Zeon memperhatikan Melva dengan seksama, melihat tanda-tanda halus dari kebohongan di mata Melva. Dia memutuskan untuk memberinya beberapa dua hari libur. Gerakan Melva masih terbatas, sebuah bukti dari rasa sakit yang masih tersisa dari insiden semalam.
Hanya satu hari sejak Melva mulai bekerja sebagai asisten pribadinya, belum cukup waktu untuk menyesuaikan diri dengan perannya yang baru. Selain itu, dia telah menghabiskan beberapa hari sebelumnya dalam pelatihan, hampir tidak bisa disebut pekerjaan dan dia sudah diberi cuti. Sekarang, Melva mendapati dirinya diberi dua hari istirahat. Tanpa dia sadari, selama dua hari ini, para staf rumah tangga bergosip tentangnya. Setelah baru saja pindah ke kediaman Zeon, Melva menjadi bahan spekulasi. Pelayan-pelayan itu berbisik di antara mereka sendiri, menggambarkannya sebagai wanita penggoda dan berasumsi bahwa Zeon terlibat dalam hubungan intim kasar dengannya, itulah sebabnya memar dari insiden kursi terjadi. Penjelasan Melva sepertinya tidak berarti apapun, itu justru berkembang menjadi spekulasi lain. "Apa Tuan Zeon orang yang seperti itu?" "Dia pasti bermain kasar sampai membentur kursi!" "Jangan berkata buruk tentang Tuanmu sendiri," kata juru masak menengahi. "Aku hanya menebak." Pelayan bernama Ana itu menghindari tatapan juru masak. "Simpan saja dalam hatimu, tidak perlu dikatakan. Kamu menimbulkan fitnah." *** Sore itu, Melva merasa sudah lebih nyaman untuk bergerak, dan dia sedang menikmati camilan sambil duduk di dekat jendela kamar ketika ponselnya berdering. Helena, sahabatnya, menelepon. "Hei, kenapa apartemenmu ada orang lain? Kamu pindah dan tidak bilang padaku?" tanya Helena dengan nada tinggi, dia pasti marah. Suaranya tidak teredam meskipun terdengar suara kendaraan bising di latar belakang. Bola mata Melva membesar, dan dia menepuk keningnya. Tentang pemindahannya ke rumah Zeon, dia lupa memberitahu Helena. Melva memberikan cerita singkat tentang pemindahannya pada Helena, dan kemudian terdengar keheningan di ujung telepon. Helena kehabisan kata-kata. Mengapa seorang asisten pribadi perlu tinggal bersama atasannya? "Ayo bertemu, aku butuh penjelasan lebih." Mereka setuju untuk bertemu di kafe yang terletak dekat dengan kompleks perumahan Zeon. Helena tercengang melihat kompleks tersebut ketika dia tiba di gerbang untuk menjemput Melva. Dua penjaga keamanan berpostur kekar siap sedia di gerbang, memberikan kesan bahwa mereka siap menghadapi setiap kemungkinan penyusup. Helena menggeleng-gelengkan kepala, membayangkan betapa mahal dan mewahnya rumah-rumah di sana. Berapa biaya listrik untuk tiap bulannya? Helena sejenak melupakan dirinya yang juga anak orang kaya. Dan fakta bahwa sahabatnya sekarang tinggal di sana bersama atasan membuatnya semakin kagum. "Kamu berhasil memikatnya begitu cepat," kata Helena setelah menyesap minumannya. Dia mengedipkan mata kepada Melva. Keduanya kini duduk di sebuah kafe yang nyaman, dengan suasana yang hangat dan lampu-lampu remang. Sebuah hiasan tanaman hijau mempercantik sudut ruangan, memberikan sentuhan alami pada dekorasi interior kafe. "Aku tidak memikatnya, dia yang mengikatku," jawab Melva dengan nada kesal, meneguk minumannya dengan gerakan cepat. Dia langsung menggunakan tangannya untuk mengusap setetes air yang lolos dari mulutnya. "Wow, kamu punya bakat," Helena masih melontarkan kalimat-kalimat leluconnya, dia bahkan bersiul sekarang. Namun, melihat raut Melva yang semakin kesal sejak topik tersebut muncul, dia sadar bahwa saatnya untuk berhenti bercanda dan menjadi lebih serius. Helena mengubah postur tubuhnya, duduk lebih santai di kursinya. "Apa alasan dia membuatmu pindah tinggal dengannya?" tanya Helena dengan serius. "Aku tidak tahu," jawab Melva sambil mengangkat bahunya. Semakin dia berpikir, semakin dia tidak mengerti maksud sebenarnya Zeon, jadi dia memutuskan untuk berhenti memikirkannya. Helena merasakan kebingungannya. Apakah itu cinta pada pandangan pertama? Tampaknya tidak. Meskipun ada perasaan tertentu yang terlibat, apakah Zeon akan langsung mengundang seseorang untuk tinggal bersamanya? Helena meragukannya. "Kamu akan diperintah macam-macam olehnya." Melva menggeleng, "Tidak, atau mungkin belum." "Apa dia protes lagi selain kejadian lipstik itu?" Helena menunjuk wajah Melva, Melva menurunkan telunjuk Helena. Dia sedikit malu saat beberapa kepala menoleh pada mereka. "Sejauh ini belum, dia justru terlihat... perhatian?" Helena menepuk tangan sekali, dia sangat senang saat berkata, "Bagus! Kita bisa double date." "Berhenti membawa topik itu. Dia menganggap aku seperti anak kecil. Dia melarangku makan camilan di malam hari dan memberikan aku susu kotak sebagai gantinya." "Aw, kamu memang lucu mirip anak kecil." Tangan Helena terulur lagi, dia mencubit masing-masing pipi Melva. Sedetik kemudian wajahnya nampak sedih, "Lalu bagaimana jika aku ingin menginap? Kamu bilang bahkan memasuki kompleks itu membutuhkan akses pengenal?" Helena mengeluh tentang keterbatasan pertemuan mereka. "Ya, mau bagaimana lagi?" Melva mengeluh mirip dengan Helena. Dia mengusap pipinya setelah Helena melepaskannya. Ekspresi Helena berubah lagi, dia menelisik, "Apakah kamu tidak takut menjadi bahan gosip di rumah itu? Bagaimana dengan orang tuanya?" tanya Helena. Melva menghela nafas panjang. Dia akhirnya mencapai titik di mana dia harus menceritakan semuanya. "Aku sudah digosipkan sebagai wanita penggoda. Dan tidak, Zeon tinggal sendirian. Aku tidak tahu apa-apa tentang orang tuanya. Zeon juga bukan tipe orang yang akan memberi tahu segalanya pada orang baru sepertiku," ujarnya. Mendengar itu, Helena menjadi sedikit marah. "Mereka tidak tahu bahwa bosmu yang tertarik padamu! Tidak apa-apa, mereka akan melihat sendiri siapa yang lebih ingin tinggal bersama," Helena menyemangati. Itu benar. Melva tidak pernah terlihat menggoda Zeon, malah sebaliknya, Zeon sangat perhatian padanya. Orang-orang yang dengki hanya akan menyalahkan orang yang tidak disukainya, tanpa mau menerima fakta bahwa orang itu tidak bersalah. Helena bergelayut manja di lengannya, enggan untuk berpisah dengan Melva, dia telah mendapat panggilan dari kantor. Mendapat tatapan orang-orang di depan kafe, Melva mendesaknya sampai Helena melepasnya. Setelah Helena pergi, Melva memilih untuk tinggal lebih lama di kafe. Setelah menghabiskan minumannya, dia akhirnya memutuskan untuk pergi. Saat dia berjalan di trotoar, sebuah mobil berhenti di sampingnya. Melva mengenali mobil itu dan menghentikan kakinya, menunggu seseorang keluar. Zeon membuka pintu, mempersilahkannya untuk masuk. Mereka duduk diam di kursi penumpang. Zeon tidak bertanya tentang kepergiannya atau siapa yang ditemuinya, dan hanya ada hening sepanjang perjalanan. Atmosfer terasa dingin, sopir di depan mematikan radio hingga ke suara terendahnya. Suara dalam mobil semakin hening. "Bagaimana pinggangmu?" tanya Zeon akhirnya. "Sudah membaik, aku bisa bergerak lebih bebas. Besok aku bisa kembali bekerja," jawab Melva, membuat Zeon mengangguk puas. Melva merenung, apakah reaksi Zeon itu ditujukan pada pemulihan lukanya atau pekerjaan yang akan dia lakukan besok? Mobil memasuki gerbang rumah. "Setelah makan malam, datanglah ke ruang kerja," kata Zeon. Melva mengangguk tanpa banyak bicara. Sesuai permintaan, Melva menaiki tangga menuju lantai dua, memasuki wilayah Zeon untuk pertama kalinya, dia memeriksa sekitarnya. Dia berdiri di depan pintu ruang kerja Zeon beberapa menit sebelum akhirnya mengetuk pintunya. Terdengar suara sahutan dari dalam, Zeon mempersilakannya masuk. Zeon menarik kursi yang tadinya didudukinya dan menyuruh Melva duduk di sana. Melva merasa kecil saat duduk di kursi tersebut, dengan Zeon berdiri di sampingnya, Melva semakin merasa seperti seorang bos kecil. Dia menaikkan kepalanya, membayangkan Zeon sebagai bodyguard-nya. Melva menggelengkan kepala, menolak pikiran tersebut. "Aku akan mengajari pekerjaanmu," kata Zeon. Dia membungkuk, membuka tumpukan dokumen, dan menjelaskannya pada Melva. Melva sampai harus membuat catatan di buku untuk mempelajarinya nanti. "Itu salah, kamu harus menulisnya seperti ini supaya mudah dibaca." Zeon menyela tulisan Melva. Zeon semakin membungkuk, mempersempit jarak di antara mereka. Dari jarak ini, Melva mencium aroma pria itu. Dia mengintip melalui sudut matanya, melihat dagu Zeon hanya beberapa senti dari wajahnya. Melva merasa pipinya memanas tanpa disadari. "Lanjutkan, aku akan turun sebentar," ujar Zeon sebelum menghilang di balik pintu. Begitu Zeon pergi, Melva menurunkan keningnya ke meja. Dia merasa sangat mengantuk. Membaca begitu banyak huruf dalam dokumen membuat matanya semakin berat. Dia masih bisa mencium sisa-sisa aroma Zeon di sekitarnya. Tiba-tiba, Melva tersadar dan menampar pipinya sendiri "Sadarlah!" gumamnya berkali-kali. Ketika Zeon kembali, Melva sudah tertidur dengan pipinya menempel di meja. Jika dibiarkan lebih lama, bekas tekanan itu pasti akan terlihat. Zeon memandanginya, membatin, "Kenapa kamu begitu mudah tertidur? Bagaimana jika kamu terlelap di tempat umum dan diambil oleh orang jahat?" Pikiran itu membuat Zeon semakin khawatir, dan dorongan untuk melindungi Melva semakin kuat.Setelah menjalani pelatihan intensif sampai akhir pekan, akhirnya Melva siap untuk memulai perannya sebagai personal asisten pada hari Senin. Namun, kegembiraannya segera berubah menjadi kegelisahan ketika Zeon bersikeras untuk mengantar ke kantor dari awal kepindahan. Meskipun Melva menolak dengan sopan, Zeon bersikeras untuk mereka berangkat bersama. Itu bukan hanya saran; rasanya lebih seperti perintah, sesuai sifat Zeon. Dengan perasaan tidak nyaman yang menghinggap di perutnya, Melva dengan enggan menuruti keteguhan Zeon dalam membujuknya, ralat, memaksanya. Perubahan sikap Zeon terhadap Melva memang mengejutkan banyak orang di sekitarnya, terutama para pekerja rumah tangga yang mengenal Zeon sebagai sosok yang dingin dan acuh. Namun, sikap Zeon yang lebih hangat dan perhatian terhadap Melva menunjukkan bahwa ada sesuatu yang istimewa di antara hubungan mereka. Isi kepala setiap pekerja rumah tangga pagi itu semakin tumpang tindih dengan berbagai spekulasi. *** Pada hari
Lembur pertama Melva adalah satu Minggu kemudian. Dia masih senantiasa berdampingan dengan Zeon. Saat ini Melva tengah berdiri di samping pria itu yang duduk di kursi kerjanya. Melva sudah selesai dengan pekerjannya, dia membacakan jadwal Zeon satu Minggu ke depan. "Dan yang terakhir pertemuan dengan departemen keuangan pada hari Rabu tentang rencana pendanaan proyek baru." Zeon menjawab tanpa mengangkat wajahnya, jarinya masih lincah mengetik di keyboard, "Ganti, majukan di hari Selasa. Saya masih luang di hari itu, lebih baik selesaikan lebih cepat." "Baik Pak, sesuai perintah, saya akan menghubungi departemen terkait tentang perubahan ini." Sudah hampir jam sebelas malam. Zeon tidak memberitahu sejauh mana pekerjaannya akan selesai. Melva sudah menawarkan bantuan, namun Zeon tetap menolak. Terlintas kejadian saat Melva tertidur di sofa dan ruang kerja rumahnya, Zeon mengira Melva mendesak karena mengantuk. Sebenarnya, pekerjaan ini masih lama selesai. Melva tidak terl
Zeon masih merenungi kata-kata dari Farel saat sebuah nomor tak dikenal tertera di layar ponsel. Cahaya redup dari lampu meja menyinari wajahnya yang dipenuhi dengan keraguan."Haruskah aku mengangkat?" batinnya, jari-jemarinya bergetar di atas layar ponsel.Farel baru saja memberikan nasihat yang mendalam. Sekarang, dengan nada serius yang masih menggema dalam ingatannya, Zeon duduk dengan tegang di kursi kerjanya, pikirannya masih dipenuhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang dibagikan oleh Farel.Namun, rasa penasaran yang menggelitiknya akhirnya menang. Dengan nadi berdegup kencang, Zeon menekan tombol untuk mengangkat panggilan tersebut.Suara di ujung sana membuatnya terdiam sejenak, mencoba mengenali siapa yang mungkin berada di balik nomor tersebut. Panggilan berlangsung selama lima menit. Zeon menutup telepon dengan gerakan cepat, tetapi tangannya gemetar. Raut wajahnya yang semula tenang berubah menjadi gelisah, matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam. Bibirnya sediki
Karena sopirnya mengalami cedera kaki akibat kecelakaan, Zeon menjadi terpaksa harus mengendarai mobilnya sendiri. Sopir itu, bernama Pak Budi, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-harinya. Namun, kecelakaan itu mengharuskannya untuk beristirahat di rumah sakit demi kesembuhan. Pagi itu, di meja makan, Zeon dan Melva duduk bersama untuk sarapan. Zeon sibuk mengupas udang dan menatanya rapi di piring Melva. Saat itu, Melva mengangkat kepalanya sebentar, mencuri pandang ke meja. Dia membiarkan Zeon melakukan apapun yang pria itu mau. "Apakah tidak apa-apa untuk berkendara sendiri? Tidak ada sopir pengganti sementara?" tanyanya Melva setelah menyantap udang dari Zeon. Zeon menghentikan aktivitasnya sejenak, memikirkan jawaban yang tepat. Cedera Pak Budi memang menjadi perhatian, tetapi ia ingin memastikan bahwa Melva punya kenyamanan dalam mobilitasnya. "Aku akan memikirkannya. Jadi jika kamu butuh berpergian, kamu tidak perlu khawatir soal taksi," jawab Zeon
Pagi itu, sinar matahari merayapi kamar Melva, mengusiknya dari tidurnya dengan lembut. Tanpa tergesa, ia memulai ritualnya dengan membersihkan wajah yang masih lembab dari tidur, lalu menyikat gigi. Melva sengaja bangun siang di hari Minggu ini. Begitu langkahnya menghampiri ruang makan, kesunyian yang tak biasa menyambutnya. Dengan rasa penasaran, Melva melihat meja makan yang terlihat sunyi, hanya dihiasi oleh sajian yang terselimuti rapat di bawah penutup makanan. Karena perutnya belum merasa lapar, ia memutuskan untuk membuat jus wortel segar sebagai pendamping paginya. Dengan menggunakan blender, Melva meracik jusnya, membiarkan aroma segar memenuhi dapur. Setelah selesai, ia memutuskan untuk menikmati pagi di taman kecil di samping rumah Zeon. Dengan segelas jus wortel di tangan, langkahnya ringan melintasi pintu samping rumah. Sinar matahari menyapu taman kecil di samping rumah Zeon dengan kehangatan yang menyegarkan. Pepohonan yang menjulang tinggi memberikan teduh,
Seorang sopir pengganti yang menggantikan pamannya sementara itu bernama Adam, dia telah menyetujui tawaran tersebut dari Zeon. Meskipun awalnya ragu-ragu, Adam merasa terhormat dengan tawaran tersebut, dan dia bertekad untuk memberikan yang terbaik dalam tugasnya. Setelah mengantar Adam ke pintu, Zeon berjalan menuju dapur, menemui Melva yang sedang makan di meja makan. Melva melihatnya dengan tatapan penasaran, mencermati setiap gerakannya dengan teliti."Sudah selesai? Apa kamu setuju dia jadi sopir sementara?" tanyanya, suara terdengar sedikit penasaran.Zeon hanya menjawab dengan anggukan pelan, "Mm," lalu membuka kulkas untuk mengambil air dingin.Di balik ekspresi tenangnya, Zeon merasa tegang dengan perubahan yang akan terjadi dalam rumah dengan kehadiran Adam sebagai sopir baru. Melva mengeluh, "Kenapa kamu tidak bilang dia akan segera pergi? Aku jadi tidak berpamitan. Itu kurang sopan."Sementara itu, Zeon membuka tutup botol, menenggak langsung dari botol miliknya. Melv
Melva merasa perlahan sadar dari mimpinya yang terputus-putus oleh suara alarm yang nyaring. Dengan gerakan malas, dia mencoba menjangkau ponselnya yang biasanya terletak di bawah bantal. Namun, kebingungannya semakin bertambah saat tangannya hanya meraba kosong di bawah bantal.Akhirnya, dia terpaksa membuka mata, membiarkan cahaya pagi yang masuk menyesakkan matanya. Dengan perlahan, dia memungut ponselnya dari nakas, mematikan alarm yang terus berdering.Melva tahu bahwa jika dia tidak segera bangun, alarm akan mengganggu penghuni rumah ini. Dengan gerakan peregangan yang lambat, dia memulai ritual paginya, memilih pakaian yang sesuai untuk hari itu setelah membuka lemari. Melva menyibak tirai jendela, merenung sejenak, mengamati pria yang tengah bekerja dengan tekun di halaman rumah Zeon, memotong rumput dengan alat pemotong. Sudah sejak kepindahannya dia memperhatikan aktivitas rumah tangga yang berlangsung di sekitar tempat tinggal barunya. Sejak kepindahannya ke sini, dia mene
Melva berdiri di depan meja Rere, memperhatikan bagaimana Rere dengan cermat merapikan meja kerjanya. Setiap buku dan dokumen disusun dengan rapi, sedangkan pena-pena dan perangkat kerja lainnya diletakkan dengan teratur di kotak. Meja Rere terletak strategis di samping pintu ruangan Zeon, yang membuatnya mudah terlihat bagi siapa pun yang melewati ruangan. Adalah hal yang kurang baik jika dibiarkan berantakan saat jam makan siang. Setelah memastikan bahwa meja kerja Rere sudah rapi, Melva dan Rere berjalan beriringan menuju kantin kantor. Rere memecah keheningan dengan menyebutkan tentang menu spesial hari itu. Melva, yang penasaran, segera menanggapinya dengan bertanya "Apa itu?" Rere mengaku tidak memiliki informasi yang cukup, namun dia mendengar bahwa menu spesial tersebut adalah makanan penutup. Meskipun belum tahu pasti apa makanan penutup tersebut, kedua wanita itu merasa tertarik dengan kemungkinan untuk menikmati sesuatu yang manis dan lezat setelah makan siang. Melva
Pukul delapan malam ketika Melva sampai di rumah. Ia disambut oleh pemandangan Zeon yang duduk santai di sofa depan televisi, tampak asyik menonton sebuah acara. Di tengah cahaya lembut lampu ruang tamu, mereka saling tersenyum, sebuah tatapan penuh kebahagiaan yang tidak perlu kata-kata. Melva berjalan mendekat dan duduk di samping Zeon. Tanpa ragu, Zeon mengangkat tangannya untuk mengelus surai panjang Melva yang tergerai. Melva memotong jarak lagi, menyandarkan kepalanya di pundak Zeon dengan lembut, menikmati kehangatan dan ketenangan momen itu. Zeon memecah keheningan dengan sebuah tawaran lembut, "Mau makan camilan malam?" tanya Zeon, suaranya penuh kelembutan. Zeon merasakan gerakan lembut di pundaknya dan mendongak. Dengan senyum manis, ia menegakkan kepalanya dan mengangguk. Zeon berdiri, mengantarkan langkahnya menuju dapur dengan gerakan yang ringan dan penuh kepastian. Di dapur, Zeon memulai ritual kecilnya, hanya mengupas beberapa buah segar kemudian memotongnya men
Melva sudah tiba di kafe terlebih dahulu, memilih meja di sudut yang nyaman, dekat jendela yang memandang ke taman kecil di luar. Dia duduk dengan tenang, memesan secangkir kopi panas, sambil sesekali melirik ke pintu untuk melihat apakah Helena sudah datang. Lima menit kemudian, Helena muncul dengan langkah cepat, menyusuri jalan setapak di antara meja-meja kafe. Dia melihat Melva dan tersenyum, menuju ke mejanya."Melva!" Helena menyapa, meletakkan tasnya di meja dan duduk di kursi di hadapan sahabatnya. "Jadi, kalian pacaran sekarang?" tanya Helena tanpa basa-basi, matanya mengungkapkan rasa ingin tahunya yang mendalam.Melva tidak merasa perlu menyembunyikannya. "Ya," jawabnya singkat, sambil menyesap jus jeruk di hadapannya dengan santai. Ekspresi wajahnya menunjukkan kepuasan dan kebanggaan, namun juga sedikit kekhawatiran yang mungkin tidak sepenuhnya dia sadari.Helena mengernyitkan dahi, jelas terkejut. "Melva, aku tidak bisa percaya ini. Proses pendekatan kalian terlalu cepa
Tiba di kota tempat tinggalnya, Zeon tidak ragu menggandeng tangan Melva, menunjukkan kedekatan dan kehangatan di tengah hiruk-pikuk bandara. Sementara itu, sopir pribadinya, yang sudah menunggu dengan sabar, segera meraih dua koper yang dibawa mereka dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil.Begitu kedua orang tersebut masuk ke dalam mobil, kendaraan itu melaju dengan mulus meninggalkan area bandara, menyusuri jalan-jalan kota yang mulai menampakkan kehidupan siangnya. Menyadari bahwa mereka hanya sempat mengisi perut dengan roti selai sebelum pulang, Zeon memutuskan untuk menelepon koki di rumah, memintanya untuk menyiapkan makan siang lebih awal dari jadwal.Dengan demikian, mereka bisa langsung menikmati hidangan yang telah disiapkan dengan penuh perhatian segera setelah sampai di rumah. Suasana di mobil terasa nyaman dan akrab, sementara Zeon dan Melva mengobrol ringan, menikmati perjalanan mereka yang tampaknya semakin mendekatkan mereka pada kehangatan rumah dan hidangan yang me
"Apakah kamu pernah mengalami ini sebelumnya?" Suara dokter terdengar tenang, berusaha mengurangi ketegangan yang meliputi ruangan.Melva duduk di ruang pemeriksaan dokter, terbalut dalam kekhawatiran yang mendalam. Dinding putih ruangan itu seakan menekan perasaannya, sementara Zeon, suaminya, duduk di sampingnya, berusaha memberi dukungan. Dokter, seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun dengan mata yang penuh empati, menatap Melva dari meja kerjanya, mengamati setiap gerak tubuh dan ekspresi wajahnya.Melva, yang sudah tampak gelisah sejak masuk, hanya membisu. Dia menatap lantai, mencoba menenangkan diri dari gelombang kecemasan yang menghantamnya. Zeon meraih tangannya dan mengelus punggungnya dengan lembut, memberikan dukungan tanpa kata."Tenang. Cobalah untuk menjawab pertanyaan dokter."Melva menarik napas dalam-dalam dan mengangkat kepala, matanya bertemu dengan tatapan dokter. Dengan suara yang bergetar, dia akhirnya berkata, "Baru kali ini."Dokter mengangguk perlahan
Matahari sudah terbenam, dan suasana di jalan raya terasa tenang. Namun, seiring dengan malam yang semakin larut, suasana tiba-tiba berubah drastis.Dalam jarak beberapa puluh meter di depan mereka, sebuah truk besar yang membawa muatan berat tampak mengalami kecelakaan. Truk itu terbalik dan menutup seluruh jalur, sementara barang-barang yang dibawanya berserakan di sepanjang jalan. Kecelakaan ini menyebabkan lalu lintas berhenti total. Lampu lalu lintas di sekitar area tersebut berkedip-kedip sebelum akhirnya padam, memicu pemutusan listrik yang lebih luas di daerah tersebut.Seketika, jalan-jalan di sekitar mereka menjadi gelap gulita. Lampu jalan dan lampu kendaraan di sekitar hilang, dan hanya ada kegelapan yang menggelayuti suasana. Zeon dan Melva mencoba menyalakan lampu mobil mereka dengan intensitas penuh, tetapi cahaya yang dipancarkan hanya menambah kesan gelap karena keterbatasannya.Melva mencoba menenangkan Zeon, yang tampak frustrasi dengan situasi ini. "Tenang, Zeon. K
Melva tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika melihat bahwa Zeon telah memesan sebuah apartemen untuk mereka. Terlepas dari fakta bahwa ini adalah perjalanan bisnis singkat, kesediaan Zeon untuk memesan tempat yang begitu nyaman terasa seperti kejutan yang menyenangkan. Namun, kelegaan Melva segera datang ketika dia melihat ada dua kamar tidur di apartemen ini. Itu berarti mereka akan memiliki ruang pribadi masing-masing.Apartemen itu memiliki desain yang modern dan elegan, dengan dinding putih bersih dan lantai kayu gelap yang memberikan kesan hangat dan nyaman. Ruang tamu yang luas dilengkapi dengan sofa empuk berwarna abu-abu, meja kopi kaca, dan sebuah televisi layar datar di dinding. Di sudut ruang tamu, terdapat sebuah meja makan kecil dengan empat kursi. Di sampingnya, jendela besar membingkai pemandangan kota yang gemerlap, memberi cahaya alami yang melimpah ke dalam ruangan.Di sebelah ruang tamu, terdapat dapur terbuka yang lengkap dengan peralatan modern: kulkas,
Melva dan Zeon memasuki ruang tunggu bandara. Setelah melalui pemeriksaan keamanan dan menuju ke gate, mereka akhirnya menemukan tempat duduk mereka di ruang tunggu yang cukup nyaman. Jam menunjukkan pukul 09:15 pagi, dan mereka bersiap-siap untuk boarding.Mereka berdua memeriksa tiket mereka sekali lagi, memastikan segala sesuatu. Jam keberangkatan tercatat pada pukul 10:00 pagi.Sekitar pukul 09:45, boarding dimulai. Melva dan Zeon melaju melalui pintu boarding, memasuki pesawat. Mereka menemukan kursi mereka di kelas ekonomi, yang terletak di dekat jendela. Melva duduk di dekat jendela sementara Zeon duduk di sampingnya di kursi tengah.Pesawat mulai lepas landas tepat waktu pada pukul 10:00 pagi. Dengan mulus, mesin pesawat meraung dan pesawat meninggalkan landasan. Melva menatap pemandangan kota yang semakin menjauh dari jendela, terpesona oleh pemandangan yang membentang luas di bawahnya. Zeon, di sisi lain, mengeluarkan tablet dari tasnya dan mulai mencari beberapa film untuk
Helena menatap ponselnya, seolah-olah berharap Melva bisa merasakan kehangatan dan kejujuran dari kata-katanya melalui telepon. "Aku hanya ingin kamu tahu bahwa keputusanmu untuk tetap membuka hati dan mempertahankan hubungan ini lebih penting daripada apa yang dikatakan orang lain. Kebenaran cinta adalah tentang keberanian untuk menghadapi ketakutan dan merangkul kebahagiaan yang datang. Jangan biarkan ketakutan dan gosip menghentikanmu dari menjalani sesuatu yang bisa membuatmu bahagia. Jangan biarkan Zeon merasa kehilangan kesempatan untuk mencintaimu hanya karena kamu takut pada pandangan orang luar." Helena mengakhiri percakapan dengan nada lembut namun penuh harapan. "Kamu memiliki kekuatan untuk membuat keputusan yang benar untuk dirimu sendiri." Melva menatap ponselnya, merenung dengan hati yang bergejolak. Suara Helena masih menggema dalam pikirannya, membangkitkan perasaan yang telah lama ditekan. Ketika dia berdiri di depan koper yang hampir selesai dikemas, dia tidak b
Setelah makan malam, Melva bergegas menuju kamar tidurnya. Dia berdiri di depan koper besar yang terbuka lebar di tengah kamar, merencanakan perjalanan bisnis yang akan membawanya ke kota yang jauh. Dengan cekatan, dia mulai memasukkan barang-barang ke dalam koper, setiap item ditimbang dengan hati-hati untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Di bagian paling atas, Melva menempatkan pakaian kerja yang telah disiapkannya dengan teliti: beberapa set blazer elegan, blus berpotongan rapi, dan celana panjang yang serasi. Setiap potong pakaian dipilih untuk memberi kesan profesional dan percaya diri di hadapan klien. Selain itu, ia juga membawa beberapa gaun yang sederhana namun mewah, untuk menghadiri acara sosial yang mungkin terjadi selama perjalanannya. Tak kalah penting, Melva memasukkan perlengkapan mandi dalam sebuah kantong plastik transparan—sabun, sampo, dan pelembap kulit yang selalu digunakannya untuk menjaga penampilan dan kesehatannya tetap optimal. Dia juga memasukka