Seminggu setelah hari wisuda, dan tepat setelah lamaran kerja terkirim ke perusahaan tawaran dosennya, Melva mendapat kabar baik itu pagi ini.
Jadwal interview telah ditentukan siang nanti, lokasinya tidak jauh dari apartemennya. Melva sudah berjaga-jaga dari kemarin untuk mengawasi pesan apapun yang masuk ke ponselnya. Melva melompat girang membaca deretan kalimat yang menyatakan dia diundang untuk melakukan wawancara, pihak lain memastikan kedatangannya dengan bertanya: Apakah anda bersedia? Jarinya mengetik lincah, "Ya, saya bersedia." Kakinya tidak bisa diam, Melva bergerak kesana-kemari sambil jarinya masih mengetik, kali ini di room chat Helena. Bagaimana mungkin kabar gembira ini tidak sampai padanya? Helena akan mengamuk jika Melva lupa bercerita. Setelah pesan singkat diantaranya semakin seru dan Helena terus saja mengirim berbagai stiker terkejut tanda dia bangga dan ikut senang atas panggilan wawancara Melva. Melva memutus pesan tersebut, dia mengirim pesan suara. "Aku akan menyiapkan pakaian untuk dipakai nanti. Selamat tinggal!" Melva meletakkan ponselnya di kasur, lalu berdiri di depan lemari pakaiannya, membukanya dan menelisik segala isi di dalamnya. Menyentuh dagunya, Melva menimbang-nimbang apa yang akan dia pakai nanti siang. Mengingat ini adalah acara formal dimana Melva harus memperhatikan penampilannya sebagai nilai tambahan. Melva lumayan menyukai fashion. Sudah sering baginya memadukan atasan dan bawahan serta aksesoris modis ketika akan berpergian. Namun tentu berbeda di kondisi sekarang. Dia akan wawancara kerja, harus rapi dan enak dipandang. "Kemeja ini terlalu mencolok." Melva melewati kemeja yang berwarna terang dan bercorak. Kemeja yang akhirnya dipilih Melva adalah kemeja katun berwarna putih. Kemeja ini memiliki kerah klasik dan potongan slim fit. Kancing berwarna putih sesuai dengan arna dasar kemejanya. Untuk celana, Melva memilih celana hitam yang terbuat dari bahan katun twill yang ringan dan nyaman. Celana ini memiliki potongan slim dengan sedikit stretch Hinga memberikan fleksibilitas. Melva meletakkan setelan itu di atas kasurnya setelah disetrika. Lalu dia berpindah ke dapur. Kulkas hanya berisi sayur sisa kemarin dengan beberapa butir telur. Melva mengambil dua roti gandum lalu memanggangnya. Menyetel toaster di satu menit. Sambil menunggu, dia menggoreng telur dan beef, lalu mencuci selada. Roti selesai dipanggang, Melva menyusun isiannya sebelum ditutup dengan roti satunya. Melva memutuskan makan nasi setelah wawancara. Dia khawatir akan kekenyangan jika makan berlebihan. Selesai menghabiskan sandwich, Melva bergegas mandi. Hanya butuh empat puluh menit untuk bersiap termasuk make up. Melva menarik nafas sambil memegang gagang pintu. Dia memastikan tampilannya lagi sebelum dengan yakin membuka pintu dan keluar dari apartemennya. Taksi pesanannya telah sampai, Melva memberitahukan tujuannya, taksi melaju bersama kendaraan lain. Melva sudah memperkirakan waktu kehadirannya. Dia akan datang seperempat jam sebelum wawancara. Bahunya hanya santai saat taksi melaju mulus tanpa macet. Netranya menatap jendela, memandang gedung-gedung besar berjejeran. Melva terlihat santai, namun ketika taksi berhenti di depan gedung dengan nama perusahaan yang terpampang jelas, degup jantungnya tidak bisa berbohong. Semua pengalaman pertama pasti akan sangat mendebarkan. Melva menarik nafas lagi dan mengulas senyum. Dia membayar ongkos lalu keluar dari taksi. Melva memasuki lobi perusahan yang luas dan modern. Dindingnya dilapisi panel kayu yang elegan. Karya seni modern dan foto-foto perusahaan yang menggambarkan sejarah dan pencapaian perusahaan tersebar di dinding. Sebuah layar monitor besar dipasang di dinding untuk menampilkan informasi terkini dan pengumuman penting. Di sudut ruangan terdapat area lounge kecil dengan sofa dan kursi, dilengkapi meja dan tanaman hias. Sebuah rak majalah dan buku-buku tersedia di sampingnya. Di tengah ruangan terdapat meja resepsionis dengan logo perusahaan terpampang di belakangnya. Seorang resepsionis duduk di balik meja. "Permisi, saya kandidat untuk posisi Personal Asisten yang telah dijadwalkan wawancara siang ini." "Sebentar saya cek dulu ya." "Oh, silakan." Resepsionis bergerak cepat membaca informasi kunjungan yang akan datang, pandangannya berhenti pada acara wawancara oleh pemilik perusahaan. Segala tamu penting yang akan datang secara khusus akan terjadwal dan sampai pada resepsionis. CEO perusahan ini tentu sangat sibuk. "Dengan Melva Karenina Putri?" "Benar." "Terjadwal jam satu siang, saat ini kantor sedang istirahat makan siang. Namun anda bisa menunggu di kursi tunggu yang disediakan di depan ruang wawancara. Anda bisa naik ke lantai tiga, jalan lurus ke kanan. Dua ruang sebelum ujung adalah ruang wawancara." "Terimakasih." Melva mengikuti instruksi, dan duduk setelah sampai di depan ruang wawancara. Dia memberi kabar pada Helena situasinya saat ini. Seorang perempuan berambut pendek menghampirinya, menyapa lalu bertanya namannya seperti yang resepsionis lakukan. Perempuan itu memperkenalkan diri sebagai sekretaris CEO. Melva setidaknya telah mencari informasi tentang perusahaan ini, juga yang akan jadi atasannya nanti. Pria berusia tiga puluhan. Masih sangat muda untuk berada di posisi CEO. Sekretaris yang bernama Rere itu mempersilakan Melva masuk dan menunggu di dalam. Lalu Melva kembali sendirian di ruang wawancara. Selang dua menit, pintu terbuka dan menampilkan pria dengan tinggi sekitar 180 cm. Dengan balutan jas beludru hitam dan celana senada, dia bisa memikat siapa saja meski raut wajahnya sangat membuat ketakutan bagi siapapun yang mendekatinya. Termasuk Melva. Dan dia akan memiliki interaksi dengannya lebih banyak jika diterima di perusahaan ini. Tanpa sadar, Melva meneguk ludahnya sendiri. Melva berdiri, membungkuk untuknya sebelum memperkenalkan diri. "Selamat siang Pak, saya Melva Karenina Putri yang akan melakukan wawancara." "Saya Zeon." Zeon duduk dan menatap Melva yang juga sudah kembali duduk. Ruang wawancara memiliki satu meja dan dua kursi saling berhadapan. Satu tanaman hias di pojok. Dan sebuah laci penyimpanan di sampingnya. Ruang ini sengaja dirancang hanya untuk wawancara antara dua orang. Melva masih mempertahankan senyumnya sejak kedatangan Zeon. Namun Zeon hanya menatapnya menelisik tanpa berkedip. Melva jadi berpikir apa riasannya terlalu berlebihan? Zeon terlihat melamun, fokusnya saat ini entah kemana, membuat Melva kikuk sendiri. Merasa tidak sopan untuk menegur, Melva tetap diam menunggu. Zeon masih menatapnya seolah mengenang sesuatu. "Ah maaf, saya kurang fokus." Zeon memijat pelipisnya. Sikap garangnya hilang dalam sekejap, membuatnya kini terlihat sangat bersahabat dan bisa diajak bercanda layaknya teman lama. Melva sedikit bingung dengan perubahan itu, namun dia tidak berpikir banyak karena jantungnya kembali bertalu-talu menghadapi sesi wawancara. "Saya sudah review CV kamu. Baru wisuda Minggu lalu ya?" "Benar Pak." Melva lega tatapan Zeon tidak mengintimidasi, justru terkesan ramah. Zeon menutup berkas lamaran Melva setelah hanya membalik dua halaman. Zeon bertanya dan Melva menjawab dengan lancar. Sesi wawancara sudah berjalan selama lima belas menit. Melva belum merasa kesulitan apapun untuk menjawab sebelumnya sampai pertanya ini tercetus dari Zeon. "Kamu bisa membuat kopi?" Hah? Melva mengerjap, lalu menjawab, "Saya bukan penyuka kopi Pak dan tidak pernah membuatnya, namun jika hal ini berkaitan dengan pekerjaan saya nanti, akan saya usahakan untuk belajar memakai mesin kopi." "Bagus, karena saya sering minum kopi di pagi hari. Saya harap kamu bisa cepat belajar. Kamu bisa mulai bekerja lusa. Dan ingat satu hal, kamu adalah personal asisten saya. Kamu bekerja untuk saya, bukan perusahaan. Apa saja diluar pekerjaan yang saya berikan, harus atas persetujuan saya." "Bisa dijelaskan lebih lanjut Pak maksudnya?" tanya Melva butuh penjelasan. "Contoh kecilnya jika karyawan dari perusahaan ini memerintahkan sesuatu kepada kamu, kamu tidak wajib menyetujui. Karena kamu bekerja untuk saya. Kecuali memang itu perintah dari saya kepada karyawan tersebut untuk memberikan kamu pekerjaan. Jelas?" "Jelas Pak. Terimakasih atas waktu dan kesempatannya." "Terimakasih kembali." Zeon memimpin berdiri, Melva mengikuti dan mereka berjabat tangan. Melva menunggu, membiarkan Zeon keluar dari ruangan terlebih dahulu. Saat pintu sudah terbuka, Zeon berbalik. "Ah, tolong ganti warna lipstik kamu. Terlalu terang." Secara refleks Melva menyentuh bibirnya sendiri."Totalnya Rp.230.000. Terimakasih, selamat datang kembali." Melva tersenyum pada kasir dan keluar dari supermarket. Sebelum memulai kerja besok, Melva mengundang Helena makan hot pot di apartemen miliknya. Kebetulan orang tua Helena sedang ada keperluan di luar kota, jadi Melva sekaligus mengajak Helena menginap. Hanya butuh lima menit berjalan kaki untuk sampai lobi apartemen. Melva memasuki lift dan menekan angka 3. Helena belum datang, dia mengabari bahwa dirinya masih dalam perjalanan pulang dari kantor. Melva menyarankan untuk langsung datang dari kantornya tanpa pulang ke rumahnya terlebih dahulu. Beberapa pakaian Helena sengaja tersimpan di lemari Melva untuk digunakan saat-saat seperti ini. Dan mereka memang sering menginap bergantian antara tempat Melva dan Helena. Selama menunggu kedatangan Helena, Melva menyiapkan alat dan bahan masakan. Tepat setelah mencuci tangan, bel berbunyi. Melva telah memberikan sandi apartemen pada Helena, namun dari dulu Helena dengan sopan te
Mulutnya tak pernah berhenti bersenandung sembari mengancingkan kemejanya. Saat kancing terakhir selesai, Melva merapikan lagi kemejanya dan tersenyum puas. Melangkah dua kali ke belakang hingga seluruh badannya terlihat di cermin, Melva merentangkan tangannya memastikan pakaian yang dikenakan tidak ada kesalahan. Dia berputar dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Selanjutnya, Melva duduk di meja rias. Dia menatap jam dinding sebelum memoles make up. Melva telah biasa menggunakan lipstik kesayangannya yang kata Zeon terlalu terang itu. Mengingat Zeon menyuruhnya mengganti warna, Melva dengan cemberut mengelus permukaan lipstik dan meletakkan kembali lipstik kesayangannya lalu mengambil yang baru dibeli kemarin. Selesai menyemprot parfum di area leher, Melva mengambil tasnya dan bersiap berangkat. Dia memesan taksi, menghindari debu dari menaiki ojek online dan kerumunan bus. Melva harus memastikan penampilannya di hari pertama kerja sempurna. "Kompor sudah dimatikan belum ya?" Baru
Melva dalam dilema yang cukup serius. Jam kerjanya hampir habis dimana itu adalah waktunya mobil pengangkut datang memindahkan barangnya ke kediaman Zeon. Dari satu narasumber yang sudah bekerja untuk Zeon selama beberapa tahun, gagasan personal asisten harus selalu bersama bos sampai berpindah tempat tinggal di atap yang sama adalah hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Itu mengungkapkan bahwa pemindahan ini baru terjadi pada Melva. Apapun itu alasan Zeon, Melva yakin ini merugikan dirinya. Tidak hanya menjadi bahan perbincangan nantinya, Melva akan disibukkan dengan permintaan Zeon setiap saat kapanpun dan di manapun. Sementara jarum jam terus berputar, Melva merencanakan ide gila untuk menggagalkan pemindahannya. Sekalipun Zeon menegaskan tentang ketidakpedulian mengenai pendapat Melva, Melva tidak akan membiarkan pemindahannya mudah direalisasi. "Kamu bisa langsung pulang sepuluh menit lagi. Pak Zeon sedang keluar dan memintaku untuk memberitahu kamu mengenai hal ini."
Melva tipe orang yang mudah mengantuk dan bisa cepat tertidur. Tapi di tempat ini sepertinya pengecualian baginya. Kamar ini sangat bagus dan luas. Seprainya lembut dan kasurnya nyaman. Tapi di luar tidak aman. Ini adalah rumah Zeon. Dengan sifat yang belum semuanya diketahui oleh Melva, Melva perlu cemas berada dalam teritori Zeon. Sudah pukul sepuluh saat perut Melva berbunyi. Dia lapar. Melva memakai sandal lembut berbentuk kelinci lalu keluar dari kamar. Keadaan rumah sangat gelap. Melva tidak berniat menyalakan satupun lampu. Dia membawa ponselnya sebagai penerangan. Tujuannya tentu dapur, matanya menyapu isi kulkas. Semuanya bahan mentah yang perlu diolah. Bagaimana mungkin kulkas sebesar ini tidak menyediakan camilan?Baru saja hendak menutup pintu kulkas, suara pintu dibuka terdengar. Melva mematikan senter di ponsel dan memasuki toilet dapur.Mendengar langkah kaki lebih dari satu, Melva menebak itu adalah pelayan pribadi yang memang tinggal di rumah ini."Aku masih tidak m
Suara wajan mendesis saat Zeon berkutat di depan kompor. Melva duduk anteng di kursinya. Dia mengangkat tangan untuk menyangga kepala. Tidak tahu mengapa memperhatikan pria yang sedang memasak bisa semenarik ini. Akankah semua pria akan nampak seperti ini atau hanya yang memiliki ciri-ciri seperti Zeon? Tubuh tegap tinggi, bahu lebar, dan tangan cekatan. Melva menggelengkan kepala menghilangkan imajinasinya yang semakin merembet jauh. Zeon hanya memasak, jadi kenapa Melva harus begitu menaruh perhatian? Menyedot habis isi minuman dalam kotak, Melva beranjak membuang sampahnya tanpa menimbulkan suara. Kebetulan itu ada di ujung, jadi dia harus melewati punggung Zeon. Ruangnya lumayan sempit untuk dua orang dewasa, Melva memiringkan badan, menghindari kontak fisik. Tanpa diduga saat Zeon memasukkan sedikit air dalam wajan, itu hampir terciprat pada tangannya. Zeon mundur setengah langkah untuk menghindar. Dan tabrakan itu terjadi. Perbedaan tenaga itu membuat Melva terhuyung hingg
Zeon memperhatikan Melva dengan seksama, melihat tanda-tanda halus dari kebohongan di mata Melva. Dia memutuskan untuk memberinya beberapa dua hari libur. Gerakan Melva masih terbatas, sebuah bukti dari rasa sakit yang masih tersisa dari insiden semalam.Hanya satu hari sejak Melva mulai bekerja sebagai asisten pribadinya, belum cukup waktu untuk menyesuaikan diri dengan perannya yang baru. Selain itu, dia telah menghabiskan beberapa hari sebelumnya dalam pelatihan, hampir tidak bisa disebut pekerjaan dan dia sudah diberi cuti. Sekarang, Melva mendapati dirinya diberi dua hari istirahat. Tanpa dia sadari, selama dua hari ini, para staf rumah tangga bergosip tentangnya. Setelah baru saja pindah ke kediaman Zeon, Melva menjadi bahan spekulasi. Pelayan-pelayan itu berbisik di antara mereka sendiri, menggambarkannya sebagai wanita penggoda dan berasumsi bahwa Zeon terlibat dalam hubungan intim kasar dengannya, itulah sebabnya memar dari insiden kursi terjadi. Penjelasan Melva sepertinya
Setelah menjalani pelatihan intensif sampai akhir pekan, akhirnya Melva siap untuk memulai perannya sebagai personal asisten pada hari Senin. Namun, kegembiraannya segera berubah menjadi kegelisahan ketika Zeon bersikeras untuk mengantar ke kantor dari awal kepindahan. Meskipun Melva menolak dengan sopan, Zeon bersikeras untuk mereka berangkat bersama. Itu bukan hanya saran; rasanya lebih seperti perintah, sesuai sifat Zeon. Dengan perasaan tidak nyaman yang menghinggap di perutnya, Melva dengan enggan menuruti keteguhan Zeon dalam membujuknya, ralat, memaksanya. Perubahan sikap Zeon terhadap Melva memang mengejutkan banyak orang di sekitarnya, terutama para pekerja rumah tangga yang mengenal Zeon sebagai sosok yang dingin dan acuh. Namun, sikap Zeon yang lebih hangat dan perhatian terhadap Melva menunjukkan bahwa ada sesuatu yang istimewa di antara hubungan mereka. Isi kepala setiap pekerja rumah tangga pagi itu semakin tumpang tindih dengan berbagai spekulasi. *** Pada hari
Lembur pertama Melva adalah satu Minggu kemudian. Dia masih senantiasa berdampingan dengan Zeon. Saat ini Melva tengah berdiri di samping pria itu yang duduk di kursi kerjanya. Melva sudah selesai dengan pekerjannya, dia membacakan jadwal Zeon satu Minggu ke depan. "Dan yang terakhir pertemuan dengan departemen keuangan pada hari Rabu tentang rencana pendanaan proyek baru." Zeon menjawab tanpa mengangkat wajahnya, jarinya masih lincah mengetik di keyboard, "Ganti, majukan di hari Selasa. Saya masih luang di hari itu, lebih baik selesaikan lebih cepat." "Baik Pak, sesuai perintah, saya akan menghubungi departemen terkait tentang perubahan ini." Sudah hampir jam sebelas malam. Zeon tidak memberitahu sejauh mana pekerjaannya akan selesai. Melva sudah menawarkan bantuan, namun Zeon tetap menolak. Terlintas kejadian saat Melva tertidur di sofa dan ruang kerja rumahnya, Zeon mengira Melva mendesak karena mengantuk. Sebenarnya, pekerjaan ini masih lama selesai. Melva tidak terl
Pukul delapan malam ketika Melva sampai di rumah. Ia disambut oleh pemandangan Zeon yang duduk santai di sofa depan televisi, tampak asyik menonton sebuah acara. Di tengah cahaya lembut lampu ruang tamu, mereka saling tersenyum, sebuah tatapan penuh kebahagiaan yang tidak perlu kata-kata. Melva berjalan mendekat dan duduk di samping Zeon. Tanpa ragu, Zeon mengangkat tangannya untuk mengelus surai panjang Melva yang tergerai. Melva memotong jarak lagi, menyandarkan kepalanya di pundak Zeon dengan lembut, menikmati kehangatan dan ketenangan momen itu. Zeon memecah keheningan dengan sebuah tawaran lembut, "Mau makan camilan malam?" tanya Zeon, suaranya penuh kelembutan. Zeon merasakan gerakan lembut di pundaknya dan mendongak. Dengan senyum manis, ia menegakkan kepalanya dan mengangguk. Zeon berdiri, mengantarkan langkahnya menuju dapur dengan gerakan yang ringan dan penuh kepastian. Di dapur, Zeon memulai ritual kecilnya, hanya mengupas beberapa buah segar kemudian memotongnya men
Melva sudah tiba di kafe terlebih dahulu, memilih meja di sudut yang nyaman, dekat jendela yang memandang ke taman kecil di luar. Dia duduk dengan tenang, memesan secangkir kopi panas, sambil sesekali melirik ke pintu untuk melihat apakah Helena sudah datang. Lima menit kemudian, Helena muncul dengan langkah cepat, menyusuri jalan setapak di antara meja-meja kafe. Dia melihat Melva dan tersenyum, menuju ke mejanya."Melva!" Helena menyapa, meletakkan tasnya di meja dan duduk di kursi di hadapan sahabatnya. "Jadi, kalian pacaran sekarang?" tanya Helena tanpa basa-basi, matanya mengungkapkan rasa ingin tahunya yang mendalam.Melva tidak merasa perlu menyembunyikannya. "Ya," jawabnya singkat, sambil menyesap jus jeruk di hadapannya dengan santai. Ekspresi wajahnya menunjukkan kepuasan dan kebanggaan, namun juga sedikit kekhawatiran yang mungkin tidak sepenuhnya dia sadari.Helena mengernyitkan dahi, jelas terkejut. "Melva, aku tidak bisa percaya ini. Proses pendekatan kalian terlalu cepa
Tiba di kota tempat tinggalnya, Zeon tidak ragu menggandeng tangan Melva, menunjukkan kedekatan dan kehangatan di tengah hiruk-pikuk bandara. Sementara itu, sopir pribadinya, yang sudah menunggu dengan sabar, segera meraih dua koper yang dibawa mereka dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil.Begitu kedua orang tersebut masuk ke dalam mobil, kendaraan itu melaju dengan mulus meninggalkan area bandara, menyusuri jalan-jalan kota yang mulai menampakkan kehidupan siangnya. Menyadari bahwa mereka hanya sempat mengisi perut dengan roti selai sebelum pulang, Zeon memutuskan untuk menelepon koki di rumah, memintanya untuk menyiapkan makan siang lebih awal dari jadwal.Dengan demikian, mereka bisa langsung menikmati hidangan yang telah disiapkan dengan penuh perhatian segera setelah sampai di rumah. Suasana di mobil terasa nyaman dan akrab, sementara Zeon dan Melva mengobrol ringan, menikmati perjalanan mereka yang tampaknya semakin mendekatkan mereka pada kehangatan rumah dan hidangan yang me
"Apakah kamu pernah mengalami ini sebelumnya?" Suara dokter terdengar tenang, berusaha mengurangi ketegangan yang meliputi ruangan.Melva duduk di ruang pemeriksaan dokter, terbalut dalam kekhawatiran yang mendalam. Dinding putih ruangan itu seakan menekan perasaannya, sementara Zeon, suaminya, duduk di sampingnya, berusaha memberi dukungan. Dokter, seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun dengan mata yang penuh empati, menatap Melva dari meja kerjanya, mengamati setiap gerak tubuh dan ekspresi wajahnya.Melva, yang sudah tampak gelisah sejak masuk, hanya membisu. Dia menatap lantai, mencoba menenangkan diri dari gelombang kecemasan yang menghantamnya. Zeon meraih tangannya dan mengelus punggungnya dengan lembut, memberikan dukungan tanpa kata."Tenang. Cobalah untuk menjawab pertanyaan dokter."Melva menarik napas dalam-dalam dan mengangkat kepala, matanya bertemu dengan tatapan dokter. Dengan suara yang bergetar, dia akhirnya berkata, "Baru kali ini."Dokter mengangguk perlahan
Matahari sudah terbenam, dan suasana di jalan raya terasa tenang. Namun, seiring dengan malam yang semakin larut, suasana tiba-tiba berubah drastis.Dalam jarak beberapa puluh meter di depan mereka, sebuah truk besar yang membawa muatan berat tampak mengalami kecelakaan. Truk itu terbalik dan menutup seluruh jalur, sementara barang-barang yang dibawanya berserakan di sepanjang jalan. Kecelakaan ini menyebabkan lalu lintas berhenti total. Lampu lalu lintas di sekitar area tersebut berkedip-kedip sebelum akhirnya padam, memicu pemutusan listrik yang lebih luas di daerah tersebut.Seketika, jalan-jalan di sekitar mereka menjadi gelap gulita. Lampu jalan dan lampu kendaraan di sekitar hilang, dan hanya ada kegelapan yang menggelayuti suasana. Zeon dan Melva mencoba menyalakan lampu mobil mereka dengan intensitas penuh, tetapi cahaya yang dipancarkan hanya menambah kesan gelap karena keterbatasannya.Melva mencoba menenangkan Zeon, yang tampak frustrasi dengan situasi ini. "Tenang, Zeon. K
Melva tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika melihat bahwa Zeon telah memesan sebuah apartemen untuk mereka. Terlepas dari fakta bahwa ini adalah perjalanan bisnis singkat, kesediaan Zeon untuk memesan tempat yang begitu nyaman terasa seperti kejutan yang menyenangkan. Namun, kelegaan Melva segera datang ketika dia melihat ada dua kamar tidur di apartemen ini. Itu berarti mereka akan memiliki ruang pribadi masing-masing.Apartemen itu memiliki desain yang modern dan elegan, dengan dinding putih bersih dan lantai kayu gelap yang memberikan kesan hangat dan nyaman. Ruang tamu yang luas dilengkapi dengan sofa empuk berwarna abu-abu, meja kopi kaca, dan sebuah televisi layar datar di dinding. Di sudut ruang tamu, terdapat sebuah meja makan kecil dengan empat kursi. Di sampingnya, jendela besar membingkai pemandangan kota yang gemerlap, memberi cahaya alami yang melimpah ke dalam ruangan.Di sebelah ruang tamu, terdapat dapur terbuka yang lengkap dengan peralatan modern: kulkas,
Melva dan Zeon memasuki ruang tunggu bandara. Setelah melalui pemeriksaan keamanan dan menuju ke gate, mereka akhirnya menemukan tempat duduk mereka di ruang tunggu yang cukup nyaman. Jam menunjukkan pukul 09:15 pagi, dan mereka bersiap-siap untuk boarding.Mereka berdua memeriksa tiket mereka sekali lagi, memastikan segala sesuatu. Jam keberangkatan tercatat pada pukul 10:00 pagi.Sekitar pukul 09:45, boarding dimulai. Melva dan Zeon melaju melalui pintu boarding, memasuki pesawat. Mereka menemukan kursi mereka di kelas ekonomi, yang terletak di dekat jendela. Melva duduk di dekat jendela sementara Zeon duduk di sampingnya di kursi tengah.Pesawat mulai lepas landas tepat waktu pada pukul 10:00 pagi. Dengan mulus, mesin pesawat meraung dan pesawat meninggalkan landasan. Melva menatap pemandangan kota yang semakin menjauh dari jendela, terpesona oleh pemandangan yang membentang luas di bawahnya. Zeon, di sisi lain, mengeluarkan tablet dari tasnya dan mulai mencari beberapa film untuk
Helena menatap ponselnya, seolah-olah berharap Melva bisa merasakan kehangatan dan kejujuran dari kata-katanya melalui telepon. "Aku hanya ingin kamu tahu bahwa keputusanmu untuk tetap membuka hati dan mempertahankan hubungan ini lebih penting daripada apa yang dikatakan orang lain. Kebenaran cinta adalah tentang keberanian untuk menghadapi ketakutan dan merangkul kebahagiaan yang datang. Jangan biarkan ketakutan dan gosip menghentikanmu dari menjalani sesuatu yang bisa membuatmu bahagia. Jangan biarkan Zeon merasa kehilangan kesempatan untuk mencintaimu hanya karena kamu takut pada pandangan orang luar." Helena mengakhiri percakapan dengan nada lembut namun penuh harapan. "Kamu memiliki kekuatan untuk membuat keputusan yang benar untuk dirimu sendiri." Melva menatap ponselnya, merenung dengan hati yang bergejolak. Suara Helena masih menggema dalam pikirannya, membangkitkan perasaan yang telah lama ditekan. Ketika dia berdiri di depan koper yang hampir selesai dikemas, dia tidak b
Setelah makan malam, Melva bergegas menuju kamar tidurnya. Dia berdiri di depan koper besar yang terbuka lebar di tengah kamar, merencanakan perjalanan bisnis yang akan membawanya ke kota yang jauh. Dengan cekatan, dia mulai memasukkan barang-barang ke dalam koper, setiap item ditimbang dengan hati-hati untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Di bagian paling atas, Melva menempatkan pakaian kerja yang telah disiapkannya dengan teliti: beberapa set blazer elegan, blus berpotongan rapi, dan celana panjang yang serasi. Setiap potong pakaian dipilih untuk memberi kesan profesional dan percaya diri di hadapan klien. Selain itu, ia juga membawa beberapa gaun yang sederhana namun mewah, untuk menghadiri acara sosial yang mungkin terjadi selama perjalanannya. Tak kalah penting, Melva memasukkan perlengkapan mandi dalam sebuah kantong plastik transparan—sabun, sampo, dan pelembap kulit yang selalu digunakannya untuk menjaga penampilan dan kesehatannya tetap optimal. Dia juga memasukka