Tiba di kota tempat tinggalnya, Zeon tidak ragu menggandeng tangan Melva, menunjukkan kedekatan dan kehangatan di tengah hiruk-pikuk bandara. Sementara itu, sopir pribadinya, yang sudah menunggu dengan sabar, segera meraih dua koper yang dibawa mereka dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil.Begitu kedua orang tersebut masuk ke dalam mobil, kendaraan itu melaju dengan mulus meninggalkan area bandara, menyusuri jalan-jalan kota yang mulai menampakkan kehidupan siangnya. Menyadari bahwa mereka hanya sempat mengisi perut dengan roti selai sebelum pulang, Zeon memutuskan untuk menelepon koki di rumah, memintanya untuk menyiapkan makan siang lebih awal dari jadwal.Dengan demikian, mereka bisa langsung menikmati hidangan yang telah disiapkan dengan penuh perhatian segera setelah sampai di rumah. Suasana di mobil terasa nyaman dan akrab, sementara Zeon dan Melva mengobrol ringan, menikmati perjalanan mereka yang tampaknya semakin mendekatkan mereka pada kehangatan rumah dan hidangan yang me
Melva sudah tiba di kafe terlebih dahulu, memilih meja di sudut yang nyaman, dekat jendela yang memandang ke taman kecil di luar. Dia duduk dengan tenang, memesan secangkir kopi panas, sambil sesekali melirik ke pintu untuk melihat apakah Helena sudah datang. Lima menit kemudian, Helena muncul dengan langkah cepat, menyusuri jalan setapak di antara meja-meja kafe. Dia melihat Melva dan tersenyum, menuju ke mejanya."Melva!" Helena menyapa, meletakkan tasnya di meja dan duduk di kursi di hadapan sahabatnya. "Jadi, kalian pacaran sekarang?" tanya Helena tanpa basa-basi, matanya mengungkapkan rasa ingin tahunya yang mendalam.Melva tidak merasa perlu menyembunyikannya. "Ya," jawabnya singkat, sambil menyesap jus jeruk di hadapannya dengan santai. Ekspresi wajahnya menunjukkan kepuasan dan kebanggaan, namun juga sedikit kekhawatiran yang mungkin tidak sepenuhnya dia sadari.Helena mengernyitkan dahi, jelas terkejut. "Melva, aku tidak bisa percaya ini. Proses pendekatan kalian terlalu cepa
Pukul delapan malam ketika Melva sampai di rumah. Ia disambut oleh pemandangan Zeon yang duduk santai di sofa depan televisi, tampak asyik menonton sebuah acara. Di tengah cahaya lembut lampu ruang tamu, mereka saling tersenyum, sebuah tatapan penuh kebahagiaan yang tidak perlu kata-kata. Melva berjalan mendekat dan duduk di samping Zeon. Tanpa ragu, Zeon mengangkat tangannya untuk mengelus surai panjang Melva yang tergerai. Melva memotong jarak lagi, menyandarkan kepalanya di pundak Zeon dengan lembut, menikmati kehangatan dan ketenangan momen itu. Zeon memecah keheningan dengan sebuah tawaran lembut, "Mau makan camilan malam?" tanya Zeon, suaranya penuh kelembutan. Zeon merasakan gerakan lembut di pundaknya dan mendongak. Dengan senyum manis, ia menegakkan kepalanya dan mengangguk. Zeon berdiri, mengantarkan langkahnya menuju dapur dengan gerakan yang ringan dan penuh kepastian. Di dapur, Zeon memulai ritual kecilnya, hanya mengupas beberapa buah segar kemudian memotongnya men
Setelah menuruni tiga buah tangga dari panggung, Helena memeluknya, "You got this! Keren sekali adikku.""Aye aye thanks kakakku.""Langsung pulang?""Ayo, nanti masakan Tante Lea menjadi dingin."Helena berdecak, tangannya terangkat merangkul Melva. Kemudian mereka tertawa bersama.Di dalam mobil, Melva melepas topi wisudanya, menempatkannya bersama sebuket karangan bunga pemberian Helena di kursi belakang.Melva membalas pesan teman-temannya yang mengajak makan malam bersama, dia meminta maaf tidak bisa hadir karena sudah memiliki janji lain. Menyimpan ponselnya, dia mencari micellar water dan kapas di pouch biru dalam pangkuannya.Tangan Helena menghentikan gerakan Melva yang akan menghapus make up."Nah, kita belum mengambil foto bersama. Jangan dihapus dulu.""Ugh, okay."Melva menghela nafas, punggungnya bersandar nyaman. Kebayanya lumayan membuat gerah, setelah mobil keluar area parkir, Melva membuka kaca jendela. Angin segera masuk menyegarkannya.Hari ini adalah perayaan wisu
Seminggu setelah hari wisuda, dan tepat setelah lamaran kerja terkirim ke perusahaan tawaran dosennya, Melva mendapat kabar baik itu pagi ini. Jadwal interview telah ditentukan siang nanti, lokasinya tidak jauh dari apartemennya. Melva sudah berjaga-jaga dari kemarin untuk mengawasi pesan apapun yang masuk ke ponselnya. Melva melompat girang membaca deretan kalimat yang menyatakan dia diundang untuk melakukan wawancara, pihak lain memastikan kedatangannya dengan bertanya: Apakah anda bersedia? Jarinya mengetik lincah, "Ya, saya bersedia." Kakinya tidak bisa diam, Melva bergerak kesana-kemari sambil jarinya masih mengetik, kali ini di room chat Helena. Bagaimana mungkin kabar gembira ini tidak sampai padanya? Helena akan mengamuk jika Melva lupa bercerita. Setelah pesan singkat diantaranya semakin seru dan Helena terus saja mengirim berbagai stiker terkejut tanda dia bangga dan ikut senang atas panggilan wawancara Melva. Melva memutus pesan tersebut, dia mengirim pesan suara. "A
"Totalnya Rp.230.000. Terimakasih, selamat datang kembali." Melva tersenyum pada kasir dan keluar dari supermarket. Sebelum memulai kerja besok, Melva mengundang Helena makan hot pot di apartemen miliknya. Kebetulan orang tua Helena sedang ada keperluan di luar kota, jadi Melva sekaligus mengajak Helena menginap. Hanya butuh lima menit berjalan kaki untuk sampai lobi apartemen. Melva memasuki lift dan menekan angka 3. Helena belum datang, dia mengabari bahwa dirinya masih dalam perjalanan pulang dari kantor. Melva menyarankan untuk langsung datang dari kantornya tanpa pulang ke rumahnya terlebih dahulu. Beberapa pakaian Helena sengaja tersimpan di lemari Melva untuk digunakan saat-saat seperti ini. Dan mereka memang sering menginap bergantian antara tempat Melva dan Helena. Selama menunggu kedatangan Helena, Melva menyiapkan alat dan bahan masakan. Tepat setelah mencuci tangan, bel berbunyi. Melva telah memberikan sandi apartemen pada Helena, namun dari dulu Helena dengan sopan te
Mulutnya tak pernah berhenti bersenandung sembari mengancingkan kemejanya. Saat kancing terakhir selesai, Melva merapikan lagi kemejanya dan tersenyum puas. Melangkah dua kali ke belakang hingga seluruh badannya terlihat di cermin, Melva merentangkan tangannya memastikan pakaian yang dikenakan tidak ada kesalahan. Dia berputar dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Selanjutnya, Melva duduk di meja rias. Dia menatap jam dinding sebelum memoles make up. Melva telah biasa menggunakan lipstik kesayangannya yang kata Zeon terlalu terang itu. Mengingat Zeon menyuruhnya mengganti warna, Melva dengan cemberut mengelus permukaan lipstik dan meletakkan kembali lipstik kesayangannya lalu mengambil yang baru dibeli kemarin. Selesai menyemprot parfum di area leher, Melva mengambil tasnya dan bersiap berangkat. Dia memesan taksi, menghindari debu dari menaiki ojek online dan kerumunan bus. Melva harus memastikan penampilannya di hari pertama kerja sempurna. "Kompor sudah dimatikan belum ya?" Baru
Melva dalam dilema yang cukup serius. Jam kerjanya hampir habis dimana itu adalah waktunya mobil pengangkut datang memindahkan barangnya ke kediaman Zeon. Dari satu narasumber yang sudah bekerja untuk Zeon selama beberapa tahun, gagasan personal asisten harus selalu bersama bos sampai berpindah tempat tinggal di atap yang sama adalah hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Itu mengungkapkan bahwa pemindahan ini baru terjadi pada Melva. Apapun itu alasan Zeon, Melva yakin ini merugikan dirinya. Tidak hanya menjadi bahan perbincangan nantinya, Melva akan disibukkan dengan permintaan Zeon setiap saat kapanpun dan di manapun. Sementara jarum jam terus berputar, Melva merencanakan ide gila untuk menggagalkan pemindahannya. Sekalipun Zeon menegaskan tentang ketidakpedulian mengenai pendapat Melva, Melva tidak akan membiarkan pemindahannya mudah direalisasi. "Kamu bisa langsung pulang sepuluh menit lagi. Pak Zeon sedang keluar dan memintaku untuk memberitahu kamu mengenai hal ini."
Pukul delapan malam ketika Melva sampai di rumah. Ia disambut oleh pemandangan Zeon yang duduk santai di sofa depan televisi, tampak asyik menonton sebuah acara. Di tengah cahaya lembut lampu ruang tamu, mereka saling tersenyum, sebuah tatapan penuh kebahagiaan yang tidak perlu kata-kata. Melva berjalan mendekat dan duduk di samping Zeon. Tanpa ragu, Zeon mengangkat tangannya untuk mengelus surai panjang Melva yang tergerai. Melva memotong jarak lagi, menyandarkan kepalanya di pundak Zeon dengan lembut, menikmati kehangatan dan ketenangan momen itu. Zeon memecah keheningan dengan sebuah tawaran lembut, "Mau makan camilan malam?" tanya Zeon, suaranya penuh kelembutan. Zeon merasakan gerakan lembut di pundaknya dan mendongak. Dengan senyum manis, ia menegakkan kepalanya dan mengangguk. Zeon berdiri, mengantarkan langkahnya menuju dapur dengan gerakan yang ringan dan penuh kepastian. Di dapur, Zeon memulai ritual kecilnya, hanya mengupas beberapa buah segar kemudian memotongnya men
Melva sudah tiba di kafe terlebih dahulu, memilih meja di sudut yang nyaman, dekat jendela yang memandang ke taman kecil di luar. Dia duduk dengan tenang, memesan secangkir kopi panas, sambil sesekali melirik ke pintu untuk melihat apakah Helena sudah datang. Lima menit kemudian, Helena muncul dengan langkah cepat, menyusuri jalan setapak di antara meja-meja kafe. Dia melihat Melva dan tersenyum, menuju ke mejanya."Melva!" Helena menyapa, meletakkan tasnya di meja dan duduk di kursi di hadapan sahabatnya. "Jadi, kalian pacaran sekarang?" tanya Helena tanpa basa-basi, matanya mengungkapkan rasa ingin tahunya yang mendalam.Melva tidak merasa perlu menyembunyikannya. "Ya," jawabnya singkat, sambil menyesap jus jeruk di hadapannya dengan santai. Ekspresi wajahnya menunjukkan kepuasan dan kebanggaan, namun juga sedikit kekhawatiran yang mungkin tidak sepenuhnya dia sadari.Helena mengernyitkan dahi, jelas terkejut. "Melva, aku tidak bisa percaya ini. Proses pendekatan kalian terlalu cepa
Tiba di kota tempat tinggalnya, Zeon tidak ragu menggandeng tangan Melva, menunjukkan kedekatan dan kehangatan di tengah hiruk-pikuk bandara. Sementara itu, sopir pribadinya, yang sudah menunggu dengan sabar, segera meraih dua koper yang dibawa mereka dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil.Begitu kedua orang tersebut masuk ke dalam mobil, kendaraan itu melaju dengan mulus meninggalkan area bandara, menyusuri jalan-jalan kota yang mulai menampakkan kehidupan siangnya. Menyadari bahwa mereka hanya sempat mengisi perut dengan roti selai sebelum pulang, Zeon memutuskan untuk menelepon koki di rumah, memintanya untuk menyiapkan makan siang lebih awal dari jadwal.Dengan demikian, mereka bisa langsung menikmati hidangan yang telah disiapkan dengan penuh perhatian segera setelah sampai di rumah. Suasana di mobil terasa nyaman dan akrab, sementara Zeon dan Melva mengobrol ringan, menikmati perjalanan mereka yang tampaknya semakin mendekatkan mereka pada kehangatan rumah dan hidangan yang me
"Apakah kamu pernah mengalami ini sebelumnya?" Suara dokter terdengar tenang, berusaha mengurangi ketegangan yang meliputi ruangan.Melva duduk di ruang pemeriksaan dokter, terbalut dalam kekhawatiran yang mendalam. Dinding putih ruangan itu seakan menekan perasaannya, sementara Zeon, suaminya, duduk di sampingnya, berusaha memberi dukungan. Dokter, seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun dengan mata yang penuh empati, menatap Melva dari meja kerjanya, mengamati setiap gerak tubuh dan ekspresi wajahnya.Melva, yang sudah tampak gelisah sejak masuk, hanya membisu. Dia menatap lantai, mencoba menenangkan diri dari gelombang kecemasan yang menghantamnya. Zeon meraih tangannya dan mengelus punggungnya dengan lembut, memberikan dukungan tanpa kata."Tenang. Cobalah untuk menjawab pertanyaan dokter."Melva menarik napas dalam-dalam dan mengangkat kepala, matanya bertemu dengan tatapan dokter. Dengan suara yang bergetar, dia akhirnya berkata, "Baru kali ini."Dokter mengangguk perlahan
Matahari sudah terbenam, dan suasana di jalan raya terasa tenang. Namun, seiring dengan malam yang semakin larut, suasana tiba-tiba berubah drastis.Dalam jarak beberapa puluh meter di depan mereka, sebuah truk besar yang membawa muatan berat tampak mengalami kecelakaan. Truk itu terbalik dan menutup seluruh jalur, sementara barang-barang yang dibawanya berserakan di sepanjang jalan. Kecelakaan ini menyebabkan lalu lintas berhenti total. Lampu lalu lintas di sekitar area tersebut berkedip-kedip sebelum akhirnya padam, memicu pemutusan listrik yang lebih luas di daerah tersebut.Seketika, jalan-jalan di sekitar mereka menjadi gelap gulita. Lampu jalan dan lampu kendaraan di sekitar hilang, dan hanya ada kegelapan yang menggelayuti suasana. Zeon dan Melva mencoba menyalakan lampu mobil mereka dengan intensitas penuh, tetapi cahaya yang dipancarkan hanya menambah kesan gelap karena keterbatasannya.Melva mencoba menenangkan Zeon, yang tampak frustrasi dengan situasi ini. "Tenang, Zeon. K
Melva tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika melihat bahwa Zeon telah memesan sebuah apartemen untuk mereka. Terlepas dari fakta bahwa ini adalah perjalanan bisnis singkat, kesediaan Zeon untuk memesan tempat yang begitu nyaman terasa seperti kejutan yang menyenangkan. Namun, kelegaan Melva segera datang ketika dia melihat ada dua kamar tidur di apartemen ini. Itu berarti mereka akan memiliki ruang pribadi masing-masing.Apartemen itu memiliki desain yang modern dan elegan, dengan dinding putih bersih dan lantai kayu gelap yang memberikan kesan hangat dan nyaman. Ruang tamu yang luas dilengkapi dengan sofa empuk berwarna abu-abu, meja kopi kaca, dan sebuah televisi layar datar di dinding. Di sudut ruang tamu, terdapat sebuah meja makan kecil dengan empat kursi. Di sampingnya, jendela besar membingkai pemandangan kota yang gemerlap, memberi cahaya alami yang melimpah ke dalam ruangan.Di sebelah ruang tamu, terdapat dapur terbuka yang lengkap dengan peralatan modern: kulkas,
Melva dan Zeon memasuki ruang tunggu bandara. Setelah melalui pemeriksaan keamanan dan menuju ke gate, mereka akhirnya menemukan tempat duduk mereka di ruang tunggu yang cukup nyaman. Jam menunjukkan pukul 09:15 pagi, dan mereka bersiap-siap untuk boarding.Mereka berdua memeriksa tiket mereka sekali lagi, memastikan segala sesuatu. Jam keberangkatan tercatat pada pukul 10:00 pagi.Sekitar pukul 09:45, boarding dimulai. Melva dan Zeon melaju melalui pintu boarding, memasuki pesawat. Mereka menemukan kursi mereka di kelas ekonomi, yang terletak di dekat jendela. Melva duduk di dekat jendela sementara Zeon duduk di sampingnya di kursi tengah.Pesawat mulai lepas landas tepat waktu pada pukul 10:00 pagi. Dengan mulus, mesin pesawat meraung dan pesawat meninggalkan landasan. Melva menatap pemandangan kota yang semakin menjauh dari jendela, terpesona oleh pemandangan yang membentang luas di bawahnya. Zeon, di sisi lain, mengeluarkan tablet dari tasnya dan mulai mencari beberapa film untuk
Helena menatap ponselnya, seolah-olah berharap Melva bisa merasakan kehangatan dan kejujuran dari kata-katanya melalui telepon. "Aku hanya ingin kamu tahu bahwa keputusanmu untuk tetap membuka hati dan mempertahankan hubungan ini lebih penting daripada apa yang dikatakan orang lain. Kebenaran cinta adalah tentang keberanian untuk menghadapi ketakutan dan merangkul kebahagiaan yang datang. Jangan biarkan ketakutan dan gosip menghentikanmu dari menjalani sesuatu yang bisa membuatmu bahagia. Jangan biarkan Zeon merasa kehilangan kesempatan untuk mencintaimu hanya karena kamu takut pada pandangan orang luar." Helena mengakhiri percakapan dengan nada lembut namun penuh harapan. "Kamu memiliki kekuatan untuk membuat keputusan yang benar untuk dirimu sendiri." Melva menatap ponselnya, merenung dengan hati yang bergejolak. Suara Helena masih menggema dalam pikirannya, membangkitkan perasaan yang telah lama ditekan. Ketika dia berdiri di depan koper yang hampir selesai dikemas, dia tidak b
Setelah makan malam, Melva bergegas menuju kamar tidurnya. Dia berdiri di depan koper besar yang terbuka lebar di tengah kamar, merencanakan perjalanan bisnis yang akan membawanya ke kota yang jauh. Dengan cekatan, dia mulai memasukkan barang-barang ke dalam koper, setiap item ditimbang dengan hati-hati untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Di bagian paling atas, Melva menempatkan pakaian kerja yang telah disiapkannya dengan teliti: beberapa set blazer elegan, blus berpotongan rapi, dan celana panjang yang serasi. Setiap potong pakaian dipilih untuk memberi kesan profesional dan percaya diri di hadapan klien. Selain itu, ia juga membawa beberapa gaun yang sederhana namun mewah, untuk menghadiri acara sosial yang mungkin terjadi selama perjalanannya. Tak kalah penting, Melva memasukkan perlengkapan mandi dalam sebuah kantong plastik transparan—sabun, sampo, dan pelembap kulit yang selalu digunakannya untuk menjaga penampilan dan kesehatannya tetap optimal. Dia juga memasukka