Melva merasa perlahan sadar dari mimpinya yang terputus-putus oleh suara alarm yang nyaring. Dengan gerakan malas, dia mencoba menjangkau ponselnya yang biasanya terletak di bawah bantal. Namun, kebingungannya semakin bertambah saat tangannya hanya meraba kosong di bawah bantal.Akhirnya, dia terpaksa membuka mata, membiarkan cahaya pagi yang masuk menyesakkan matanya. Dengan perlahan, dia memungut ponselnya dari nakas, mematikan alarm yang terus berdering.Melva tahu bahwa jika dia tidak segera bangun, alarm akan mengganggu penghuni rumah ini. Dengan gerakan peregangan yang lambat, dia memulai ritual paginya, memilih pakaian yang sesuai untuk hari itu setelah membuka lemari. Melva menyibak tirai jendela, merenung sejenak, mengamati pria yang tengah bekerja dengan tekun di halaman rumah Zeon, memotong rumput dengan alat pemotong. Sudah sejak kepindahannya dia memperhatikan aktivitas rumah tangga yang berlangsung di sekitar tempat tinggal barunya. Sejak kepindahannya ke sini, dia mene
Melva berdiri di depan meja Rere, memperhatikan bagaimana Rere dengan cermat merapikan meja kerjanya. Setiap buku dan dokumen disusun dengan rapi, sedangkan pena-pena dan perangkat kerja lainnya diletakkan dengan teratur di kotak. Meja Rere terletak strategis di samping pintu ruangan Zeon, yang membuatnya mudah terlihat bagi siapa pun yang melewati ruangan. Adalah hal yang kurang baik jika dibiarkan berantakan saat jam makan siang. Setelah memastikan bahwa meja kerja Rere sudah rapi, Melva dan Rere berjalan beriringan menuju kantin kantor. Rere memecah keheningan dengan menyebutkan tentang menu spesial hari itu. Melva, yang penasaran, segera menanggapinya dengan bertanya "Apa itu?" Rere mengaku tidak memiliki informasi yang cukup, namun dia mendengar bahwa menu spesial tersebut adalah makanan penutup. Meskipun belum tahu pasti apa makanan penutup tersebut, kedua wanita itu merasa tertarik dengan kemungkinan untuk menikmati sesuatu yang manis dan lezat setelah makan siang. Melva
Walaupun matahari sudah hampir tenggelam di balik gedung-gedung perkantoran yang menjulang tinggi, suasana di dalam ruangan masih terasa hidup. Melva, dengan cepat dan tanpa suara, merapikan tumpukan kertas dan pena-pena yang tersebar di meja kerjanya. Dia merasa lega bahwa hari ini tidak akan terjadi lembur lagi, setidaknya untuk kali ini. Sementara itu, Zeon yang biasanya juga sering terlibat dalam lembur, tampaknya telah memutuskan untuk pulang lebih awal. Saat Melva duduk kembali, jemarinya menggeluti layar ponsel dengan bosan. Aksinya di toko online seolah menjadi semacam pelarian dari rutinitas yang monoton. Di tengah pencarian barang-barang yang tidak jelas, sebuah suara terdengar, lantang tapi lembut, menggelegak di belakangnya."Apa yang kamu lihat?" pertanyaan tiba-tiba itu seperti bumerang, memantul di udara dengan kejutan tak terduga.Secara refleks Melv segera mengunci ponsel, sebagai upaya untuk menyembunyikan apa yang sedang dilihatny. Matanya berbinar-binar dengan ket
Dalam hampir satu bulan lebih tinggal bersama, Melva merasa bahwa interaksi antara dirinya dan Zeon tidak seimbang. Selama ini, Zeon seringkali yang mengambil inisiatif untuk memulai obrolan dan bertanya dengan penuh perhatian kepada Melva. Rasanya tidak adil bagi Zeon melihat bahwa dia selalu yang aktif berusaha menjaga hubungan mereka tetap hidup.Sambil sibuk di dapur, dia membuat dua gelas coklat hangat dengan harapan bisa menciptakan momen kebersamaan yang lebih hangat dengan Zeon. Setelah selesai, dengan langkah mantap, Melva membawa gelas-gelas itu ke ruang keluarga. Melva memutuskan untuk melakukan sesuatu yang lebih mengejutkan.Dia naik ke lantai dua, di mana kamar Zeon berada. Melva berhenti di depan pintu kamar Zeon, mengetuk pelan. Ini masih jam sembilan, seharusnya Zeon belum tidur. Saat Zeon membuka pintu kamarnya, dia terkejut melihat Melva di sana. Ini pertama kalinya Melva datang ke lantai dua atas kemauannya sendiri sejak mereka tinggal bersama. Selama ini, pertemua
Kecanggungan terjadi antara Melva dan Zeon. Melva, yang biasanya ramah dan ceria, menjadi sangat tertunduk dan diam sejak mereka duduk di meja makan. Zeon, di sisi lain, tampak lebih tenang dan terkontrol, meskipun tidak bereaksi banyak setelah kejadian tersebut."Makan perlahan," kata Zeon kepada Melva dengan nada yang lembut. Dia khawatir Melva bisa tersedak karena makan terlalu cepat. Melva hanya mengangguk, tetapi wajahnya tetap menunduk ketika dia melanjutkan makan.Saat Melva hampir selesai dengan makanannya, dia tiba-tiba tersadar bahwa ponselnya tertinggal di ruang teater. Tanpa berkata apa-apa, dia berdiri untuk pergi ingin mengambilnya."Aku meninggalkan ponselku."Zeon segera menahannya, "Duduklah, biar pelayan yang mengambilkan untukmu."Komentar Zeon membuat telinga Melva memerah. Dia merasa malu karena Zeon harus menegurnya secara tidak langsung. Pelayan segera melangkah masuk ke ruang teater dan tidak lama kemudian kembali dengan ponsel Melva. Melva mengucapkan "terima
Sebuah papan nama bertuliskan 'Lullaby' terletak di pojok kiri bangunan. Restoran ini berada di sudut jalan utama kota, dengan jendela besar yang memungkinkan cahaya matahari sore masuk ke dalam ruangan. Di dalam, dekorasi restoran terlihat elegan namun tidak terlalu berlebihan. Dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan abstrak yang dipasang dengan rapi, sementara meja-meja kayu gelap tersebar di sepanjang ruangan, dilengkapi dengan kursi kulit yang nyaman.Zeon lebih dari familiar dengan tempat ini, mengarahkan Melva ke ruang VIP di bagian belakang. Mereka melewati lantai kayu yang bersih dan kamar-kamar kecil yang tersembunyi dengan pintu kayu geser, menciptakan suasana eksklusif yang tenang di tengah keramaian restoran. Ruang VIP itu sendiri terpisah dari area umum dengan partisi kaca berwarna gelap, memungkinkan para tamu untuk menikmati makanan mereka dengan privasi tanpa sepenuhnya terisolasi dari suasana restoran.Melva melihat sekeliling dengan mata terbuka lebar, takjub denga
"Jadi, dia yatim piatu yang tinggal di panti asuhan sampai batas umurnya dan tidak diadopsi siapapun. Berapa usianya sekarang?"Farel memandang Zeon dengan pandangan penuh tanda tanya. Mencoba mencerna informasi yang baru saja didapat."Seharusnya 21 atau 22, dia baru lulus universitas tahun ini," jawab Zeon dengan tenang, tetapi pandangannya tetap kabur, mengindikasikan pikirannya melayang ke tempat lain. Dia menyesap cairan dalam gelasnya yang diputar perlahan.Keduanya duduk di pojok kelab yang tenang di sore hari, di mana lampu-lampu remang-remang menyorot sofa-sofa dan ornamen-ornamen artistik yang memperindah ruangan. Suasana sepi memungkinkan mereka untuk bercengkrama tanpa gangguan.Farel memutar angka-angka usia yang Zeon sebutkan dalam pikirannya. Hitungannya terus berlanjut, sampai akhirnya dia menemukan sesuatu yang membuatnya terperangah."Jangan bilang gadis itu masih anak di bawah umur saat itu," gumamnya, matanya melebar dalam keheranan.Zeon memandang Farel, matanya k
Cuaca Sabtu sore masih terasa panas. Dengan langit yang terbakar sinar jingga senja, Melva duduk santai di teras samping rumah. Di tangannya, dia memegang cup eskrim ukuran medium dengan tiga rasa favoritnya: vanila, cokelat, dan stroberi. Dia menyesap eskrim itu dengan nikmat, sambil memandang taman belakang yang terkena sinar matahari senja yang hangat, menciptakan bayangan-bayangan panjang di atas rumput yang gembur.Melva duduk dengan santai, menumpukan kakinya yang telanjang di kaki yang lain. Pakaiannya simpel: hanya kaus putih polos dan celana pendek senada, rambutnya yang panjang dan sedikit bergelombang dicepol asal-asalan, tergerai agak liar oleh angin senja yang lembut. Dia merasakan hangatnya sinar mentari yang bersembunyi di balik pohon-pohon di halaman belakangnya.Saat Melva masih menikmati eskrimnya, terdengar suara mendesis dari dekatnya. Seekor lebah terbang mendekat, mengganggu kedamaian senja yang sejenak dia rasakan. Melva menoleh dengan cepat, mencari sumber suar