Hari ini Naya benar-benar menepati janjinya untuk membantu Savira selama wanita itu ada disini. Setelah membantu menyarikan tempat tinggal dan mengurus segala keperluan wanita itu.Entah padahal dirinya juga masih kesal, jengkel dan marah dengan Savira. Namun melihat ketidak berdayaan mantan istri suaminya itu membuatnya tidak tega apalagi Savira sejak kecil sudah menjadi korban broken home. Karena Naya juga tau cerita bagaimana beratnya anak yang tidak memiliki orang tua lengkap membuatnya merasa kasian dan akhirnya menurunkan egonya dan membantunya.Naya tau mungkin yang dirinya lakukan kali ini bisa saja merugikan dirinya nantinya, tapi bukankah jika kita melakukan kebaikan nanti juga akan mendapatkan kebaikan juga, dan Naya percaya itu.Tiba-tiba ponselnya berdering tertera nama Savira di layar handphonenya."Hallo, Mbak. Ada apa ya?" tanya Naya to the point."Maaf saya menganggu, Nay. Tapi saya mau ngasih kalau sepertinya sebentar lagi saya akan lahiran." ujarnya membuat Naya te
"Bodohnya lo nggak bicara sama Pak Dewa, Nay?" ujar Citra tidak habis pikir dengan kelakuan Naya kali ini.Saat dirinya mendorong kursi roda Savira setelah menjenguk anaknya di ruang bayi, dan saat hendak kembali keruang rawat inap Savira. Dan tiba-tiba Citra sudah ada di hadapannya dengan menatap dirinya meminta penjelasan. Dan berakhir mereka disini dengan Naya yang harus menceritakan tentang keberadaannya dengan Savira barusan."Gue kasihan," cicit Naya.Citra menghela nafas, kemudian menatap Naya penuh, "Lo tau kan siapa orang yang lo tolong itu?" "Jelas gue tau dong, Cit. Tapi lo kalau lihat dia sekarang pasti lo lakuin hal yang sama." "Tapi lo lupa, kalau wanita ular itu sering buat lo sama Pak Dewa berantem, Nay. Pernikahan lo hampir kandas gara-gara siapa? Dia, Nay!" Citra sudah bingung harus bagaimana lagi, bahkan sahabatnya ini memang sering melakukan hal tanpa berpikir dulu. Naya menatap Citra, "Setelah ini bakalan pergi dari hidup gue sama Mas Dewa kok, Cit." "Dan lo
"Coba kalau kakak nggak lihat kamu tadi, pasti kamu masih nutupin dari suami kamu." Riski menatap adik perempuannya yang selalu melakukan sesuatu tanpa memikirkan terlebih dahulu."Kak, aku cuma berniat nolong." "Dan kamu harusnya tau siapa yang kamu tolong itu, Naya." "Apa salahnya aku nolong mantan istri Mas Dewa, dia juga manusia, Kak." Riski berkacak pinggang menatap adiknya kesal, selalu ada saja jawabannya. Kalau bukan di depan Dewa sudah pasti dia akan menjewer telinga adik perempuannya itu, tapi beruntungnya Naya sudah bersembunyi di balik punggung suaminya.Riski memang hanya terpaut 5 tahun dari Naya, itu artinya usianya dengan Dewa juga masih terpaut 6 tahun. Maka mesti Dewa adalah adik iparnya, Riski tidak bisa benar-benar menganggap Dewa adiknya. Justru sebaliknya. Dia menganggap Dewa adalah kakaknya bahkan sebelum laki-laki itu menjadi adik iparnya."Bukankah kamu nggak suka sama dia?" tanya Riski heran."Tidak suka bukan berarti membiarkannya kesusahan, Kak." Jawab
"Nay, terimakasih sudah membantu aku dan anakku." ujar Savira mengengam kedua tangan Naya dan menatapnya serius.Dirinya benar-benar berterimakasih dengan Kanaya yang dulu selalu dirinya usik dan sekarang justru menjadi orang yang mau menolongnya. Bahkan dengan tidak tau malunya ia justru meminta bantuan kepada wanita berhati baik di depannya ini.Pantas saja Dewa tidak lagi mau meliriknya karena istrinya sudah cantik, baik dan yang pasti bisa memberikan laki-laki itu kebahagiaan yang tidak pernah bisa dirinya berikan ke Dewa saat pria itu masih menjadi suaminya.Menyesal, jelas Savira sangat menyesal karena telah mengabaikan Dewa selama ini. Bahkan dia sudah memberikan banyak luka pada laki-laki itu."Pantas saja Dewangga sangat mencintai kamu," ujar Savira membuat Naya menyerngit bingung.Melihat kebingungan di wajah Naya membuat Savira menepuk punggung tangan Kanaya. "Kalau kamu berpikiran Dewa masih mencintai saya kamu salah besar, Nay. Bahkan Dewa sepertinya tidak mencintai aku,
"Duh, keponakan gue makin hari makin ganteng aja." ujar Naufal baru saja datang sudah di sambut dengan celotehan Kai di halaman rumah.Naya memang setiap pagi selalu mengajak Kai jalan-jalan keliling komplek, Dan pagi ini Naya masih menikmati sinar matahari pagi dan udara yang masih segar di halaman rumah."Nyari mas Dewa, Mas?" tanya Naya."Enggak, justru aku mau ketemu kamu." ujar Naufal ragu."Pasti soal Citra," ujar Naya membuat Naufal senyum-senyum sendiri."Kenapa kamu pagi-pagi dirumah saya." Dewa yang baru saja keluar dengan pakaian santainya karena hari ini weekend jadi Dewa berada dirumah."Ada yang mau gue bicarakan dengan Naya." ujarnya."Apa?" tanya Dewa mengambil duduk disebelah Kanaya uang menghadap Naufal."Aku rencananya mau lamar Citra, Nay. Jadi aku kesini butuh bantuan kamu." ujar Naufal dengan senyum merekah di wajahnya.Naya menatap Naufal terkejut kemudian di ikuti senyum merekah di wajahnya, akhirnya setelah angin, dan badai di hubungan mereka berdua akhirnya
Kanaya bersyukur permasalahan pernikahannya semakin hari semakin berkurang, bahkan pernikahannya sudah jauh lebih baik seperti pernikahan yang dirinya inginkan memiliki suami yang cinta padanya, memiliki keluarga kecil yang harmonis. Ya walaupun kadang sifat dingin, datar dan tidak peka suka suaminya masih sering membuatnya kesal. Namun itu adalah warna di pernikahannya dengan Dewangga yang memang memiliki sifat yang dingin itu.Dan hari sudah satu bulan setelah Savira melahirkan, dan hari ini Naya datang ke apartemen Savira untuk membantunya berkemas karena wanita ini akan pindah ke surabaya dan menetap disana. Katanya ingin hidup dengan mamanya di kampung halamannya.Sebenernya Naya sudah menganggap Savira seperti kakaknya sendiri selama ini, jadi sedikit berat untuk berpisah dengan Savira dan Zara."Mbak, nggak mau pamitan sama Mas Dewa?" tanya Naya.Karena entah Naya merasa mereka belum selesai, jadi tidak ada salahnya Naya menawarkan kesempatan untuk mereka bertemu dan mungkin un
Bohong jika Naya mengatakan dirinya baik-baik saja setelah perdebatannya dengan Savira dan Wirawan kemaren. Bahkan sekarang kepalanya pusing memikirkan banyak hal tentang permasalahan yang sebenernya terjadi antara suaminya dan Wirawan."Kenapa?" tanya Dewa yang memang merasa aneh sejak kepulauan istrinya."Nggak papa, Mas. Udah selesai pekerjaanya?" tanya Naya mencoba tersenyum menyambut kehadiran suaminya yang baru saja masuk kedalam kamar."Sudah," Jawabnya membaringkan badannya di sebelahnya."Kata bik Rosma kamu makan sedikit kenapa, sakit?" tanya Dewa dengan tangan terulur menempelkan punggung tangannya di dahi sang istri."Enggak, aku makan cukup tadi." Jawab Naya membuat Dewa hanya mengangguk saja dengan mata yang masih menatap Kanaya penuh.Naya ragu harus bilang atau tidak tentang pertemuanya dengan Wirawan dan kepergian Savira lusa kesurabaya. Naya hanya menatap suaminya dengan wajah bingungnya."Mas, aku kemaren ketemu sama om Wira," Naya memutuskan untuk bicara dengan sua
Dua puluh tahun lalu adalah masa-masa yang paling berat dalan hidup Dewangga Aditama. Dimana sang ayah kecelakaan dengan cara yang tidak wajar, dan semua aset milik orang tuanya di ambil olih oleh orang kepercayaan ayahnya sendiri. Dan membuatnya harus tinggal di jalanan dan bekerja keras demi bertahan hidup. Sejak saat itu tidak pernah seharipun Dewa merasa tenang, karena trauma yang di alaminya. Melihat sang ayah meninggal di depannya. Sampai sekarangpun rasanya untuk berdamai dengan trauma itu bukanlah hal yang mudah. Dewa hanya mengalihkan semua rasa sakit dan trauma pada pekerjaanya. Kehilangan sosok ayah di saat masih sekolah dasar, tidak pernah terpikir olehnya. Bahkan di saat semua anak seusianya masih bisa menikmati masa kanak-kanaknya Dewa harus bekerja untuk bertahan hidup. Apakah sejak saat itu Dewangga pernah merasa bahagia, jawabannya tidak bahkan rasa bersalah, dan ketakutan itu selalu menghantuinya bahkan Dewa tidak pernah bisa tidur nyenyak sekalipun. Tiba-tiba had
Spesial Kanaya. Kanaya berdiri di depan jendela besar ruang tamu, menatap hujan yang turun perlahan di luar. Mengingat bagaimana perjuangannya untuk bertahan di pernikahannya, Pernikahan mereka dimulai dengan cara yang tidak pernah dia inginkan. Terpaksa, mungkin itulah kata yang paling tepat. Pernikahan yang bukan atas dasar cinta, tetapi lebih karena tuntutan keluarga dan kewajiban yang tidak bisa dielakkan. Dewa, suaminya adalah mantan atasan yang dirinya benci dan dirinya benci waktu saat itu. Namun tuhan justru mempersatukannya dengan Dewa dalam ikatan pernikahan. Dewa adalah pria yang dingin, tertutup, dan jauh dari kata romantis. Dulu, Kanaya sering bertanya-tanya, apakah perasaan suaminya itu benar-benar ada, atau apakah dia hanya seorang pria yang terperangkap dalam rutinitas hidup yang membuatnya sulit untuk mengungkapkan apa pun—termasuk cinta. Namun, ketika Kanaya pertama kali bertemu dengan Dewa, hatinya sempat ragu, bahkan takut. Bagaimana bisa ia menikahi seorang
POV Dewangga Dewa duduk di ruang kerjanya, memandang keluar jendela besar yang menghadap ke kota. Senja mulai turun, dan langit yang tadinya biru cerah kini berubah menjadi jingga yang hangat. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai macam perasaan. Rasanya, hidupnya memang tidak pernah berjalan semulus yang ia inginkan. Ada selalu saja masalah yang datang silih berganti, dan seakan tidak pernah habis. Namun, di balik semua itu, satu hal yang selalu menjadi pegangan Dewa adalah keberadaan Kanaya di sampingnya. Jika ia harus mengakui satu hal yang paling berharga dalam hidupnya, itu adalah Kanaya. Istrinya yang setia, sabar, dan penuh kasih, meskipun mereka sering kali terjebak dalam konflik-konflik yang tak terduga. Kanaya, yang selalu merasa cemas dan khawatir dengan segala yang terjadi, selalu berdiri teguh di sampingnya, mendukungnya dengan sepenuh hati. Dewa tahu, ia tidak selalu menjadi suami yang sempurna. Ada kalanya ia terlalu
Dewa dan Kanaya duduk di balkon rumah mereka, menikmati udara sore yang sejuk. Angin berhembus perlahan, membawa ketenangan setelah melalui hari-hari yang penuh ketegangan. Mereka baru saja menyelesaikan permasalahan besar dengan Soedrajat, dan meskipun situasi masih terbilang sensitif, rasa lega mulai mengalir pelan-pelan. Dewa memandangi istrinya dengan penuh perhatian, senyumnya sedikit lebih lebar dari biasanya. Hari ini adalah hari yang berbeda, hari di mana mereka bisa melangkah tanpa rasa takut, tanpa ancaman yang menggantung di atas kepala mereka.Kanaya menyandarkan kepalanya di bahu Dewa, merasa nyaman dalam pelukan suaminya. Setelah semua drama dan kekacauan yang mereka hadapi, kini mereka bisa menikmati kebersamaan dalam ketenangan. Semua yang terjadi dengan Soedrajat dan permasalahan yang mengikutinya seolah-olah menghilang begitu saja dari benaknya, meskipun ia tahu itu mungkin hanya sementara."Kamu baik-baik saja?" Dewa bertanya, tangannya melingkari tubuh Kanaya denga
Hari ini setelah meraka sama-sama tenang, Dewa mengajak Kanaya untuk datang kediaman Seodrajat, dia ingin segera menyelesaikan. Dewa memarkir mobil di depan rumah besar yang tampak megah namun suram. Rumah Soedrajat, dengan taman yang luas dan pagar tinggi, mencerminkan kekuasaan dan kontrol yang selama ini dia pegang. Namun, malam ini, rumah itu tampak berbeda bagi Dewa. Tidak ada lagi rasa hormat yang dia rasakan untuk pria itu. Yang ada hanya kebencian yang memuncak dan keinginan untuk mengakhiri semua permainan kotor yang sudah terlalu lama berlangsung.Di sebelahnya, Kanaya duduk dengan diam, tangannya menggenggam erat tangan Dewa. Wajahnya terlihat tegang, namun ia tahu bahwa ini adalah langkah yang harus diambil. Pasti semuanya tidak akan mudah karena yang dirinya hadapi adalah Seodrajat, apalagi setelah semua yang telah terjadi antara mereka."Ini keputusan yang tepat, kan, Mas?" tanya Kanaya dengan suara lembut, meskipun ada keraguan yang terbesit dalam kata-katanya. Apala
Ruangan kantor yang luas itu kini terasa dingin penuh dengan ketegangan. Dewa duduk di sofa kulit hitam, ekspresinya datar, hampir tidak menunjukkan perasaan apapun, tetapi matanya yang tajam memancarkan kekecewaan yang dalam. Di sebelahnya, Kanaya duduk dengan wajah menunduk tidak berani menatap suaminya. Hanya suara detak jam dinding yang berulang-ulang terdengar jelas dalam keheningan yang mencekam ini.“Kenapa nggak bilang sama saya?” Dewa akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar lebih berat dari biasanya, penuh ketegangan.Kanaya menarik napas dalam-dalam dan berusaha untuk tidak meneteskan air mata lagi. Dia tahu, dia telah melakukan kesalahan besar. Tidak hanya menyembunyikan pertemuan itu, tetapi juga melibatkan dirinya dalam urusan yang seharusnya tidak ia ambil. Biasanya, dia selalu bisa berbicara dengan Dewa tentang apapun, tidak ada yang disembunyikan. Tapi kali ini, rasa takut telah menahannya untuk tidak berkata apa-apa.“Biasanya kamu selalu membicarakan semuany
"Kamu tau kenapa saya mengajak kamu bertemu,"Kanaya menatap pria tua yang baru saja datang itu. "Silahkan duduk," "Saya pikir kamu tidak akan seberani ini untuk menemui saya," ujarnya sebelum mendudukan dirinya. "Saya heran kenapa kedua cucu saya memilih kamu sebagai pasangan hidup, padahal masih banyak wanita di luaran sana yang lebih daripada kamu." Ujarnya dengan wajah mengejeknua.Naya menarik minumannya untuk membasahi tenggorokan nya yang mendadak kering."Sebenarnya apa tujuan anda mengajak saya bertem?" tanya Naya langsung.Rasanya sudah tidak bisa jika harus berbasa-basi dengan pria di depannya ini. Seodrajat melipat tangannya di depan dada, menatap Kanaya kemudian tersenyum tipis."Ceraikan Dewangga." Sudah ia duga, jika laki-laki tua di depannya itu meminta dirinya untuk bercerai dengan Dewa. Naya terdiam sejenak berusaha tenang, agar tidak mudah terpengaruh."Saya tidak akan menceraikan suami saya." ucap Kanaya tenang."Saya tidak akan membiarkan cucu saya di pengaruhi
"Terus lo mau gimana, Nay?" tanya Citra yang sejak tadi hanya menyimak cerita sahabatnya itu.Citra hari ini memang sengaja berkunjung kerumah sahabatnya setelah mendengar sedikit tentang masalah yang menimpa sahabatnya itu.Naya hanya bisa menggeleng pelan, tidak tau harus menjawab bagaimana karena Dewa selalu mengatakan padanya untuk tidak terlalu memikirkan permasalahannya dengan Seodrajat. Bahkan pria itu berkali-kali menekankan semuanya akan baik-baik saja.Tapi bagaimana bisa, karena Seodrajat juga menganggunya lewat pesan singkat dengan berisi ancaman.Banyak sekali yang tengah Naya pikiran, yang paling mengganggu pikirannya mengenai keluarga Soedrajat yang tidak pernah lelah menganggu keluarga kecilnya. Apakah dia belum puas dengan apa yang mereka lakukan kepada suaminya, bahkan hingga membuat suaminya trauma dan menjalani hidup berat selama ini."Gue nggak tau,""Percaya sama Pak Dewa, Nay." "Gue selalu percaya sama suami gue, Cit. Tapi gue tetap saja khawatir, selama ini Ma
"Mas kamu nggak seneng kencan sama aku?" Naya mendekat kearah suaminya yang sejak tadi hanya menampilkan wajah datarnya saja, sangat terlihat tidak senang dengan kencan mereka bukan.Dewa menoleh menatap istrinya, "Senang."Jawaban singkat, padat dan tidak ikhlas itu membuat Naya menatap suaminya kesal, dan yang semakin membuat Naya semakin kesal suaminya itu justru asik berbalas pesan dengan Naufal. Walaupun mereka membahas pekerjaan tapi rasanya Naya tidak terima karena harusnya hari ini mereka Quality time.Kanaya sangat tau pekerjaan adalah istri kedua suaminya itu, tapi tidak bisakah suaminya itu bersikap adil?"Katanya hari ini kita kecan?" Naya mengambil ponsel suaminya dan menyembunyikan di belakang tubuhnya."Kanaya," panggil Dewangga pelan sembari meraih ponselnya namun gagal karena Naya sudah lebih dulu memasukan kedalam tasnya."Kamu nggak ikhlas kecan sama aku," ujar Naya sok ngambek, padahal mah biasa saja. Karena sejak awal niatnya hanya untuk mengerjai suaminya saja,
"Papa!" teriak Kai saat melihat papanya baru saja pulang.Naya tersenyum melihat Kai yang berlari dengan senyum merekah di wajahnya kemudian memeluk kaki papanya."Jangan lari, Nanti kalau jatuh gimana?" tanya Dewa sembari mengangkat Kai kegendongannya."Kai hati-hati kok, pa. Kata mama kalau jatuh sakit jadi harus hati-hati." jawabnya dengan suara khas anak kecil yang mengemaskan."Pah, tadi Kai berkebun di belakang rumah." seperti biasa Kai akan menceritakan semua aktivitasnya seharian ini ketika papanya pulang."Oh ya? sama siapa?""Mama." jawab Kai membuat Dewa menatap istrinya yang masih duduk di ruang tengah memperhatikan mereka berdua."Tadi nanam apa?" "Bunga, bunganya warna warni tau, Pah." jawabnya tertawa kecil, menampakkan daratan giginya."Kai sudah berkebun?" Kai mengangguk cepat dengan senyum merekah di wajahnya."Aku bosan, Mas. Jadi nanam beberapa jenis bunga di halaman belakang." sahut Naya yang sedari tadi hanya diam memperhatikan interaksi antara papa dan anak itu