Mulutnya tak pernah berhenti bersenandung sembari mengancingkan kemejanya. Saat kancing terakhir selesai, Melva merapikan lagi kemejanya dan tersenyum puas.
Melangkah dua kali ke belakang hingga seluruh badannya terlihat di cermin, Melva merentangkan tangannya memastikan pakaian yang dikenakan tidak ada kesalahan. Dia berputar dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Selanjutnya, Melva duduk di meja rias. Dia menatap jam dinding sebelum memoles make up. Melva telah biasa menggunakan lipstik kesayangannya yang kata Zeon terlalu terang itu. Mengingat Zeon menyuruhnya mengganti warna, Melva dengan cemberut mengelus permukaan lipstik dan meletakkan kembali lipstik kesayangannya lalu mengambil yang baru dibeli kemarin. Selesai menyemprot parfum di area leher, Melva mengambil tasnya dan bersiap berangkat. Dia memesan taksi, menghindari debu dari menaiki ojek online dan kerumunan bus. Melva harus memastikan penampilannya di hari pertama kerja sempurna. "Kompor sudah dimatikan belum ya?" Baru sampai pintu, Melva kembali ke dapur dan kamarnya memastikan tidak ada alat elektronik yang masih menyala. Dia tidak pernah seribet ini ketika akan pergi meninggalkan apartemen. Seperti biasa, taksi sudah menunggu, namun pagi ini jalan penuh dengan para pekerja juga anak sekolah. Melva sudah memprediksi ini. Dia tahu jam-jam sibuk jalanan. Melva sudah mempersiapkan waktu lebih dalam perjalanannya supaya tidak terlambat sampai kantor. Di sekitar kantor perusahaan Zeon, terdapat banyak tempat makan. Adalah bisnis yang menguntungkan bila dibuka berdampingan dengan lingkungan pekerja. Ketika Melva turun dari taksi, dia melihat kerumunan kecil di toko sebelah kiri perusahaan. Melva tentu melewatinya untuk menuju perusahaan. Dia tidak terlalu penasaran, tapi pemilik toko tentu tidak membiarkan siapapun yang melewati tokonya pergi begitu saja. Jadi pria tua itu mencegah Melva berlalu dengan menepuk pundaknya. "Nona muda, ambil ini. Toko kami akan ada promo Minggu depan. Silakan ambil dua tiket. Datang dengan pasanganmu, oke?" Sebelum Melva bisa mencerna dengan baik kalimat terakhir pria tua itu, tangan Melva telah menggenggam dua tiket makan yang mendapat promo. Pria tua itu sudah tidak di sampingnya, dia telah mendapat target baru selain Melva. Melva tetap menyimpan dua tiket itu dalam tas kemudian berjalan menuju tempatnya bekerja. Kali ini Melva diberikan jalan lain. Ternyata Zeon sudah berpesan pada resepsionis untuk memberitahunya dimana Melva harus datang. Dan itu adalah unit teratas bangunan ini. Melva tidak bisa membayangkan bagaimana latihan kebakaran nanti jika tidak kebagian masuk lift harus menuruni ribuan tangga. Di depan ruangan Zeon, Melva bertemu lagi dengan Rere di meja sekretaris. Mereka saling sapa. Rere memencet suatu tombol khusus di telepon genggam. Melva diizinkan masuk setelahnya. Melva memasuki ruangan Zeon dengan terpana. Ruangan ini seperti kubus raksasa. Satu sisi adalah dinding kaca yang menampakan kepadatan kota. Ada dua ruangan lain di sini dan satu toilet. Meja kerja dengan dua kursi tamu di depan, satu set sofa di sampingnya, dan dua lemari tinggi bersisian. "Selamat pagi Pak." "Pagi." Zeon mengangkat kepalanya. Menilai penampilan Melva. Melva baru tahu jika bos akan sebegitu detailnya terhadap apa yang dipakai karyawan. Atau mungkin dalam hal ini hanya beberapa dari mereka saja dan kebetulan Zeon salah satunya. Zeon berhenti pada bibir Melva yang terus mencoba untuk tersenyum. Zeon mengangguk puas melihat Melva mendengarkan perkataannya. "Silakan duduk." "Terimakasih Pak." "Saya akan menyampaikan informasi tambahan yang belum saya beritahu kemarin." Zeon meletakan pena yang dipegang, dia mencari sesuatu di tumpukan kertas di atas mejanya. "Untuk memudahkan pekerjaan, kamu akan dipindahkan." Alis Melva hampir bertaut, "Dipindahkan? Maksudnya bagaimana Pak?" "Tinggal bersama saya." Uhuk! Melva tersedak ludahnya sendiri. Menyadari ekspresi konyolnya, dia menormalkan wajahnya kembali. Lagian, apa-apaan permintaan Zeon itu? Kata-katanya keluar begitu saja. Sangat enteng seolah mengajaknya makan siang bersama. Dan apa itu tinggal bersama? Apakah harus sampai seperti itu menyangkut pekerjaan? Dalam benak Melva terlintas adegan seorang pria yang melamar pujaan hati. Kalimatnya hampir persis! Dia sering menontonnya di drama televisi murahan. Ugh, dan sekarang hidup Melva seperti drama murahan jika dihubungkan dengan adegan dalam drama itu. "Saya pastikan pekerjaan saya tidak akan terganggu dengan lokasi tempat tinggal Pak." "Kamu akan menolak, saya tahu." Jika tahu, kenapa masih tetap dikatakan? Melva membatin. "Tapi saya tidak bertanya untuk meminta pendapat kamu, saya memerintahkan kamu untuk pindah." Sangat bossy. "Tidak perlu dipikirkan, kamu akan tetap pindah ke tempat saya. Akan ada mobil pengangkut barang sepulang kerja. Jadi dipastikan kamu tidak pergi kemanapun. Itu saja. Kamu sudah bisa mulai mempelajari pekerjaan dari personal asisten yang lama. Dia menunggu di luar dengan Rere. Saya ada rapat sebentar lagi," jelas Zeon. Dia berdiri, merapikan jasnya, dan keluar terburu-buru. Melva bahkan belum sempat membantah dengan satu kata pun. Dia menghentakkan kakinya dengan kesal. Meremas udara di depannya membayangkan itu adalah Zeon. Melva mengacungkan dua jari tengahnya ke arah pintu. "Sialan, aku baru saja membayar uang sewa bulan ini dan harus pindah?" Melva menekuk bibirnya ke bawah dengan sedih. Telunjuknya mengusap air mata imajiner. Yang paling penting tentu bukan uangnya. Dia akan tinggal bersama bos. Apa kata karyawan lain jika mereka tahu? Apakah memang semua personal asisten sebelumnya akan tinggal bersama Zeon? Zeon pasti memanfaatkannya untuk disuruh-suruh. Dengan jarak mereka yang akan semakin menyempit dan interaksi mereka akan bertambah banyak nantinya, Melva tidak yakin hidupnya masih bisa damai. Dia harus bertanya bagaimana perlakuan Zeon kepada asisten sebelumnya. Namanya adalah Sarah. Dia wanita yang tinggi, rambutnya sangat lurus. Alasan mengajukan resign karena dia sedang mengandung dan suaminya melarang untuk terus bekerja. Itu adalah kesepakatan mereka ketika menikah. "Aku dengar kamu lulusan baru?" Dan tutur katanya sangat lembut dan keibuan, sudah sangat pantas menimang anak. Melva mengangguk semangat, "Iya..." "Panggil saja Sarah." "Iya Sarah." Keduanya sedang menuju pantry. Melva tidak memiliki ide kenapa belajar membuat kopi adalah yang akan dia lakukan pertama kali alih-alih pekerjaan utama yang berhubungan dengan posisi asisten. Melva memilih bungkam, mengikuti masa training-nya. "Ini mudah saja. Tidak perlu merebus air panas karena memakai mesin kopi. Kamu hanya perlu menekan tombol ini saja. Tapi kopi untuk Pak Zeon sedikit khusus. Ada tambahan coklat setelah diberi susu. Perbandingannya sama. Jadi tidak pakai gula sama sekali." Sarah mempraktekan sekaligus ketika menjelaskannya pada Melva. Dia begitu cekatan, dalam beberapa menit secangkir kopi hangat sudah tersedia. "Nah, kamu bisa mencoba." Melva berterimakasih, mengangkat cangkir kopi. Dia menyesap sedikit lalu mengecapnya memastikan rasa kopi itu. "Enak sekali." "Merk susu dan coklat harus selalu sama. Lidah Pak Zeon sudah hafal dengan rasanya. Jika ada yang berbeda dia akan tahu. Jadi kamu harus selalu membeli stok yang sama." "Ah? Aku yang menyiapkan stok?" Sarah mengangguk. Dia tersenyum geli, tahu pasti apa yang dipikirkan asisten baru mantan bosnya ini. Dia juga sama terkejutnya ketika pertama kali bekerja di sini. "Untuk hal diluar pekerjaan utama, hanya ini saja yang perlu diperhatikan. Karena kopi Pak Zeon dibuat di pantry khusus juga yaitu ruangan beliau sendiri. Bahannya tidak tersedia di pantry umum. Ini aku bawa sendiri." "Begitu ya." "Coba kamu buat seperti caraku tadi." Melva mengikuti cara Sarah sebelumnya. Dia yakin dengan rasanya. Dengan percaya diri memberikan cangkir itu untuk dicoba Sarah. "Air panasnya terlalu banyak." "Eh iya kah?" Melva mengira dia hanya perlu menyesuaikan takaran antara kopi, susu, dan coklat. Dia melupakan hal penting lainnya. "Tidak apa-apa untuk salah di percobaan pertama. Kamu harus ingat ini, matikan tombolnya di detik keempat. Itu cara termudah supaya airnya selalu pas." "Jadi aku harus perhatikan mesinnya ya?" "Benar mo." Ribet juga Pak Zeon itu, batin Melva. Terlintas nama Zeon membuat Melva mengingat kembali pemindahan paksa dirinya dari apartemen. Melva sudah menyiapkan pertanyaan yang aman dan tidak menimbulkan curiga mengenai ini. "Kamu sudah bekerja dengan Pak Zeon selama beberapa tahun, menurutmu dia bagaimana? Apa dia tipe orang yang tidak bisa dibantah? Seperti ketika dia menyuruh asistennya untuk selalu disisinya? Atau asisten harus setuju jika ada hal mendesak jadi asisten pindah tempat tinggal di daerah dekat rumahnya untuk kemudahan pekerjaan?" Sarah mengerutkan kening mendengar pertanyaan aneh Melva. Dia tertawa singkat. "Tidak. Pak Zeon justru sangat penyendiri. Dia tidak bisa diganggu. Tadi aku juga diperintah untuk menunggu diluar, kan? Jika ada seseorang yang memiliki keperluan dengan Pak Zeon di saat dia sedang memiliki tamu, orang lain dilarang mendekat dan harus menunggu. Mau tidak mau harus menunggu dia selesai dengan urusannya, setelahnya bisa didatangi." "Seperti itu ya." Melva menyengir canggung.Melva dalam dilema yang cukup serius. Jam kerjanya hampir habis dimana itu adalah waktunya mobil pengangkut datang memindahkan barangnya ke kediaman Zeon. Dari satu narasumber yang sudah bekerja untuk Zeon selama beberapa tahun, gagasan personal asisten harus selalu bersama bos sampai berpindah tempat tinggal di atap yang sama adalah hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Itu mengungkapkan bahwa pemindahan ini baru terjadi pada Melva. Apapun itu alasan Zeon, Melva yakin ini merugikan dirinya. Tidak hanya menjadi bahan perbincangan nantinya, Melva akan disibukkan dengan permintaan Zeon setiap saat kapanpun dan di manapun. Sementara jarum jam terus berputar, Melva merencanakan ide gila untuk menggagalkan pemindahannya. Sekalipun Zeon menegaskan tentang ketidakpedulian mengenai pendapat Melva, Melva tidak akan membiarkan pemindahannya mudah direalisasi. "Kamu bisa langsung pulang sepuluh menit lagi. Pak Zeon sedang keluar dan memintaku untuk memberitahu kamu mengenai hal ini."
Melva tipe orang yang mudah mengantuk dan bisa cepat tertidur. Tapi di tempat ini sepertinya pengecualian baginya. Kamar ini sangat bagus dan luas. Seprainya lembut dan kasurnya nyaman. Tapi di luar tidak aman. Ini adalah rumah Zeon. Dengan sifat yang belum semuanya diketahui oleh Melva, Melva perlu cemas berada dalam teritori Zeon. Sudah pukul sepuluh saat perut Melva berbunyi. Dia lapar. Melva memakai sandal lembut berbentuk kelinci lalu keluar dari kamar. Keadaan rumah sangat gelap. Melva tidak berniat menyalakan satupun lampu. Dia membawa ponselnya sebagai penerangan. Tujuannya tentu dapur, matanya menyapu isi kulkas. Semuanya bahan mentah yang perlu diolah. Bagaimana mungkin kulkas sebesar ini tidak menyediakan camilan?Baru saja hendak menutup pintu kulkas, suara pintu dibuka terdengar. Melva mematikan senter di ponsel dan memasuki toilet dapur.Mendengar langkah kaki lebih dari satu, Melva menebak itu adalah pelayan pribadi yang memang tinggal di rumah ini."Aku masih tidak m
Suara wajan mendesis saat Zeon berkutat di depan kompor. Melva duduk anteng di kursinya. Dia mengangkat tangan untuk menyangga kepala. Tidak tahu mengapa memperhatikan pria yang sedang memasak bisa semenarik ini. Akankah semua pria akan nampak seperti ini atau hanya yang memiliki ciri-ciri seperti Zeon? Tubuh tegap tinggi, bahu lebar, dan tangan cekatan. Melva menggelengkan kepala menghilangkan imajinasinya yang semakin merembet jauh. Zeon hanya memasak, jadi kenapa Melva harus begitu menaruh perhatian? Menyedot habis isi minuman dalam kotak, Melva beranjak membuang sampahnya tanpa menimbulkan suara. Kebetulan itu ada di ujung, jadi dia harus melewati punggung Zeon. Ruangnya lumayan sempit untuk dua orang dewasa, Melva memiringkan badan, menghindari kontak fisik. Tanpa diduga saat Zeon memasukkan sedikit air dalam wajan, itu hampir terciprat pada tangannya. Zeon mundur setengah langkah untuk menghindar. Dan tabrakan itu terjadi. Perbedaan tenaga itu membuat Melva terhuyung hingg
Zeon memperhatikan Melva dengan seksama, melihat tanda-tanda halus dari kebohongan di mata Melva. Dia memutuskan untuk memberinya beberapa dua hari libur. Gerakan Melva masih terbatas, sebuah bukti dari rasa sakit yang masih tersisa dari insiden semalam.Hanya satu hari sejak Melva mulai bekerja sebagai asisten pribadinya, belum cukup waktu untuk menyesuaikan diri dengan perannya yang baru. Selain itu, dia telah menghabiskan beberapa hari sebelumnya dalam pelatihan, hampir tidak bisa disebut pekerjaan dan dia sudah diberi cuti. Sekarang, Melva mendapati dirinya diberi dua hari istirahat. Tanpa dia sadari, selama dua hari ini, para staf rumah tangga bergosip tentangnya. Setelah baru saja pindah ke kediaman Zeon, Melva menjadi bahan spekulasi. Pelayan-pelayan itu berbisik di antara mereka sendiri, menggambarkannya sebagai wanita penggoda dan berasumsi bahwa Zeon terlibat dalam hubungan intim kasar dengannya, itulah sebabnya memar dari insiden kursi terjadi. Penjelasan Melva sepertinya
Setelah menjalani pelatihan intensif sampai akhir pekan, akhirnya Melva siap untuk memulai perannya sebagai personal asisten pada hari Senin. Namun, kegembiraannya segera berubah menjadi kegelisahan ketika Zeon bersikeras untuk mengantar ke kantor dari awal kepindahan. Meskipun Melva menolak dengan sopan, Zeon bersikeras untuk mereka berangkat bersama. Itu bukan hanya saran; rasanya lebih seperti perintah, sesuai sifat Zeon. Dengan perasaan tidak nyaman yang menghinggap di perutnya, Melva dengan enggan menuruti keteguhan Zeon dalam membujuknya, ralat, memaksanya. Perubahan sikap Zeon terhadap Melva memang mengejutkan banyak orang di sekitarnya, terutama para pekerja rumah tangga yang mengenal Zeon sebagai sosok yang dingin dan acuh. Namun, sikap Zeon yang lebih hangat dan perhatian terhadap Melva menunjukkan bahwa ada sesuatu yang istimewa di antara hubungan mereka. Isi kepala setiap pekerja rumah tangga pagi itu semakin tumpang tindih dengan berbagai spekulasi. *** Pada hari
Lembur pertama Melva adalah satu Minggu kemudian. Dia masih senantiasa berdampingan dengan Zeon. Saat ini Melva tengah berdiri di samping pria itu yang duduk di kursi kerjanya. Melva sudah selesai dengan pekerjannya, dia membacakan jadwal Zeon satu Minggu ke depan. "Dan yang terakhir pertemuan dengan departemen keuangan pada hari Rabu tentang rencana pendanaan proyek baru." Zeon menjawab tanpa mengangkat wajahnya, jarinya masih lincah mengetik di keyboard, "Ganti, majukan di hari Selasa. Saya masih luang di hari itu, lebih baik selesaikan lebih cepat." "Baik Pak, sesuai perintah, saya akan menghubungi departemen terkait tentang perubahan ini." Sudah hampir jam sebelas malam. Zeon tidak memberitahu sejauh mana pekerjaannya akan selesai. Melva sudah menawarkan bantuan, namun Zeon tetap menolak. Terlintas kejadian saat Melva tertidur di sofa dan ruang kerja rumahnya, Zeon mengira Melva mendesak karena mengantuk. Sebenarnya, pekerjaan ini masih lama selesai. Melva tidak terl
Zeon masih merenungi kata-kata dari Farel saat sebuah nomor tak dikenal tertera di layar ponsel. Cahaya redup dari lampu meja menyinari wajahnya yang dipenuhi dengan keraguan."Haruskah aku mengangkat?" batinnya, jari-jemarinya bergetar di atas layar ponsel.Farel baru saja memberikan nasihat yang mendalam. Sekarang, dengan nada serius yang masih menggema dalam ingatannya, Zeon duduk dengan tegang di kursi kerjanya, pikirannya masih dipenuhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang dibagikan oleh Farel.Namun, rasa penasaran yang menggelitiknya akhirnya menang. Dengan nadi berdegup kencang, Zeon menekan tombol untuk mengangkat panggilan tersebut.Suara di ujung sana membuatnya terdiam sejenak, mencoba mengenali siapa yang mungkin berada di balik nomor tersebut. Panggilan berlangsung selama lima menit. Zeon menutup telepon dengan gerakan cepat, tetapi tangannya gemetar. Raut wajahnya yang semula tenang berubah menjadi gelisah, matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam. Bibirnya sediki
Karena sopirnya mengalami cedera kaki akibat kecelakaan, Zeon menjadi terpaksa harus mengendarai mobilnya sendiri. Sopir itu, bernama Pak Budi, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-harinya. Namun, kecelakaan itu mengharuskannya untuk beristirahat di rumah sakit demi kesembuhan. Pagi itu, di meja makan, Zeon dan Melva duduk bersama untuk sarapan. Zeon sibuk mengupas udang dan menatanya rapi di piring Melva. Saat itu, Melva mengangkat kepalanya sebentar, mencuri pandang ke meja. Dia membiarkan Zeon melakukan apapun yang pria itu mau. "Apakah tidak apa-apa untuk berkendara sendiri? Tidak ada sopir pengganti sementara?" tanyanya Melva setelah menyantap udang dari Zeon. Zeon menghentikan aktivitasnya sejenak, memikirkan jawaban yang tepat. Cedera Pak Budi memang menjadi perhatian, tetapi ia ingin memastikan bahwa Melva punya kenyamanan dalam mobilitasnya. "Aku akan memikirkannya. Jadi jika kamu butuh berpergian, kamu tidak perlu khawatir soal taksi," jawab Zeon
Pukul delapan malam ketika Melva sampai di rumah. Ia disambut oleh pemandangan Zeon yang duduk santai di sofa depan televisi, tampak asyik menonton sebuah acara. Di tengah cahaya lembut lampu ruang tamu, mereka saling tersenyum, sebuah tatapan penuh kebahagiaan yang tidak perlu kata-kata. Melva berjalan mendekat dan duduk di samping Zeon. Tanpa ragu, Zeon mengangkat tangannya untuk mengelus surai panjang Melva yang tergerai. Melva memotong jarak lagi, menyandarkan kepalanya di pundak Zeon dengan lembut, menikmati kehangatan dan ketenangan momen itu. Zeon memecah keheningan dengan sebuah tawaran lembut, "Mau makan camilan malam?" tanya Zeon, suaranya penuh kelembutan. Zeon merasakan gerakan lembut di pundaknya dan mendongak. Dengan senyum manis, ia menegakkan kepalanya dan mengangguk. Zeon berdiri, mengantarkan langkahnya menuju dapur dengan gerakan yang ringan dan penuh kepastian. Di dapur, Zeon memulai ritual kecilnya, hanya mengupas beberapa buah segar kemudian memotongnya men
Melva sudah tiba di kafe terlebih dahulu, memilih meja di sudut yang nyaman, dekat jendela yang memandang ke taman kecil di luar. Dia duduk dengan tenang, memesan secangkir kopi panas, sambil sesekali melirik ke pintu untuk melihat apakah Helena sudah datang. Lima menit kemudian, Helena muncul dengan langkah cepat, menyusuri jalan setapak di antara meja-meja kafe. Dia melihat Melva dan tersenyum, menuju ke mejanya."Melva!" Helena menyapa, meletakkan tasnya di meja dan duduk di kursi di hadapan sahabatnya. "Jadi, kalian pacaran sekarang?" tanya Helena tanpa basa-basi, matanya mengungkapkan rasa ingin tahunya yang mendalam.Melva tidak merasa perlu menyembunyikannya. "Ya," jawabnya singkat, sambil menyesap jus jeruk di hadapannya dengan santai. Ekspresi wajahnya menunjukkan kepuasan dan kebanggaan, namun juga sedikit kekhawatiran yang mungkin tidak sepenuhnya dia sadari.Helena mengernyitkan dahi, jelas terkejut. "Melva, aku tidak bisa percaya ini. Proses pendekatan kalian terlalu cepa
Tiba di kota tempat tinggalnya, Zeon tidak ragu menggandeng tangan Melva, menunjukkan kedekatan dan kehangatan di tengah hiruk-pikuk bandara. Sementara itu, sopir pribadinya, yang sudah menunggu dengan sabar, segera meraih dua koper yang dibawa mereka dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil.Begitu kedua orang tersebut masuk ke dalam mobil, kendaraan itu melaju dengan mulus meninggalkan area bandara, menyusuri jalan-jalan kota yang mulai menampakkan kehidupan siangnya. Menyadari bahwa mereka hanya sempat mengisi perut dengan roti selai sebelum pulang, Zeon memutuskan untuk menelepon koki di rumah, memintanya untuk menyiapkan makan siang lebih awal dari jadwal.Dengan demikian, mereka bisa langsung menikmati hidangan yang telah disiapkan dengan penuh perhatian segera setelah sampai di rumah. Suasana di mobil terasa nyaman dan akrab, sementara Zeon dan Melva mengobrol ringan, menikmati perjalanan mereka yang tampaknya semakin mendekatkan mereka pada kehangatan rumah dan hidangan yang me
"Apakah kamu pernah mengalami ini sebelumnya?" Suara dokter terdengar tenang, berusaha mengurangi ketegangan yang meliputi ruangan.Melva duduk di ruang pemeriksaan dokter, terbalut dalam kekhawatiran yang mendalam. Dinding putih ruangan itu seakan menekan perasaannya, sementara Zeon, suaminya, duduk di sampingnya, berusaha memberi dukungan. Dokter, seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun dengan mata yang penuh empati, menatap Melva dari meja kerjanya, mengamati setiap gerak tubuh dan ekspresi wajahnya.Melva, yang sudah tampak gelisah sejak masuk, hanya membisu. Dia menatap lantai, mencoba menenangkan diri dari gelombang kecemasan yang menghantamnya. Zeon meraih tangannya dan mengelus punggungnya dengan lembut, memberikan dukungan tanpa kata."Tenang. Cobalah untuk menjawab pertanyaan dokter."Melva menarik napas dalam-dalam dan mengangkat kepala, matanya bertemu dengan tatapan dokter. Dengan suara yang bergetar, dia akhirnya berkata, "Baru kali ini."Dokter mengangguk perlahan
Matahari sudah terbenam, dan suasana di jalan raya terasa tenang. Namun, seiring dengan malam yang semakin larut, suasana tiba-tiba berubah drastis.Dalam jarak beberapa puluh meter di depan mereka, sebuah truk besar yang membawa muatan berat tampak mengalami kecelakaan. Truk itu terbalik dan menutup seluruh jalur, sementara barang-barang yang dibawanya berserakan di sepanjang jalan. Kecelakaan ini menyebabkan lalu lintas berhenti total. Lampu lalu lintas di sekitar area tersebut berkedip-kedip sebelum akhirnya padam, memicu pemutusan listrik yang lebih luas di daerah tersebut.Seketika, jalan-jalan di sekitar mereka menjadi gelap gulita. Lampu jalan dan lampu kendaraan di sekitar hilang, dan hanya ada kegelapan yang menggelayuti suasana. Zeon dan Melva mencoba menyalakan lampu mobil mereka dengan intensitas penuh, tetapi cahaya yang dipancarkan hanya menambah kesan gelap karena keterbatasannya.Melva mencoba menenangkan Zeon, yang tampak frustrasi dengan situasi ini. "Tenang, Zeon. K
Melva tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika melihat bahwa Zeon telah memesan sebuah apartemen untuk mereka. Terlepas dari fakta bahwa ini adalah perjalanan bisnis singkat, kesediaan Zeon untuk memesan tempat yang begitu nyaman terasa seperti kejutan yang menyenangkan. Namun, kelegaan Melva segera datang ketika dia melihat ada dua kamar tidur di apartemen ini. Itu berarti mereka akan memiliki ruang pribadi masing-masing.Apartemen itu memiliki desain yang modern dan elegan, dengan dinding putih bersih dan lantai kayu gelap yang memberikan kesan hangat dan nyaman. Ruang tamu yang luas dilengkapi dengan sofa empuk berwarna abu-abu, meja kopi kaca, dan sebuah televisi layar datar di dinding. Di sudut ruang tamu, terdapat sebuah meja makan kecil dengan empat kursi. Di sampingnya, jendela besar membingkai pemandangan kota yang gemerlap, memberi cahaya alami yang melimpah ke dalam ruangan.Di sebelah ruang tamu, terdapat dapur terbuka yang lengkap dengan peralatan modern: kulkas,
Melva dan Zeon memasuki ruang tunggu bandara. Setelah melalui pemeriksaan keamanan dan menuju ke gate, mereka akhirnya menemukan tempat duduk mereka di ruang tunggu yang cukup nyaman. Jam menunjukkan pukul 09:15 pagi, dan mereka bersiap-siap untuk boarding.Mereka berdua memeriksa tiket mereka sekali lagi, memastikan segala sesuatu. Jam keberangkatan tercatat pada pukul 10:00 pagi.Sekitar pukul 09:45, boarding dimulai. Melva dan Zeon melaju melalui pintu boarding, memasuki pesawat. Mereka menemukan kursi mereka di kelas ekonomi, yang terletak di dekat jendela. Melva duduk di dekat jendela sementara Zeon duduk di sampingnya di kursi tengah.Pesawat mulai lepas landas tepat waktu pada pukul 10:00 pagi. Dengan mulus, mesin pesawat meraung dan pesawat meninggalkan landasan. Melva menatap pemandangan kota yang semakin menjauh dari jendela, terpesona oleh pemandangan yang membentang luas di bawahnya. Zeon, di sisi lain, mengeluarkan tablet dari tasnya dan mulai mencari beberapa film untuk
Helena menatap ponselnya, seolah-olah berharap Melva bisa merasakan kehangatan dan kejujuran dari kata-katanya melalui telepon. "Aku hanya ingin kamu tahu bahwa keputusanmu untuk tetap membuka hati dan mempertahankan hubungan ini lebih penting daripada apa yang dikatakan orang lain. Kebenaran cinta adalah tentang keberanian untuk menghadapi ketakutan dan merangkul kebahagiaan yang datang. Jangan biarkan ketakutan dan gosip menghentikanmu dari menjalani sesuatu yang bisa membuatmu bahagia. Jangan biarkan Zeon merasa kehilangan kesempatan untuk mencintaimu hanya karena kamu takut pada pandangan orang luar." Helena mengakhiri percakapan dengan nada lembut namun penuh harapan. "Kamu memiliki kekuatan untuk membuat keputusan yang benar untuk dirimu sendiri." Melva menatap ponselnya, merenung dengan hati yang bergejolak. Suara Helena masih menggema dalam pikirannya, membangkitkan perasaan yang telah lama ditekan. Ketika dia berdiri di depan koper yang hampir selesai dikemas, dia tidak b
Setelah makan malam, Melva bergegas menuju kamar tidurnya. Dia berdiri di depan koper besar yang terbuka lebar di tengah kamar, merencanakan perjalanan bisnis yang akan membawanya ke kota yang jauh. Dengan cekatan, dia mulai memasukkan barang-barang ke dalam koper, setiap item ditimbang dengan hati-hati untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Di bagian paling atas, Melva menempatkan pakaian kerja yang telah disiapkannya dengan teliti: beberapa set blazer elegan, blus berpotongan rapi, dan celana panjang yang serasi. Setiap potong pakaian dipilih untuk memberi kesan profesional dan percaya diri di hadapan klien. Selain itu, ia juga membawa beberapa gaun yang sederhana namun mewah, untuk menghadiri acara sosial yang mungkin terjadi selama perjalanannya. Tak kalah penting, Melva memasukkan perlengkapan mandi dalam sebuah kantong plastik transparan—sabun, sampo, dan pelembap kulit yang selalu digunakannya untuk menjaga penampilan dan kesehatannya tetap optimal. Dia juga memasukka