Kecanggungan terjadi antara Melva dan Zeon. Melva, yang biasanya ramah dan ceria, menjadi sangat tertunduk dan diam sejak mereka duduk di meja makan. Zeon, di sisi lain, tampak lebih tenang dan terkontrol, meskipun tidak bereaksi banyak setelah kejadian tersebut."Makan perlahan," kata Zeon kepada Melva dengan nada yang lembut. Dia khawatir Melva bisa tersedak karena makan terlalu cepat. Melva hanya mengangguk, tetapi wajahnya tetap menunduk ketika dia melanjutkan makan.Saat Melva hampir selesai dengan makanannya, dia tiba-tiba tersadar bahwa ponselnya tertinggal di ruang teater. Tanpa berkata apa-apa, dia berdiri untuk pergi ingin mengambilnya."Aku meninggalkan ponselku."Zeon segera menahannya, "Duduklah, biar pelayan yang mengambilkan untukmu."Komentar Zeon membuat telinga Melva memerah. Dia merasa malu karena Zeon harus menegurnya secara tidak langsung. Pelayan segera melangkah masuk ke ruang teater dan tidak lama kemudian kembali dengan ponsel Melva. Melva mengucapkan "terima
Sebuah papan nama bertuliskan 'Lullaby' terletak di pojok kiri bangunan. Restoran ini berada di sudut jalan utama kota, dengan jendela besar yang memungkinkan cahaya matahari sore masuk ke dalam ruangan. Di dalam, dekorasi restoran terlihat elegan namun tidak terlalu berlebihan. Dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan abstrak yang dipasang dengan rapi, sementara meja-meja kayu gelap tersebar di sepanjang ruangan, dilengkapi dengan kursi kulit yang nyaman.Zeon lebih dari familiar dengan tempat ini, mengarahkan Melva ke ruang VIP di bagian belakang. Mereka melewati lantai kayu yang bersih dan kamar-kamar kecil yang tersembunyi dengan pintu kayu geser, menciptakan suasana eksklusif yang tenang di tengah keramaian restoran. Ruang VIP itu sendiri terpisah dari area umum dengan partisi kaca berwarna gelap, memungkinkan para tamu untuk menikmati makanan mereka dengan privasi tanpa sepenuhnya terisolasi dari suasana restoran.Melva melihat sekeliling dengan mata terbuka lebar, takjub denga
"Jadi, dia yatim piatu yang tinggal di panti asuhan sampai batas umurnya dan tidak diadopsi siapapun. Berapa usianya sekarang?"Farel memandang Zeon dengan pandangan penuh tanda tanya. Mencoba mencerna informasi yang baru saja didapat."Seharusnya 21 atau 22, dia baru lulus universitas tahun ini," jawab Zeon dengan tenang, tetapi pandangannya tetap kabur, mengindikasikan pikirannya melayang ke tempat lain. Dia menyesap cairan dalam gelasnya yang diputar perlahan.Keduanya duduk di pojok kelab yang tenang di sore hari, di mana lampu-lampu remang-remang menyorot sofa-sofa dan ornamen-ornamen artistik yang memperindah ruangan. Suasana sepi memungkinkan mereka untuk bercengkrama tanpa gangguan.Farel memutar angka-angka usia yang Zeon sebutkan dalam pikirannya. Hitungannya terus berlanjut, sampai akhirnya dia menemukan sesuatu yang membuatnya terperangah."Jangan bilang gadis itu masih anak di bawah umur saat itu," gumamnya, matanya melebar dalam keheranan.Zeon memandang Farel, matanya k
Cuaca Sabtu sore masih terasa panas. Dengan langit yang terbakar sinar jingga senja, Melva duduk santai di teras samping rumah. Di tangannya, dia memegang cup eskrim ukuran medium dengan tiga rasa favoritnya: vanila, cokelat, dan stroberi. Dia menyesap eskrim itu dengan nikmat, sambil memandang taman belakang yang terkena sinar matahari senja yang hangat, menciptakan bayangan-bayangan panjang di atas rumput yang gembur.Melva duduk dengan santai, menumpukan kakinya yang telanjang di kaki yang lain. Pakaiannya simpel: hanya kaus putih polos dan celana pendek senada, rambutnya yang panjang dan sedikit bergelombang dicepol asal-asalan, tergerai agak liar oleh angin senja yang lembut. Dia merasakan hangatnya sinar mentari yang bersembunyi di balik pohon-pohon di halaman belakangnya.Saat Melva masih menikmati eskrimnya, terdengar suara mendesis dari dekatnya. Seekor lebah terbang mendekat, mengganggu kedamaian senja yang sejenak dia rasakan. Melva menoleh dengan cepat, mencari sumber suar
Setelah menuruni tiga buah tangga dari panggung, Helena memeluknya, "You got this! Keren sekali adikku.""Aye aye thanks kakakku.""Langsung pulang?""Ayo, nanti masakan Tante Lea menjadi dingin."Helena berdecak, tangannya terangkat merangkul Melva. Kemudian mereka tertawa bersama.Di dalam mobil, Melva melepas topi wisudanya, menempatkannya bersama sebuket karangan bunga pemberian Helena di kursi belakang.Melva membalas pesan teman-temannya yang mengajak makan malam bersama, dia meminta maaf tidak bisa hadir karena sudah memiliki janji lain. Menyimpan ponselnya, dia mencari micellar water dan kapas di pouch biru dalam pangkuannya.Tangan Helena menghentikan gerakan Melva yang akan menghapus make up."Nah, kita belum mengambil foto bersama. Jangan dihapus dulu.""Ugh, okay."Melva menghela nafas, punggungnya bersandar nyaman. Kebayanya lumayan membuat gerah, setelah mobil keluar area parkir, Melva membuka kaca jendela. Angin segera masuk menyegarkannya.Hari ini adalah perayaan wisu
Seminggu setelah hari wisuda, dan tepat setelah lamaran kerja terkirim ke perusahaan tawaran dosennya, Melva mendapat kabar baik itu pagi ini. Jadwal interview telah ditentukan siang nanti, lokasinya tidak jauh dari apartemennya. Melva sudah berjaga-jaga dari kemarin untuk mengawasi pesan apapun yang masuk ke ponselnya. Melva melompat girang membaca deretan kalimat yang menyatakan dia diundang untuk melakukan wawancara, pihak lain memastikan kedatangannya dengan bertanya: Apakah anda bersedia? Jarinya mengetik lincah, "Ya, saya bersedia." Kakinya tidak bisa diam, Melva bergerak kesana-kemari sambil jarinya masih mengetik, kali ini di room chat Helena. Bagaimana mungkin kabar gembira ini tidak sampai padanya? Helena akan mengamuk jika Melva lupa bercerita. Setelah pesan singkat diantaranya semakin seru dan Helena terus saja mengirim berbagai stiker terkejut tanda dia bangga dan ikut senang atas panggilan wawancara Melva. Melva memutus pesan tersebut, dia mengirim pesan suara. "A
"Totalnya Rp.230.000. Terimakasih, selamat datang kembali." Melva tersenyum pada kasir dan keluar dari supermarket. Sebelum memulai kerja besok, Melva mengundang Helena makan hot pot di apartemen miliknya. Kebetulan orang tua Helena sedang ada keperluan di luar kota, jadi Melva sekaligus mengajak Helena menginap. Hanya butuh lima menit berjalan kaki untuk sampai lobi apartemen. Melva memasuki lift dan menekan angka 3. Helena belum datang, dia mengabari bahwa dirinya masih dalam perjalanan pulang dari kantor. Melva menyarankan untuk langsung datang dari kantornya tanpa pulang ke rumahnya terlebih dahulu. Beberapa pakaian Helena sengaja tersimpan di lemari Melva untuk digunakan saat-saat seperti ini. Dan mereka memang sering menginap bergantian antara tempat Melva dan Helena. Selama menunggu kedatangan Helena, Melva menyiapkan alat dan bahan masakan. Tepat setelah mencuci tangan, bel berbunyi. Melva telah memberikan sandi apartemen pada Helena, namun dari dulu Helena dengan sopan te
Mulutnya tak pernah berhenti bersenandung sembari mengancingkan kemejanya. Saat kancing terakhir selesai, Melva merapikan lagi kemejanya dan tersenyum puas. Melangkah dua kali ke belakang hingga seluruh badannya terlihat di cermin, Melva merentangkan tangannya memastikan pakaian yang dikenakan tidak ada kesalahan. Dia berputar dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Selanjutnya, Melva duduk di meja rias. Dia menatap jam dinding sebelum memoles make up. Melva telah biasa menggunakan lipstik kesayangannya yang kata Zeon terlalu terang itu. Mengingat Zeon menyuruhnya mengganti warna, Melva dengan cemberut mengelus permukaan lipstik dan meletakkan kembali lipstik kesayangannya lalu mengambil yang baru dibeli kemarin. Selesai menyemprot parfum di area leher, Melva mengambil tasnya dan bersiap berangkat. Dia memesan taksi, menghindari debu dari menaiki ojek online dan kerumunan bus. Melva harus memastikan penampilannya di hari pertama kerja sempurna. "Kompor sudah dimatikan belum ya?" Baru