Setelah menidurkan Kai, Kanaya keluar dari kamar menunju keruang tengah. Di sana ada Dewa yang tengah sibuk dengan beberapa berkas dan layar leptop yang menyala."Mas," panggil Kanaya.Dewa menoleh sekilas pada istrinya kemudian kembali fokus dengan pekerjaanya. Karena hari ini banyak pekerjaan yang memang harus segera di selesaikan. Apalagi beberapa hari belakangan ini Dewa memang disibukan dengan masalahnya dengan Wirawan yang tidak kunjung selesai itu."Gimana Om Wira?" tanya Naya dengan wajah cemasnya."Nggak usah di pikirin," Dewa menyamankan tubuh dan membuka tangannya agar Naya bisa masuk pelukannya.Hal itu membuat Kanaya mengerucutkan wajahnya kesal. Suaminya memang tidak pernah mau melibatkan dirinya, tapi kan sekarang dirinya juga terlibat di masalah ini."Nggak bisa berhenti buat pikiran..." "Katanya kamu mau percaya sama saya." Potong Dewa membuat Naya kembali mengerucutkan bibirnya cemberut."Susah percaya sama kamu," ujar Naya dengan wajah cemberutnya.Bukannya kesa
"Mbak ada yang mau bertemu?" Suara itu membuat Naya yang sedang bercanda dengan Kai terhenti, kemudian menoleh kebelakang melihat Bik Rosma yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya."Siapa, Bik?""Mbak Savira, Mbak." "Kenapa dia kesini. Saya nitip Kai, Bik" Ujarnya kemudian turun dari ranjang."Iya, Mbak. Dengan senang hati."Naya berjalan kearah pintu kamarnya dengan banyak sekali pertanyaan di kepalanya. Padahal dua bulan ini dirinya sudah sedikit tenang karena Savira sudah menghilang dari kehidupannya tapi kenapa hari ini wanita itu kembali menemuinya.'Mau apa lagi dia?' Gumamnya saat melihat punggung yang membelakanginya itu."Kenapa Mbak kesini?" tanya Naya to the point. Rasanya untuk berbasa-basi dengan wanita di depannya ini sudah tidak perlu.Naya menatap perut Savira yang sudah sangat besar, pasti sudah memasuki bulan ke sembilan dan sebentar lagi pasti akan segera melahirkan."Maaf, kalau aku ganggu kamu, Nay. Tapi ada yang mau aku bicarakan sama kamu." Katanya membuat N
Hari ini Naya benar-benar menepati janjinya untuk membantu Savira selama wanita itu ada disini. Setelah membantu menyarikan tempat tinggal dan mengurus segala keperluan wanita itu.Entah padahal dirinya juga masih kesal, jengkel dan marah dengan Savira. Namun melihat ketidak berdayaan mantan istri suaminya itu membuatnya tidak tega apalagi Savira sejak kecil sudah menjadi korban broken home. Karena Naya juga tau cerita bagaimana beratnya anak yang tidak memiliki orang tua lengkap membuatnya merasa kasian dan akhirnya menurunkan egonya dan membantunya.Naya tau mungkin yang dirinya lakukan kali ini bisa saja merugikan dirinya nantinya, tapi bukankah jika kita melakukan kebaikan nanti juga akan mendapatkan kebaikan juga, dan Naya percaya itu.Tiba-tiba ponselnya berdering tertera nama Savira di layar handphonenya."Hallo, Mbak. Ada apa ya?" tanya Naya to the point."Maaf saya menganggu, Nay. Tapi saya mau ngasih kalau sepertinya sebentar lagi saya akan lahiran." ujarnya membuat Naya te
"Bodohnya lo nggak bicara sama Pak Dewa, Nay?" ujar Citra tidak habis pikir dengan kelakuan Naya kali ini.Saat dirinya mendorong kursi roda Savira setelah menjenguk anaknya di ruang bayi, dan saat hendak kembali keruang rawat inap Savira. Dan tiba-tiba Citra sudah ada di hadapannya dengan menatap dirinya meminta penjelasan. Dan berakhir mereka disini dengan Naya yang harus menceritakan tentang keberadaannya dengan Savira barusan."Gue kasihan," cicit Naya.Citra menghela nafas, kemudian menatap Naya penuh, "Lo tau kan siapa orang yang lo tolong itu?" "Jelas gue tau dong, Cit. Tapi lo kalau lihat dia sekarang pasti lo lakuin hal yang sama." "Tapi lo lupa, kalau wanita ular itu sering buat lo sama Pak Dewa berantem, Nay. Pernikahan lo hampir kandas gara-gara siapa? Dia, Nay!" Citra sudah bingung harus bagaimana lagi, bahkan sahabatnya ini memang sering melakukan hal tanpa berpikir dulu. Naya menatap Citra, "Setelah ini bakalan pergi dari hidup gue sama Mas Dewa kok, Cit." "Dan lo
Spesial Kanaya. Kanaya berdiri di depan jendela besar ruang tamu, menatap hujan yang turun perlahan di luar. Mengingat bagaimana perjuangannya untuk bertahan di pernikahannya, Pernikahan mereka dimulai dengan cara yang tidak pernah dia inginkan. Terpaksa, mungkin itulah kata yang paling tepat. Pernikahan yang bukan atas dasar cinta, tetapi lebih karena tuntutan keluarga dan kewajiban yang tidak bisa dielakkan. Dewa, suaminya adalah mantan atasan yang dirinya benci dan dirinya benci waktu saat itu. Namun tuhan justru mempersatukannya dengan Dewa dalam ikatan pernikahan. Dewa adalah pria yang dingin, tertutup, dan jauh dari kata romantis. Dulu, Kanaya sering bertanya-tanya, apakah perasaan suaminya itu benar-benar ada, atau apakah dia hanya seorang pria yang terperangkap dalam rutinitas hidup yang membuatnya sulit untuk mengungkapkan apa pun—termasuk cinta. Namun, ketika Kanaya pertama kali bertemu dengan Dewa, hatinya sempat ragu, bahkan takut. Bagaimana bisa ia menikahi seorang
POV Dewangga Dewa duduk di ruang kerjanya, memandang keluar jendela besar yang menghadap ke kota. Senja mulai turun, dan langit yang tadinya biru cerah kini berubah menjadi jingga yang hangat. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai macam perasaan. Rasanya, hidupnya memang tidak pernah berjalan semulus yang ia inginkan. Ada selalu saja masalah yang datang silih berganti, dan seakan tidak pernah habis. Namun, di balik semua itu, satu hal yang selalu menjadi pegangan Dewa adalah keberadaan Kanaya di sampingnya. Jika ia harus mengakui satu hal yang paling berharga dalam hidupnya, itu adalah Kanaya. Istrinya yang setia, sabar, dan penuh kasih, meskipun mereka sering kali terjebak dalam konflik-konflik yang tak terduga. Kanaya, yang selalu merasa cemas dan khawatir dengan segala yang terjadi, selalu berdiri teguh di sampingnya, mendukungnya dengan sepenuh hati. Dewa tahu, ia tidak selalu menjadi suami yang sempurna. Ada kalanya ia terlalu
Dewa dan Kanaya duduk di balkon rumah mereka, menikmati udara sore yang sejuk. Angin berhembus perlahan, membawa ketenangan setelah melalui hari-hari yang penuh ketegangan. Mereka baru saja menyelesaikan permasalahan besar dengan Soedrajat, dan meskipun situasi masih terbilang sensitif, rasa lega mulai mengalir pelan-pelan. Dewa memandangi istrinya dengan penuh perhatian, senyumnya sedikit lebih lebar dari biasanya. Hari ini adalah hari yang berbeda, hari di mana mereka bisa melangkah tanpa rasa takut, tanpa ancaman yang menggantung di atas kepala mereka.Kanaya menyandarkan kepalanya di bahu Dewa, merasa nyaman dalam pelukan suaminya. Setelah semua drama dan kekacauan yang mereka hadapi, kini mereka bisa menikmati kebersamaan dalam ketenangan. Semua yang terjadi dengan Soedrajat dan permasalahan yang mengikutinya seolah-olah menghilang begitu saja dari benaknya, meskipun ia tahu itu mungkin hanya sementara."Kamu baik-baik saja?" Dewa bertanya, tangannya melingkari tubuh Kanaya denga
Hari ini setelah meraka sama-sama tenang, Dewa mengajak Kanaya untuk datang kediaman Seodrajat, dia ingin segera menyelesaikan. Dewa memarkir mobil di depan rumah besar yang tampak megah namun suram. Rumah Soedrajat, dengan taman yang luas dan pagar tinggi, mencerminkan kekuasaan dan kontrol yang selama ini dia pegang. Namun, malam ini, rumah itu tampak berbeda bagi Dewa. Tidak ada lagi rasa hormat yang dia rasakan untuk pria itu. Yang ada hanya kebencian yang memuncak dan keinginan untuk mengakhiri semua permainan kotor yang sudah terlalu lama berlangsung.Di sebelahnya, Kanaya duduk dengan diam, tangannya menggenggam erat tangan Dewa. Wajahnya terlihat tegang, namun ia tahu bahwa ini adalah langkah yang harus diambil. Pasti semuanya tidak akan mudah karena yang dirinya hadapi adalah Seodrajat, apalagi setelah semua yang telah terjadi antara mereka."Ini keputusan yang tepat, kan, Mas?" tanya Kanaya dengan suara lembut, meskipun ada keraguan yang terbesit dalam kata-katanya. Apala
Ruangan kantor yang luas itu kini terasa dingin penuh dengan ketegangan. Dewa duduk di sofa kulit hitam, ekspresinya datar, hampir tidak menunjukkan perasaan apapun, tetapi matanya yang tajam memancarkan kekecewaan yang dalam. Di sebelahnya, Kanaya duduk dengan wajah menunduk tidak berani menatap suaminya. Hanya suara detak jam dinding yang berulang-ulang terdengar jelas dalam keheningan yang mencekam ini.“Kenapa nggak bilang sama saya?” Dewa akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar lebih berat dari biasanya, penuh ketegangan.Kanaya menarik napas dalam-dalam dan berusaha untuk tidak meneteskan air mata lagi. Dia tahu, dia telah melakukan kesalahan besar. Tidak hanya menyembunyikan pertemuan itu, tetapi juga melibatkan dirinya dalam urusan yang seharusnya tidak ia ambil. Biasanya, dia selalu bisa berbicara dengan Dewa tentang apapun, tidak ada yang disembunyikan. Tapi kali ini, rasa takut telah menahannya untuk tidak berkata apa-apa.“Biasanya kamu selalu membicarakan semuany
"Kamu tau kenapa saya mengajak kamu bertemu,"Kanaya menatap pria tua yang baru saja datang itu. "Silahkan duduk," "Saya pikir kamu tidak akan seberani ini untuk menemui saya," ujarnya sebelum mendudukan dirinya. "Saya heran kenapa kedua cucu saya memilih kamu sebagai pasangan hidup, padahal masih banyak wanita di luaran sana yang lebih daripada kamu." Ujarnya dengan wajah mengejeknua.Naya menarik minumannya untuk membasahi tenggorokan nya yang mendadak kering."Sebenarnya apa tujuan anda mengajak saya bertem?" tanya Naya langsung.Rasanya sudah tidak bisa jika harus berbasa-basi dengan pria di depannya ini. Seodrajat melipat tangannya di depan dada, menatap Kanaya kemudian tersenyum tipis."Ceraikan Dewangga." Sudah ia duga, jika laki-laki tua di depannya itu meminta dirinya untuk bercerai dengan Dewa. Naya terdiam sejenak berusaha tenang, agar tidak mudah terpengaruh."Saya tidak akan menceraikan suami saya." ucap Kanaya tenang."Saya tidak akan membiarkan cucu saya di pengaruhi
"Terus lo mau gimana, Nay?" tanya Citra yang sejak tadi hanya menyimak cerita sahabatnya itu.Citra hari ini memang sengaja berkunjung kerumah sahabatnya setelah mendengar sedikit tentang masalah yang menimpa sahabatnya itu.Naya hanya bisa menggeleng pelan, tidak tau harus menjawab bagaimana karena Dewa selalu mengatakan padanya untuk tidak terlalu memikirkan permasalahannya dengan Seodrajat. Bahkan pria itu berkali-kali menekankan semuanya akan baik-baik saja.Tapi bagaimana bisa, karena Seodrajat juga menganggunya lewat pesan singkat dengan berisi ancaman.Banyak sekali yang tengah Naya pikiran, yang paling mengganggu pikirannya mengenai keluarga Soedrajat yang tidak pernah lelah menganggu keluarga kecilnya. Apakah dia belum puas dengan apa yang mereka lakukan kepada suaminya, bahkan hingga membuat suaminya trauma dan menjalani hidup berat selama ini."Gue nggak tau,""Percaya sama Pak Dewa, Nay." "Gue selalu percaya sama suami gue, Cit. Tapi gue tetap saja khawatir, selama ini Ma
"Mas kamu nggak seneng kencan sama aku?" Naya mendekat kearah suaminya yang sejak tadi hanya menampilkan wajah datarnya saja, sangat terlihat tidak senang dengan kencan mereka bukan.Dewa menoleh menatap istrinya, "Senang."Jawaban singkat, padat dan tidak ikhlas itu membuat Naya menatap suaminya kesal, dan yang semakin membuat Naya semakin kesal suaminya itu justru asik berbalas pesan dengan Naufal. Walaupun mereka membahas pekerjaan tapi rasanya Naya tidak terima karena harusnya hari ini mereka Quality time.Kanaya sangat tau pekerjaan adalah istri kedua suaminya itu, tapi tidak bisakah suaminya itu bersikap adil?"Katanya hari ini kita kecan?" Naya mengambil ponsel suaminya dan menyembunyikan di belakang tubuhnya."Kanaya," panggil Dewangga pelan sembari meraih ponselnya namun gagal karena Naya sudah lebih dulu memasukan kedalam tasnya."Kamu nggak ikhlas kecan sama aku," ujar Naya sok ngambek, padahal mah biasa saja. Karena sejak awal niatnya hanya untuk mengerjai suaminya saja,
"Papa!" teriak Kai saat melihat papanya baru saja pulang.Naya tersenyum melihat Kai yang berlari dengan senyum merekah di wajahnya kemudian memeluk kaki papanya."Jangan lari, Nanti kalau jatuh gimana?" tanya Dewa sembari mengangkat Kai kegendongannya."Kai hati-hati kok, pa. Kata mama kalau jatuh sakit jadi harus hati-hati." jawabnya dengan suara khas anak kecil yang mengemaskan."Pah, tadi Kai berkebun di belakang rumah." seperti biasa Kai akan menceritakan semua aktivitasnya seharian ini ketika papanya pulang."Oh ya? sama siapa?""Mama." jawab Kai membuat Dewa menatap istrinya yang masih duduk di ruang tengah memperhatikan mereka berdua."Tadi nanam apa?" "Bunga, bunganya warna warni tau, Pah." jawabnya tertawa kecil, menampakkan daratan giginya."Kai sudah berkebun?" Kai mengangguk cepat dengan senyum merekah di wajahnya."Aku bosan, Mas. Jadi nanam beberapa jenis bunga di halaman belakang." sahut Naya yang sedari tadi hanya diam memperhatikan interaksi antara papa dan anak itu