Share

Hot Pot dan Lipstik

"Totalnya Rp.230.000. Terimakasih, selamat datang kembali."

Melva tersenyum pada kasir dan keluar dari supermarket. Sebelum memulai kerja besok, Melva mengundang Helena makan hot pot di apartemen miliknya. Kebetulan orang tua Helena sedang ada keperluan di luar kota, jadi Melva sekaligus mengajak Helena menginap.

Hanya butuh lima menit berjalan kaki untuk sampai lobi apartemen. Melva memasuki lift dan menekan angka 3.

Helena belum datang, dia mengabari bahwa dirinya masih dalam perjalanan pulang dari kantor. Melva menyarankan untuk langsung datang dari kantornya tanpa pulang ke rumahnya terlebih dahulu. Beberapa pakaian Helena sengaja tersimpan di lemari Melva untuk digunakan saat-saat seperti ini. Dan mereka memang sering menginap bergantian antara tempat Melva dan Helena.

Selama menunggu kedatangan Helena, Melva menyiapkan alat dan bahan masakan. Tepat setelah mencuci tangan, bel berbunyi. Melva telah memberikan sandi apartemen pada Helena, namun dari dulu Helena dengan sopan tetap memencet bel dan menunggu dibukakan oleh Melva. Melva berkali-kali memperingatkan untuk langsung masuk, namun Helena menolak. Dan Melva sudah lelah memberitahunya.

"Halo halo. Liat apa yang aku bawa!" Helena mengangkat dua tangannya yang penuh belanjaan.

"Apa itu?"

Melva menutup pintu lalu menerima tote bag dari Helena dengan bingung. Dia mengintip ke dalam, mengangkat isinya dan sangat terkejut setelah tahu. Itu adalah mini skirt hitam polos yang jika dikenakan hanya mencapai setengah paha.

"Gila! Aku akan ke tempat kerja, bukan kelab."

Rok itu mendarat sempurna di wajah Helena, bukannya marah, dia justru tertawa. Melva memerah hanya dengan membayangkan dirinya memakai pakaian kecil itu.

Siang tadi Melva berbelanja beberapa setelan formal untuk kerja. Dia meminta saran kepada Helena melalui telepon, apa yang harus dia beli. Mengingat Helena lebih senior darinya, Helena tentu bisa memberitahu apa-apa saja yang patut dia punya untuk ke kantor.

Dan karena itu, Helena mengajukan diri akan menyumbang satu pakaian untuknya. Melva tentu tidak keberatan. Helena sudah sering memberinya barang diluar dugaan. Tapi bagaimana mungkin Helena terpikirkan memberikan rok seperti itu.

"Untuk yang itu aku hanya bercanda, ambil ini." Masih dengan sisa tawanya, Helena berucap.

Tangan Melva terulur menerima bawaan Helena yang lain. Dan kali ini benar-benar satu set pakaian yang layak untuk dipakai kerja. Ada juga sepasang heels dengan warna senada.

"Namun jika tetap ingin memakai, tentu tidak masalah."

Melva mendengus, "Tidak masalah apanya?"

Helena berlalu ke kamar mandi sambil cekikikan. Melva menyimpan pemberian Helena termasuk rok itu ke kamarnya. Sayang sekali, jangan membuang-buang uang. Mungkin saja nanti akan terpakai sih.

Hal yang paling membuatnya harus ekstra bersabar adalah waktu Helena mandi. Sampai Melva kelaparan, Helena baru keluar dari kamar mandi. Sudah berpakaian piyama. Rambutnya disibak kesana-kesini membuat lantai basah.

"Bersihkan dulu apa yang kamu perbuat itu, jangan berani melangkah sejengkal pun."

Bibir Helena cemberut, "Tentu Tuan Putri."

Selesai membersihkan lantai, Helena bergabung bersama Melva di meja makan. Ruang tamu hingga dapur memang tidak memiliki sekat apapun. Ada kamar mandi di dalam kamar, namun Helena memilih kamar mandi luar yang juga bisa menjangkau ruang makan dan ruang tamu dengan mengedarkan netranya.

"Perutku sudah meronta." Helena mengusap perutnya yang semakin keroncongan setelah melihat hot pot sudah mendidih di depannya.

Melva memutar mata, "Kamu pikir aku tidak?"

"Kamu bisa mencicipinya selagi aku mandi."

Melva mengangkat sumpitnya untuk mengaduk hot pot supaya matang merata.

"Aku bisa terlena menghabiskannya tanpa menyisakan untukmu."

"Jadi kamu menungguku. Aw perhatiannya."

Memperhatikan lagi makanan di depannya, kening Helena mengerut, "Hanya sebanyak ini?"

Melva berdiri dan berjalan menuju kulkas, "Tadaa!"

"Nah begini seharusnya. Kita tunda diet itu."

Melva menjentikkan jarinya, "Benar, merayakan aku yang akan jadi budak korporat."

Satu nampan berisi bahan hot pot diletakkan di samping kompor portabel.

Keduanya mendesah puas ketika kuah hot pot meluncur ke tenggorokan. Seperti tradisi, mereka akan menyeruput kuahnya terlebih dahulu sebelum menyantap isiannya.

"Bagaimana dengan hari pertama kerja? Sikap atasan kamu? Bossy?" Helena mengawali percakapan.

Menelan kunyahannya, Melva menjawab, "Tidak terlalu, hanya kesan pertama dia bagiku begitu dingin dan tak tersentuh. Hampir tidak punya celah untuk bisa membuat lelucon dengannya. Tipikal perfeksionis yang serius. Tapi dia lumayan hangat setelah berbicara di wawancara."

Kepala Helena mengangguk beberapa kali lalu bertanya, "Berapa umurnya?"

"Awal tiga puluhan sepertinya atau mungkin mendekati tiga puluh. Wajahnya masih terlihat muda dan segar."

Dan Helena tidak terkejut dengan itu.

"Ah, aku tebak dia penerus perusahaan."

Melva menghentikan suapannya, menatap Helena, "Kenapa seperti itu?"

Sedangkan Helena tetap fokus pada makanannya namun tak ayal dia menjawab dengan pasti, "Kamu harus percaya. Untuk mendapat posisi CEO di umur dia saat ini, satu banding sepuluh ribu asal kamu tahu."

"Benar juga. Rata-rata umur lulusan baru di negara ini 23-25 tahun, kan?"

"Yap. Siapa namanya?"

"Zeon. Dia tidak menyebutkan nama lengkapnya saat perkenalan dan aku tidak enak bertanya."

"Dari namanya terdengar seperti orang yang menawan."

"Ugh, memang sangat menawan dan seksi. Tinggi dan perawakan badannya bisa membuat siapa saja menciut. Mungkin dia memiliki darah blasteran."

Membayangkan kembali bagaimana wajah dan perawakan Zeon membuat Melva lupa daratan sejenak. Lelaki mapan dan matang seperti Zeon memang menjadi godaan bagi perempuan yang ingin hidup mewah namun hanya perlu menyibukkan diri dengan perawatan menikur pedikur. Singkatnya, menjadi istri bos kaya raya.

"Dekati saja dia. Nanti kita bisa double date."

Ide konyol Helena selalu muncul begitu saja.

"Aku melamar kerja please. Itu urusan nanti..." Melva meneguk minuman kalengnya, "Jika berjodoh," lanjut Melva dengan lirih.

"Hahahaha." Keduanya terbahak bersama.

Wajah tampan Zeon telah hilang di bayangan Melva, berganti dengan wajah menyebalkannya saat mengatakan sesuatu di akhir pertemuan mereka. Melva kembali cemberut mengingat itu.

"Ugh tapi dia lumayan menyebalkan. Sebentar, aku tunjukkan sesuatu."

Melva meletakkan sumpitnya, berdiri dan hilang dibalik pintu kamarnya. Ketika kembali, tangannya memegang sebuah lipstik. Dia membukanya dan menunjukkan pada Helena.

"Mengapa? Untukku? Tidak perlu, aku tidak mau pakai bekas," ujar Helena dengan nada bercanda. Memang bercanda karena mereka sudah sering berbagi dan meminjam make up.

"Aku tidak memberikannya padamu."

"Lalu kenapa?"

Melva menyodorkan lipstik itu ke depan wajah Helena yang sudah memasang wajah serius, "Menurutmu apa warna ini terlalu terang untuk aku pakai?"

Helena menelisik warna lipstik itu, "Tidak. Itu terlihat biasa saja dan cocok."

Melva menutup lipstik itu dan menyentaknya ke meja. Kuah hotpot bergetar kecil.

"Iya kan? Aku memakai warna ini saat wawancara dengan Zeon. Tetapi Zeon berkata warna itu terlalu terang dan dia memintaku mengganti warna lain. Ini adalah kali pertama seseorang menyebut warna lipstik kesayanganku terlalu terang."

"Benar, itu cocok dipakai untuk kerja. Aku bahkan punya shade yang lebih terang, selama ini tidak ada yang berkomentar."

"Jangan bandingkan, coba saja kamu bekerja dengan Zeon. Sudah pasti kamu akan dicibir mirip banci yang mangkal di lampu merah."

"Hahaha, jadi Zeon memiliki selera warna nude."

Melva mendengus, "Apaan? Dia pikir ini sama seperti mencari pendamping hidup harus sesuai selera? Ugh, dan akhirnya aku membeli warna lain."

Helena menggelengkan kepalanya melihat raut muram sahabatnya. Sedetik kemudian senyum jenaka muncul di wajahnya.

"Kamu harus berhati-hati. Itu bisa saja awal dari komentar-komentar yang akan dia berikan padamu."

"Oh tidak apa-apa, apa yang tidak dia suka akan aku pakai untuk menyakiti matanya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status