"Loh, udah mau pulang?" tanya Naufal yang sedikit tekejut karena Dewangga baru jam empat sore sudah bersiap-siap untuk pulang."Gara-gara kamu saya harus membunjuk Kanaya agar memperbolehkan saya kesurabaya besok." ujar Dewa mengemasi beberapa barang bawaanya."Sekarang Naya harus di bujuk juga toh?" ujar Naufal tidak percaya karena selama ini Dewa bebas-bebas saja mau keluar kota kapanpun tapi sekarang sepertinya sahabatnya ini sudha sadar jika memiliki seorang istri yang memang sudah sewajarnya menjadi prioritasnya."Sejak dulu ya sama tapi tdak sengomel-ngomel sekarang." ujar Dewa.Dulu Dewa memang masih bisa keluar kota semuanya sendiri terkadang bahkan tidka berpamitan dengan Kanya, tapi sekarang dirinya tidak akan bisa melakukan hal itu lagi. Karena dirinya sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi suami dan ayah yang baik buat keluarganya.Dan sekarang bedanya Naya itu lebih cerewet dari dulu, atau mungkin sekarang karena sudah menjadi seorang ibu hingga membuat istriny
"Tumben ngajakin makan di luar," "Mumpung nenek sama kakeknya Kai nginep dirumah."Untuk pertama kalinya Dewangga Aditama yang lempeng-lempeng aja itu, malam ini mengajaknya keluar katanya malam Rabuan. Aneh kan, biasanya kan malam mingguan la ini suaminya ngajak malam rabuan memang ada-ada saja sekarang suaminya itu."Makan bakso di deket kantor kamu aja yuk, Mas. Aku udah lama nggak makan sate." "Bakso?" tanya Dewa tidak percaya.Padahal malam ini rencananya ingin makan malam romantis di restoran gitu, tapi sepertinya akan gagal karena istrinya lebih memilih makan bakso kaki lima."Masa ngedate makan bakso pinggir jalan," "Pengennya itu..." ujar Kanaya mengerucutkan bibirnya cemberut."Kamu nggak ngidam kan?" tanya Dewa yang merasa ada yang beda dari istrinya yang tiba-tiba menginginkan bakso."Iyaa ngidam pengen bakso." "Iya, beneran mau makan bakso?" tanya Dewa membuat Naya tersenyum dengan wajah imutnya hal itu membuat Dewa tersenyum."Oke."Setelah sampai di tempat langgana
Rian sudah tidak habis pikir dengan kelakuan papinya yang selalu memperdulikan tentang kekuasan saja. Sejak awal Rian memang tidak mau menjadi penerus Soedrajat, dirinya lebih suka menjadi dirinya sendiri melakukan apapun yang dirinya sukai.Dia lelah, sungguh. Ada banyak beban yang dirinya tanggung sejak kecil. Menjadi anak tunggal dari orang tuanya bukan hal yang mudah, semua hal di kendalikan oleh orang tuanya. Bahkan sampai sekarang mereka masih mengendalikannya dan Rian merasa muak akan hal itu.Rian berhenti di tepian kota, rasanya malas untuk pulang, belum juga dirinya tenang handphonenya berdering menampilkan panggilan dari mamanya.Sudah pasti beliau akan marah-marah karena Rian selalu menghindar dari acara keluarga. Karena dirinya tidak suka dengan acara formal yang hanya menjadi ajang pamer itu.Rian menghela nafas dalam, dirinya merindukan Kanaya yang di saat sedang seperti ini wanita itu akan selalu menghiburnya dengan tindakan-tindakan yang selalu bisa membuatnya gemas
Malam ini Naya tidak bisa tidur, karena anaknya demam dan rewel dari pagi tadi, tapi malam ini anaknya sudah sedikit tenang dan demamnya juga sudah turun."Maafin mama ya sayang." ujar Naya mengelus pipi cubby putranya dengan sayang.Dirinya merasa belum bisa menjadi mama yang baik buat Kai, bahkan saat anaknya sedang menangis hebat tadi siang dirinya justru ikut menangis."Den Kai sudah tidur, Mbak?" tanya Bi Rosma membuat Naya mengangguk memandang wajah polos Kai yang sudah tertidur pulas."Tadi bapak telfon, Mbak. Tanya kenapa telpon Mbak Naya tidak aktif." Dirinya bahkan tidak ingat dengan handphonenya sama sekali karena terlalu fokus dengan putranya yang sedang demam. "Nanti saya telpon balik Mas Dewa, Bik. Sekarang bibik boleh istirahat," ujar tersenyum.Sejak pagi tadi Bik Rosma ikut membantunya menenangkan Kai bahkan sampai mencoba segala cara agar Kai tenang dan demanya turun.Hingga tengah malam seperti ini, Bik Rosma masih setia menemaninya."Yasudah, Mbak. Saya turun dul
"Jadi Rian sama si Savira saudara tiri satu ayah?" tanya Citra membuat Naya mengangguk.Hari ini Citra bermain kerumahnya dengan alasan merindukan Kai."Terus lo mau gimana setelah tau?" Naya menggeleng pelan, karena dirinya benar-benar tidak tau harus bagaimana. Apalagi Wirawan masih terus menemui suaminya entah apa lagi yang laki-laki tua itu inginkan dari suaminya.Bertanggung jawab soal kehamilan Savira, Naya rasa bukan karena sudah pasti berita Savira yang hamil dengan rekan kerjanya sudah sudah menyebar kemana-mana.Meminta Dewa kembali dengan Savira? Ahh itu masih menjadi kemungkinan yang masuk akal. Tapi mengapa, bahkan jika di lihat dari pisahnya Savira dan Dewa itu sudah sangat lama dan kenapa baru sekarang setelah Dewa sudah menikah kembali?Entahlah semakin hari bertambah semakin banyak pula pertanyaan yang ada di pikirannya mengenai hubungan Wirawan, Savira dan juga suaminya belum belum dirinya ketahui."Yang lo rasain sekarang apa?" "Gue nggak tau, sebenernya gue hanya
Setelah menidurkan Kai, Kanaya keluar dari kamar menunju keruang tengah. Di sana ada Dewa yang tengah sibuk dengan beberapa berkas dan layar leptop yang menyala."Mas," panggil Kanaya.Dewa menoleh sekilas pada istrinya kemudian kembali fokus dengan pekerjaanya. Karena hari ini banyak pekerjaan yang memang harus segera di selesaikan. Apalagi beberapa hari belakangan ini Dewa memang disibukan dengan masalahnya dengan Wirawan yang tidak kunjung selesai itu."Gimana Om Wira?" tanya Naya dengan wajah cemasnya."Nggak usah di pikirin," Dewa menyamankan tubuh dan membuka tangannya agar Naya bisa masuk pelukannya.Hal itu membuat Kanaya mengerucutkan wajahnya kesal. Suaminya memang tidak pernah mau melibatkan dirinya, tapi kan sekarang dirinya juga terlibat di masalah ini."Nggak bisa berhenti buat pikiran..." "Katanya kamu mau percaya sama saya." Potong Dewa membuat Naya kembali mengerucutkan bibirnya cemberut."Susah percaya sama kamu," ujar Naya dengan wajah cemberutnya.Bukannya kesa
"Mbak ada yang mau bertemu?" Suara itu membuat Naya yang sedang bercanda dengan Kai terhenti, kemudian menoleh kebelakang melihat Bik Rosma yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya."Siapa, Bik?""Mbak Savira, Mbak." "Kenapa dia kesini. Saya nitip Kai, Bik" Ujarnya kemudian turun dari ranjang."Iya, Mbak. Dengan senang hati."Naya berjalan kearah pintu kamarnya dengan banyak sekali pertanyaan di kepalanya. Padahal dua bulan ini dirinya sudah sedikit tenang karena Savira sudah menghilang dari kehidupannya tapi kenapa hari ini wanita itu kembali menemuinya.'Mau apa lagi dia?' Gumamnya saat melihat punggung yang membelakanginya itu."Kenapa Mbak kesini?" tanya Naya to the point. Rasanya untuk berbasa-basi dengan wanita di depannya ini sudah tidak perlu.Naya menatap perut Savira yang sudah sangat besar, pasti sudah memasuki bulan ke sembilan dan sebentar lagi pasti akan segera melahirkan."Maaf, kalau aku ganggu kamu, Nay. Tapi ada yang mau aku bicarakan sama kamu." Katanya membuat N
Hari ini Naya benar-benar menepati janjinya untuk membantu Savira selama wanita itu ada disini. Setelah membantu menyarikan tempat tinggal dan mengurus segala keperluan wanita itu.Entah padahal dirinya juga masih kesal, jengkel dan marah dengan Savira. Namun melihat ketidak berdayaan mantan istri suaminya itu membuatnya tidak tega apalagi Savira sejak kecil sudah menjadi korban broken home. Karena Naya juga tau cerita bagaimana beratnya anak yang tidak memiliki orang tua lengkap membuatnya merasa kasian dan akhirnya menurunkan egonya dan membantunya.Naya tau mungkin yang dirinya lakukan kali ini bisa saja merugikan dirinya nantinya, tapi bukankah jika kita melakukan kebaikan nanti juga akan mendapatkan kebaikan juga, dan Naya percaya itu.Tiba-tiba ponselnya berdering tertera nama Savira di layar handphonenya."Hallo, Mbak. Ada apa ya?" tanya Naya to the point."Maaf saya menganggu, Nay. Tapi saya mau ngasih kalau sepertinya sebentar lagi saya akan lahiran." ujarnya membuat Naya te
Kanaya terus menatap suaminya, Dewangga, yang sejak tadi hanya diam saja, memerhatikannya tanpa sepatah kata pun. Matanya penuh dengan kekesalan, tapi Dewangga tetap tidak memberikan reaksi apapun. Hanya tatapannya yang diam, seolah menunggu sesuatu yang tidak bisa Kanaya pahami."Kenapa? Mau marah aku?" tanya Kanaya dengan nada menantang, meskipun ia tahu betul bahwa Dewangga tidak pernah melakukan hal seperti itu padanya. Dulu, jika Dewangga menegurnya, Kanaya hanya diam dan mengabaikan suaminya selama berhari-hari sebagai bentuk pembalasan. Tapi kali ini, perasaannya begitu sulit untuk diredakan.Dewangga hanya menatapnya dengan penuh pengertian, tanpa mengatakan apapun. Lalu, ia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Kanaya dengan lembut, mencoba menenangkan suasana yang semakin tegang. Namun, Kanaya merasa kesal dan segera menarik tangannya dengan cepat. Ia berbalik, hendak meninggalkan Dewangga begitu saja.Melihat itu, Dewangga hanya bisa menggelengkan kepala dengan ekspresi
Sejak dokter muda itu mulai memeriksa Dewangga, Kanaya tidak bisa melepaskan pandangannya dari wanita itu. Cara dokter itu bekerja terlihat cekatan dan penuh perhatian. Namun, ada yang aneh di balik perhatian itu. Beberapa kali, Kanaya menangkap tatapan yang lebih lama dari yang seharusnya, tatapan yang seolah memuji Dewangga dengan penuh kekaguman.Dan itu membuat hati Kanaya bergemuruh, perasaan cemburu yang tiba-tiba muncul begitu saja, menyesakkan dadanya."Sudah selesai, Mas. Saya akan meresepkan obatnya sekarang," ujar dokter itu, dengan senyum hangat, lalu kembali ke meja untuk menulis resep."Mas?" tanya Kanaya merasa aneh dengan panggilan dokter itu.Kanaya menatap suaminya dengan nada yang lebih tajam dari biasanya. Dewangga menoleh, tatapannya penuh kebingungan."Ada apa?" tanya Dewangga, mencoba membaca ekspresi wajah Kanaya yang tampak tidak biasa.Kanaya menatap dokter itu sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke Dewangga. "Kenapa pilih dokter perempuan? Kenapa nggak ya
Hari itu, rumah Dewangga dipenuhi oleh kolega dan teman-temannya. Sejak pagi, Kanaya tak sempat beristirahat sedikit pun karena tamu yang datang silih berganti. Keramaian ini adalah hal yang baru baginya, apalagi karena ia bukan tipe orang yang sering terlibat dalam acara-acara pekerjaan suaminya.Di tengah keramaian itu, salah satu rekan kerja Dewangga mendekat dan tanpa basa-basi berkata, "Pantas saja sekarang Dewa nggak pernah lama-lama di kantor, istrinya cantik, masih muda pula." Kanaya hanya bisa terdiam, bingung dan sedikit canggung karena ia tidak mengenali pria itu. Dewangga hanya tersenyum kecil, sementara rekan-rekan lain ikut melemparkan candaan yang membuat suasana semakin riuh. Bahkan Ayah mertuanya ikut tertawa, karena disini Dewangga terkena bahan keisengan para sahabatnya hal itu cukup membuat suasannya terasa hangat.Sementara itu, Kanaya memilih untuk duduk tenang di ruang tengah bersama para ibu-ibu yang sedang asyik berbincang. Mereka lebih banyak membahas anak-an
"Saya nggak tahu kenapa dia ada di sini," ujar Dewangga, nada suaranya datar tetapi menyimpan tanya.Naya tak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gelombang emosi yang mengaduk dirinya. Ia tahu, Savira—mantan istri suaminya—tidak lagi memiliki hubungan apa pun dengan Dewangga. Tapi, rasa tidak nyaman tetap merayap di hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa merasa tenang berada dalam satu ruangan yang sama dengannya?"Kanaya," suara Dewangga memecah lamunan Naya, lembut namun tegas. Ia menatap suaminya, mencoba mengendalikan gejolak di dadanya."Mbak Vira tinggal di sini, Mas," ujar Naya pelan, seolah mengungkapkan rahasia yang ia simpan. Pernyataannya membuat Dewangga mengernyit."Kamu masih berhubungan sama dia?" tanya Dewangga, nadanya berubah serius.Naya menggeleng pelan, lalu menjelaskan, "Bukan, Mas. Dia yang menghubungiku duluan, bilang mau pindah ke sini. Aku nggak kabar-kabaran sama dia."Dewangga menghela napas, wajahnya mencerminkan rasa b
"Maaf, Wa. Aku kesini karena khawatir begitu mendengar kamu kecelakaan," kata Savira dengan suara lirih, matanya penuh kekhawatiran. Dia berdiri di depan pintu ruang perawatan, memandang Dewangga yang terbaring di ranjang rumah sakit.Kebetulan hari ini Savira tengah menemani ibunya untuk terapi agar bisa kembali berjalan seperti semula, dan saat di depan administrasi dia tidak sengaja bertemu dengan Naufal."Saya tidak apa-apa, kamu bisa keluar," ujar Dewangga dengan suara tegas."Wa... aku..." Savira terbata-bata, tidak tahu harus berkata apa. Namun, sebelum dia bisa melanjutkan kata-katanya, pintu ruangan tiba-tiba terbuka.Naya berdiri di ambang pintu, matanya langsung tertuju pada sosok wanita yang berdiri di samping ranjang suaminya. Hatinya sedikit terkejut, namun ia mencoba tetap tenang, menyembunyikan perasaannya di balik senyuman.Kanaya segera berjalan ke arah suaminya tanpa memerdulikan Savira atau menyapanya lebih dulu."Kamu nggak papa kan, mas?" tanya Naya dengan suara
"Sekarang lo ngerti kan apa yang gue rasain dulu?" Naya terkekeh sambil menatap wajah Citra yang cemberut. Beberapa hari ini, Citra merasa terabaikan karena suaminya, Naufal, sedang perjalanan dinas ke luar kota. Naya yang dulu sering merasa ditinggalkan suaminya, Dewangga, kini bisa merasakan betapa beratnya perasaan Citra.Kebetulan setiap pulang bekerja, Citra selalu menyempatkan untuk mampir kerumahnya. Karena merasakan kesepian di tinggal suaminya ke luar kota."Iya, gue dulu sering ngejek lo," jawab Citra, matanya yang sembab menatap kosong ke arah meja. "Gue nggak tahu kalau rindu seberat ini."Naya mendengus kesal meski masih ada rasa ingin menggoda sahabatnya. "Lo lebih alay daripada gue," katanya sambil melemparkan tatapan mengejek ke arah Citra yang semakin tidak terima."Lo kan dulu nikah tanpa cinta, Nay. Kalau gue sama Mas Naufal, kita menikah dengan penuh cinta," balas Citra, sedikit membela diri dengan ekspresi yang lebih tegas.Naya hanya tertawa kecil mendengar itu.
Pagi ini, Naya kembali ke rutinitasnya, seperti biasa. Ia sibuk menyiapkan sarapan di dapur bersama Bibi Rosma. Di samping itu, Naya juga menyiapkan makanan untuk MPASI Kai, berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya yang semakin besar.Sambil sibuk bekerja di dapur, Naya melirik Dewangga yang tengah menuntun Kai menuju meja makan. Pemandangan itu membuat hatinya tersenyum. Terkadang, ia masih merasa tak percaya bahwa ia bisa bertahan sejauh ini, melewati segala cobaan hidup."Pagi, Sayang," sapa Naya lembut, mendekat untuk mencium pipi cubby Kai yang kini semakin chubby dan lucu itu. Dewangga tersenyum melihat interaksi mereka."Masak apa hari ini?" tanya Dewangga, matanya memperhatikan Naya yang tengah sibuk di dapur, mempersiapkan makanannya."Bikin MPASI buat Kai, terus aku juga masakin kamu soto, perkedel kentang kayaknya enak buat sarapan hari ini," jawab Naya sambil menyajikan makanan dengan penuh perhatian.Dewangga mengangguk, lalu mengangkat Kai dan duduk di baby chair y
“Saya menang, Kanaya!” Dewangga mengulang ucapan itu dengan senyum lebar, matanya bersinar penuh kegembiraan saat menatap Naya. Setelah bertanding sengit melawan Rian, keringat yang membasahi wajah dan tubuhnya seolah tak berarti lagi. Kemenangan ini membuatnya lupa akan lelahnya. Naya, meskipun masih merasa cemas sepanjang pertandingan, tersenyum bangga melihat suaminya. Dengan penuh kasih, ia mengacungkan jempol.Naya merasa bangga, meskipun ada rasa khawatir yang mengendap. Ia selalu cemas setiap kali Dewangga bertanding, terlebih jika lawannya adalah Rian, yang meskipun lebih muda, selalu memiliki energi melimpah. Melihat suaminya yang kelelahan, Naya segera merogoh tas dan mengambil handuk kecil. Dengan lembut, ia mendekat dan mengelap keringat yang mengalir di pelipis Dewangga."Mas keren banget," ujar Naya dengan senyum tulus, matanya berbinar-binar, sambil terus mengelap wajah Dewangga."Makasih, Sayang," jawab Dewangga, suaranya terdengar lemah namun penuh rasa terima kasih,
“Gue nggak habis pikir sama mereka,” ujar Naya dengan nada tidak percaya, masih terhenyak oleh apa yang baru saja dilihatnya. Di lapangan tenis belakang kantor suaminya.Dewangga dan Rian tengah bersiap untuk bertanding. Mereka terlihat begitu antusias, padahal usia mereka sangat berbeda.Naya bahkan baru pertama kali tahu kalau di kantor Dewangga ada lapangan tenis. Ketika ia datang untuk menemui suaminya setelah beraktivitas di rumah, sama sekali tidak menyangka akan menemukan pemandangan seperti ini. Di tengah kesibukan akhir pekan, yang seharusnya menjadi waktu bersama keluarga, ia justru harus duduk di bangku penonton, menyaksikan pertandingan antara suaminya dan Rian.“Tapi keren sih suami lo,” ujar Citra sambil terkekeh, melihat seorang Dewangga yang tidak mudah terpengaruh hal remeh justru menerima tawaran Rian untuk bertanding Tenis, sangat suportif bukan.Naya hanya mendengus, lalu menatap ke arah lapangan di mana Dewangga dan Rian sudah bersiap. Dewangga—suaminya yang terli