Melva dalam dilema yang cukup serius. Jam kerjanya hampir habis dimana itu adalah waktunya mobil pengangkut datang memindahkan barangnya ke kediaman Zeon.
Dari satu narasumber yang sudah bekerja untuk Zeon selama beberapa tahun, gagasan personal asisten harus selalu bersama bos sampai berpindah tempat tinggal di atap yang sama adalah hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Itu mengungkapkan bahwa pemindahan ini baru terjadi pada Melva. Apapun itu alasan Zeon, Melva yakin ini merugikan dirinya. Tidak hanya menjadi bahan perbincangan nantinya, Melva akan disibukkan dengan permintaan Zeon setiap saat kapanpun dan di manapun. Sementara jarum jam terus berputar, Melva merencanakan ide gila untuk menggagalkan pemindahannya. Sekalipun Zeon menegaskan tentang ketidakpedulian mengenai pendapat Melva, Melva tidak akan membiarkan pemindahannya mudah direalisasi. "Kamu bisa langsung pulang sepuluh menit lagi. Pak Zeon sedang keluar dan memintaku untuk memberitahu kamu mengenai hal ini." "Oh, terimakasih Rere." Ini bahkan berjalan lebih mudah. Atau mungkin tidak, mobil pengangkut mengikutinya di belakang taksi. Zeon sudah bersiap untuk pemberontakan Melva. Zeon setidaknya tahu penolakan Melva tidak akan berakhir begitu saja. Ini akan menjadi pemindahan yang merepotkan. Dan Zeon tetap pada perintahnya. Menyiapkan mobil menunggu untuk membuntuti gadis itu. Sekalipun Melva sudah merencanakan sesuatu di otaknya. Antara Melva dan mobil pengangkut tetap sampai di apartemen pada waktu yang sama. Dan itu memang menyulitkan bagi Melva. Dia berlari, memencet tombol lift dengan buru-buru. Meski Melva beberapa menit lebih cepat di depan, dia tetap waspada. Mengunci pintu dan mengubah sandi. Melva terduduk lesu di sofa. Dia bahkan mencopot sepatu hak tingginya untuk memudahkan berlari dari lift. Dering ponsel mengagetkannya, Melva memejamkan mata dan menghitung jingga tiga sebelum melihat nama penelepon. Itu adalah nomor tanpa nama, tidak diketahui. "Atas nama Melva pemilik unit nomor 802?" Jantung Melva berdegup. Hak yang tidak mungkin namun terpikir olehnya adalah Zeon sampai berurusan dengan pihak pengurus apartemen. "Benar." "Mohon maaf untuk kenyamanan bersama, peraturan tertulis bagi penghuni apartemen tidak berlari di koridor." Lega kekhawatirannya tidak terjadi, Melva melemaskan bahu. Tapi rasa malu hadir sebagai gantinya, dia menutup sebagian wajahnya dengan telapak tangan. "Ah, maaf. Aku sedang terburu-buru." "Baik. Saya harap tidak akan ada kejadian serupa." Helaan panjang keluar, Melva menyandarkan punggung. Beberapa detik setelahnya, ponsel berdering lagi, tanpa melihat siapa penelepon, Melva mengangkatnya. "Maaf atas ketidaknyamanan sebelumnya, aku tidak akan berlari di koridor lagi," ujar Melva. Ada suara dengusan berat di seberang. Melva tidak yakin ini adalah penelepon yang sama dengan sebelumnya. Ponsel itu dijauhkan dari telinga, Melva melirik nama yang tertera. Memang orang yang berbeda, dan ini orang yang dia cemaskan. "Sampai berlari di koridor. Kamu kira saya akan menyetujui penolakan kamu itu?" "Pak Zeon harus setuju. Saya jamin kerjaan saya nanti tidak akan terpengaruh dengan lokasi tempat tinggal." Melva masih bersikeras menolak. "Seberapa yakin?" "Eh?" "Jangan berusaha untuk berbohong. Saya pastikan kamu tidak akan lari lagi." Lari dari apa? Melva tidak mengerti apa yang Zeon bicarakan. Sebenarnya ini berhubungan dengan apa? Jika menyangkut pekerjaan, sejauh yang Melva pahami dari perkataan Zeon, alasannya tidaklah sesederhana itu. Namun tidak ada ide yang masuk akal selain alasan pekerjaan. Jadi Melva akan tetap menolak. "Pak, saya tidak akan lari. Saya akan bertanggungjawab atas pekerjaan yang diberikan. Dan saya tidak pernah berbohong tentang apapun." Hening menyelimuti. Melva tidak berharap banyak jika kalimat itu akan mengubah pendirian Zeon. Melva hanya mencoba menghasutnya melalui kata-kata sekaligus memperpanjang waktu. Dia hanya tidak menyangka itu mendapat jawaban dengan cepat dan sesuai harapannya. "Baiklah. Keluar dan tanda tangani kontrak kerja. Dari pagi saya disibukkan pekerjaan jadi belum sempat memberikannya pada kamu." Mendengar ini, Melva berlari tergesa ke arah pintu. Masih dengan penampilan di kantor, dia berhadapan dengan Zeon. Ada dua pria di belakang Zeon. Apakah bosnya orang penting sampai harus dikawal? Melva menerima map merah. Zeon menatapnya tanpa ekspresi. Dia terlihat kesal dan Melva tidak peduli. Membuka map dan pada bagian pertama berupa surat pernyataan, dia segera membubuhi tanda tangan di atas namanya. Mengangkat sedikit ujung bibirnya, Zeon memperhatikan Melva yang bertindak begitu ceroboh. "Angkut barang-barangnya, tanya saja pada dia apa yang perlu dibawa." "Hah? Tunggu. Kita sudah sepakat mengenai pemindahan." Kedua tangan Melva memblokir dua pria kekar yang akan masuk. Sejak awal membuka pintu, Melva sudah bergidik dikelilingi tiran. Melva merasa kecil dan mengkerut. Ditambah wajah datar mereka. Hati Melva semakin bergetar takut dibuatnya. Beruntung tidak ada siapapun yang melihat mereka beberapa menit ini. Melva bisa disangka berhutang dan penagih mendatanginya dengan membawa dua preman sebagai gertakan. "Oh kita memang sudah sepakat dan kamu sudah setuju dengan tanda tangani perjanjian itu." "Apa?" Melva membuka kembali map. Ada beberapa lembar kertas lagi di belakang surat pernyataan. Dan itu adalah rincian perjanjian yang dibagi menjadi beberapa poin. Melva melotot pada bagian akhir. Tertulis bahwa dia setuju pindah ke rumah Zeon setelah penandatanganan. "Apa-apaan? Kamu menipu." Melva menggertakkan gigi. Bagaimana bisa ada orang yang sangat licik seperti ini? "Bagaimana bisa aku menipu? Kamu sudah setuju dengan sukarela." Tangan Zeon bersedekap, terlihat sabar dengan pembicaraan yang entah kapan habisnya ini. Dia memang kelihatan sabar, namun dia sudah geram ingin segera memanggul gadis di depannya dan membawanya ke rumah. "Kamu menipu! Kamu tidak menyebut ini supaya aku setuju tanda tangan kan?" "Aku tidak melarang kamu membaca perjanjian satu per satu. Kamu jelas-jelas tanda tangan secara sadar." "Aku tidak mau pindah. Kemarin aku baru saja membayar sewa bulan ini. Kamu tidak bisa memaksaku pindah." "Aku akan memberikan biaya kerugian jika itu yang kamu khawatirkan." "Jangan sok kaya." "Aku memang kaya." Hal itu tidak bisa Melva bantah karena benar adanya. Tangan Zeon menutupi mata Melva yang masih melotot marah padanya. Melva menepisnya di dua detik setelahnya. Sikap Melva saat ini merupakan sikap yang tidak bisa dimaafkan untuk seukuran karyawan baru kepada bosnya. Melva sadar itu, namun amarah mengambil alih logikanya. Tindakan yang baru dia layangkan pada Zeon sangat disesalinya. "Beritahu apa saja yang perlu diangkut." Dua orang yang tadinya setia di belakang Zeon kini dengan mudah memasuki apartemen Melva. Mereka hanya masuk dan berdiri dengan bingung menunggu titah. "Aku tetap tidak akan pindah." Zeon melangkah hingga sepatunya hampir menyentuh kaki telanjang Melva. Merendahkan tubuhnya sejajar dengan Melva menjadikan jarak keduanya hanya sekitar lima centi, Zeon berkata, "Aku tetap akan memaksa." Sialan. "Angkut apa saja." Zeon berbalik setelahnya. Menarik tangan Zeon adalah yang Melva lakukan untuk mencegah pria itu pergi. Setidaknya tidak dengan cara paksaan seperti ini. Melva tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Zeon. Sepertinya dia memang harus setuju dan membuat pemindahan ini terlihat damai. Melva ingin barang yang dipindahkan adalah barang atas persetujuannya. "Oke oke. Aku akan pindah. Letakkan sofa itu." "Kamu akhirnya setuju. Kenapa bertele-tele dan membuat ribut seperti ini?" Zeon memijat pelipisnya. Idiot, karena kamu memaksa. Melva membatin. Pengangkutan barang berlangsung lama. Melva belum mempersiapkan hal ini, jadi dia berpikir sedikit lama ketika ditanya "Apa ini perlu dibawa?" Juga mempertimbangkan kesulitan pengangkutan. Setelah emosinya stabil, Melva merasa simpati pada dua orang pria itu yang naik-turun mengangkut barang. "Masuk ke mobil dan jangan mencoba untuk kabur." "Apartemenku telah kosong. Kemana kamu pikir aku akan kembali?" Setelah kejadian ini, Melva jadi berpikir betapa repotnya dia yang hanya akan menjadi seorang personal asisten. Sebenarnya bagaimana ini berawal? Melva hanya melamar pekerjaan dari rekomendasi dosennya dulu, dan dia sekarang harus terjebak dalam situasi ini. Nasi sudah menjadi bubur. Melva tidak bisa tiba-tiba mengajukan resign setelah tanda tangan kontrak. Seharusnya dia lebih selektif dan tidak merasa sungkan dengan tawaran orang tua Helena. Melva sudah bersikap tidak sopan dan kasar pada Zeon. Mengapa Zeon tidak marah padanya dan memecatnya meski di hari pertama kerja? Zeon terlihat mati-matian mempertahankan Melva, bahkan memaksa tinggal bersama. Apa sebenarnya alasan dari semua perbuatan Zeon ini? Melva sungguh tidak mengerti. *** "Aku membawanya ke rumah." "Kamu gila?" Suara di seberang telepon terdengar marah. Zeon menatap hamparan langit gelap. Hampir tengah malam dan kota seakan tak pernah tidur, masih memancarkan kelap-kelip kehidupan. Zeon memainkan jari tangannya, sekelebat rasa hangat wajah Melva yang sempat ia sentuh beberapa detik masih teringat jelas. Dia mengepalkan tangan itu dan menjawab, "Kamu jelas tahu berapa tahun aku mencarinya. Segala informasi yang coba aku gali tentangnya tidak terdeteksi sama sekali. Dia seperti bayangan imajiner dalam pikiranku sendiri. Aku hanya terus mengingat wajahnya untuk memastikan keberadaan dia. Dan setelah kesempatan pertemuan kedua ini aku tidak akan lengah lagi. Dia datang padaku sendiri jadi aku tidak akan membiarkannya pergi lagi."Melva tipe orang yang mudah mengantuk dan bisa cepat tertidur. Tapi di tempat ini sepertinya pengecualian baginya. Kamar ini sangat bagus dan luas. Seprainya lembut dan kasurnya nyaman. Tapi di luar tidak aman. Ini adalah rumah Zeon. Dengan sifat yang belum semuanya diketahui oleh Melva, Melva perlu cemas berada dalam teritori Zeon. Sudah pukul sepuluh saat perut Melva berbunyi. Dia lapar. Melva memakai sandal lembut berbentuk kelinci lalu keluar dari kamar. Keadaan rumah sangat gelap. Melva tidak berniat menyalakan satupun lampu. Dia membawa ponselnya sebagai penerangan. Tujuannya tentu dapur, matanya menyapu isi kulkas. Semuanya bahan mentah yang perlu diolah. Bagaimana mungkin kulkas sebesar ini tidak menyediakan camilan?Baru saja hendak menutup pintu kulkas, suara pintu dibuka terdengar. Melva mematikan senter di ponsel dan memasuki toilet dapur.Mendengar langkah kaki lebih dari satu, Melva menebak itu adalah pelayan pribadi yang memang tinggal di rumah ini."Aku masih tidak m
Suara wajan mendesis saat Zeon berkutat di depan kompor. Melva duduk anteng di kursinya. Dia mengangkat tangan untuk menyangga kepala. Tidak tahu mengapa memperhatikan pria yang sedang memasak bisa semenarik ini. Akankah semua pria akan nampak seperti ini atau hanya yang memiliki ciri-ciri seperti Zeon? Tubuh tegap tinggi, bahu lebar, dan tangan cekatan. Melva menggelengkan kepala menghilangkan imajinasinya yang semakin merembet jauh. Zeon hanya memasak, jadi kenapa Melva harus begitu menaruh perhatian? Menyedot habis isi minuman dalam kotak, Melva beranjak membuang sampahnya tanpa menimbulkan suara. Kebetulan itu ada di ujung, jadi dia harus melewati punggung Zeon. Ruangnya lumayan sempit untuk dua orang dewasa, Melva memiringkan badan, menghindari kontak fisik. Tanpa diduga saat Zeon memasukkan sedikit air dalam wajan, itu hampir terciprat pada tangannya. Zeon mundur setengah langkah untuk menghindar. Dan tabrakan itu terjadi. Perbedaan tenaga itu membuat Melva terhuyung hingg
Zeon memperhatikan Melva dengan seksama, melihat tanda-tanda halus dari kebohongan di mata Melva. Dia memutuskan untuk memberinya beberapa dua hari libur. Gerakan Melva masih terbatas, sebuah bukti dari rasa sakit yang masih tersisa dari insiden semalam.Hanya satu hari sejak Melva mulai bekerja sebagai asisten pribadinya, belum cukup waktu untuk menyesuaikan diri dengan perannya yang baru. Selain itu, dia telah menghabiskan beberapa hari sebelumnya dalam pelatihan, hampir tidak bisa disebut pekerjaan dan dia sudah diberi cuti. Sekarang, Melva mendapati dirinya diberi dua hari istirahat. Tanpa dia sadari, selama dua hari ini, para staf rumah tangga bergosip tentangnya. Setelah baru saja pindah ke kediaman Zeon, Melva menjadi bahan spekulasi. Pelayan-pelayan itu berbisik di antara mereka sendiri, menggambarkannya sebagai wanita penggoda dan berasumsi bahwa Zeon terlibat dalam hubungan intim kasar dengannya, itulah sebabnya memar dari insiden kursi terjadi. Penjelasan Melva sepertinya
Setelah menjalani pelatihan intensif sampai akhir pekan, akhirnya Melva siap untuk memulai perannya sebagai personal asisten pada hari Senin. Namun, kegembiraannya segera berubah menjadi kegelisahan ketika Zeon bersikeras untuk mengantar ke kantor dari awal kepindahan. Meskipun Melva menolak dengan sopan, Zeon bersikeras untuk mereka berangkat bersama. Itu bukan hanya saran; rasanya lebih seperti perintah, sesuai sifat Zeon. Dengan perasaan tidak nyaman yang menghinggap di perutnya, Melva dengan enggan menuruti keteguhan Zeon dalam membujuknya, ralat, memaksanya. Perubahan sikap Zeon terhadap Melva memang mengejutkan banyak orang di sekitarnya, terutama para pekerja rumah tangga yang mengenal Zeon sebagai sosok yang dingin dan acuh. Namun, sikap Zeon yang lebih hangat dan perhatian terhadap Melva menunjukkan bahwa ada sesuatu yang istimewa di antara hubungan mereka. Isi kepala setiap pekerja rumah tangga pagi itu semakin tumpang tindih dengan berbagai spekulasi. *** Pada hari
Lembur pertama Melva adalah satu Minggu kemudian. Dia masih senantiasa berdampingan dengan Zeon. Saat ini Melva tengah berdiri di samping pria itu yang duduk di kursi kerjanya. Melva sudah selesai dengan pekerjannya, dia membacakan jadwal Zeon satu Minggu ke depan. "Dan yang terakhir pertemuan dengan departemen keuangan pada hari Rabu tentang rencana pendanaan proyek baru." Zeon menjawab tanpa mengangkat wajahnya, jarinya masih lincah mengetik di keyboard, "Ganti, majukan di hari Selasa. Saya masih luang di hari itu, lebih baik selesaikan lebih cepat." "Baik Pak, sesuai perintah, saya akan menghubungi departemen terkait tentang perubahan ini." Sudah hampir jam sebelas malam. Zeon tidak memberitahu sejauh mana pekerjaannya akan selesai. Melva sudah menawarkan bantuan, namun Zeon tetap menolak. Terlintas kejadian saat Melva tertidur di sofa dan ruang kerja rumahnya, Zeon mengira Melva mendesak karena mengantuk. Sebenarnya, pekerjaan ini masih lama selesai. Melva tidak terl
Zeon masih merenungi kata-kata dari Farel saat sebuah nomor tak dikenal tertera di layar ponsel. Cahaya redup dari lampu meja menyinari wajahnya yang dipenuhi dengan keraguan."Haruskah aku mengangkat?" batinnya, jari-jemarinya bergetar di atas layar ponsel.Farel baru saja memberikan nasihat yang mendalam. Sekarang, dengan nada serius yang masih menggema dalam ingatannya, Zeon duduk dengan tegang di kursi kerjanya, pikirannya masih dipenuhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang dibagikan oleh Farel.Namun, rasa penasaran yang menggelitiknya akhirnya menang. Dengan nadi berdegup kencang, Zeon menekan tombol untuk mengangkat panggilan tersebut.Suara di ujung sana membuatnya terdiam sejenak, mencoba mengenali siapa yang mungkin berada di balik nomor tersebut. Panggilan berlangsung selama lima menit. Zeon menutup telepon dengan gerakan cepat, tetapi tangannya gemetar. Raut wajahnya yang semula tenang berubah menjadi gelisah, matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam. Bibirnya sediki
Karena sopirnya mengalami cedera kaki akibat kecelakaan, Zeon menjadi terpaksa harus mengendarai mobilnya sendiri. Sopir itu, bernama Pak Budi, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-harinya. Namun, kecelakaan itu mengharuskannya untuk beristirahat di rumah sakit demi kesembuhan. Pagi itu, di meja makan, Zeon dan Melva duduk bersama untuk sarapan. Zeon sibuk mengupas udang dan menatanya rapi di piring Melva. Saat itu, Melva mengangkat kepalanya sebentar, mencuri pandang ke meja. Dia membiarkan Zeon melakukan apapun yang pria itu mau. "Apakah tidak apa-apa untuk berkendara sendiri? Tidak ada sopir pengganti sementara?" tanyanya Melva setelah menyantap udang dari Zeon. Zeon menghentikan aktivitasnya sejenak, memikirkan jawaban yang tepat. Cedera Pak Budi memang menjadi perhatian, tetapi ia ingin memastikan bahwa Melva punya kenyamanan dalam mobilitasnya. "Aku akan memikirkannya. Jadi jika kamu butuh berpergian, kamu tidak perlu khawatir soal taksi," jawab Zeon
Pagi itu, sinar matahari merayapi kamar Melva, mengusiknya dari tidurnya dengan lembut. Tanpa tergesa, ia memulai ritualnya dengan membersihkan wajah yang masih lembab dari tidur, lalu menyikat gigi. Melva sengaja bangun siang di hari Minggu ini. Begitu langkahnya menghampiri ruang makan, kesunyian yang tak biasa menyambutnya. Dengan rasa penasaran, Melva melihat meja makan yang terlihat sunyi, hanya dihiasi oleh sajian yang terselimuti rapat di bawah penutup makanan. Karena perutnya belum merasa lapar, ia memutuskan untuk membuat jus wortel segar sebagai pendamping paginya. Dengan menggunakan blender, Melva meracik jusnya, membiarkan aroma segar memenuhi dapur. Setelah selesai, ia memutuskan untuk menikmati pagi di taman kecil di samping rumah Zeon. Dengan segelas jus wortel di tangan, langkahnya ringan melintasi pintu samping rumah. Sinar matahari menyapu taman kecil di samping rumah Zeon dengan kehangatan yang menyegarkan. Pepohonan yang menjulang tinggi memberikan teduh,