Melva berdiri di depan meja Rere, memperhatikan bagaimana Rere dengan cermat merapikan meja kerjanya. Setiap buku dan dokumen disusun dengan rapi, sedangkan pena-pena dan perangkat kerja lainnya diletakkan dengan teratur di kotak. Meja Rere terletak strategis di samping pintu ruangan Zeon, yang membuatnya mudah terlihat bagi siapa pun yang melewati ruangan. Adalah hal yang kurang baik jika dibiarkan berantakan saat jam makan siang. Setelah memastikan bahwa meja kerja Rere sudah rapi, Melva dan Rere berjalan beriringan menuju kantin kantor. Rere memecah keheningan dengan menyebutkan tentang menu spesial hari itu. Melva, yang penasaran, segera menanggapinya dengan bertanya "Apa itu?" Rere mengaku tidak memiliki informasi yang cukup, namun dia mendengar bahwa menu spesial tersebut adalah makanan penutup. Meskipun belum tahu pasti apa makanan penutup tersebut, kedua wanita itu merasa tertarik dengan kemungkinan untuk menikmati sesuatu yang manis dan lezat setelah makan siang. Melva
Walaupun matahari sudah hampir tenggelam di balik gedung-gedung perkantoran yang menjulang tinggi, suasana di dalam ruangan masih terasa hidup. Melva, dengan cepat dan tanpa suara, merapikan tumpukan kertas dan pena-pena yang tersebar di meja kerjanya. Dia merasa lega bahwa hari ini tidak akan terjadi lembur lagi, setidaknya untuk kali ini. Sementara itu, Zeon yang biasanya juga sering terlibat dalam lembur, tampaknya telah memutuskan untuk pulang lebih awal. Saat Melva duduk kembali, jemarinya menggeluti layar ponsel dengan bosan. Aksinya di toko online seolah menjadi semacam pelarian dari rutinitas yang monoton. Di tengah pencarian barang-barang yang tidak jelas, sebuah suara terdengar, lantang tapi lembut, menggelegak di belakangnya."Apa yang kamu lihat?" pertanyaan tiba-tiba itu seperti bumerang, memantul di udara dengan kejutan tak terduga.Secara refleks Melv segera mengunci ponsel, sebagai upaya untuk menyembunyikan apa yang sedang dilihatny. Matanya berbinar-binar dengan ket
Dalam hampir satu bulan lebih tinggal bersama, Melva merasa bahwa interaksi antara dirinya dan Zeon tidak seimbang. Selama ini, Zeon seringkali yang mengambil inisiatif untuk memulai obrolan dan bertanya dengan penuh perhatian kepada Melva. Rasanya tidak adil bagi Zeon melihat bahwa dia selalu yang aktif berusaha menjaga hubungan mereka tetap hidup.Sambil sibuk di dapur, dia membuat dua gelas coklat hangat dengan harapan bisa menciptakan momen kebersamaan yang lebih hangat dengan Zeon. Setelah selesai, dengan langkah mantap, Melva membawa gelas-gelas itu ke ruang keluarga. Melva memutuskan untuk melakukan sesuatu yang lebih mengejutkan.Dia naik ke lantai dua, di mana kamar Zeon berada. Melva berhenti di depan pintu kamar Zeon, mengetuk pelan. Ini masih jam sembilan, seharusnya Zeon belum tidur. Saat Zeon membuka pintu kamarnya, dia terkejut melihat Melva di sana. Ini pertama kalinya Melva datang ke lantai dua atas kemauannya sendiri sejak mereka tinggal bersama. Selama ini, pertemua
Kecanggungan terjadi antara Melva dan Zeon. Melva, yang biasanya ramah dan ceria, menjadi sangat tertunduk dan diam sejak mereka duduk di meja makan. Zeon, di sisi lain, tampak lebih tenang dan terkontrol, meskipun tidak bereaksi banyak setelah kejadian tersebut."Makan perlahan," kata Zeon kepada Melva dengan nada yang lembut. Dia khawatir Melva bisa tersedak karena makan terlalu cepat. Melva hanya mengangguk, tetapi wajahnya tetap menunduk ketika dia melanjutkan makan.Saat Melva hampir selesai dengan makanannya, dia tiba-tiba tersadar bahwa ponselnya tertinggal di ruang teater. Tanpa berkata apa-apa, dia berdiri untuk pergi ingin mengambilnya."Aku meninggalkan ponselku."Zeon segera menahannya, "Duduklah, biar pelayan yang mengambilkan untukmu."Komentar Zeon membuat telinga Melva memerah. Dia merasa malu karena Zeon harus menegurnya secara tidak langsung. Pelayan segera melangkah masuk ke ruang teater dan tidak lama kemudian kembali dengan ponsel Melva. Melva mengucapkan "terima
Sebuah papan nama bertuliskan 'Lullaby' terletak di pojok kiri bangunan. Restoran ini berada di sudut jalan utama kota, dengan jendela besar yang memungkinkan cahaya matahari sore masuk ke dalam ruangan. Di dalam, dekorasi restoran terlihat elegan namun tidak terlalu berlebihan. Dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan abstrak yang dipasang dengan rapi, sementara meja-meja kayu gelap tersebar di sepanjang ruangan, dilengkapi dengan kursi kulit yang nyaman.Zeon lebih dari familiar dengan tempat ini, mengarahkan Melva ke ruang VIP di bagian belakang. Mereka melewati lantai kayu yang bersih dan kamar-kamar kecil yang tersembunyi dengan pintu kayu geser, menciptakan suasana eksklusif yang tenang di tengah keramaian restoran. Ruang VIP itu sendiri terpisah dari area umum dengan partisi kaca berwarna gelap, memungkinkan para tamu untuk menikmati makanan mereka dengan privasi tanpa sepenuhnya terisolasi dari suasana restoran.Melva melihat sekeliling dengan mata terbuka lebar, takjub denga
"Jadi, dia yatim piatu yang tinggal di panti asuhan sampai batas umurnya dan tidak diadopsi siapapun. Berapa usianya sekarang?"Farel memandang Zeon dengan pandangan penuh tanda tanya. Mencoba mencerna informasi yang baru saja didapat."Seharusnya 21 atau 22, dia baru lulus universitas tahun ini," jawab Zeon dengan tenang, tetapi pandangannya tetap kabur, mengindikasikan pikirannya melayang ke tempat lain. Dia menyesap cairan dalam gelasnya yang diputar perlahan.Keduanya duduk di pojok kelab yang tenang di sore hari, di mana lampu-lampu remang-remang menyorot sofa-sofa dan ornamen-ornamen artistik yang memperindah ruangan. Suasana sepi memungkinkan mereka untuk bercengkrama tanpa gangguan.Farel memutar angka-angka usia yang Zeon sebutkan dalam pikirannya. Hitungannya terus berlanjut, sampai akhirnya dia menemukan sesuatu yang membuatnya terperangah."Jangan bilang gadis itu masih anak di bawah umur saat itu," gumamnya, matanya melebar dalam keheranan.Zeon memandang Farel, matanya k
Cuaca Sabtu sore masih terasa panas. Dengan langit yang terbakar sinar jingga senja, Melva duduk santai di teras samping rumah. Di tangannya, dia memegang cup eskrim ukuran medium dengan tiga rasa favoritnya: vanila, cokelat, dan stroberi. Dia menyesap eskrim itu dengan nikmat, sambil memandang taman belakang yang terkena sinar matahari senja yang hangat, menciptakan bayangan-bayangan panjang di atas rumput yang gembur.Melva duduk dengan santai, menumpukan kakinya yang telanjang di kaki yang lain. Pakaiannya simpel: hanya kaus putih polos dan celana pendek senada, rambutnya yang panjang dan sedikit bergelombang dicepol asal-asalan, tergerai agak liar oleh angin senja yang lembut. Dia merasakan hangatnya sinar mentari yang bersembunyi di balik pohon-pohon di halaman belakangnya.Saat Melva masih menikmati eskrimnya, terdengar suara mendesis dari dekatnya. Seekor lebah terbang mendekat, mengganggu kedamaian senja yang sejenak dia rasakan. Melva menoleh dengan cepat, mencari sumber suar
Pukul setengah tujuh malam, Zeon keluar dari kamarnya dengan langkah ringan menuruni tangga. Ruang dapur yang luas segera terasa hangat oleh kehadirannya. Dia menggosok rambutnya yang masih setengah kering dengan handuk, lalu melangkah ke arah kulkas yang terbuka.Dua tangannya dengan gesit meraih beberapa buah buah-buahan yang tersusun rapi di dalam kulkas. Dia memilih buah naga yang terlihat segar dan beberapa pisang. Dengan lincah, Zeon mengambil pisau dapur memotong buah-buahan itu untuk memudahkannya hancur saat dihaluskan.Setelah buah-buahan dipotong-potong, Zeon menaruhnya dalam blender kaca berkilau yang sudah disiapkan di atas meja dapur. Dia mengukur secangkir air dingin dari dispenser dan menuangkannya ke dalam blender bersama dengan buah-buahan yang sudah dipotong. Dengan satu gerakan lancar, Zeon menutup penutup blender dan menghidupkan mesinnya.Mesin blender menggema di dalam ruangan, mengubah buah-buahan segar menjadi jus yang lembut dan menyegarkan. Zeon menatap deng
Pukul delapan malam ketika Melva sampai di rumah. Ia disambut oleh pemandangan Zeon yang duduk santai di sofa depan televisi, tampak asyik menonton sebuah acara. Di tengah cahaya lembut lampu ruang tamu, mereka saling tersenyum, sebuah tatapan penuh kebahagiaan yang tidak perlu kata-kata. Melva berjalan mendekat dan duduk di samping Zeon. Tanpa ragu, Zeon mengangkat tangannya untuk mengelus surai panjang Melva yang tergerai. Melva memotong jarak lagi, menyandarkan kepalanya di pundak Zeon dengan lembut, menikmati kehangatan dan ketenangan momen itu. Zeon memecah keheningan dengan sebuah tawaran lembut, "Mau makan camilan malam?" tanya Zeon, suaranya penuh kelembutan. Zeon merasakan gerakan lembut di pundaknya dan mendongak. Dengan senyum manis, ia menegakkan kepalanya dan mengangguk. Zeon berdiri, mengantarkan langkahnya menuju dapur dengan gerakan yang ringan dan penuh kepastian. Di dapur, Zeon memulai ritual kecilnya, hanya mengupas beberapa buah segar kemudian memotongnya men
Melva sudah tiba di kafe terlebih dahulu, memilih meja di sudut yang nyaman, dekat jendela yang memandang ke taman kecil di luar. Dia duduk dengan tenang, memesan secangkir kopi panas, sambil sesekali melirik ke pintu untuk melihat apakah Helena sudah datang. Lima menit kemudian, Helena muncul dengan langkah cepat, menyusuri jalan setapak di antara meja-meja kafe. Dia melihat Melva dan tersenyum, menuju ke mejanya."Melva!" Helena menyapa, meletakkan tasnya di meja dan duduk di kursi di hadapan sahabatnya. "Jadi, kalian pacaran sekarang?" tanya Helena tanpa basa-basi, matanya mengungkapkan rasa ingin tahunya yang mendalam.Melva tidak merasa perlu menyembunyikannya. "Ya," jawabnya singkat, sambil menyesap jus jeruk di hadapannya dengan santai. Ekspresi wajahnya menunjukkan kepuasan dan kebanggaan, namun juga sedikit kekhawatiran yang mungkin tidak sepenuhnya dia sadari.Helena mengernyitkan dahi, jelas terkejut. "Melva, aku tidak bisa percaya ini. Proses pendekatan kalian terlalu cepa
Tiba di kota tempat tinggalnya, Zeon tidak ragu menggandeng tangan Melva, menunjukkan kedekatan dan kehangatan di tengah hiruk-pikuk bandara. Sementara itu, sopir pribadinya, yang sudah menunggu dengan sabar, segera meraih dua koper yang dibawa mereka dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil.Begitu kedua orang tersebut masuk ke dalam mobil, kendaraan itu melaju dengan mulus meninggalkan area bandara, menyusuri jalan-jalan kota yang mulai menampakkan kehidupan siangnya. Menyadari bahwa mereka hanya sempat mengisi perut dengan roti selai sebelum pulang, Zeon memutuskan untuk menelepon koki di rumah, memintanya untuk menyiapkan makan siang lebih awal dari jadwal.Dengan demikian, mereka bisa langsung menikmati hidangan yang telah disiapkan dengan penuh perhatian segera setelah sampai di rumah. Suasana di mobil terasa nyaman dan akrab, sementara Zeon dan Melva mengobrol ringan, menikmati perjalanan mereka yang tampaknya semakin mendekatkan mereka pada kehangatan rumah dan hidangan yang me
"Apakah kamu pernah mengalami ini sebelumnya?" Suara dokter terdengar tenang, berusaha mengurangi ketegangan yang meliputi ruangan.Melva duduk di ruang pemeriksaan dokter, terbalut dalam kekhawatiran yang mendalam. Dinding putih ruangan itu seakan menekan perasaannya, sementara Zeon, suaminya, duduk di sampingnya, berusaha memberi dukungan. Dokter, seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun dengan mata yang penuh empati, menatap Melva dari meja kerjanya, mengamati setiap gerak tubuh dan ekspresi wajahnya.Melva, yang sudah tampak gelisah sejak masuk, hanya membisu. Dia menatap lantai, mencoba menenangkan diri dari gelombang kecemasan yang menghantamnya. Zeon meraih tangannya dan mengelus punggungnya dengan lembut, memberikan dukungan tanpa kata."Tenang. Cobalah untuk menjawab pertanyaan dokter."Melva menarik napas dalam-dalam dan mengangkat kepala, matanya bertemu dengan tatapan dokter. Dengan suara yang bergetar, dia akhirnya berkata, "Baru kali ini."Dokter mengangguk perlahan
Matahari sudah terbenam, dan suasana di jalan raya terasa tenang. Namun, seiring dengan malam yang semakin larut, suasana tiba-tiba berubah drastis.Dalam jarak beberapa puluh meter di depan mereka, sebuah truk besar yang membawa muatan berat tampak mengalami kecelakaan. Truk itu terbalik dan menutup seluruh jalur, sementara barang-barang yang dibawanya berserakan di sepanjang jalan. Kecelakaan ini menyebabkan lalu lintas berhenti total. Lampu lalu lintas di sekitar area tersebut berkedip-kedip sebelum akhirnya padam, memicu pemutusan listrik yang lebih luas di daerah tersebut.Seketika, jalan-jalan di sekitar mereka menjadi gelap gulita. Lampu jalan dan lampu kendaraan di sekitar hilang, dan hanya ada kegelapan yang menggelayuti suasana. Zeon dan Melva mencoba menyalakan lampu mobil mereka dengan intensitas penuh, tetapi cahaya yang dipancarkan hanya menambah kesan gelap karena keterbatasannya.Melva mencoba menenangkan Zeon, yang tampak frustrasi dengan situasi ini. "Tenang, Zeon. K
Melva tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika melihat bahwa Zeon telah memesan sebuah apartemen untuk mereka. Terlepas dari fakta bahwa ini adalah perjalanan bisnis singkat, kesediaan Zeon untuk memesan tempat yang begitu nyaman terasa seperti kejutan yang menyenangkan. Namun, kelegaan Melva segera datang ketika dia melihat ada dua kamar tidur di apartemen ini. Itu berarti mereka akan memiliki ruang pribadi masing-masing.Apartemen itu memiliki desain yang modern dan elegan, dengan dinding putih bersih dan lantai kayu gelap yang memberikan kesan hangat dan nyaman. Ruang tamu yang luas dilengkapi dengan sofa empuk berwarna abu-abu, meja kopi kaca, dan sebuah televisi layar datar di dinding. Di sudut ruang tamu, terdapat sebuah meja makan kecil dengan empat kursi. Di sampingnya, jendela besar membingkai pemandangan kota yang gemerlap, memberi cahaya alami yang melimpah ke dalam ruangan.Di sebelah ruang tamu, terdapat dapur terbuka yang lengkap dengan peralatan modern: kulkas,
Melva dan Zeon memasuki ruang tunggu bandara. Setelah melalui pemeriksaan keamanan dan menuju ke gate, mereka akhirnya menemukan tempat duduk mereka di ruang tunggu yang cukup nyaman. Jam menunjukkan pukul 09:15 pagi, dan mereka bersiap-siap untuk boarding.Mereka berdua memeriksa tiket mereka sekali lagi, memastikan segala sesuatu. Jam keberangkatan tercatat pada pukul 10:00 pagi.Sekitar pukul 09:45, boarding dimulai. Melva dan Zeon melaju melalui pintu boarding, memasuki pesawat. Mereka menemukan kursi mereka di kelas ekonomi, yang terletak di dekat jendela. Melva duduk di dekat jendela sementara Zeon duduk di sampingnya di kursi tengah.Pesawat mulai lepas landas tepat waktu pada pukul 10:00 pagi. Dengan mulus, mesin pesawat meraung dan pesawat meninggalkan landasan. Melva menatap pemandangan kota yang semakin menjauh dari jendela, terpesona oleh pemandangan yang membentang luas di bawahnya. Zeon, di sisi lain, mengeluarkan tablet dari tasnya dan mulai mencari beberapa film untuk
Helena menatap ponselnya, seolah-olah berharap Melva bisa merasakan kehangatan dan kejujuran dari kata-katanya melalui telepon. "Aku hanya ingin kamu tahu bahwa keputusanmu untuk tetap membuka hati dan mempertahankan hubungan ini lebih penting daripada apa yang dikatakan orang lain. Kebenaran cinta adalah tentang keberanian untuk menghadapi ketakutan dan merangkul kebahagiaan yang datang. Jangan biarkan ketakutan dan gosip menghentikanmu dari menjalani sesuatu yang bisa membuatmu bahagia. Jangan biarkan Zeon merasa kehilangan kesempatan untuk mencintaimu hanya karena kamu takut pada pandangan orang luar." Helena mengakhiri percakapan dengan nada lembut namun penuh harapan. "Kamu memiliki kekuatan untuk membuat keputusan yang benar untuk dirimu sendiri." Melva menatap ponselnya, merenung dengan hati yang bergejolak. Suara Helena masih menggema dalam pikirannya, membangkitkan perasaan yang telah lama ditekan. Ketika dia berdiri di depan koper yang hampir selesai dikemas, dia tidak b
Setelah makan malam, Melva bergegas menuju kamar tidurnya. Dia berdiri di depan koper besar yang terbuka lebar di tengah kamar, merencanakan perjalanan bisnis yang akan membawanya ke kota yang jauh. Dengan cekatan, dia mulai memasukkan barang-barang ke dalam koper, setiap item ditimbang dengan hati-hati untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Di bagian paling atas, Melva menempatkan pakaian kerja yang telah disiapkannya dengan teliti: beberapa set blazer elegan, blus berpotongan rapi, dan celana panjang yang serasi. Setiap potong pakaian dipilih untuk memberi kesan profesional dan percaya diri di hadapan klien. Selain itu, ia juga membawa beberapa gaun yang sederhana namun mewah, untuk menghadiri acara sosial yang mungkin terjadi selama perjalanannya. Tak kalah penting, Melva memasukkan perlengkapan mandi dalam sebuah kantong plastik transparan—sabun, sampo, dan pelembap kulit yang selalu digunakannya untuk menjaga penampilan dan kesehatannya tetap optimal. Dia juga memasukka