Share

Malam Kebersamaan

Suara wajan mendesis saat Zeon berkutat di depan kompor. Melva duduk anteng di kursinya. Dia mengangkat tangan untuk menyangga kepala. Tidak tahu mengapa memperhatikan pria yang sedang memasak bisa semenarik ini. Akankah semua pria akan nampak seperti ini atau hanya yang memiliki ciri-ciri seperti Zeon? Tubuh tegap tinggi, bahu lebar, dan tangan cekatan.

Melva menggelengkan kepala menghilangkan imajinasinya yang semakin merembet jauh. Zeon hanya memasak, jadi kenapa Melva harus begitu menaruh perhatian?

Menyedot habis isi minuman dalam kotak, Melva beranjak membuang sampahnya tanpa menimbulkan suara. Kebetulan itu ada di ujung, jadi dia harus melewati punggung Zeon. Ruangnya lumayan sempit untuk dua orang dewasa, Melva memiringkan badan, menghindari kontak fisik.

Tanpa diduga saat Zeon memasukkan sedikit air dalam wajan, itu hampir terciprat pada tangannya. Zeon mundur setengah langkah untuk menghindar. Dan tabrakan itu terjadi. Perbedaan tenaga itu membuat Melva terhuyung hingga pinggangnya membentur senderan kursi lumayan keras.

"Ah!"

"Maafkan aku. Dimana kamu terluka?"

Zeon mematikan kompor lalu menyimpan penggorengan yang ada di tangannya. Segera dia berbalik dan kebingungan melihat Melva merintih memegangi pinggangnya. Zeon takut salah meletakkan tangannya karena daerah benturan itu merupakan area yang lumayan privasi untuk dipegang seorang pria.

Melva kesulitan menjawab sebab rasa ngilu itu menekan tenggorokannya. Tangan lainnya yang bebas hanya mencari sesuatu sebagai pegangan. Zeon yang peka menerima uluran tersebut. Zeon memapah Melva untuk duduk di sofa empuk yang lebih nyaman.

"Kamu bisa memeriksa lukanya. Aku tidak akan melihat, setelah itu beritahu obat apa yang kamu perlukan. Aku akan menyiapkan makanannya."

"Baiklah, terimakasih." Melva mendapatkan kembali suaranya.

"Tidak, tidak. Ini adalah salahku."

Memastikan Zeon benar-benar ada di dapur, Melva mengangkat bajunya, sisi pinggangnya sudah nampak biru namun tidak ada luka goresan.

"Apakah sudah kamu periksa?" Zeon bertanya dari dapur.

"Ya."

Bau harum masakan semakin tercium. Zeon menarik meja mendekat, sepiring makanan diletakkan. Zeon duduk di samping Melva, masih terlihat kebingungan. Melva tidak menyangka Zeon begitu kikuk menghadapi situasi seperti ini. Zeon tentu harus diselamatkan dari rasa ketidaknyamanan ini.

"Itu hanya memar, tidak apa-apa."

"Bagaimana mungkin itu tidak apa-apa. Kamu makanlah, aku akan mencari salep." Zeon sudah berdiri namun duduk kembali, dia bertanya, "Bisakah kamu makan?"

Melva tertawa canggung menangkap maksud pertanyaan dari Zeon.

"Tentu saja haha, bawakan piringnya padaku. Aku sulit membungkuk."

Meja ruang tamu hanya mencapai lutut. Melva berbohong saat mengatakan lukanya tidak apa-apa. Jangankan untuk membungkuk, bergerak sedikit saja pinggangnya terasa sakit.

Zeon baru beranjak saat melihat Melva benar-benar bisa makan sendiri. Dia kembali dari laci kotak obat dan membawa beberapa jenis salep. Dia kurang tahu tentang semuanya dan akan membaca kegunaan salep itu sekaligus bertanya keluhan Melva supaya lebih pasti.

Melva makan sambil menjawab pertanyaan Zeon mengenai keadaan lukanya. Setelah beberapa menit, Melva mengambil satu wadah. Zeon memperhatikan Melva yang hanya memegang salep itu. Melva mengangkat wajahnya bertatapan dengan Zeon.

"Ini lebih cocok sepertinya."

"Pakailah, kamu akan sulit tidur jika masih sakit."

"Aku akan memakainya nanti."

"Mengapa? Lebih cepat lebih baik."

"Ya dan kamu akan melihatku membuka baju?"

"Apa? Te-Tentu saja tidak. Aku akan berbalik." Zeon membelakangi Melva dengan tubuh kaku.

"Aku akan memakainya nanti saja." Melva masih melancarkan protes.

"Kenapa kamu begitu keras kepala? Aku akan menutup mataku, sungguh. Aku hanya memastikan kamu memakainya."

Dengan pertimbangan beberapa detik, Melva memegang ujung bajunya. Belum begitu yakin, Melva berkata dengan nada mengancam, "Tinjuku menanti jika kamu berani berbalik."

"Ya, ya. Tinju saja Bosmu."

Mengaplikasikan salep berakhir dengan cepat. Melva membiarkan Zeon tetap seperti itu selama dua menit. Kemudian Melva meninju pelan pundak Zeon.

"Aku sudah selesai."

"Kamu benar-benar meninju Bosmu."

"Kamu yang memintanya sendiri." Melva menunduk, memilin jarinya sebelum melanjutkan, "Aku minta maaf sudah bersikap kurang ajar padamu. Aku sangat tidak sopan saat berdebat denganmu di apartemenku. Aku akui itu bukan hal baik yang dilakukan karyawan baru pada atasannya. Maafkan aku."

"Itu sudah berlalu, aku memaafkan kamu." Yang terpenting kamu sudah ada di sini bersamaku, lanjut Zeon dalam hatinya.

"Pergilah tidur."

"Aku masih kenyang," jawab Melva.

"Mau menonton film?"

Mereka bertatapan sejenak, tidak mendengar penolakan dari Melva, Zeon mengambil remot dan menekannya mencari saluran di televisi. Melva merasa pegal, dia membenarkan posisi duduknya. Melva mendesis saat melakukan itu. Zeon segera menoleh dengan raut khawatir yang tak terbaca oleh Melva.

"Ada apa? Butuh ke toilet?"

Bukannya menjawab, Melva justru mengejeknya, "Kamu sudah cocok menjadi suami."

"Uhuk." Zeon kembali memusatkan pandangannya pada televisi, dia menekan tombol acak yang mana semakin terlihat jelas bahwa dia salah tingkah.

Melva menganggapnya sedikit lucu. Dia menatap fitur wajah Zeon dari samping, mengabsen kebaikan pria ini dalam benaknya. Sebanyak apapun Melva ingin membencinya atas insiden pemindahan tempat tinggal, pria ini pada dasarnya adalah orang yang sangat perhatian. Semua umpatan yang pernah dia ucapkan secara diam-diam tentang Zeon sebelumnya, rasanya ingin Melva telan kembali. Meskipun belum tahu apa alasan dibalik pindahnya ke rumah ini, Melva setidaknya menjadi tahu bagaimana gaya dan sifat rumahan Zeon.

"Ayo menonton ini, durasinya tidak banyak. Kamu harus bangun pagi. Besok masih harus menjalani pelatihan dengan Sarah."

"Siap Bos."

Film itu keluaran lama, dialog dan efek suaranya seperti lagu pengantar tidur. Melva sudah menguap di menit kesepuluh dan tertidur di menit dua puluh. Zeon sudah meliriknya beberapa kali, segera mematikan televisi.

Rambut Melva sangat halus saat Zeon menyentuhnya. Tidak mendapat respon apapun, dia dengan berani mengelus helaian surai gadis itu. Zeon memandang wajah lelap Melva. Setelah merasa cukup, dia menyelipkan tangannya di lutut dan tengkuk Melva. Membawanya hati-hati tanpa menyentuh lukanya. Zeon membaringkan Melva di kasur gadis itu. Dia menarik selimut hingga perutnya, mengelus pucuk kepalanya sekali lagi sebelum keluar dan menutup pintu.

"Pak Zeon kenapa dari kamar Melva?"

Sedikit terkejut mendapati salah satu pelayan melihatnya dari kamar Melva, dia merasa seperti kepergok selingkuh. Zeon mencari alasan klasik.

"Hanya mengecek, saya akan ke atas kalau begitu."

"Oh, silakan Pak."

***

Pagi harinya, pinggang Melva tidak kunjung membaik. Dia tertatih menuju kamar mandi dan mandi secara kilat. Melva sampai harus memegangi sisi pinggangnya yang lain sebagai penopang. Keadaan dapur sudah sibuk.

Juru masak dengan dua pelayan menyiapkan sarapan. Mereka menoleh mendengar suara derit kursi ditarik. Masih memegangi pinggang, Melva duduk perlahan. Gerakan itu menimbulkan satu spekulasi yang terlintas di pikiran para pekerja. Mereka saling pandang secara tersembunyi dan diam-diam memahami situasi.

"Ana, bisa tolong ambilkan minum?"

"Yang dingin atau biasa?"

Melva hendak menjawab saat suara sepatu terdengar menuruni tangga. Zeon sudah berpakaian rapi dalam setelan jas. Rambutnya tersisir rapi, berbeda dengan semalam yang terlihat santai.

Pagi ini jarak mereka terlihat jelas sebagai Bos dan asisten. Zeon dalam setelan jas sangat berbeda ketika mengenakan pakaian rumahan. Seperti karakter Zeon bisa dilihat dari apa yang dia kenakan. Melva merasakan atmosfernya juga berbeda.

Dalam suasana ini, tidak cocok berbincang santai seperti layaknya teman. Melva sudah mengakui kesalahan dan meminta maaf. Seharusnya itu menjadi awal perubahan sikapnya terhadap Zeon yang harus diperbaiki. Dan Melva akan memulainya hari ini.

"Selamat pagi, Pak." Melva menampilkan senyumnya.

"Pagi." Tatapan Zeon jatuh pada pinggangnya, "Pinggang kamu masih sakit?"

Mendapat tatapan dari berbagai sudut, Melva menjadi gugup. Dia melupakan orang-orang disekitarnya. Dari kamarnya ke dapur, dia berjalan seperti telah melakukan... Melva harus menjelaskan ini supaya gosip tentang dirinya tidak menjadi-jadi. Dia tidak mau dikira simpanan Bos apalagi wanita penggoda.

"Sudah lumayan baik. Terbentur kursi tidak terlalu sakit."

Tentu saja itu suatu kebohongan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status