Beranda / Romansa / Duda Incaran Shana / 2. Perubahan Strategi

Share

2. Perubahan Strategi

Penulis: Viallynn
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-25 12:03:13

Kediaman Haryadi tampak ramai hari ini. Penjagaan ketat harus terus diawasi. Banyaknya wartawan yang meliput membuat keadaan semakin tak terkendali. Apa lagi ketika mobil Ndaru mulai mendekati. Seketika riuh pun sulit diatasi.

Haryadi bukan hanya seorang hakim yang luar biasa, tetapi juga berasal dari keluarga yang tak biasa. Kepergiannya tentu menimbulkan kehebohan nyata. Yang tentu akan dimanfaatkan banyak orang untuk mencari muka.

Mobil yang membawa Ndaru mulai memasuki kediaman Haryadi. Dia menatap para wartawan yang berkumpul di depan pagar dengan seksama. Ndaru tahu jika kakaknya memang orang hebat, tetapi dia tidak tahu jika akan seramai ini. Sepanjang perjalanan menuju rumah, sudah berapa kali Ndaru melihat kiriman karangan bunga. Entah dari siapa saja.

"Pemakaman Pak Arya akan dilakukan nanti sore, Pak. Bapak bisa masuk sekarang untuk melihat Pak Arya yang terakhir kalinya dan bertemu keluarga Bapak."

Ndaru masih bergeming. Dia menunduk lalu menarik napas dalam. Berusaha menguatkan diri sebelum masuk ke dalam rumah yang sudah ramai dengan sanak saudara. Jujur, Ndaru belum siap.

"Pak?" Gilang terlihat khawatir.

"Saya masuk dulu."

Setelah itu Ndaru benar-benar turun dari mobil. Seketika suara teriakan serta cahaya kamera langsung tertuju padanya. Dari mana lagi jika bukan berasal dari para wartawan? Celah pada pagar sedang mereka manfaatkan.

"Pak Handaru! Bisa wawancara sebentar, Pak?!"

"Pak, lima menit saja, Pak!"

"Pak, apa benar kecelakaan Pak Haryadi berkaitan dengan kasus Benasaka?"

Kira-kira seperti itulah pertanyaan-pertanyaan yang wartawan teriakan. Namun Ndaru tidak menggubrisnya. Dia bergegas masuk ke dalam rumah dan suara lantunan doa mulai terdengar. Seketika langkahnya menjadi pelan. Tatapan Ndaru terpaku pada tengah ruangan. Pada sosok kakaknya yang terbujur kaku.

"Sudah datang, Mas?"

Suara itu membuat Ndaru menoleh. Dia menahan napas saat melihat pria tua yang memanggilnya. Pria itu adalah Harris Putra Atmadjiwo, ayahnya. Tampak memprihatinkan dengan mata sembabnya.

"Pa?" Ndaru mendekat dan memeluk pria itu. Sama-sama berusaha untuk menguatkan.

"Kakak kamu, Mas. Kok bisa ini terjadi?" bisik pria itu lagi kembali menangis.

"Maafin aku, Pa."

Ndaru tahu kata maafnya sangat ambigu. Yang pasti dia hanya ingin mengatakan itu sekarang. Dia sedang menyalahkan diri sendiri. Andai saja, andai saja Haryadi tidak berniat menemuinya di Surabaya, tentu kecelakaan maut itu tidak akan terjadi.

"Ngapain kamu ke sini?!" teriakan itu mengejutkan Ndaru.

Dia menatap kakak iparnya yang terlihat marah. Keadaannya sama seperti ayahnya, sangat memprihatinkan. Namun percayalah, Ndaru juga tak jauh berbeda.

"Ini semua gara-gara kamu!" Putri mendekat dan memukul dada Ndaru kencang. "Andai kamu nggak minta Mas Arya datang. Dia nggak akan pergi ninggalin Mbak!"

Meski begitu, Ndaru tidak merasakan sakit. Hatinya yang jauh lebih sakit.

"Putri. Sudah, Put." Sang mertua berusaha melerai.

"Put, kamu tenang dulu." Yanti, istri dari kakak Ndaru yang pertama datang berusaha menenangkan Putri. Dia mengangguk pada Ndaru sebentar sebelum membawa Putri pergi.

Kepergian Putri tidak membuat Ndaru tenang. Justru pikirannya semakin bebas menyalahkan dirinya sendiri. Ndaru membenci perasaan ini.

Lagi-lagi dia kehilangan dan itu karena dirinya.

"Bukan salah kamu." Tepukan pelan di bahu membuat Ndaru tersadar.

Adhiguna Amir Atmadjiwo, kakak pertamanya tengah berusaha untuk meringankan hatinya.

"Mbak Putri benar, Mas. Ini semua salah aku."

"Jangan seperti itu, Mas." Ayahnya seketika menolak gagasan itu.

"Sebaiknya kamu istirahat dulu. Kata Gilang kamu belum tidur dua hari," ujar Guna.

Ndaru menggeleng. "Aku mau liat Mas Arya."

Jika sudah begitu, maka tidak ada orang yang bisa menahan Ndaru. Melihat tubuh kaku Arya, air mata itu tak bisa lagi ditahan. Akhirnya tangis Ndaru pun kembali datang dalam diam.

Sungguh, dia tidak siap kehilangan.

***

Laptop yang menyala masih Shana abaikan. Mata dan telinganya aktif melihat dan mendengar berita yang ramai diperbincangkan. Yaitu proses Haryadi Atmadjiwo yang tengah dimakamkan. Dari gambar yang televisi tampilkan, Shana bisa melihat banyak orang yang datang.

Seketika Shana mendengkus. Haryadi tidak sebaik itu.

Dia kembali fokus pada laptopnya. Mencoba untuk menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda akhir-akhir ini.

"Almarhum Haryadi Atmadjiwo telah dimakamkan di komplek pemakaman keluarga Atmadjiwo. Lokasi makam almarhum berada sekitar tujuh meter dari makam sang ibu, Yuningsih Atmadjiwo."

Narasi dari anchor masih Shana dengarkan. Namun dia tidak terlalu peduli seperti sebelumya. Dia hanya tidak ingin tertinggal berita. Apa lagi mengenai Haryadi si Hakim gila.

Suara dering ponsel mengganggu konsentrasi Shana. Dia melihat nama Dito di sana. Anehnya tidak ada lagi rasa kesal di dada. Seketika dia ingin melihat kekasihnya.

"Halo?" sapa Shana.

"Aku di depan apartemen kamu, Sayang."

Senyum Shana merekah. Dengan cepat dia mengambil kartu aksesnya dan bergegas menyusul kekasihnya. Meski Dito menyebalkan, tetapi pria itu berhasil meluluhkan hati kerasnya.

"Tumben dateng malem-malem?" tanya Shana mengeratkan jaketnya.

"Aku kangen. Aku bawa nasi goreng kesukaan kamu."

Senyum Shana kembali terbit, tetapi dia berusaha menahannya.

"Ayo, masuk. Aku udah laper."

Dan betul, pada akhirnya Shana kembali memaafkan Dito.

***

Setelah proses pemakanan selesai, keluarga Atmadjiwo kembali ke kediaman Haryadi. Mereka akan berkumpul di sana untuk melakukan doa bersama selepas kepergian putra kedua dari Harris Atmadjiwo itu. Rasa sedih masih kental terasa. Keadaan rumah yang awalnya hangat berubah menjadi begitu dingin.

Apa lagi saat mendengar tangisan anak Arya yang mencari keberadaan ayahnya. Benar-benar memilukan.

"Biar aku tidurin anak-anak dulu." Yanti, sebagai menantu pertama merasa bertanggung jawab untuk mengurus anak-anak. Acara tahlilan juga telah selesai sejak 30 menit yang lalu.

Istri Arya juga sudah berada di kamar. Putri memilih untuk menyendiri. Orang-orang pun memaklumi. Tentu sakit kehilangan seorang suami.

"Rencana di Jakarta berapa hari, Mas?" tanya Harris pada Ndaru.

"Belum tau." Ndaru memang tidak bisa berpikir untuk saat ini. Dia melepas peci yang ia pakai dan mengusap keningnya pelan.

Lelah mulai ia rasakan.

"Gimana keadaan Juna?"

Seketika Ndaru menegakkan duduknya. Dia lupa dengan keadaan anaknya. Sudah seharian ini dia tidak mencari tahu kabarnya.

Ayah macam apa dirinya?

"Keadaan Mas Juna sudah membaik, Pak. Kata dokter, lusa Mas Juna sudah boleh pulang." Gilang datang dengan informasinya.

Ini yang Ndaru suka dari Gilang. Pria itu begitu tanggap dan cekatan sebagai asisten pribadinya.

"Kalau Mas Ndaru masih lama di sini, bawa Juna ke sini. Papa kangen," pinta Ayahnya.

Ndaru hanya mengangguk. Di ruang tengah ini keadaan tiba-tiba menjadi hening. Hanya ada Ndaru, Gilang, Guna, dan Ayah mereka di sini. Sanak saudara yang lain juga sudah kembali ke rumah masing-masing.

"Jadi gimana, Pa?" tanya Guna tiba-tiba. "Rencana akan berubah, kan?"

"Kita masih berkabung, Mas," tegur Ndaru.

"Kita nggak bisa menundanya lagi, Ndaru. Mumpung kamu di sini juga."

Terdengar helaan napas keluar dari bibir Harris. Baik Guna dan Ndaru pun mengalihkan pandangannya. Menatap pria yang paling mereka segani di keluarga.

"Mau tidak mau Mas Ndaru yang akan mengambil alih perusahaan."

"Pa?" Ndaru memijat pangkal hidungnya. Dia sudah mengira jika akan seperti ini jadinya.

"Nggak ada pilihan lain, Ndaru." Guna terdengar setuju.

"Kamu nggak bisa terus lari, Mas. Ketakutan kamu harus dilawan."

Ndaru sebenarnya setuju dengan ucapan ayahnya. Namun tetap saja sulit untuk dilakukan. Bukan tanpa alasan dia meninggalkan Jakarta dan pindah ke Surabaya. Bahkan masih berat rasanya bagi Ndaru datang ke tempat ini jika tidak ada kabar duka.

"Lupakan masa lalu. Hanya kamu harapan kami semua." Guna menepuk bahu Ndaru.

"Kita bisa percayakan ke tenaga profesional."

Tanpa diduga Harris tertawa. Tidak percaya dengan saran bodoh yang anaknya berikan.

"Kamu tau sejarah Atmadjiwo, Mas. Jangan sampai ada orang asing yang ikut mengatur bisnis kita."

Betul. Ndaru mengetahuinya. Namun dia hanya ingin melindungi dirinya.

"Aku harus tetap maju jadi anggota dewan, Ndaru. Sudah banyak dana yang kita keluarkan." Untuk kampanye dan partai tentu saja.

Itu lah alasan kenapa harus Ndaru yang mengurus perusahaan. Awalnya Guna yang mengurus induk perusahaan mereka. Namun pria itu mulai tertarik pada dunia politik dan memilih untuk terjun ke dalamnya.

Rencana awal, Arya yang akan menggantikan posisi Guna untuk memimpin kerajaan bisnis Atmadjiwo. Pria itu sudah setuju untuk berhenti menjadi hakim setelah kasus Benasaka selesai ia tangani. Namun takdir berkata lain. Pria itu meninggal karena kecelakaan maut.

Hanya satu nama yang bisa menjadi jalan keluar. Yaitu Handaru Gama Atmadjiwo. Si bungsu yang beberapa tahun terakhir ini sibuk mengasingkan diri.

"Tidak ada pilihan lain, Mas." Harris kembali meyakinkan. "Kondisi kita tidak memungkinkan dan Guna tidak bisa mundur begitu saja. Dia harus terus maju sampai bisa duduk di kursi senayan."

"Bagaimana dengan Mbak Yanti?"

Kali ini Guna yang tertawa. Ndaru terus memberikan saran konyol yang jelas ia ketahui sendiri sangat tidak mungkin dilakukan.

"Kamu, Mas. Cuma kamu. Kita hanya percaya sama kamu." Harris Atmadjiwo sudah memberi titah.

"Bagaimana menurut kamu, Lang?" tanya Ndaru pada asistennya.

Gilang berdeham sebentar. "Saya setuju dengan Pak Harris dan Pak Guna, Pak."

Ndaru mendengkus. Ternyata semua orang memang menginginkannya untuk kembali.

"Nanti aku pikirkan lagi." Ndaru berdiri diikuti oleh Gilang.

"Mau ke mana?" tanya Guna.

"Pulang."

"Ke apartemen, Mas? Kenapa nggak di sini aja?" Ayahnya tampak tidak senang. "Wartawan masih banyak di luar sana."

Ndaru menggeleng pelan. "Mbak Putri masih kurang nyaman liat aku di sini."

"Kalau gitu hati-hati. Jangan beri statement apa pun pada mereka," ingat Guna.

Ndaru mendengkus samar. Jangankan memberi pernyataan. Untuk berhenti saja dia malas melakukannya.

Ndaru butuh menenangkan diri. Karena sebentar lagi hidupnya tidak akan sama lagi.

***

TBC

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Duda Incaran Shana   3. Malam Petaka

    Ketenangan kembali menyapa. Namun sayang Ndaru tidak bisa memejamkan mata. Dia menatap jalanan dengan mata terbuka. Mencoba menerka jalan hidupnya yang tak akan lagi sama. "Sepertinya Bapak butuh pengawal untuk beberapa hari ke depan." Gilang berucap. "Saya lihat ada beberapa wartawan yang nekat mengikuti kita." "Mereka merepotkan." Ndaru mengeluh. Padahal dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. "Bapak adalah bagian dari keluarga Atmadjiwo kalau lupa." "Nama saya tidak seharum kedua kakak saya." "Justru itu." Gilang menoleh. "Bapak misterius. Ya... meskipun keluarga Atmadjiwo memang tertutup, tapi Bapak berbeda. Itu yang membuat publik penasaran." Tanpa diduga Ndaru tersenyum kecut. Dia mengerti maksud ucapan Gilang. Kedua kakaknya memang memiliki nama yang harum. Berbeda dengan dirinya yang seolah menyembunyikan diri. Sebenarnya sama saja, hanya saja Ndaru memilih untuk tidak berhubungan langsung dengan publik. Bukan bermaksud menjauhi keluarga. Hanya

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-25
  • Duda Incaran Shana   4. Skandal Tersebar

    Rasanya seperti baru lima menit tertidur. Ndaru terbangun saat mendengar suara ketukan pintu. Keadaan kamar hotel yang ia tiduri masih gelap, tetapi dia bisa melihat cahaya mulai mengintip dari balik tirai jendela. Ndaru segera terduduk sambil mengusap wajahnya. Dia meraih ponsel dan melihat jam yang tertera. Jam tujuh pagi, artinya dia terlambat bangun. Suara ketukan pintu kembali terdengar. Kali ini terkesan lebih keras dan cepat dari sebelumnya. "Pak Ndaru?" Itu suara Gilang. "Ya," balas Ndaru bergegas membuka pintu. "Ada apa?" tanyanya langsung. Gilang menghela napas kasar. Dia menatap atasannya itu dengan tatapan lelah. Ada apa? Seingat Ndaru dia tidak memiliki kegiatan pagi ini. "Apa yang terjadi semalam, Pak?" tanya Gilang. Seketika kantuk Ndaru hilang. Dia menatap asistennya lekat. "Apa maksud kamu?" Gilang memberikan sebuah iPad yang menampilkan beberapa gambar tangkapan layar. Ada beberapa potret yang sangat Ndaru kenal. "

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-30
  • Duda Incaran Shana   5. Biang Kerok

    Di ruangan privat itu, baik Guna dan Ndaru fokus pada pekerjaan masing-masing. Hidangan makan siang yang tersaji di hadapan mereka belum mereka sentuh sedikit pun. Mereka berdua tampak sibuk membahas sesuatu. Membahas hal yang membuat nama mereka goyah akhir-akhir ini. "Aku jadi ikutan kena, Ru," keluh Guna. "Peluang suara menurun?" tanya Ndaru. "Betul, Pak. Sekitar dua persen, tapi Pak Guna tetap unggul dari caleg lain," jawab Rahmat, orang kepercayaan Guna. "Tetap kita nggak boleh jumawa, Mat. Pemilu masih tahun depan." Ndaru mendorong laptopnya lelah. Menyadari perubahan itu, Gilang pun mengambil alih. Dia ikut meringis melihat banyaknya email yang masuk. Rata-rata berasal dari para wartawan. Belum selesai dengan kabar duka dari Haryadi Atmadjiwo, mereka kembali menyerang atasannya dengan foto skandalnya. Setelah Harris memberi perintah tadi pagi, satu jam kemudian orang-orang Guna berhasil menghapus cuitan penyebar skandal itu. Bukan hanya cuitan, tetapi akunnya ju

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-04
  • Duda Incaran Shana   6. Mencari Jalan Keluar

    Acara tahlilan telah selesai. Seperti biasa, keluarga Atmadjiwo kembali berkumpul di ruang keluarga. Bukan lagi untuk membahas perubahan strategi, melainkan skandal yang terjadi. Masa berkabung seolah tak lagi berarti. Ada hal genting lain yang menanti. Malam ini, Ndaru mengenakan kemeja hitam berlengan panjang yang dilipat hingga siku, serta celana chinos abu-abu. Dia memilih untuk duduk tenang di salah satu sofa. Terlepas dari apa yang menimpanya, Ndaru sangat pintar untuk menyembunyikan perasaannya. Padahal dalam hati dia juga dibuat pusing dengan apa yang terjadi. Bahkan saat ini, dia yakin jika akan kembali disidang. "Berita nggak mereda sama sekali," keluh Yanti. Dia cukup khawatir dengan karir politik suaminya. "Saham Atmadjiwo Grup juga menurun," lanjut Guna. Topik itu yang akan mereka bahas malam ini. Apa saja akibat yang mereka dapat dari skandal yang menyerang si bungsu. "Bahkan berita tentang kecelakaan Arya sudah tenggelam." "Seharusnya dari awal kamu ngga

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-08
  • Duda Incaran Shana   7. Permintaan Tak Terduga

    Pagi ini Shana memilih untuk bermalas-malasan. Dia duduk di meja makan sambil menatap Erina yang sibuk ke sana-ke mari. Tampak bersiap untuk berangkat bekerja. Profesinya yang merupakan seorang chef selebriti tentu membuatnya cukup sibuk. Bahkan Erina memiliki tiga program acara unggulan di televisi. Yang berhubungan dengan kuliner tentu saja. "Gue udah bikin sarapan. Lo tinggal makan aja." Shana menyandarkan kepalanya dengan malas. "Gue pingin makan ketoprak." Erina berdecak. "Makan yang ada. Gue harus berangkat sekarang." Shana kembali menegakkan kepalanya. "Gue beneran nggak boleh keluar?" "Boleh, kalau lo mau dikeroyok wartawan." Shana berdecak, "Gila, ya? Masih aja rame bahas masalah kemarin." "Lo yang gila! Ngapain nyosor bibir orang? Mana yang disosor klan Atmadjiwo. Apa nggak heboh satu negara?" Shana mengusap hidungnya kasar. Sepertinya memang lebih baik dia diam. Seketika kepalanya pening saat Erina kembali mengomel. "Gue nggak bisa nulis apa-apa. Kepa

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-11
  • Duda Incaran Shana   8. Harta Tahta Atmadjiwo

    Tidak ada yang berubah hari ini. Semua berjalan seperti biasa. Masih dengan berita yang ramai diperbincangkan tentu saja. Namun Ndaru berusaha untuk mengabaikannya. Di dalam kamarnya, dia mencoba fokus untuk menyelesaikan pekerjaannya. Cukup sulit bekerja dengan jarak jauh seperti ini. Namun Ndaru harus segera menyelesaikan semuanya sebelum kembali ke pusat. Baik Kakak dan Ayahnya sudah mendesaknya untuk segera mengambil alih induk perusahaan. Suara ketukan pintu membuat Ndaru mengalihkan pandangannya sebentar. Tanpa menjawab pun dia tahu jika Gilang yang mengetuk pintu kamarnya. Benar saja, tak lama asisten pribadinya itu masuk. "Permisi, Pak. Ini berkas yang Bapak minta semalam," ucap Gilang memberikan sebuah map coklat yang cukup tebal. "Sudah lengkap?" tanya Ndaru mulai membuka map itu. "Saya sedikit kesulitan untuk mencari tahu latar keluarganya, Pak." Ndaru mengangguk mengerti. Dia memaklumi kekurangan informasi yang Gilang cari. Toh, permintaannya memang menda

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-14
  • Duda Incaran Shana   9. Sebuah Kesepakatan

    Sebagai kepala keluarga, tentu Harris Atmadjiwo tidak bisa tenang. Hatinya dikuasai rasa bimbang. Kematian anak tengahnya sudah cukup membuatnya terguncang. Lalu sekarang anak bungsunya kembali datang dengan masalah yang menantang. Seharusnya di usianya yang menginjak 71 tahun ini, Harris sudah bisa bersantai di hari tuanya. Kehidupan serta karir anak-anaknya juga sudah bagus dan menjanjikan. Namun siapa sangka jika dia tetap turun tangan saat ada permasalahan yang menyangkut nama Atmadjiwo. Bukan usaha yang mudah untuknya membangun kerajaan bisnis hingga seperti ini. Harris percaya jika nama baik akan memberikan banyak keuntungan. Mulai dari kepercayaan rekan bisnis hingga kepercayaan masyarakat. Meski ada juga yang membenci, tetapi suara mereka tidak terlalu vokal. Lalu sekarang, setelah bertahun-tahun hidup tenang, keluarganya terguncang dengan satu skandal. Skandal yang untuk pertama kalinya sulit mereka atasi. Sekali lagi, nama baik Atmadjiwo sangat penting untuknya. Ha

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-14
  • Duda Incaran Shana   10. Tampil Bersama

    Meskipun hari sudah malam, tetapi suasana bandara tetap ramai. Sayangnya itu tidak berlaku untuk di dalam kendaraan. Keadaan benar-benar sangat tenang. Namun juga menegangkan. Perjanjian kontrak yang telah disetujui seolah tidak ada artinya. Tembok besar masih berdiri kokoh sebagai pemisah. Maklum tentu menjadi dasar utama. Pertemuan awal yang tidak baik tentu tak bisa memperbaiki hubungan keduanya. Shana memilih untuk melihat ke luar jendela. Mulutnya juga masih tertutup rapat. Bahkan sejak satu jam yang lalu saat perjalanan dimulai. Shana tidak tahu apa yang Ndaru lakukan di sampingnya. Lagi pula Shana juga tidak ingin mencari tahu. Pria itu terlalu fokus menutup mulut dan menatap layar iPad-nya. "Semua sudah selesai, kan, Lang? Saya tinggal menghadiri acara perpisahan." Untuk pertama kalinya Ndaru membuka suara setelah satu jam lebih terjadi keheningan. "Betul, Pak. Tiga hari lagi Bapak bisa ke Surabaya." Shana masih diam, meski sesekali dia juga mencuri dengar. Dia i

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-14

Bab terbaru

  • Duda Incaran Shana   98. Perhatian Yang Berlebihan

    Di dalam lift, Ndaru mulai menarik napas dalam. Dia menatap pantulan Nendra dari kaca lift. "Apa maksud Anda?" tanya Ndaru pada akhirnya. Nendra, pria itu juga menatap Ndaru dari kaca. Senyum tenang ia berikan. "Saya mau jenguk Shana." "Shana tidak bisa dijenguk..." Ndaru menggantungkan kalimatnya dan mulai menoleh pada Nendra, "Terutama oleh Anda." Nendra terkekeh. "Saya tau, karena itu saya muncul di depan kamera." "Kalau begitu, sebaiknya Anda pergi." Nendra kembali menggeleng. "Saya mau lihat kondisi teman saya." "Teman yang Anda maksud itu istri saya." Nendra menggelengkan kepalanya pelan. "Sebenarnya ada apa, Ndaru? Kenapa kamu melarang saya menemui Shana? Semua orang tau kalau Shana lebih dulu mengenal saya dari pada kamu." Pintu lift terbuka. Sebelum keluar, Ndaru menyempatkan menatap Nendra sekali lagi. "Jangan bertingkah bodoh. Kita berdua tau apa yang sebenarnya terjadi. Dan satu lagi, siapa peduli dengan siapa yang mengenal Shana lebih dulu. Saat ini, S

  • Duda Incaran Shana   97. Tamu Tak Diundang

    Setiap omelan yang masuk ke telinga ia abaikan. Tidak menganggapnya sebagai beban. Berbeda dengan pria yang duduk di depan. Tampak was-was takut jika ada perdebatan. "Kalau nggak ada yang penting, aku tutup teleponnya, Mas." "Ndaru! Kamu itu, ya! Jang—" Dan panggilan pun benar-benar terhenti. Bukan karena terputus, melainkan Ndaru sendiri yang mematikannya. Membuat Gilang yang duduk di depan menghela napas kasar. "Jangan diangkat kalau tidak penting," ujar Ndaru mengembalikan ponsel Gilang. "Mana bisa, Pak?" gumam Gilang pelan. Semenjak perjalanan pulang, Ndaru memang mematikan ponselnya. Bukan tanpa alasan. Kepergiannya yang mendadak tanpa mengabari Guna tentu menimbulkan kehebohan tersendiri. Apa lagi Guna sudah menyiapkan makan malam di sebuah Hotel untuk Ndaru. Begitu sampai di Jakarta, ponsel Gilang lah yang menjadi korban. Guna menghubunginya meminta penjelasan. Yang pada akhirnya juga tak mendapat jawaban. Seperti biasa. Ndaru dan tingkah tak terduganya membuat o

  • Duda Incaran Shana   96. Hati Bimbang

    Shana menatap Roro bingung. Bukankah kemarin Ndaru berkata akan mengizinkan Dito menjenguknya saat berada di rumah sakit? Namun yang ia lihat sekarang tampak berbeda. "Ro?" panggil Shana bingung. Dengan tegas Roro kembali menggeleng. "Bapak tidak mengzinkan Pak Dito untuk menjenguk Ibu." "Apa kata lo?!" Dito menatap Roro kesal. "Lo lama-lama ngeselin, ya? Ndaru sendiri yang bilang kemarin katanya gue boleh jenguk Shana!" "Bawa dia keluar," perintah Roro pada dua pengawal yang berjaga. "Oke... oke gue keluar!" Dito berhenti memberontak dan mengangkat kedua tangannya, membuat dua pengawal itu perlahan melepasnya. Namun satu detik kemudian, Dito nekat kembali memaksa masuk membuat Shana membulatkan matanya. Dia meringis melihat Dito yang ditahan oleh dua pengawal berbadan besar. "Berhenti." Shana akhirnya berbicara. Mendadak dia tak tega melihat Dito yang dibohongi oleh Ndaru. Apa lagi pria itu yang menolongnya kemarin. Ditambah dengan luka ditangannya? Shana tidak sejahat it

  • Duda Incaran Shana   95. Kesepian

    Sarapan pagi dipenuhi dengan makanan lezat. Mengingat jika sang Putra Sulung sudah kembali merapat. Membuat suasana rumah menjadi lebih hangat. Sungguh, potret keluarga bahagia yang terjalin dengan erat. Suara riuh dari teriakan sang cucu memenuhi ruangan. Tampak berlarian menghindari sarapan. Namun itu bukanlah sebuah kesulitan. Sudah ada para pengasuh yang siap bekerja sesuai arahan. "Nggak mau sayur!" "Biar sehat, Ayu," balas sang pengasuh yang masih mengejar. Pemandangan itu diabaikan oleh para manusia dewasa. Yang tetap duduk tenang dengan banyak makanan di atas meja. Perbincangan kecil juga ikut mengisi suasana. Membahas banyak hal yang tak terduga. "Udah pada denger belum?" Sania, Si Bungsu memulai topik baru. "Shana kecelakaan." Kalimat itu berhasil membuat pergerakan semua orang terhenti. Semua mata langsung tertuju pada Sania. "Kok bisa?" Atikah, sang ibu menunjukkan wajah khawatirnya. "Papa udah denger." Nurdin menghela napas kasar. "Di rumah sakit mana?"

  • Duda Incaran Shana   94. Tertampar Fakta

    Malam semakin larut. Rasa kantuk pun langsung beringsut. Tergantikan dengan rasa canggung yang menyelimut. Membuat lagi-lagi jantung mulai berdenyut. Di ruangan itu, hanya terdengar detik jarum jam yang berputar. Menahan seorang gadis agar tetap sadar. Mengingat jika ada seorang pria yang tengah duduk bersandar. Menatapnya lekat tanpa berkomentar. Shana memainkan jari-jemarinya di dalam selimut dengan gelisah. Dia masih menatap ke samping, ke arah yang berlawanan dari tempat Ndaru duduk. Sesekali dia melirik, dan menyadari jika pria itu masih menatapnya lekat. Hal itu membuat Shana gelisah. Pada akhirnya dia pun tak tahan. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Pak. Jangan liatin saya kayak gitu," gerutu Shana jengah. "Bodoh." Kalimat pertama yang keluar benar-benar di luar dugaan. Sangat tajam dan terdengar sangat menusuk. "Maksud Bapak apa?" tanya Shana mulai bangkit dari tidurnya. Meski kesal, Ndaru dengan sigap berdiri dan membantunya. Tangan besarnya membenarkan posis

  • Duda Incaran Shana   93. Bertingkah Tak Biasa

    Jantungnya berdegup dengan cepat. Langkah kakinya juga tidak melambat. Pikiran buruk berkeliling dengan dahsyat. Membuatnya seketika dilanda perasaan yang tak tepat. Tidak ada yang Ndaru pikirkan selain Shana. Setelah mendengar kabar yang tak terduga, ia lupa akan segala rencana. Tanpa perasaan ragu ia pun berbelok tujuan tanpa menunggu lama. Langkah kaki yang lebar itu membuat Gilang terlihat kesulitan untuk mengikuti. Namun dia sudah mulai membiasakan diri. Sudah tugasnya menjadi asisten pribadi. Bahkan sebelum sampai rumah sakit, ia sudah mengantongi banyak informasi. Mulai dari letak kamar, kondisi terkini si Nyonya Besar, hingga dokter yang menanganinya. Begitu lengkap, membuat Ndaru tak ragu untuk langsung melompat turun dari mobil begitu tiba. "Belok kanan, Pak." Ndaru langsung berbelok begitu dia di hadapkan pada dua jalan. Namun dengan cekatan Gilang memberitahunya. "Kamar paling ujung sebelah kanan, Pak," ujar Gilang lagi. Dahi Ndaru berkerut saat menyadari jika

  • Duda Incaran Shana   92. Demi Istri

    Sebenarnya pertemuan Shana dengan Raja tidak berlangsung lama. Mereka hanya membahas hal-hal kecil mengenai iklan yang masuk. Setelahnya, Shana memilih untuk berdiam diri di kafe. Sudah lama ia tidak berada di ruangannya untuk waktu yang lama. Hal itu ia manfaatkan untuk kembali menulis. Mencari ide baru yang mungkin saja bisa keluar dari tema zona nyamannya. Tak terasa jarum jam terus berputar. Membuat Shana lupa akan waktu yang ternyata tidak sebentar. Matanya mulai mengedar, menatap dinding kaca yang menampilkan keadaan luar. Ramainya pengunjung mulai membuat konsentrasinya buyar. Sudah waktunya untuk dirinya menghindar. Shana meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang. Hanya sebuah pesan, tetapi langsung direspon dengan cepat. Terbukti dari pintu ruangannya yang langsung diketuk tiga kali dan disusul oleh seseorang yang masuk ke dalamnya. "Ada apa, Mbak?" Dia adalah Bagas, manager kafenya. "Buatin kopi buat take away." "Mbak Shana udah mau pulang? Mau kopi yang kayak

  • Duda Incaran Shana   91. Sebuah Pembelaan

    Ada apa? "Kamu istirahat aja, Lang. Biar anak nakal itu makan siang sama saya," ucap Harris. Gilang menatap Ndaru menunggu perintah. Saat melihat Ndaru mengangguk, Gilang pun pamit undur diri. Biar bagaimana pun dia bukanlah robot, dia juga butuh makan. "Ada apa, Pa?" tanya Ndaru meletakkan berkas yang ia baca ke atas meja. Harris langsung menghempaskan tubuhnya di sofa begitu saja. Semakin bertambahnya usia, peran tongkat penyangganya semakin berguna. Dia jadi mudah lelah jika berjalan terlalu lama. Harris mengulurkan tangannya pada Iqbal untuk meminta sesuatu. Sebuah map ia terima dan ia letakkan di atas meja. "Apa itu?" Ndaru berdiri dan ikut bergabung dengan ayahnya di sofa. "Hasil rapat bersama Pak Darma, Pak," jawab Iqbal. "Nggak perlu dicetak, kamu bisa kirim langsung dokumennya ke Gilang." Iqbal tersenyum. "Untuk arsip Pak Harris juga, Pak." "Ada banyak hal yang dibahas saat rapat tadi." Harris mulai berbicara, "Tapi bukan itu yang akan Papa bahas lebih dul

  • Duda Incaran Shana   90. Kedatangan Sang Ayah

    Siang hari ini, Dito Alamsyah memilih untuk bermalas-malasan. Bersantai di waktu senggang syuting ia manfaatkan. Mengingat jika padatnya jadwal sungguh sangat melelahkan. Apa lagi sekarang sudah tidak ada Shana di dekapan. Sumber semangatnya telah pergi meninggalkan. Di luar bagaimana sikap buruknya pada Shana, tidak dapat dipungkiri jika Dito adalah sutradara muda yang cukup handal. Banyak orang yang mengagumi karena pencitraannya. Namun tak jarang ada juga yang menghujatnya karena pernah menjadi korban mulut manisnya. Dito tidak peduli pada semuanya. Dia menganggap semua wanita yang pernah singgah hanyalah pengisi kekosongan semata. Namun berbeda dengan Shana. Setelah gadis itu pergi, rasa kehilangan itu benar-benar terasa. Rasa penyesalan sudah pasti ada. Rasa kesal juga masih di dada begitu tahu jika Shana mendapatkan pengganti yang jauh di atasnya. Handaru Atmadjiwo. Mengingat nama itu, Dito mendengkus tidak suka. Dia bukan orang bodoh. Dia tahu ada sesuatu yang aneh pa

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status