Suara gemercik air mengalun indah di telinga. Menggetarkan hati yang merindukan ketenangan jiwa. Aroma air hujan juga ikut menyapa. Membuat mata indah itu akhirnya terbuka. Lengkap dengan senyuman manis di muka.
Shana menyukai ketenangan. Dia juga menyukai aroma hujan. Di saat seperti ini dia bisa bekerja dengan nyaman. Namun sayang, seseorang tiba-tiba datang menghancurkan. "Sayang?" sapa seorang pria yang datang dengan napas terengah. Shana hanya meliriknya sekilas. Dia membenarkan letak kacamatanya dan kembali fokus pada laptop yang menyala. Pemandangan yang jauh lebih menarik. "Aku minta maaf." Lagi. Entah sudah berapa kali Shana mendengar kalimat itu keluar dari mulut kekasihnya. Sudah berkali-kali juga dia memaafkannya. Namun untuk kali ini, jangan harap ia akan diam saja. Gadis itu tidak akan memberikan maafnya secara cuma-cuma. "Jangan diemin aku, dong." Pria itu mulai memohon. "Alasan kamu telat kali ini apa lagi?" tanya Shana tanpa menatap pria di hadapannya. "Aku habis meeting sama produser," jelas Dito. Shana mengalihkan pandangannya dari laptop. Dia menatap kekasihnya dengan lekat. Mencoba menemukan celah kebohongan. Namun hanya wajah sedih yang ia tangkap. Bukannya kasihan, Shana malah mendengkus keras. Sepertinya Dito juga cocok menjadi seorang aktor. "Tanpa Kiki?" Shana menaikkan sebelah alisnya. Perubahan raut wajah Dito membuktikan kebohongannya. Shana tersenyum masam. "Asisten kamu itu di rumah, lagi maraton nonton N*****x. Dan setau aku, kamu juga belum ada proyek film baru." "Maaf." Kalimat itu lagi. "Sayang, maaf kalau aku bohong." Dito terlihat frustrasi. "Oke, aku jujur. Aku habis dari rumah Jodi tadi. Dia galau habis diputusin Tesa." "Terus, kalau yang semalam nggak dateng alasannya apa?" "Ah, untuk semalam!" Dito teringat dan mengeluarkan sesuatu dari tas yang ia bawa. Sebuah kotak berwarna merah yang indah. "Selamat ulang tahun, Sayang." Shana menerima kotak itu tanpa ekspresi. Tidak ada rasa senang di hatinya saat menerima hadiah dari kekasihnya. Jujur, Shana tidak berharap apa-apa lagi dari Dito. Pria itu sudah terlalu banyak mengecewakannya. "Kamu tau aku nggak butuh hadiah, Dito." Dito menarik tangan Shana dan menggenggamnya erat. "Aku tau, Sayang. Aku benar-benar minta maaf nggak bisa dateng semalam." "Karena Jodi lagi?" Dito meringis, "Ya, dia mabuk dan bikin ulah. Aku harus jemput dia." "Aku masak makanan kesukaan kamu semalam." Shana meletakkan hadiah pemberian Dito. Tidak berniat untuk membukanya. "Dan aku harus buang semuanya." "Sayang—" "Kemarin hari ulang tahun aku, Dito. Bisa-bisanya kamu nggak ada di samping aku?" Dito menunduk dalam, tak lupa dengan wajah sedihnya. Sekali lagi, Shana tidak akan tertipu lagi. Kesabarannya sudah benar-benar habis. Semalam adalah momen penting dalam hidupnya. Dia berulang tahun yang ke-26. Bukan pesta besar karena Shana hanya mengundang Kakaknya dan Dito untuk makan malam di apartemennya. Namun pria yang seharusnya ada di momen penting itu mendadak hilang tanpa kabar. Shana harus menahan malu di depan Erina, Kakaknya. Sampai sekarang pun Shana masih kesal dibuatnya. "Bisa kamu maafin aku? Aku nggak mau kita bertengkar, Shana." "Kamu yang mulai." Shana mendengkus. "Aku sudah minta maaf." Dito masih menggenggam tangan Shana. "Hari ini aku free. Kamu mau apa? Belanja?" "Aku mau kamu pergi." Shana menarik tangannya cepat. "Sayang, jangan gini, dong." "Aku lagi nggak mau ngapa-ngapain, Dito. Aku masih kesel sama kamu. Mending kamu pergi. Aku harus lanjut nulis lagi." Dito menarik napas dalam dan menghembuskannya kasar. "Oke, aku pergi." Dito mengangkat tangannya pasrah. "Telepon aku kalau kamu sudah nggak marah." Shana menatap kepergian Dito dengan datar. Setelah pria itu pergi, dia kembali mendapatkan ketenangan. Entah kenapa melihat Dito hanya membuatnya kesal. Pria itu sudah banyak melakukan kesalahan yang membuat Shana mulai muak. "Mbak Shana, kopinya, Mbak." Shana tersenyum tipis. "Kok lama, Yu?" Ayu, salah satu karyawan di kafe itu meringis. "Takut ganggu Mbak Shana sama Mas Dito. Kayaknya lagi tegang." Shana tersenyum tipis. "Biasa lah." "Oh, iya." Ayu mengeluarkan sesuatu dari kantong apron-nya. "Selamat ulang tahun, Mbak." Berbeda saat bersama Dito tadi, Shana menerima kado Ayu dengan senyuman manis. "Makasih, Yu. Kok repot-repot, sih?" "Nggak repot sama sekali, Mbak." "Aku buka, boleh?" tanya Shana. Mendapat izin dari Ayu, akhirnya Shana membuka kado itu. Matanya membulat melihat earbuds yang Ayu beri. "Yu, ini kan mahal?" Shana merasa tidak enak. "Nggak ada apa-apanya sama kebaikan Mbak Shana selama ini. Lagian ini yang versi murah." Ayu tertawa. "Suaranya jernih, kok. Aku sendiri juga pake. Mbak Shana harus mengikuti perkembangan teknologi. Jangan pake yang kabel terus." Shana tertawa dan mengangguk mantap. "Makasih, ya. Pasti aku pake." "Biar Mbak Shana juga bisa konsentrasi nulis kalau lagi rame. Atau bisa dipake pas Mas Dito lagi mohon-mohon minta maaf kayak tadi." Celetukan Ayu kembali membuat Shana tertawa. "Sekali lagi, makasih, ya." "Sama-sama, Mbak. Kalau gitu aku kerja lagi." Begitu Ayu pergi, Shana tidak bisa kembali fokus pada laptopnya. Sekarang berganti Bagas, manager kafe yang menghampirinya. "Gimana, Mbak? Mau diganti susunya?" tanya Bagas. Shana menepuk keningnya pelan. "Gue lupa tanya." Bagas berdecak. "Stok tinggal sedikit, loh, Mbak. Udah harus pesen lagi. Mau pake yang lama atau baru? Salesnya udah tanyain terus." "Nanti gue tanyain Mbak Erina dulu." "Pake yang baru aja, Mbak. Harganya oke, tuh." Shana menggeleng. "Rasa juga penting, Gas." "Ya udah, nanti tanyain Chef Erina. Jangan sampe lupa." Shana mengangguk. Meskipun dia adalah pemilik kafe, tetapi dia tidak begitu paham dengan pemilihan produk untuk makanan. Oleh, karena itu dia harus bertanya pada Erina, Kakaknya yang merupakan seorang koki. Begitu Bagas pergi, Shana benar-benar bebas. Dia kembali fokus pada laptopnya dan mulai berkonsentrasi. Butuh beberapa menit untuknya mengembalikan suasana hati. Beruntung Shana bisa melakukannya. Jika tidak bisa, dapat dipastikan dia tidak akan menghasilkan apa-apa hari ini. Menjadi penulis memang terdengar mudah, tetapi percaya lah. Masalah utamanya adalah pada diri sendiri. Jika keadaan diri sendiri tidak baik, maka jangan harap tulisan yang dihasilkan akan menarik. "Breaking News." "Pemirsa, baru saja kami menerima informasi dari lapangan bahwa Haryadi Atmadjiwo, Hakim yang menangani kasus Korupsi Proyek Benasaka terlibat kecelakaan beruntun. Kecelakaan tersebut menewaskan dirinya, beserta supir pribadinya. Hingga saat ini, informasi yang kami dapat korban meninggal dunia sebanyak dua orang dan delapan orang lainnya mengalami luka-luka. Para korban akan—" Gerakan jari tangan Shana di atas laptop terhenti. Dengan cepat dia menatap televisi yang tersedia di ruang kerjanya. Berita kecelakaan itu membuatnya seketika terdiam. Rasa terkejut itu membuatnya tak bisa berkata-kata. "Haryadi," gumam Shana. "Dia meninggal," lanjutnya dengan tangan bergetar. *** Semua tampak tergesa. Akibat dari berita menggemparkan yang ada. Sesak di dada semakin terasa. Ketika rasa bersalah mulai menerpa. Langkah kaki Ndaru tampak begitu lebar. Sesekali dia melirik jam tangan untuk memastikan. Gilang, asisten pribadinya berkata jika pesawat pribadi telah tiba. Bertujuan untuk membawanya ke Ibu kota. Seharusnya pesawat itu datang untuk mengantar Arya menemuinya. Namun siapa sangka justru Ndaru yang harus datang ke pemakamannya. Haryadi Djanu Atmadjiwo, hakim yang dikenal publik karena banyak menangani kasus besar itu adalah kakaknya. Ia meninggal saat perjalanan ke bandara. Yang ingin menemuinya karena masalah yang tak seberapa. Ndaru benar-benar menyesal. Namun dalam keadaan seperti ini dia tidak bisa tumbang. Meski matanya memerah karena tangisan, dia harus tetap tegar. Beruntung kacamata hitam berhasil menutupi semuanya. "Pak Ndaru?" panggil Gilang. "Sudah siap semuanya?" "Sudah, Pak. Tapi kita harus lewat pintu lain. Wartawan lokal sudah ramai ingin meliput Bapak." "Kalau gitu kita lewat pintu lain." "Ikuti saya, Pak." Gilang pun berjalan lebih dulu, ditemani dua petugas bandara yang mengantarnya. Tidak sulit untuknya mendapatkan keistimewaan. Hanya dengan menyebut nama Handaru Gama Atmadjiwo maka semua akan tersedia dalam sekali jentikan. Begitu berhasil masuk ke dalam pesawat, Ndaru melepas kacamatanya. Tangan kanannya bergerak untuk memijat keningnya serta tangan kiri yang melepas dua kancing teratas kemejanya. Rasanya begitu sesak. Membuatnya tak kuasa kembali meneteskan air mata. "Pak Ndaru bisa istirahat selama perjalanan," ucap Gilang. "Bagaimana saya bisa istirahat, Lang? Kakak saya meninggal." Ndaru menarik napas dalam. "Dan itu karena saya." "Bukan salah Bapak." Ndaru memilih untuk menyandarkan kepalanya. Dia merasakan pesawat sudah mulai terbang. Matanya terpejam erat untuk mengenyahkan rasa pusing yang melayang. Jujur, sudah hampir dua hari dia tidak memejamkan mata. "Gimana Mas Juna nanti?" Seketika Ndaru teringat dengan anaknya yang terbaring di rumah sakit. "Setelah diperbolehkan pulang, Mas Juna akan menyusul Bapak ke Jakarta bersama Suster Nur." "Pastikan semua aman, Lang. Saya nggak mau mereka dikejar wartawan juga." "Pasti, Pak." Gilang bergerak memberikan selimut. "Sekarang Pak Ndaru istirahat. Jangan sampai Bapak tumbang di pemakaman Pak Arya." *** Malam ini, suasana hati Shana terlihat baik. Dia seolah lupa dengan kekesalannya pada Dito siang tadi. Bahkan dia tidak mengingat nama pria itu sama sekali. Sambil bersenandung, Shana masih berkutat di dapur. Dia menganggukkan kepala mengikuti irama musik yang keluar dari earbuds yang ia pakai. Ternyata kado pemberian Ayu sangat berguna. Bahkan Shana sudah mulai menikmatinya. Tepukan pada bahu mengejutkan Shana. Dia berbalik dan menghela napas lega. Ternyata Erina yang berada di belakangnya. "Lo ngapain di rumah gue?" tanya Erina bingung. Gadis itu baru saja pulang dari syuting menjadi juri di salah satu acara memasak. Lalu ia menemukan adiknya membuat kekacauan di dapur rumahnya. Shana melepas earbuds-nya dan tersenyum manis. "Gue lagi nyoba resep baru." Mata Erina menyipit. "Tumben." Shana berjalan ke meja makan yang sudah tersedia beberapa masakan. "Gue masakin makan malem. Lo pasti capek." Keanehan Shana semakin membuat Erina curiga. Dia masih mengingat jelas wajah adiknya yang tertekuk karena ulah kekasih bodohnya semalam. Namun lihat sekarang, wajahnya tampak berseri-seri. "Ada sesuatu?" tanya Erina masih ingin mengulik. "Lo nggak liat berita, Mbak?" "Berita?" "Haryadi meninggal." Erina sekarang paham. Dia menatap adiknya dengan satu tangan yang bertumpu pada pinggang. "Lo nggak lagi ngerayain kematiannya Haryadi, kan?" Shana mengedikkan bahunya pelan. "Emang nggak boleh, ya?" "Oke, kita rayain malem ini." Lalu yang terjadi dua gadis itu terlihat seperti psikopat sekarang. Yang berbahagia di atas duka seseorang. *** TBCKediaman Haryadi tampak ramai hari ini. Penjagaan ketat harus terus diawasi. Banyaknya wartawan yang meliput membuat keadaan semakin tak terkendali. Apa lagi ketika mobil Ndaru mulai mendekati. Seketika riuh pun sulit diatasi. Haryadi bukan hanya seorang hakim yang luar biasa, tetapi juga berasal dari keluarga yang tak biasa. Kepergiannya tentu menimbulkan kehebohan nyata. Yang tentu akan dimanfaatkan banyak orang untuk mencari muka. Mobil yang membawa Ndaru mulai memasuki kediaman Haryadi. Dia menatap para wartawan yang berkumpul di depan pagar dengan seksama. Ndaru tahu jika kakaknya memang orang hebat, tetapi dia tidak tahu jika akan seramai ini. Sepanjang perjalanan menuju rumah, sudah berapa kali Ndaru melihat kiriman karangan bunga. Entah dari siapa saja. "Pemakaman Pak Arya akan dilakukan nanti sore, Pak. Bapak bisa masuk sekarang untuk melihat Pak Arya yang terakhir kalinya dan bertemu keluarga Bapak." Ndaru masih bergeming. Dia menunduk lalu menarik napas
Ketenangan kembali menyapa. Namun sayang Ndaru tidak bisa memejamkan mata. Dia menatap jalanan dengan mata terbuka. Mencoba menerka jalan hidupnya yang tak akan lagi sama. "Sepertinya Bapak butuh pengawal untuk beberapa hari ke depan." Gilang berucap. "Saya lihat ada beberapa wartawan yang nekat mengikuti kita." "Mereka merepotkan." Ndaru mengeluh. Padahal dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. "Bapak adalah bagian dari keluarga Atmadjiwo kalau lupa." "Nama saya tidak seharum kedua kakak saya." "Justru itu." Gilang menoleh. "Bapak misterius. Ya... meskipun keluarga Atmadjiwo memang tertutup, tapi Bapak berbeda. Itu yang membuat publik penasaran." Tanpa diduga Ndaru tersenyum kecut. Dia mengerti maksud ucapan Gilang. Kedua kakaknya memang memiliki nama yang harum. Berbeda dengan dirinya yang seolah menyembunyikan diri. Sebenarnya sama saja, hanya saja Ndaru memilih untuk tidak berhubungan langsung dengan publik. Bukan bermaksud menjauhi keluarga. Hanya
Rasanya seperti baru lima menit tertidur. Ndaru terbangun saat mendengar suara ketukan pintu. Keadaan kamar hotel yang ia tiduri masih gelap, tetapi dia bisa melihat cahaya mulai mengintip dari balik tirai jendela. Ndaru segera terduduk sambil mengusap wajahnya. Dia meraih ponsel dan melihat jam yang tertera. Jam tujuh pagi, artinya dia terlambat bangun. Suara ketukan pintu kembali terdengar. Kali ini terkesan lebih keras dan cepat dari sebelumnya. "Pak Ndaru?" Itu suara Gilang. "Ya," balas Ndaru bergegas membuka pintu. "Ada apa?" tanyanya langsung. Gilang menghela napas kasar. Dia menatap atasannya itu dengan tatapan lelah. Ada apa? Seingat Ndaru dia tidak memiliki kegiatan pagi ini. "Apa yang terjadi semalam, Pak?" tanya Gilang. Seketika kantuk Ndaru hilang. Dia menatap asistennya lekat. "Apa maksud kamu?" Gilang memberikan sebuah iPad yang menampilkan beberapa gambar tangkapan layar. Ada beberapa potret yang sangat Ndaru kenal. "
Di ruangan privat itu, baik Guna dan Ndaru fokus pada pekerjaan masing-masing. Hidangan makan siang yang tersaji di hadapan mereka belum mereka sentuh sedikit pun. Mereka berdua tampak sibuk membahas sesuatu. Membahas hal yang membuat nama mereka goyah akhir-akhir ini. "Aku jadi ikutan kena, Ru," keluh Guna. "Peluang suara menurun?" tanya Ndaru. "Betul, Pak. Sekitar dua persen, tapi Pak Guna tetap unggul dari caleg lain," jawab Rahmat, orang kepercayaan Guna. "Tetap kita nggak boleh jumawa, Mat. Pemilu masih tahun depan." Ndaru mendorong laptopnya lelah. Menyadari perubahan itu, Gilang pun mengambil alih. Dia ikut meringis melihat banyaknya email yang masuk. Rata-rata berasal dari para wartawan. Belum selesai dengan kabar duka dari Haryadi Atmadjiwo, mereka kembali menyerang atasannya dengan foto skandalnya. Setelah Harris memberi perintah tadi pagi, satu jam kemudian orang-orang Guna berhasil menghapus cuitan penyebar skandal itu. Bukan hanya cuitan, tetapi akunnya ju
Acara tahlilan telah selesai. Seperti biasa, keluarga Atmadjiwo kembali berkumpul di ruang keluarga. Bukan lagi untuk membahas perubahan strategi, melainkan skandal yang terjadi. Masa berkabung seolah tak lagi berarti. Ada hal genting lain yang menanti. Malam ini, Ndaru mengenakan kemeja hitam berlengan panjang yang dilipat hingga siku, serta celana chinos abu-abu. Dia memilih untuk duduk tenang di salah satu sofa. Terlepas dari apa yang menimpanya, Ndaru sangat pintar untuk menyembunyikan perasaannya. Padahal dalam hati dia juga dibuat pusing dengan apa yang terjadi. Bahkan saat ini, dia yakin jika akan kembali disidang. "Berita nggak mereda sama sekali," keluh Yanti. Dia cukup khawatir dengan karir politik suaminya. "Saham Atmadjiwo Grup juga menurun," lanjut Guna. Topik itu yang akan mereka bahas malam ini. Apa saja akibat yang mereka dapat dari skandal yang menyerang si bungsu. "Bahkan berita tentang kecelakaan Arya sudah tenggelam." "Seharusnya dari awal kamu ngga
Pagi ini Shana memilih untuk bermalas-malasan. Dia duduk di meja makan sambil menatap Erina yang sibuk ke sana-ke mari. Tampak bersiap untuk berangkat bekerja. Profesinya yang merupakan seorang chef selebriti tentu membuatnya cukup sibuk. Bahkan Erina memiliki tiga program acara unggulan di televisi. Yang berhubungan dengan kuliner tentu saja. "Gue udah bikin sarapan. Lo tinggal makan aja." Shana menyandarkan kepalanya dengan malas. "Gue pingin makan ketoprak." Erina berdecak. "Makan yang ada. Gue harus berangkat sekarang." Shana kembali menegakkan kepalanya. "Gue beneran nggak boleh keluar?" "Boleh, kalau lo mau dikeroyok wartawan." Shana berdecak, "Gila, ya? Masih aja rame bahas masalah kemarin." "Lo yang gila! Ngapain nyosor bibir orang? Mana yang disosor klan Atmadjiwo. Apa nggak heboh satu negara?" Shana mengusap hidungnya kasar. Sepertinya memang lebih baik dia diam. Seketika kepalanya pening saat Erina kembali mengomel. "Gue nggak bisa nulis apa-apa. Kepa
Tidak ada yang berubah hari ini. Semua berjalan seperti biasa. Masih dengan berita yang ramai diperbincangkan tentu saja. Namun Ndaru berusaha untuk mengabaikannya. Di dalam kamarnya, dia mencoba fokus untuk menyelesaikan pekerjaannya. Cukup sulit bekerja dengan jarak jauh seperti ini. Namun Ndaru harus segera menyelesaikan semuanya sebelum kembali ke pusat. Baik Kakak dan Ayahnya sudah mendesaknya untuk segera mengambil alih induk perusahaan. Suara ketukan pintu membuat Ndaru mengalihkan pandangannya sebentar. Tanpa menjawab pun dia tahu jika Gilang yang mengetuk pintu kamarnya. Benar saja, tak lama asisten pribadinya itu masuk. "Permisi, Pak. Ini berkas yang Bapak minta semalam," ucap Gilang memberikan sebuah map coklat yang cukup tebal. "Sudah lengkap?" tanya Ndaru mulai membuka map itu. "Saya sedikit kesulitan untuk mencari tahu latar keluarganya, Pak." Ndaru mengangguk mengerti. Dia memaklumi kekurangan informasi yang Gilang cari. Toh, permintaannya memang menda
Sebagai kepala keluarga, tentu Harris Atmadjiwo tidak bisa tenang. Hatinya dikuasai rasa bimbang. Kematian anak tengahnya sudah cukup membuatnya terguncang. Lalu sekarang anak bungsunya kembali datang dengan masalah yang menantang. Seharusnya di usianya yang menginjak 71 tahun ini, Harris sudah bisa bersantai di hari tuanya. Kehidupan serta karir anak-anaknya juga sudah bagus dan menjanjikan. Namun siapa sangka jika dia tetap turun tangan saat ada permasalahan yang menyangkut nama Atmadjiwo. Bukan usaha yang mudah untuknya membangun kerajaan bisnis hingga seperti ini. Harris percaya jika nama baik akan memberikan banyak keuntungan. Mulai dari kepercayaan rekan bisnis hingga kepercayaan masyarakat. Meski ada juga yang membenci, tetapi suara mereka tidak terlalu vokal. Lalu sekarang, setelah bertahun-tahun hidup tenang, keluarganya terguncang dengan satu skandal. Skandal yang untuk pertama kalinya sulit mereka atasi. Sekali lagi, nama baik Atmadjiwo sangat penting untuknya. Ha
Di dalam lift, Ndaru mulai menarik napas dalam. Dia menatap pantulan Nendra dari kaca lift. "Apa maksud Anda?" tanya Ndaru pada akhirnya. Nendra, pria itu juga menatap Ndaru dari kaca. Senyum tenang ia berikan. "Saya mau jenguk Shana." "Shana tidak bisa dijenguk..." Ndaru menggantungkan kalimatnya dan mulai menoleh pada Nendra, "Terutama oleh Anda." Nendra terkekeh. "Saya tau, karena itu saya muncul di depan kamera." "Kalau begitu, sebaiknya Anda pergi." Nendra kembali menggeleng. "Saya mau lihat kondisi teman saya." "Teman yang Anda maksud itu istri saya." Nendra menggelengkan kepalanya pelan. "Sebenarnya ada apa, Ndaru? Kenapa kamu melarang saya menemui Shana? Semua orang tau kalau Shana lebih dulu mengenal saya dari pada kamu." Pintu lift terbuka. Sebelum keluar, Ndaru menyempatkan menatap Nendra sekali lagi. "Jangan bertingkah bodoh. Kita berdua tau apa yang sebenarnya terjadi. Dan satu lagi, siapa peduli dengan siapa yang mengenal Shana lebih dulu. Saat ini, S
Setiap omelan yang masuk ke telinga ia abaikan. Tidak menganggapnya sebagai beban. Berbeda dengan pria yang duduk di depan. Tampak was-was takut jika ada perdebatan. "Kalau nggak ada yang penting, aku tutup teleponnya, Mas." "Ndaru! Kamu itu, ya! Jang—" Dan panggilan pun benar-benar terhenti. Bukan karena terputus, melainkan Ndaru sendiri yang mematikannya. Membuat Gilang yang duduk di depan menghela napas kasar. "Jangan diangkat kalau tidak penting," ujar Ndaru mengembalikan ponsel Gilang. "Mana bisa, Pak?" gumam Gilang pelan. Semenjak perjalanan pulang, Ndaru memang mematikan ponselnya. Bukan tanpa alasan. Kepergiannya yang mendadak tanpa mengabari Guna tentu menimbulkan kehebohan tersendiri. Apa lagi Guna sudah menyiapkan makan malam di sebuah Hotel untuk Ndaru. Begitu sampai di Jakarta, ponsel Gilang lah yang menjadi korban. Guna menghubunginya meminta penjelasan. Yang pada akhirnya juga tak mendapat jawaban. Seperti biasa. Ndaru dan tingkah tak terduganya membuat
Shana menatap Roro bingung. Bukankah kemarin Ndaru berkata akan mengizinkan Dito menjenguknya saat berada di rumah sakit? Namun yang ia lihat sekarang tampak berbeda. "Ro?" panggil Shana bingung. Dengan tegas Roro kembali menggeleng. "Bapak tidak mengzinkan Pak Dito untuk menjenguk Ibu." "Apa kata lo?!" Dito menatap Roro kesal. "Lo lama-lama ngeselin, ya? Ndaru sendiri yang bilang kemarin katanya gue boleh jenguk Shana!" "Bawa dia keluar," perintah Roro pada dua pengawal yang berjaga. "Oke... oke gue keluar!" Dito berhenti memberontak dan mengangkat kedua tangannya, membuat dua pengawal itu perlahan melepasnya. Namun satu detik kemudian, Dito nekat kembali memaksa masuk membuat Shana membulatkan matanya. Dia meringis melihat Dito yang ditahan oleh dua pengawal berbadan besar. "Berhenti." Shana akhirnya berbicara. Mendadak dia tak tega melihat Dito yang dibohongi oleh Ndaru. Apa lagi pria itu yang menolongnya kemarin. Ditambah dengan luka ditangannya? Shana tidak sejahat it
Sarapan pagi dipenuhi dengan makanan lezat. Mengingat jika sang Putra Sulung sudah kembali merapat. Membuat suasana rumah menjadi lebih hangat. Sungguh, potret keluarga bahagia yang terjalin dengan erat. Suara riuh dari teriakan sang cucu memenuhi ruangan. Tampak berlarian menghindari sarapan. Namun itu bukanlah sebuah kesulitan. Sudah ada para pengasuh yang siap bekerja sesuai arahan. "Nggak mau sayur!" "Biar sehat, Ayu," balas sang pengasuh yang masih mengejar. Pemandangan itu diabaikan oleh para manusia dewasa. Yang tetap duduk tenang dengan banyak makanan di atas meja. Perbincangan kecil juga ikut mengisi suasana. Membahas banyak hal yang tak terduga. "Udah pada denger belum?" Sania, Si Bungsu memulai topik baru. "Shana kecelakaan." Kalimat itu berhasil membuat pergerakan semua orang terhenti. Semua mata langsung tertuju pada Sania. "Kok bisa?" Atikah, sang ibu menunjukkan wajah khawatirnya. "Papa udah denger." Nurdin menghela napas kasar. "Di rumah sakit mana?"
Malam semakin larut. Rasa kantuk pun langsung beringsut. Tergantikan dengan rasa canggung yang menyelimut. Membuat lagi-lagi jantung mulai berdenyut. Di ruangan itu, hanya terdengar detik jarum jam yang berputar. Menahan seorang gadis agar tetap sadar. Mengingat jika ada seorang pria yang tengah duduk bersandar. Menatapnya lekat tanpa berkomentar. Shana memainkan jari-jemarinya di dalam selimut dengan gelisah. Dia masih menatap ke samping, ke arah yang berlawanan dari tempat Ndaru duduk. Sesekali dia melirik, dan menyadari jika pria itu masih menatapnya lekat. Hal itu membuat Shana gelisah. Pada akhirnya dia pun tak tahan. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Pak. Jangan liatin saya kayak gitu," gerutu Shana jengah. "Bodoh." Kalimat pertama yang keluar benar-benar di luar dugaan. Sangat tajam dan terdengar sangat menusuk. "Maksud Bapak apa?" tanya Shana mulai bangkit dari tidurnya. Meski kesal, Ndaru dengan sigap berdiri dan membantunya. Tangan besarnya membenarkan posis
Jantungnya berdegup dengan cepat. Langkah kakinya juga tidak melambat. Pikiran buruk berkeliling dengan dahsyat. Membuatnya seketika dilanda perasaan yang tak tepat. Tidak ada yang Ndaru pikirkan selain Shana. Setelah mendengar kabar yang tak terduga, ia lupa akan segala rencana. Tanpa perasaan ragu ia pun berbelok tujuan tanpa menunggu lama. Langkah kaki yang lebar itu membuat Gilang terlihat kesulitan untuk mengikuti. Namun dia sudah mulai membiasakan diri. Sudah tugasnya menjadi asisten pribadi. Bahkan sebelum sampai rumah sakit, ia sudah mengantongi banyak informasi. Mulai dari letak kamar, kondisi terkini si Nyonya Besar, hingga dokter yang menanganinya. Begitu lengkap, membuat Ndaru tak ragu untuk langsung melompat turun dari mobil begitu tiba. "Belok kanan, Pak." Ndaru langsung berbelok begitu dia di hadapkan pada dua jalan. Namun dengan cekatan Gilang memberitahunya. "Kamar paling ujung sebelah kanan, Pak," ujar Gilang lagi. Dahi Ndaru berkerut saat menyadari jika
Sebenarnya pertemuan Shana dengan Raja tidak berlangsung lama. Mereka hanya membahas hal-hal kecil mengenai iklan yang masuk. Setelahnya, Shana memilih untuk berdiam diri di kafe. Sudah lama ia tidak berada di ruangannya untuk waktu yang lama. Hal itu ia manfaatkan untuk kembali menulis. Mencari ide baru yang mungkin saja bisa keluar dari tema zona nyamannya. Tak terasa jarum jam terus berputar. Membuat Shana lupa akan waktu yang ternyata tidak sebentar. Matanya mulai mengedar, menatap dinding kaca yang menampilkan keadaan luar. Ramainya pengunjung mulai membuat konsentrasinya buyar. Sudah waktunya untuk dirinya menghindar. Shana meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang. Hanya sebuah pesan, tetapi langsung direspon dengan cepat. Terbukti dari pintu ruangannya yang langsung diketuk tiga kali dan disusul oleh seseorang yang masuk ke dalamnya. "Ada apa, Mbak?" Dia adalah Bagas, manager kafenya. "Buatin kopi buat take away." "Mbak Shana udah mau pulang? Mau kopi yang kayak
Ada apa? "Kamu istirahat aja, Lang. Biar anak nakal itu makan siang sama saya," ucap Harris. Gilang menatap Ndaru menunggu perintah. Saat melihat Ndaru mengangguk, Gilang pun pamit undur diri. Biar bagaimana pun dia bukanlah robot, dia juga butuh makan. "Ada apa, Pa?" tanya Ndaru meletakkan berkas yang ia baca ke atas meja. Harris langsung menghempaskan tubuhnya di sofa begitu saja. Semakin bertambahnya usia, peran tongkat penyangganya semakin berguna. Dia jadi mudah lelah jika berjalan terlalu lama. Harris mengulurkan tangannya pada Iqbal untuk meminta sesuatu. Sebuah map ia terima dan ia letakkan di atas meja. "Apa itu?" Ndaru berdiri dan ikut bergabung dengan ayahnya di sofa. "Hasil rapat bersama Pak Darma, Pak," jawab Iqbal. "Nggak perlu dicetak, kamu bisa kirim langsung dokumennya ke Gilang." Iqbal tersenyum. "Untuk arsip Pak Harris juga, Pak." "Ada banyak hal yang dibahas saat rapat tadi." Harris mulai berbicara, "Tapi bukan itu yang akan Papa bahas lebih dul
Siang hari ini, Dito Alamsyah memilih untuk bermalas-malasan. Bersantai di waktu senggang syuting ia manfaatkan. Mengingat jika padatnya jadwal sungguh sangat melelahkan. Apa lagi sekarang sudah tidak ada Shana di dekapan. Sumber semangatnya telah pergi meninggalkan. Di luar bagaimana sikap buruknya pada Shana, tidak dapat dipungkiri jika Dito adalah sutradara muda yang cukup handal. Banyak orang yang mengagumi karena pencitraannya. Namun tak jarang ada juga yang menghujatnya karena pernah menjadi korban mulut manisnya. Dito tidak peduli pada semuanya. Dia menganggap semua wanita yang pernah singgah hanyalah pengisi kekosongan semata. Namun berbeda dengan Shana. Setelah gadis itu pergi, rasa kehilangan itu benar-benar terasa. Rasa penyesalan sudah pasti ada. Rasa kesal juga masih di dada begitu tahu jika Shana mendapatkan pengganti yang jauh di atasnya. Handaru Atmadjiwo. Mengingat nama itu, Dito mendengkus tidak suka. Dia bukan orang bodoh. Dia tahu ada sesuatu yang aneh pa