Melva tipe orang yang mudah mengantuk dan bisa cepat tertidur. Tapi di tempat ini sepertinya pengecualian baginya. Kamar ini sangat bagus dan luas. Seprainya lembut dan kasurnya nyaman. Tapi di luar tidak aman. Ini adalah rumah Zeon. Dengan sifat yang belum semuanya diketahui oleh Melva, Melva perlu cemas berada dalam teritori Zeon.
Sudah pukul sepuluh saat perut Melva berbunyi. Dia lapar. Melva memakai sandal lembut berbentuk kelinci lalu keluar dari kamar. Keadaan rumah sangat gelap. Melva tidak berniat menyalakan satupun lampu. Dia membawa ponselnya sebagai penerangan. Tujuannya tentu dapur, matanya menyapu isi kulkas. Semuanya bahan mentah yang perlu diolah. Bagaimana mungkin kulkas sebesar ini tidak menyediakan camilan? Baru saja hendak menutup pintu kulkas, suara pintu dibuka terdengar. Melva mematikan senter di ponsel dan memasuki toilet dapur. Mendengar langkah kaki lebih dari satu, Melva menebak itu adalah pelayan pribadi yang memang tinggal di rumah ini. "Aku masih tidak mengerti mengapa Tuan Zeon membawa asisten pribadinya tinggal bersama." "Benar, tapi aku perhatikan wanita itu bukan tipe penggoda. Mungkinkah Tuan Zeon sendiri yang memintanya?" "Jangan lihat dari luarnya. Sekarang penampilan seseorang bukan penentu isi hatinya juga secantik wajahnya. Memang kamu pikir aku baru satu atau dua bulan di sini? Aku sudah paham bagaimana watak Tuan. Dia sama sekali tak tersentuh. Jadi kemungkinan terbesar pasti wanita itu ahli menggoda. Tuan sangat kaya, siapa yang tidak mau memiliki kesempatan merebut hatinya?" "Ada benarnya juga." Suara air yang dituang dalam gelas terdengar jelas di kesenyapan malam. Hingga langkah kaki semakin kurang terdengar sampai hening kembali, Melva baru keluar dari persembunyiannya. Melva mengepalkan tangannya. Melva hanya tidak menyangka dia sudah digosipkan sedemikian rupa. Dua pelayan wanita itu memang menginap. Hanya tukang kebun dan juru masak yang pulang pergi. Kalimat yang mereka bicarakan mengenai penampilan bisa menipu sepertinya lebih cocok untuk mereka sendiri. Saat baru tiba di rumah ini, kedua pelayan itu senantiasa tersenyum hangat. Melva menandainya sekarang bahwa mereka hanya pandai menutupi sifat aslinya. Perut Melva semakin terasa lapar. Dia tidak makan banyak saat makan malam dengan Zeon dan menyesalinya sekarang. "Aku ingat ada supermarket di samping gerbang perumahan." Dengan nekat Melva mengambil kunci rumah di laci samping tempat sandal. Dia mengetahuinya karena sejak memasuki rumah ini, apa yang Zeon lakukan akan ia perhatikan. Udara lumayan dingin, Melva tidak bisa kembali ke kamar lagi untuk mengambil jaket ketika melihat pos satpam kosong. Ini adalah kesempatan. Melva dengan mudah keluar dari gerbang. Lingkungan komplek ini sangat sepi. Khas rumah-rumah para penggila kerja yang jarang di rumah. Beruntung rumah Zeon tidak jauh dari gerbang utama. Dia menyelinap diam-diam saat penjaga lengah. "Selamat datang." Melva mengangguk kecil menerima sapaan kasir. Dia segera mengambil beberapa makanan ringan tanpa banyak pertimbangan. Karena tidak membawa keranjang belanjaan, Melva sedikit kesulitan memegang barangnya. Lalu sebuah kejadian berlangsung cepat, wanita tua yang menggendong anak di depan Melva mundur tiba-tiba. Melva yang tidak siap berakhir menjatuhkan beberapa belanjaannya termasuk ponselnya. "Maaf. Anakku sedang rewel." "Tidak apa-apa." Melva meletakkan barang di tangannya ke meja kasir lalu membungkuk memungut yang jatuh. Ponselnya segera ia masukkan ke dalam saku. Nasib buruk sepertinya akan datang. Penjaga sudah berpatroli dan berdiri di gerbang utama komplek. Melva memberanikan diri mendekat. Dia datang dengan Zeon, jadi mereka pasti mengenalinya. Yang tidak Melva duga adalah penjaga sudah berganti shift. Jadi sekarang mereka belum tahu bahwa Melva penghuni baru di rumah Zeon. "Mohon maaf. Kami belum pernah melihat kamu sebelumnya. Tolong berikan tanda pengenal." Ini adalah kawasan mahal yang keamanannya sangat ketat dan terjamin. "Aku belum punya itu. Aku tinggal baru sampai sore tadi. Aku tinggal di rumah Zeon." Penjaga itu terkekeh, "Nona, sudah banyak yang mengaku demikian. Kalimat itu adalah yang selalu kami dengar dari berbagai wanita yang datang kemari. Pak Zeon memberitahu kami untuk tidak menerima tamu yang mengaku-ngaku padanya. Jadi jika kamu tidak bisa membuktikan bahwa kamu memang tinggal dengannya, kami tidak bisa membiarkanmu masuk." Melva berpikir cepat. "Aku memiliki nomornya. Aku akan menyuruhnya menjemput." Penjaga di depannya menyeringai remeh. Sepertinya hal ini memang terbiasa terjadi sampai Melva juga dicurigai. Melva merogoh mengambil ponsel. Alisnya mengerut ketika ponselnya tidak menyala. Ini pasti akibat jatuh di supermarket. Melva mencoba negosiasi, "Ponselku baru saja jatuh dan tidak bisa menyala. Kalian pasti punya kontak Zeon, bisakah kalian memanggilnya?" "Ini sudah malam. Sebaiknya kamu pulang saja, tidak baik menganggu tidur seseorang." "Tapi..." "Beri dia jalan masuk." Semuanya menoleh ke sumber suara. Sosok dalam balutan piyama satin berwarna biru keluar dari mobil. Melva merasa terselamatkan. Dia tidak pernah sanggup memikirkan bagaimana dia tidur malam ini jika saja dia benar-benar tidak bisa masuk. "Pak Zeon." Dua penjaga membungkuk untuk menyapa. "Dia tinggal di rumahku. Baru datang sore ini dan belum memiliki tanda pengenal. Penjaga shift siang sudah melihatnya namun kalian baru kali ini. Harap ingat untuk membiarkan dia masuk." "Baik Pak. Maafkan kami." "Tidak apa-apa." Zeon sudah berdiri di depan Melva, tangannya ternyata memegang mantel. Dia memakainya pada Melva. "Masuk ke mobil," katanya. Dalam perjalanan kembali, keadaan mobil sangat hening. Melva menimbang-nimbang sesuatu sebelum akhirnya berucap, "Terimakasih." "Mm, satpam melapor kunci gembok tertinggal di gerbang rumah. Ponsel kamu tidak bisa dihubungi. Jadi aku mencarimu." "Itu jatuh dan tidak bisa menyala." Kebenaran yang lebih lengkap adalah Zeon panik dan memeriksa kamar Melva. Mengetahui tidak ada kehadiran Melva, Zeon mengecek lemari pakaian dan baru bernafas lega ketika apa yang dia khawatirkan tidak terjadi. Zeon mengira Melva kabur dari rumah. Dia meneleponku puluhan kali dan tidak mendapat respon. Hanya suara operator wanita yang terus dia dengar. Zeon tetap mencari keluar rumah, karena pergantian shift jaga, dia khawatir Melva tidak mendapat izin keluar dan masuk dengan mudah. "Besok aku buatkan tanda pengenal dan bawalah setiap saat." Melva hanya mengangguk sebagai tanggapan. Baru sekarang Zeon memperhatikan apa yang Melva bawa. ada sekantung besar belanjaan di kaki Melva. "Kamu lapar. Kenapa tidak mengetuk pintu kamarku? Jadwal belanja bulanan besok dan kulkas hanya tersisa bahan mentah." Melva memilin jarinya. "Selain urusan bebersih, tidak ada siapapun yang boleh naik ke lantai dua." Alis Zeon menukik tidak senang, dia bertanya dengan nada rendah, "Siapa yang mengatakan itu?" "Kedua pelayan memberitahu aku." "Memang benar, tapi kamu dikecualikan, kamu boleh ke lantai dua." "Mengapa?" Melva tidak mendapat jawaban. Mobil sudah memasuki garasi rumah. Zeon turun terlebih dahulu, berjalan ke pintu penumpang dan membukanya. Dia membawakan belanjaan Melva sambil tangan lainnya merapikan mantel yang Melva kenakan, memastikan Melva tetap hangat. "Kenapa kamu memakai piyama tipis di malam hari saat keluar rumah?" "Aku lupa," jawab Melva sekenanya. "Lain kali jangan melupakannya." Melva kira keduanya akan berpisah begitu memasuki rumah dan akan menuju kamar masing-masing. Ternyata Zeon membawanya ke dapur. Membongkar isi belanjaan lalu berdecak. "Jangan makan makanan ringan terlalu banyak. Duduk, aku akan membuatkan kamu makanan." Zeon menarik kursi untuk Melva, Melva menurutinya. Tangan Melva terulur untuk mengambil Snack sebelum tangan lain merampasnya. "Aku sudah lapar," protes Melva. Zeon memberinya kotak susu rasa pisang dari kulkas. Zeon bahkan membuka plastik sedotan dan menusuk sedotan itu untuk memudahkan Melva. Supaya gadis itu bisa langsung meminumnya. "Aku bukan anak kecil." Melva protes lagi. "Diam dan jadilah baik."Suara wajan mendesis saat Zeon berkutat di depan kompor. Melva duduk anteng di kursinya. Dia mengangkat tangan untuk menyangga kepala. Tidak tahu mengapa memperhatikan pria yang sedang memasak bisa semenarik ini. Akankah semua pria akan nampak seperti ini atau hanya yang memiliki ciri-ciri seperti Zeon? Tubuh tegap tinggi, bahu lebar, dan tangan cekatan. Melva menggelengkan kepala menghilangkan imajinasinya yang semakin merembet jauh. Zeon hanya memasak, jadi kenapa Melva harus begitu menaruh perhatian? Menyedot habis isi minuman dalam kotak, Melva beranjak membuang sampahnya tanpa menimbulkan suara. Kebetulan itu ada di ujung, jadi dia harus melewati punggung Zeon. Ruangnya lumayan sempit untuk dua orang dewasa, Melva memiringkan badan, menghindari kontak fisik. Tanpa diduga saat Zeon memasukkan sedikit air dalam wajan, itu hampir terciprat pada tangannya. Zeon mundur setengah langkah untuk menghindar. Dan tabrakan itu terjadi. Perbedaan tenaga itu membuat Melva terhuyung hingg
Zeon memperhatikan Melva dengan seksama, melihat tanda-tanda halus dari kebohongan di mata Melva. Dia memutuskan untuk memberinya beberapa dua hari libur. Gerakan Melva masih terbatas, sebuah bukti dari rasa sakit yang masih tersisa dari insiden semalam.Hanya satu hari sejak Melva mulai bekerja sebagai asisten pribadinya, belum cukup waktu untuk menyesuaikan diri dengan perannya yang baru. Selain itu, dia telah menghabiskan beberapa hari sebelumnya dalam pelatihan, hampir tidak bisa disebut pekerjaan dan dia sudah diberi cuti. Sekarang, Melva mendapati dirinya diberi dua hari istirahat. Tanpa dia sadari, selama dua hari ini, para staf rumah tangga bergosip tentangnya. Setelah baru saja pindah ke kediaman Zeon, Melva menjadi bahan spekulasi. Pelayan-pelayan itu berbisik di antara mereka sendiri, menggambarkannya sebagai wanita penggoda dan berasumsi bahwa Zeon terlibat dalam hubungan intim kasar dengannya, itulah sebabnya memar dari insiden kursi terjadi. Penjelasan Melva sepertinya
Setelah menjalani pelatihan intensif sampai akhir pekan, akhirnya Melva siap untuk memulai perannya sebagai personal asisten pada hari Senin. Namun, kegembiraannya segera berubah menjadi kegelisahan ketika Zeon bersikeras untuk mengantar ke kantor dari awal kepindahan. Meskipun Melva menolak dengan sopan, Zeon bersikeras untuk mereka berangkat bersama. Itu bukan hanya saran; rasanya lebih seperti perintah, sesuai sifat Zeon. Dengan perasaan tidak nyaman yang menghinggap di perutnya, Melva dengan enggan menuruti keteguhan Zeon dalam membujuknya, ralat, memaksanya. Perubahan sikap Zeon terhadap Melva memang mengejutkan banyak orang di sekitarnya, terutama para pekerja rumah tangga yang mengenal Zeon sebagai sosok yang dingin dan acuh. Namun, sikap Zeon yang lebih hangat dan perhatian terhadap Melva menunjukkan bahwa ada sesuatu yang istimewa di antara hubungan mereka. Isi kepala setiap pekerja rumah tangga pagi itu semakin tumpang tindih dengan berbagai spekulasi. *** Pada hari
Lembur pertama Melva adalah satu Minggu kemudian. Dia masih senantiasa berdampingan dengan Zeon. Saat ini Melva tengah berdiri di samping pria itu yang duduk di kursi kerjanya. Melva sudah selesai dengan pekerjannya, dia membacakan jadwal Zeon satu Minggu ke depan. "Dan yang terakhir pertemuan dengan departemen keuangan pada hari Rabu tentang rencana pendanaan proyek baru." Zeon menjawab tanpa mengangkat wajahnya, jarinya masih lincah mengetik di keyboard, "Ganti, majukan di hari Selasa. Saya masih luang di hari itu, lebih baik selesaikan lebih cepat." "Baik Pak, sesuai perintah, saya akan menghubungi departemen terkait tentang perubahan ini." Sudah hampir jam sebelas malam. Zeon tidak memberitahu sejauh mana pekerjaannya akan selesai. Melva sudah menawarkan bantuan, namun Zeon tetap menolak. Terlintas kejadian saat Melva tertidur di sofa dan ruang kerja rumahnya, Zeon mengira Melva mendesak karena mengantuk. Sebenarnya, pekerjaan ini masih lama selesai. Melva tidak terl
Zeon masih merenungi kata-kata dari Farel saat sebuah nomor tak dikenal tertera di layar ponsel. Cahaya redup dari lampu meja menyinari wajahnya yang dipenuhi dengan keraguan."Haruskah aku mengangkat?" batinnya, jari-jemarinya bergetar di atas layar ponsel.Farel baru saja memberikan nasihat yang mendalam. Sekarang, dengan nada serius yang masih menggema dalam ingatannya, Zeon duduk dengan tegang di kursi kerjanya, pikirannya masih dipenuhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang dibagikan oleh Farel.Namun, rasa penasaran yang menggelitiknya akhirnya menang. Dengan nadi berdegup kencang, Zeon menekan tombol untuk mengangkat panggilan tersebut.Suara di ujung sana membuatnya terdiam sejenak, mencoba mengenali siapa yang mungkin berada di balik nomor tersebut. Panggilan berlangsung selama lima menit. Zeon menutup telepon dengan gerakan cepat, tetapi tangannya gemetar. Raut wajahnya yang semula tenang berubah menjadi gelisah, matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam. Bibirnya sediki
Karena sopirnya mengalami cedera kaki akibat kecelakaan, Zeon menjadi terpaksa harus mengendarai mobilnya sendiri. Sopir itu, bernama Pak Budi, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-harinya. Namun, kecelakaan itu mengharuskannya untuk beristirahat di rumah sakit demi kesembuhan. Pagi itu, di meja makan, Zeon dan Melva duduk bersama untuk sarapan. Zeon sibuk mengupas udang dan menatanya rapi di piring Melva. Saat itu, Melva mengangkat kepalanya sebentar, mencuri pandang ke meja. Dia membiarkan Zeon melakukan apapun yang pria itu mau. "Apakah tidak apa-apa untuk berkendara sendiri? Tidak ada sopir pengganti sementara?" tanyanya Melva setelah menyantap udang dari Zeon. Zeon menghentikan aktivitasnya sejenak, memikirkan jawaban yang tepat. Cedera Pak Budi memang menjadi perhatian, tetapi ia ingin memastikan bahwa Melva punya kenyamanan dalam mobilitasnya. "Aku akan memikirkannya. Jadi jika kamu butuh berpergian, kamu tidak perlu khawatir soal taksi," jawab Zeon
Pagi itu, sinar matahari merayapi kamar Melva, mengusiknya dari tidurnya dengan lembut. Tanpa tergesa, ia memulai ritualnya dengan membersihkan wajah yang masih lembab dari tidur, lalu menyikat gigi. Melva sengaja bangun siang di hari Minggu ini. Begitu langkahnya menghampiri ruang makan, kesunyian yang tak biasa menyambutnya. Dengan rasa penasaran, Melva melihat meja makan yang terlihat sunyi, hanya dihiasi oleh sajian yang terselimuti rapat di bawah penutup makanan. Karena perutnya belum merasa lapar, ia memutuskan untuk membuat jus wortel segar sebagai pendamping paginya. Dengan menggunakan blender, Melva meracik jusnya, membiarkan aroma segar memenuhi dapur. Setelah selesai, ia memutuskan untuk menikmati pagi di taman kecil di samping rumah Zeon. Dengan segelas jus wortel di tangan, langkahnya ringan melintasi pintu samping rumah. Sinar matahari menyapu taman kecil di samping rumah Zeon dengan kehangatan yang menyegarkan. Pepohonan yang menjulang tinggi memberikan teduh,
Seorang sopir pengganti yang menggantikan pamannya sementara itu bernama Adam, dia telah menyetujui tawaran tersebut dari Zeon. Meskipun awalnya ragu-ragu, Adam merasa terhormat dengan tawaran tersebut, dan dia bertekad untuk memberikan yang terbaik dalam tugasnya. Setelah mengantar Adam ke pintu, Zeon berjalan menuju dapur, menemui Melva yang sedang makan di meja makan. Melva melihatnya dengan tatapan penasaran, mencermati setiap gerakannya dengan teliti."Sudah selesai? Apa kamu setuju dia jadi sopir sementara?" tanyanya, suara terdengar sedikit penasaran.Zeon hanya menjawab dengan anggukan pelan, "Mm," lalu membuka kulkas untuk mengambil air dingin.Di balik ekspresi tenangnya, Zeon merasa tegang dengan perubahan yang akan terjadi dalam rumah dengan kehadiran Adam sebagai sopir baru. Melva mengeluh, "Kenapa kamu tidak bilang dia akan segera pergi? Aku jadi tidak berpamitan. Itu kurang sopan."Sementara itu, Zeon membuka tutup botol, menenggak langsung dari botol miliknya. Melv
Pukul delapan malam ketika Melva sampai di rumah. Ia disambut oleh pemandangan Zeon yang duduk santai di sofa depan televisi, tampak asyik menonton sebuah acara. Di tengah cahaya lembut lampu ruang tamu, mereka saling tersenyum, sebuah tatapan penuh kebahagiaan yang tidak perlu kata-kata. Melva berjalan mendekat dan duduk di samping Zeon. Tanpa ragu, Zeon mengangkat tangannya untuk mengelus surai panjang Melva yang tergerai. Melva memotong jarak lagi, menyandarkan kepalanya di pundak Zeon dengan lembut, menikmati kehangatan dan ketenangan momen itu. Zeon memecah keheningan dengan sebuah tawaran lembut, "Mau makan camilan malam?" tanya Zeon, suaranya penuh kelembutan. Zeon merasakan gerakan lembut di pundaknya dan mendongak. Dengan senyum manis, ia menegakkan kepalanya dan mengangguk. Zeon berdiri, mengantarkan langkahnya menuju dapur dengan gerakan yang ringan dan penuh kepastian. Di dapur, Zeon memulai ritual kecilnya, hanya mengupas beberapa buah segar kemudian memotongnya men
Melva sudah tiba di kafe terlebih dahulu, memilih meja di sudut yang nyaman, dekat jendela yang memandang ke taman kecil di luar. Dia duduk dengan tenang, memesan secangkir kopi panas, sambil sesekali melirik ke pintu untuk melihat apakah Helena sudah datang. Lima menit kemudian, Helena muncul dengan langkah cepat, menyusuri jalan setapak di antara meja-meja kafe. Dia melihat Melva dan tersenyum, menuju ke mejanya."Melva!" Helena menyapa, meletakkan tasnya di meja dan duduk di kursi di hadapan sahabatnya. "Jadi, kalian pacaran sekarang?" tanya Helena tanpa basa-basi, matanya mengungkapkan rasa ingin tahunya yang mendalam.Melva tidak merasa perlu menyembunyikannya. "Ya," jawabnya singkat, sambil menyesap jus jeruk di hadapannya dengan santai. Ekspresi wajahnya menunjukkan kepuasan dan kebanggaan, namun juga sedikit kekhawatiran yang mungkin tidak sepenuhnya dia sadari.Helena mengernyitkan dahi, jelas terkejut. "Melva, aku tidak bisa percaya ini. Proses pendekatan kalian terlalu cepa
Tiba di kota tempat tinggalnya, Zeon tidak ragu menggandeng tangan Melva, menunjukkan kedekatan dan kehangatan di tengah hiruk-pikuk bandara. Sementara itu, sopir pribadinya, yang sudah menunggu dengan sabar, segera meraih dua koper yang dibawa mereka dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil.Begitu kedua orang tersebut masuk ke dalam mobil, kendaraan itu melaju dengan mulus meninggalkan area bandara, menyusuri jalan-jalan kota yang mulai menampakkan kehidupan siangnya. Menyadari bahwa mereka hanya sempat mengisi perut dengan roti selai sebelum pulang, Zeon memutuskan untuk menelepon koki di rumah, memintanya untuk menyiapkan makan siang lebih awal dari jadwal.Dengan demikian, mereka bisa langsung menikmati hidangan yang telah disiapkan dengan penuh perhatian segera setelah sampai di rumah. Suasana di mobil terasa nyaman dan akrab, sementara Zeon dan Melva mengobrol ringan, menikmati perjalanan mereka yang tampaknya semakin mendekatkan mereka pada kehangatan rumah dan hidangan yang me
"Apakah kamu pernah mengalami ini sebelumnya?" Suara dokter terdengar tenang, berusaha mengurangi ketegangan yang meliputi ruangan.Melva duduk di ruang pemeriksaan dokter, terbalut dalam kekhawatiran yang mendalam. Dinding putih ruangan itu seakan menekan perasaannya, sementara Zeon, suaminya, duduk di sampingnya, berusaha memberi dukungan. Dokter, seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun dengan mata yang penuh empati, menatap Melva dari meja kerjanya, mengamati setiap gerak tubuh dan ekspresi wajahnya.Melva, yang sudah tampak gelisah sejak masuk, hanya membisu. Dia menatap lantai, mencoba menenangkan diri dari gelombang kecemasan yang menghantamnya. Zeon meraih tangannya dan mengelus punggungnya dengan lembut, memberikan dukungan tanpa kata."Tenang. Cobalah untuk menjawab pertanyaan dokter."Melva menarik napas dalam-dalam dan mengangkat kepala, matanya bertemu dengan tatapan dokter. Dengan suara yang bergetar, dia akhirnya berkata, "Baru kali ini."Dokter mengangguk perlahan
Matahari sudah terbenam, dan suasana di jalan raya terasa tenang. Namun, seiring dengan malam yang semakin larut, suasana tiba-tiba berubah drastis.Dalam jarak beberapa puluh meter di depan mereka, sebuah truk besar yang membawa muatan berat tampak mengalami kecelakaan. Truk itu terbalik dan menutup seluruh jalur, sementara barang-barang yang dibawanya berserakan di sepanjang jalan. Kecelakaan ini menyebabkan lalu lintas berhenti total. Lampu lalu lintas di sekitar area tersebut berkedip-kedip sebelum akhirnya padam, memicu pemutusan listrik yang lebih luas di daerah tersebut.Seketika, jalan-jalan di sekitar mereka menjadi gelap gulita. Lampu jalan dan lampu kendaraan di sekitar hilang, dan hanya ada kegelapan yang menggelayuti suasana. Zeon dan Melva mencoba menyalakan lampu mobil mereka dengan intensitas penuh, tetapi cahaya yang dipancarkan hanya menambah kesan gelap karena keterbatasannya.Melva mencoba menenangkan Zeon, yang tampak frustrasi dengan situasi ini. "Tenang, Zeon. K
Melva tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika melihat bahwa Zeon telah memesan sebuah apartemen untuk mereka. Terlepas dari fakta bahwa ini adalah perjalanan bisnis singkat, kesediaan Zeon untuk memesan tempat yang begitu nyaman terasa seperti kejutan yang menyenangkan. Namun, kelegaan Melva segera datang ketika dia melihat ada dua kamar tidur di apartemen ini. Itu berarti mereka akan memiliki ruang pribadi masing-masing.Apartemen itu memiliki desain yang modern dan elegan, dengan dinding putih bersih dan lantai kayu gelap yang memberikan kesan hangat dan nyaman. Ruang tamu yang luas dilengkapi dengan sofa empuk berwarna abu-abu, meja kopi kaca, dan sebuah televisi layar datar di dinding. Di sudut ruang tamu, terdapat sebuah meja makan kecil dengan empat kursi. Di sampingnya, jendela besar membingkai pemandangan kota yang gemerlap, memberi cahaya alami yang melimpah ke dalam ruangan.Di sebelah ruang tamu, terdapat dapur terbuka yang lengkap dengan peralatan modern: kulkas,
Melva dan Zeon memasuki ruang tunggu bandara. Setelah melalui pemeriksaan keamanan dan menuju ke gate, mereka akhirnya menemukan tempat duduk mereka di ruang tunggu yang cukup nyaman. Jam menunjukkan pukul 09:15 pagi, dan mereka bersiap-siap untuk boarding.Mereka berdua memeriksa tiket mereka sekali lagi, memastikan segala sesuatu. Jam keberangkatan tercatat pada pukul 10:00 pagi.Sekitar pukul 09:45, boarding dimulai. Melva dan Zeon melaju melalui pintu boarding, memasuki pesawat. Mereka menemukan kursi mereka di kelas ekonomi, yang terletak di dekat jendela. Melva duduk di dekat jendela sementara Zeon duduk di sampingnya di kursi tengah.Pesawat mulai lepas landas tepat waktu pada pukul 10:00 pagi. Dengan mulus, mesin pesawat meraung dan pesawat meninggalkan landasan. Melva menatap pemandangan kota yang semakin menjauh dari jendela, terpesona oleh pemandangan yang membentang luas di bawahnya. Zeon, di sisi lain, mengeluarkan tablet dari tasnya dan mulai mencari beberapa film untuk
Helena menatap ponselnya, seolah-olah berharap Melva bisa merasakan kehangatan dan kejujuran dari kata-katanya melalui telepon. "Aku hanya ingin kamu tahu bahwa keputusanmu untuk tetap membuka hati dan mempertahankan hubungan ini lebih penting daripada apa yang dikatakan orang lain. Kebenaran cinta adalah tentang keberanian untuk menghadapi ketakutan dan merangkul kebahagiaan yang datang. Jangan biarkan ketakutan dan gosip menghentikanmu dari menjalani sesuatu yang bisa membuatmu bahagia. Jangan biarkan Zeon merasa kehilangan kesempatan untuk mencintaimu hanya karena kamu takut pada pandangan orang luar." Helena mengakhiri percakapan dengan nada lembut namun penuh harapan. "Kamu memiliki kekuatan untuk membuat keputusan yang benar untuk dirimu sendiri." Melva menatap ponselnya, merenung dengan hati yang bergejolak. Suara Helena masih menggema dalam pikirannya, membangkitkan perasaan yang telah lama ditekan. Ketika dia berdiri di depan koper yang hampir selesai dikemas, dia tidak b
Setelah makan malam, Melva bergegas menuju kamar tidurnya. Dia berdiri di depan koper besar yang terbuka lebar di tengah kamar, merencanakan perjalanan bisnis yang akan membawanya ke kota yang jauh. Dengan cekatan, dia mulai memasukkan barang-barang ke dalam koper, setiap item ditimbang dengan hati-hati untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Di bagian paling atas, Melva menempatkan pakaian kerja yang telah disiapkannya dengan teliti: beberapa set blazer elegan, blus berpotongan rapi, dan celana panjang yang serasi. Setiap potong pakaian dipilih untuk memberi kesan profesional dan percaya diri di hadapan klien. Selain itu, ia juga membawa beberapa gaun yang sederhana namun mewah, untuk menghadiri acara sosial yang mungkin terjadi selama perjalanannya. Tak kalah penting, Melva memasukkan perlengkapan mandi dalam sebuah kantong plastik transparan—sabun, sampo, dan pelembap kulit yang selalu digunakannya untuk menjaga penampilan dan kesehatannya tetap optimal. Dia juga memasukka