Suara wajan mendesis saat Zeon berkutat di depan kompor. Melva duduk anteng di kursinya. Dia mengangkat tangan untuk menyangga kepala. Tidak tahu mengapa memperhatikan pria yang sedang memasak bisa semenarik ini. Akankah semua pria akan nampak seperti ini atau hanya yang memiliki ciri-ciri seperti Zeon? Tubuh tegap tinggi, bahu lebar, dan tangan cekatan.
Melva menggelengkan kepala menghilangkan imajinasinya yang semakin merembet jauh. Zeon hanya memasak, jadi kenapa Melva harus begitu menaruh perhatian? Menyedot habis isi minuman dalam kotak, Melva beranjak membuang sampahnya tanpa menimbulkan suara. Kebetulan itu ada di ujung, jadi dia harus melewati punggung Zeon. Ruangnya lumayan sempit untuk dua orang dewasa, Melva memiringkan badan, menghindari kontak fisik. Tanpa diduga saat Zeon memasukkan sedikit air dalam wajan, itu hampir terciprat pada tangannya. Zeon mundur setengah langkah untuk menghindar. Dan tabrakan itu terjadi. Perbedaan tenaga itu membuat Melva terhuyung hingga pinggangnya membentur senderan kursi lumayan keras. "Ah!" "Maafkan aku. Dimana kamu terluka?" Zeon mematikan kompor lalu menyimpan penggorengan yang ada di tangannya. Segera dia berbalik dan kebingungan melihat Melva merintih memegangi pinggangnya. Zeon takut salah meletakkan tangannya karena daerah benturan itu merupakan area yang lumayan privasi untuk dipegang seorang pria. Melva kesulitan menjawab sebab rasa ngilu itu menekan tenggorokannya. Tangan lainnya yang bebas hanya mencari sesuatu sebagai pegangan. Zeon yang peka menerima uluran tersebut. Zeon memapah Melva untuk duduk di sofa empuk yang lebih nyaman. "Kamu bisa memeriksa lukanya. Aku tidak akan melihat, setelah itu beritahu obat apa yang kamu perlukan. Aku akan menyiapkan makanannya." "Baiklah, terimakasih." Melva mendapatkan kembali suaranya. "Tidak, tidak. Ini adalah salahku." Memastikan Zeon benar-benar ada di dapur, Melva mengangkat bajunya, sisi pinggangnya sudah nampak biru namun tidak ada luka goresan. "Apakah sudah kamu periksa?" Zeon bertanya dari dapur. "Ya." Bau harum masakan semakin tercium. Zeon menarik meja mendekat, sepiring makanan diletakkan. Zeon duduk di samping Melva, masih terlihat kebingungan. Melva tidak menyangka Zeon begitu kikuk menghadapi situasi seperti ini. Zeon tentu harus diselamatkan dari rasa ketidaknyamanan ini. "Itu hanya memar, tidak apa-apa." "Bagaimana mungkin itu tidak apa-apa. Kamu makanlah, aku akan mencari salep." Zeon sudah berdiri namun duduk kembali, dia bertanya, "Bisakah kamu makan?" Melva tertawa canggung menangkap maksud pertanyaan dari Zeon. "Tentu saja haha, bawakan piringnya padaku. Aku sulit membungkuk." Meja ruang tamu hanya mencapai lutut. Melva berbohong saat mengatakan lukanya tidak apa-apa. Jangankan untuk membungkuk, bergerak sedikit saja pinggangnya terasa sakit. Zeon baru beranjak saat melihat Melva benar-benar bisa makan sendiri. Dia kembali dari laci kotak obat dan membawa beberapa jenis salep. Dia kurang tahu tentang semuanya dan akan membaca kegunaan salep itu sekaligus bertanya keluhan Melva supaya lebih pasti. Melva makan sambil menjawab pertanyaan Zeon mengenai keadaan lukanya. Setelah beberapa menit, Melva mengambil satu wadah. Zeon memperhatikan Melva yang hanya memegang salep itu. Melva mengangkat wajahnya bertatapan dengan Zeon. "Ini lebih cocok sepertinya." "Pakailah, kamu akan sulit tidur jika masih sakit." "Aku akan memakainya nanti." "Mengapa? Lebih cepat lebih baik." "Ya dan kamu akan melihatku membuka baju?" "Apa? Te-Tentu saja tidak. Aku akan berbalik." Zeon membelakangi Melva dengan tubuh kaku. "Aku akan memakainya nanti saja." Melva masih melancarkan protes. "Kenapa kamu begitu keras kepala? Aku akan menutup mataku, sungguh. Aku hanya memastikan kamu memakainya." Dengan pertimbangan beberapa detik, Melva memegang ujung bajunya. Belum begitu yakin, Melva berkata dengan nada mengancam, "Tinjuku menanti jika kamu berani berbalik." "Ya, ya. Tinju saja Bosmu." Mengaplikasikan salep berakhir dengan cepat. Melva membiarkan Zeon tetap seperti itu selama dua menit. Kemudian Melva meninju pelan pundak Zeon. "Aku sudah selesai." "Kamu benar-benar meninju Bosmu." "Kamu yang memintanya sendiri." Melva menunduk, memilin jarinya sebelum melanjutkan, "Aku minta maaf sudah bersikap kurang ajar padamu. Aku sangat tidak sopan saat berdebat denganmu di apartemenku. Aku akui itu bukan hal baik yang dilakukan karyawan baru pada atasannya. Maafkan aku." "Itu sudah berlalu, aku memaafkan kamu." Yang terpenting kamu sudah ada di sini bersamaku, lanjut Zeon dalam hatinya. "Pergilah tidur." "Aku masih kenyang," jawab Melva. "Mau menonton film?" Mereka bertatapan sejenak, tidak mendengar penolakan dari Melva, Zeon mengambil remot dan menekannya mencari saluran di televisi. Melva merasa pegal, dia membenarkan posisi duduknya. Melva mendesis saat melakukan itu. Zeon segera menoleh dengan raut khawatir yang tak terbaca oleh Melva. "Ada apa? Butuh ke toilet?" Bukannya menjawab, Melva justru mengejeknya, "Kamu sudah cocok menjadi suami." "Uhuk." Zeon kembali memusatkan pandangannya pada televisi, dia menekan tombol acak yang mana semakin terlihat jelas bahwa dia salah tingkah. Melva menganggapnya sedikit lucu. Dia menatap fitur wajah Zeon dari samping, mengabsen kebaikan pria ini dalam benaknya. Sebanyak apapun Melva ingin membencinya atas insiden pemindahan tempat tinggal, pria ini pada dasarnya adalah orang yang sangat perhatian. Semua umpatan yang pernah dia ucapkan secara diam-diam tentang Zeon sebelumnya, rasanya ingin Melva telan kembali. Meskipun belum tahu apa alasan dibalik pindahnya ke rumah ini, Melva setidaknya menjadi tahu bagaimana gaya dan sifat rumahan Zeon. "Ayo menonton ini, durasinya tidak banyak. Kamu harus bangun pagi. Besok masih harus menjalani pelatihan dengan Sarah." "Siap Bos." Film itu keluaran lama, dialog dan efek suaranya seperti lagu pengantar tidur. Melva sudah menguap di menit kesepuluh dan tertidur di menit dua puluh. Zeon sudah meliriknya beberapa kali, segera mematikan televisi. Rambut Melva sangat halus saat Zeon menyentuhnya. Tidak mendapat respon apapun, dia dengan berani mengelus helaian surai gadis itu. Zeon memandang wajah lelap Melva. Setelah merasa cukup, dia menyelipkan tangannya di lutut dan tengkuk Melva. Membawanya hati-hati tanpa menyentuh lukanya. Zeon membaringkan Melva di kasur gadis itu. Dia menarik selimut hingga perutnya, mengelus pucuk kepalanya sekali lagi sebelum keluar dan menutup pintu. "Pak Zeon kenapa dari kamar Melva?" Sedikit terkejut mendapati salah satu pelayan melihatnya dari kamar Melva, dia merasa seperti kepergok selingkuh. Zeon mencari alasan klasik. "Hanya mengecek, saya akan ke atas kalau begitu." "Oh, silakan Pak." *** Pagi harinya, pinggang Melva tidak kunjung membaik. Dia tertatih menuju kamar mandi dan mandi secara kilat. Melva sampai harus memegangi sisi pinggangnya yang lain sebagai penopang. Keadaan dapur sudah sibuk. Juru masak dengan dua pelayan menyiapkan sarapan. Mereka menoleh mendengar suara derit kursi ditarik. Masih memegangi pinggang, Melva duduk perlahan. Gerakan itu menimbulkan satu spekulasi yang terlintas di pikiran para pekerja. Mereka saling pandang secara tersembunyi dan diam-diam memahami situasi. "Ana, bisa tolong ambilkan minum?" "Yang dingin atau biasa?" Melva hendak menjawab saat suara sepatu terdengar menuruni tangga. Zeon sudah berpakaian rapi dalam setelan jas. Rambutnya tersisir rapi, berbeda dengan semalam yang terlihat santai. Pagi ini jarak mereka terlihat jelas sebagai Bos dan asisten. Zeon dalam setelan jas sangat berbeda ketika mengenakan pakaian rumahan. Seperti karakter Zeon bisa dilihat dari apa yang dia kenakan. Melva merasakan atmosfernya juga berbeda. Dalam suasana ini, tidak cocok berbincang santai seperti layaknya teman. Melva sudah mengakui kesalahan dan meminta maaf. Seharusnya itu menjadi awal perubahan sikapnya terhadap Zeon yang harus diperbaiki. Dan Melva akan memulainya hari ini. "Selamat pagi, Pak." Melva menampilkan senyumnya. "Pagi." Tatapan Zeon jatuh pada pinggangnya, "Pinggang kamu masih sakit?" Mendapat tatapan dari berbagai sudut, Melva menjadi gugup. Dia melupakan orang-orang disekitarnya. Dari kamarnya ke dapur, dia berjalan seperti telah melakukan... Melva harus menjelaskan ini supaya gosip tentang dirinya tidak menjadi-jadi. Dia tidak mau dikira simpanan Bos apalagi wanita penggoda. "Sudah lumayan baik. Terbentur kursi tidak terlalu sakit." Tentu saja itu suatu kebohongan.Zeon memperhatikan Melva dengan seksama, melihat tanda-tanda halus dari kebohongan di mata Melva. Dia memutuskan untuk memberinya beberapa dua hari libur. Gerakan Melva masih terbatas, sebuah bukti dari rasa sakit yang masih tersisa dari insiden semalam.Hanya satu hari sejak Melva mulai bekerja sebagai asisten pribadinya, belum cukup waktu untuk menyesuaikan diri dengan perannya yang baru. Selain itu, dia telah menghabiskan beberapa hari sebelumnya dalam pelatihan, hampir tidak bisa disebut pekerjaan dan dia sudah diberi cuti. Sekarang, Melva mendapati dirinya diberi dua hari istirahat. Tanpa dia sadari, selama dua hari ini, para staf rumah tangga bergosip tentangnya. Setelah baru saja pindah ke kediaman Zeon, Melva menjadi bahan spekulasi. Pelayan-pelayan itu berbisik di antara mereka sendiri, menggambarkannya sebagai wanita penggoda dan berasumsi bahwa Zeon terlibat dalam hubungan intim kasar dengannya, itulah sebabnya memar dari insiden kursi terjadi. Penjelasan Melva sepertinya
Setelah menjalani pelatihan intensif sampai akhir pekan, akhirnya Melva siap untuk memulai perannya sebagai personal asisten pada hari Senin. Namun, kegembiraannya segera berubah menjadi kegelisahan ketika Zeon bersikeras untuk mengantar ke kantor dari awal kepindahan. Meskipun Melva menolak dengan sopan, Zeon bersikeras untuk mereka berangkat bersama. Itu bukan hanya saran; rasanya lebih seperti perintah, sesuai sifat Zeon. Dengan perasaan tidak nyaman yang menghinggap di perutnya, Melva dengan enggan menuruti keteguhan Zeon dalam membujuknya, ralat, memaksanya. Perubahan sikap Zeon terhadap Melva memang mengejutkan banyak orang di sekitarnya, terutama para pekerja rumah tangga yang mengenal Zeon sebagai sosok yang dingin dan acuh. Namun, sikap Zeon yang lebih hangat dan perhatian terhadap Melva menunjukkan bahwa ada sesuatu yang istimewa di antara hubungan mereka. Isi kepala setiap pekerja rumah tangga pagi itu semakin tumpang tindih dengan berbagai spekulasi. *** Pada hari
Lembur pertama Melva adalah satu Minggu kemudian. Dia masih senantiasa berdampingan dengan Zeon. Saat ini Melva tengah berdiri di samping pria itu yang duduk di kursi kerjanya. Melva sudah selesai dengan pekerjannya, dia membacakan jadwal Zeon satu Minggu ke depan. "Dan yang terakhir pertemuan dengan departemen keuangan pada hari Rabu tentang rencana pendanaan proyek baru." Zeon menjawab tanpa mengangkat wajahnya, jarinya masih lincah mengetik di keyboard, "Ganti, majukan di hari Selasa. Saya masih luang di hari itu, lebih baik selesaikan lebih cepat." "Baik Pak, sesuai perintah, saya akan menghubungi departemen terkait tentang perubahan ini." Sudah hampir jam sebelas malam. Zeon tidak memberitahu sejauh mana pekerjaannya akan selesai. Melva sudah menawarkan bantuan, namun Zeon tetap menolak. Terlintas kejadian saat Melva tertidur di sofa dan ruang kerja rumahnya, Zeon mengira Melva mendesak karena mengantuk. Sebenarnya, pekerjaan ini masih lama selesai. Melva tidak terl
Zeon masih merenungi kata-kata dari Farel saat sebuah nomor tak dikenal tertera di layar ponsel. Cahaya redup dari lampu meja menyinari wajahnya yang dipenuhi dengan keraguan."Haruskah aku mengangkat?" batinnya, jari-jemarinya bergetar di atas layar ponsel.Farel baru saja memberikan nasihat yang mendalam. Sekarang, dengan nada serius yang masih menggema dalam ingatannya, Zeon duduk dengan tegang di kursi kerjanya, pikirannya masih dipenuhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang dibagikan oleh Farel.Namun, rasa penasaran yang menggelitiknya akhirnya menang. Dengan nadi berdegup kencang, Zeon menekan tombol untuk mengangkat panggilan tersebut.Suara di ujung sana membuatnya terdiam sejenak, mencoba mengenali siapa yang mungkin berada di balik nomor tersebut. Panggilan berlangsung selama lima menit. Zeon menutup telepon dengan gerakan cepat, tetapi tangannya gemetar. Raut wajahnya yang semula tenang berubah menjadi gelisah, matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam. Bibirnya sediki
Karena sopirnya mengalami cedera kaki akibat kecelakaan, Zeon menjadi terpaksa harus mengendarai mobilnya sendiri. Sopir itu, bernama Pak Budi, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-harinya. Namun, kecelakaan itu mengharuskannya untuk beristirahat di rumah sakit demi kesembuhan. Pagi itu, di meja makan, Zeon dan Melva duduk bersama untuk sarapan. Zeon sibuk mengupas udang dan menatanya rapi di piring Melva. Saat itu, Melva mengangkat kepalanya sebentar, mencuri pandang ke meja. Dia membiarkan Zeon melakukan apapun yang pria itu mau. "Apakah tidak apa-apa untuk berkendara sendiri? Tidak ada sopir pengganti sementara?" tanyanya Melva setelah menyantap udang dari Zeon. Zeon menghentikan aktivitasnya sejenak, memikirkan jawaban yang tepat. Cedera Pak Budi memang menjadi perhatian, tetapi ia ingin memastikan bahwa Melva punya kenyamanan dalam mobilitasnya. "Aku akan memikirkannya. Jadi jika kamu butuh berpergian, kamu tidak perlu khawatir soal taksi," jawab Zeon
Pagi itu, sinar matahari merayapi kamar Melva, mengusiknya dari tidurnya dengan lembut. Tanpa tergesa, ia memulai ritualnya dengan membersihkan wajah yang masih lembab dari tidur, lalu menyikat gigi. Melva sengaja bangun siang di hari Minggu ini. Begitu langkahnya menghampiri ruang makan, kesunyian yang tak biasa menyambutnya. Dengan rasa penasaran, Melva melihat meja makan yang terlihat sunyi, hanya dihiasi oleh sajian yang terselimuti rapat di bawah penutup makanan. Karena perutnya belum merasa lapar, ia memutuskan untuk membuat jus wortel segar sebagai pendamping paginya. Dengan menggunakan blender, Melva meracik jusnya, membiarkan aroma segar memenuhi dapur. Setelah selesai, ia memutuskan untuk menikmati pagi di taman kecil di samping rumah Zeon. Dengan segelas jus wortel di tangan, langkahnya ringan melintasi pintu samping rumah. Sinar matahari menyapu taman kecil di samping rumah Zeon dengan kehangatan yang menyegarkan. Pepohonan yang menjulang tinggi memberikan teduh,
Seorang sopir pengganti yang menggantikan pamannya sementara itu bernama Adam, dia telah menyetujui tawaran tersebut dari Zeon. Meskipun awalnya ragu-ragu, Adam merasa terhormat dengan tawaran tersebut, dan dia bertekad untuk memberikan yang terbaik dalam tugasnya. Setelah mengantar Adam ke pintu, Zeon berjalan menuju dapur, menemui Melva yang sedang makan di meja makan. Melva melihatnya dengan tatapan penasaran, mencermati setiap gerakannya dengan teliti."Sudah selesai? Apa kamu setuju dia jadi sopir sementara?" tanyanya, suara terdengar sedikit penasaran.Zeon hanya menjawab dengan anggukan pelan, "Mm," lalu membuka kulkas untuk mengambil air dingin.Di balik ekspresi tenangnya, Zeon merasa tegang dengan perubahan yang akan terjadi dalam rumah dengan kehadiran Adam sebagai sopir baru. Melva mengeluh, "Kenapa kamu tidak bilang dia akan segera pergi? Aku jadi tidak berpamitan. Itu kurang sopan."Sementara itu, Zeon membuka tutup botol, menenggak langsung dari botol miliknya. Melv
Melva merasa perlahan sadar dari mimpinya yang terputus-putus oleh suara alarm yang nyaring. Dengan gerakan malas, dia mencoba menjangkau ponselnya yang biasanya terletak di bawah bantal. Namun, kebingungannya semakin bertambah saat tangannya hanya meraba kosong di bawah bantal.Akhirnya, dia terpaksa membuka mata, membiarkan cahaya pagi yang masuk menyesakkan matanya. Dengan perlahan, dia memungut ponselnya dari nakas, mematikan alarm yang terus berdering.Melva tahu bahwa jika dia tidak segera bangun, alarm akan mengganggu penghuni rumah ini. Dengan gerakan peregangan yang lambat, dia memulai ritual paginya, memilih pakaian yang sesuai untuk hari itu setelah membuka lemari. Melva menyibak tirai jendela, merenung sejenak, mengamati pria yang tengah bekerja dengan tekun di halaman rumah Zeon, memotong rumput dengan alat pemotong. Sudah sejak kepindahannya dia memperhatikan aktivitas rumah tangga yang berlangsung di sekitar tempat tinggal barunya. Sejak kepindahannya ke sini, dia mene
Pukul delapan malam ketika Melva sampai di rumah. Ia disambut oleh pemandangan Zeon yang duduk santai di sofa depan televisi, tampak asyik menonton sebuah acara. Di tengah cahaya lembut lampu ruang tamu, mereka saling tersenyum, sebuah tatapan penuh kebahagiaan yang tidak perlu kata-kata. Melva berjalan mendekat dan duduk di samping Zeon. Tanpa ragu, Zeon mengangkat tangannya untuk mengelus surai panjang Melva yang tergerai. Melva memotong jarak lagi, menyandarkan kepalanya di pundak Zeon dengan lembut, menikmati kehangatan dan ketenangan momen itu. Zeon memecah keheningan dengan sebuah tawaran lembut, "Mau makan camilan malam?" tanya Zeon, suaranya penuh kelembutan. Zeon merasakan gerakan lembut di pundaknya dan mendongak. Dengan senyum manis, ia menegakkan kepalanya dan mengangguk. Zeon berdiri, mengantarkan langkahnya menuju dapur dengan gerakan yang ringan dan penuh kepastian. Di dapur, Zeon memulai ritual kecilnya, hanya mengupas beberapa buah segar kemudian memotongnya men
Melva sudah tiba di kafe terlebih dahulu, memilih meja di sudut yang nyaman, dekat jendela yang memandang ke taman kecil di luar. Dia duduk dengan tenang, memesan secangkir kopi panas, sambil sesekali melirik ke pintu untuk melihat apakah Helena sudah datang. Lima menit kemudian, Helena muncul dengan langkah cepat, menyusuri jalan setapak di antara meja-meja kafe. Dia melihat Melva dan tersenyum, menuju ke mejanya."Melva!" Helena menyapa, meletakkan tasnya di meja dan duduk di kursi di hadapan sahabatnya. "Jadi, kalian pacaran sekarang?" tanya Helena tanpa basa-basi, matanya mengungkapkan rasa ingin tahunya yang mendalam.Melva tidak merasa perlu menyembunyikannya. "Ya," jawabnya singkat, sambil menyesap jus jeruk di hadapannya dengan santai. Ekspresi wajahnya menunjukkan kepuasan dan kebanggaan, namun juga sedikit kekhawatiran yang mungkin tidak sepenuhnya dia sadari.Helena mengernyitkan dahi, jelas terkejut. "Melva, aku tidak bisa percaya ini. Proses pendekatan kalian terlalu cepa
Tiba di kota tempat tinggalnya, Zeon tidak ragu menggandeng tangan Melva, menunjukkan kedekatan dan kehangatan di tengah hiruk-pikuk bandara. Sementara itu, sopir pribadinya, yang sudah menunggu dengan sabar, segera meraih dua koper yang dibawa mereka dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil.Begitu kedua orang tersebut masuk ke dalam mobil, kendaraan itu melaju dengan mulus meninggalkan area bandara, menyusuri jalan-jalan kota yang mulai menampakkan kehidupan siangnya. Menyadari bahwa mereka hanya sempat mengisi perut dengan roti selai sebelum pulang, Zeon memutuskan untuk menelepon koki di rumah, memintanya untuk menyiapkan makan siang lebih awal dari jadwal.Dengan demikian, mereka bisa langsung menikmati hidangan yang telah disiapkan dengan penuh perhatian segera setelah sampai di rumah. Suasana di mobil terasa nyaman dan akrab, sementara Zeon dan Melva mengobrol ringan, menikmati perjalanan mereka yang tampaknya semakin mendekatkan mereka pada kehangatan rumah dan hidangan yang me
"Apakah kamu pernah mengalami ini sebelumnya?" Suara dokter terdengar tenang, berusaha mengurangi ketegangan yang meliputi ruangan.Melva duduk di ruang pemeriksaan dokter, terbalut dalam kekhawatiran yang mendalam. Dinding putih ruangan itu seakan menekan perasaannya, sementara Zeon, suaminya, duduk di sampingnya, berusaha memberi dukungan. Dokter, seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun dengan mata yang penuh empati, menatap Melva dari meja kerjanya, mengamati setiap gerak tubuh dan ekspresi wajahnya.Melva, yang sudah tampak gelisah sejak masuk, hanya membisu. Dia menatap lantai, mencoba menenangkan diri dari gelombang kecemasan yang menghantamnya. Zeon meraih tangannya dan mengelus punggungnya dengan lembut, memberikan dukungan tanpa kata."Tenang. Cobalah untuk menjawab pertanyaan dokter."Melva menarik napas dalam-dalam dan mengangkat kepala, matanya bertemu dengan tatapan dokter. Dengan suara yang bergetar, dia akhirnya berkata, "Baru kali ini."Dokter mengangguk perlahan
Matahari sudah terbenam, dan suasana di jalan raya terasa tenang. Namun, seiring dengan malam yang semakin larut, suasana tiba-tiba berubah drastis.Dalam jarak beberapa puluh meter di depan mereka, sebuah truk besar yang membawa muatan berat tampak mengalami kecelakaan. Truk itu terbalik dan menutup seluruh jalur, sementara barang-barang yang dibawanya berserakan di sepanjang jalan. Kecelakaan ini menyebabkan lalu lintas berhenti total. Lampu lalu lintas di sekitar area tersebut berkedip-kedip sebelum akhirnya padam, memicu pemutusan listrik yang lebih luas di daerah tersebut.Seketika, jalan-jalan di sekitar mereka menjadi gelap gulita. Lampu jalan dan lampu kendaraan di sekitar hilang, dan hanya ada kegelapan yang menggelayuti suasana. Zeon dan Melva mencoba menyalakan lampu mobil mereka dengan intensitas penuh, tetapi cahaya yang dipancarkan hanya menambah kesan gelap karena keterbatasannya.Melva mencoba menenangkan Zeon, yang tampak frustrasi dengan situasi ini. "Tenang, Zeon. K
Melva tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika melihat bahwa Zeon telah memesan sebuah apartemen untuk mereka. Terlepas dari fakta bahwa ini adalah perjalanan bisnis singkat, kesediaan Zeon untuk memesan tempat yang begitu nyaman terasa seperti kejutan yang menyenangkan. Namun, kelegaan Melva segera datang ketika dia melihat ada dua kamar tidur di apartemen ini. Itu berarti mereka akan memiliki ruang pribadi masing-masing.Apartemen itu memiliki desain yang modern dan elegan, dengan dinding putih bersih dan lantai kayu gelap yang memberikan kesan hangat dan nyaman. Ruang tamu yang luas dilengkapi dengan sofa empuk berwarna abu-abu, meja kopi kaca, dan sebuah televisi layar datar di dinding. Di sudut ruang tamu, terdapat sebuah meja makan kecil dengan empat kursi. Di sampingnya, jendela besar membingkai pemandangan kota yang gemerlap, memberi cahaya alami yang melimpah ke dalam ruangan.Di sebelah ruang tamu, terdapat dapur terbuka yang lengkap dengan peralatan modern: kulkas,
Melva dan Zeon memasuki ruang tunggu bandara. Setelah melalui pemeriksaan keamanan dan menuju ke gate, mereka akhirnya menemukan tempat duduk mereka di ruang tunggu yang cukup nyaman. Jam menunjukkan pukul 09:15 pagi, dan mereka bersiap-siap untuk boarding.Mereka berdua memeriksa tiket mereka sekali lagi, memastikan segala sesuatu. Jam keberangkatan tercatat pada pukul 10:00 pagi.Sekitar pukul 09:45, boarding dimulai. Melva dan Zeon melaju melalui pintu boarding, memasuki pesawat. Mereka menemukan kursi mereka di kelas ekonomi, yang terletak di dekat jendela. Melva duduk di dekat jendela sementara Zeon duduk di sampingnya di kursi tengah.Pesawat mulai lepas landas tepat waktu pada pukul 10:00 pagi. Dengan mulus, mesin pesawat meraung dan pesawat meninggalkan landasan. Melva menatap pemandangan kota yang semakin menjauh dari jendela, terpesona oleh pemandangan yang membentang luas di bawahnya. Zeon, di sisi lain, mengeluarkan tablet dari tasnya dan mulai mencari beberapa film untuk
Helena menatap ponselnya, seolah-olah berharap Melva bisa merasakan kehangatan dan kejujuran dari kata-katanya melalui telepon. "Aku hanya ingin kamu tahu bahwa keputusanmu untuk tetap membuka hati dan mempertahankan hubungan ini lebih penting daripada apa yang dikatakan orang lain. Kebenaran cinta adalah tentang keberanian untuk menghadapi ketakutan dan merangkul kebahagiaan yang datang. Jangan biarkan ketakutan dan gosip menghentikanmu dari menjalani sesuatu yang bisa membuatmu bahagia. Jangan biarkan Zeon merasa kehilangan kesempatan untuk mencintaimu hanya karena kamu takut pada pandangan orang luar." Helena mengakhiri percakapan dengan nada lembut namun penuh harapan. "Kamu memiliki kekuatan untuk membuat keputusan yang benar untuk dirimu sendiri." Melva menatap ponselnya, merenung dengan hati yang bergejolak. Suara Helena masih menggema dalam pikirannya, membangkitkan perasaan yang telah lama ditekan. Ketika dia berdiri di depan koper yang hampir selesai dikemas, dia tidak b
Setelah makan malam, Melva bergegas menuju kamar tidurnya. Dia berdiri di depan koper besar yang terbuka lebar di tengah kamar, merencanakan perjalanan bisnis yang akan membawanya ke kota yang jauh. Dengan cekatan, dia mulai memasukkan barang-barang ke dalam koper, setiap item ditimbang dengan hati-hati untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Di bagian paling atas, Melva menempatkan pakaian kerja yang telah disiapkannya dengan teliti: beberapa set blazer elegan, blus berpotongan rapi, dan celana panjang yang serasi. Setiap potong pakaian dipilih untuk memberi kesan profesional dan percaya diri di hadapan klien. Selain itu, ia juga membawa beberapa gaun yang sederhana namun mewah, untuk menghadiri acara sosial yang mungkin terjadi selama perjalanannya. Tak kalah penting, Melva memasukkan perlengkapan mandi dalam sebuah kantong plastik transparan—sabun, sampo, dan pelembap kulit yang selalu digunakannya untuk menjaga penampilan dan kesehatannya tetap optimal. Dia juga memasukka