Home / Romansa / Dua Sisi / Cita-cita

Share

Cita-cita

Author: Dwi Kurnialis
last update Last Updated: 2021-07-02 21:13:01

“Sayang, kamu di sini baik-baik, ya. Om mau waktu kamu pulang ke Jakarta nanti, kamu udah bawa bekal ilmu agama yang banyak!” ujar Om Roni.

Padahal sebelumnya Ameera sudah berpesan kepada Bu Nyai, kalau pamannya hendak pulang, beliau tidak perlu menemui Ameera terebih dahulu. Hal itupun telah disampaikan. Namun, sepertinya Om Roni merasa belum puas jika tidak melihat Ameera sekali lagi sebelum dirinya benar-benar meninggalkan keponakannya di pesantren.

“Om juga baik-baik, ya. Jaga kesehatannya.”

“Tentu. O ya, tadi Om juga udah bilang ke Pak Kiyai Husein dan Bu Nyai, kalo Om Cuma akan nengokin kamu tiga bulan sekali. Terus ... soal keuangan Om titipkan ke rekening pesantren. Jadi, kalo kamu butuh apa pun yang harus dibeli, kamu tinggal bilang aja sama Bu Nyai.”

Sungguh, ini benar-benar di luar dugaan Ameera. Dirinya pikir, Om Roni akan memberinya kartu ATM atau kredit card yang sama seperti sebelumnya. Ameera mencebik kesal. “Ih, Om mah nggak asik!”

“Nduk Ameera tenang saja. Semua yang menjadi kebutuhan Nduk Ameera akan kami berikan, selagi itu Ndak akan mengganggu proses belajar Nduk Ameera selama berada di pesantren. Inggih to, Bah?” ucap Bu Nyai seraya beralih kepada suaminya.

“Oh yo jelas,” sahut Kiyai Husein menegaskan. “Pokoknya, tinggal bilang saja!”

***

 Malam pertama di pesantren sungguh sesuatu yang berbeda. Lantunan indah yang terdengar dari toa masjid seolah menciptakan suasana yang sakralk bagi Ameera yang terbiasa hidup di kota. Ya, kehidupan Ameera sebelumnya bukanlah sosok yang religius. Dia seorang gadis kota modern yang memiliki pergaulan cukup luas. Itulah salah satu sebabnya mengapa Om Roni menginginkan Ameera masuk di pesantren.

“Am, kita kumpul di masjid yuk!” ajak Ayu yang sudah bersiap dengan beberapa buku di pelukannya.

“Am?” Lagi-lagi Ameera bingung dengan sapaan Ayu untuknya.

Ayu tersenyum. “Tadi aku panggil Mira, kamu Ndak mau. Giliran sekarang aku sebut Am, kamu juga bingung. Namamu Ameera tho? Yo wis, aku panggil Am, maksudnya lebih singkat dari Ameera.”

“Aneh, deh, nama gue bagus-bagus Ameera kenapa lo sebutnya Mira, terus sekarang Am!” gerutu Ameera.

“Lah terus kamu mau disebut opo? Kalo Ameera menurutku kalo hanya sekedar buat menyapa itu kurang singkat”

Ameera menautkan alisnya. “Ya udah, panggil Meera, bukan Mira!” tegas Ameera.

“Yo wis, iya, iya, aku panggilnya Meera.”

Tatapan Ameera trerfokus pada beberapa buku yang berada dalam dekapan Ayu. “Itu buku apa?”

“Oh ini? Ini kitab.”

“Buat apa?”

Ayu menghela napas. “Kita mau Nadzhoman!” sahutnya.

“Nadzhoman apaan?” tanya Ameera lagi.

“Nadzhoman itu lalaran.”

“Apa? Lalaran? Apa itu lalaran?” Ameera semakin merasa aneh dengan bahasa-bahasa yang disebutkan oleh Ayu.

Ayu lekas meraih tangan Ameera dan menariknya. “Sudah ... nanti kamu juga tau apa itu lalaran!” ucapnya seraya melangkah keluar beriringan dengan Ameera menuju masjid.

***

 Suasana masjid cukup ramai. Di bagian depan dekat dengan mihrab khusus para santriwan, sementara kelompok santriwati duduk di serambi. Suara alunan bait-bait syair indah dinyanyikan dengan merdu oleh para jama’ah lalaran.  Ameera bingung akan situasi dan kondisi di sana. Dirinya benar-benar tidak paham apa yang harus dilakukannya.

“Ay, ini apaan sih, nyanyi-nyanyi nggak jelas,” bisiknya pada Ayu setelah beberapa menit duduk di serambi.

Ayu yang sejak datang segera bergabung turut bersenandung, sejenak menghentikan senandungnya. “Kamu bisa ngaji, kan?” tanyanya.

“Bisa sih, dikit-dikit.”

Ayu memberikan buku kitabnya kepada Ameera. “Nih, kamu ikuti saja bacaan di halaman ini! Kita lagi baca syair ini.”

“Hah ...!” Ameera justru melongo.

“Udah, ikuti saja. Nanti juga lama-lama kamu ngerti!” saran Ayu seraya menyunggingkan senyum.  Sementara Ameera hanya pasrah saja.

***

Di tengah pembacaan Nadzhom, seseorang datang dari arah pintu utama masjid. Ameera yang duduk tepat di dalam serambi sebelah kanan, dapat melihat dengan jelas sosok pemuda berbaju koko putih, dilengkapi sarung serta songkok berwarna hitam. Tanpa sengaja keduanya bersemuka. Pemuda yang akrab disapa Gus Ahmad itu sejenak mengangguk seraya tersenyum. Ameera sendiri justru kembali menunduk seolah-olah tak melihatnya.

Ahmad yang baru tiba memanglah sedikit terlambat. Seharusnya dialah yang mendampingi santri melaksanakan lalaran. Namun, lantaran dirinya harus mengurus sebuah berkas di luar pesantren, maka Kiyai Husein yang menggantikan tugasnya.

 Bait-bait syair kitab nadzhom disenandungkan dengan indah. Suara mereka terdengar jelas dari toa masjid hingga menyebar ke seluruh penjuru daerah dekat pesantren.  

***

“Mad, Ummi mau bicara sama kamu!” sapa Bu Nyai yang sedang menanti kedatangan puteranya di beranda.

Ahmad yang baru tiba dari masjid lekas mendekat dan duduk di salah satu kursi yang ada di sudut ibunya. “Iya, Mi. Ummi mau bicara soal apa?”

“Tadi sore kamu ngurus berkas apa?”

“Oh itu ... biasalah, Mi, berkas lamaran kerja.”

Bu Nyai menghela napas cukup panjang. Harapannya belum sesuai dengan kenyataan. Dirinya pikir setelah kepulangan Ahmad dari Cairo, putera semata wayangnya itu akan meneruskan perjuangan sang suami mengurus pesantren. Ternyata Ahmad justru sibuk mencari pekerjaan lain. Raut wajah Bu Nyai mulai mendung. Ahmad mengerti sekali, jika ibunya itu kurang setuju dengan keinginannya.

“Nyuwun pangapunten, Ummi. Ahmad tau Ummi kurang setuju sama cita-cita Ahmad. Tapi, Ahmad janji ... Ahmad pasti akan tetap bantu-bantu Abah di pesantren.”

“Apa berbagi ilmu di pesantren saja itu Ndak cukup, Mad?” tanya Bu Nyai lagi.

Ahmad terdiam. Pikirannya berkecamuk atas keinginan ibunya.

“Kamu tau kan, Mad, selama ini Abahmu sendirian membimbing anak-anak. Untung saja, sekarang ada Samsul yang membantu. Kalo Ndak ada Samsul, Abahmu pasti keteteran ngurusi santri segitu banyaknya.”

Benar apa kata Bu Nyai, sejak pesantren didirikan lima belas tahun lalu oleh Kiyai Husein, pria paruh baya itu benar-benar merintis sendirian. Kala itu usia Ahmad baru delapan tahun, dan masih duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar. Awalnya, Kiyai Husein yang waktu itu baru mengajak pindah keluarga kecilnya dari Gontor ke Jogja, merasa sangat perihatin melihat kondisi anak-anak  di lingkungannya. Terutama anak-anak yatim, salah satunya adalah Samsul. Banyak anak-anak yang tidak bersekolah dan hanya bermain-main saja tanpa menjalani pendidikan, baik pendidikan umum maupun spiritual.

Dari situlah, Kiyai Husein mengajak anak-anak untuk belajar agama. Semuanya dimulai dari Ahmad. Setiap ba’da Ashar, sepasang ayah dan anak itu muroja’ah di masjid dekat rumah, yang sekarang menjadi masjid pesantren. Kemudian secara perlahan muridnya bertambah dan semakin banyak lantaran Ahmad yang mudah bergaul dengan lingkungan baru, mengajak teman-teman barunya untuk mengaji kepada ayahnya.

“Sekarang Abahmu sudah Ndak muda lagi, Mad. Sudah waktunya beliau untuk istirahat, dan sekarang giliranmu untuk menggantikannya. Itupun kalo kamu mau!” ucap Bu Nyai lagi.

Kali ini Ahmad semakin bingung tidak tahu harus berkata apa. Kuliah di Al Azhar, Mesir adalah dambaannya. Namun, bukankah tujuan dari kuliah itu salah satunya adalah untuk mendapatkan ijazah dan sebuah gelar yang kemudian akan digunakan utuk kemaslahatan umat juga.

‘Jangan memaksa, Mi!” ucap Kiyai Husein yang sudah berada di bibir teras. Ahmad sedikit terkejut dan menoleh ke belakang. Rupanya sang ayah tanpa sengaja telah mendengar percakapan keduanya. Lelaki berusia lima puluh tujuh tahun itu segera duduk membaur bersam dengan istri dan puteranya. “Kalo Ahmad punya cita-cita mulia, kita ... sebagai orang tuanya harus mendukung!” imbuhnya.

“Ummi bukannya Ndak mendukung Ahmad, Bah. Ummi Cuma pengin Ahmad berpikir mateng-mateng, apa keputusannya itu sudah benar?”

“Ahmad sudah benar-benar mempertimbangkannya kok, Mi!” tegas Ahmad. “Lagi pula ini juga baru tahap kirim berkas, belum ada kejelasan diterima atau Ndak.”

Bu Nyai terdiam. Jawaban dari Ahmad sedikit meluruhkan perasaannya yang semula khawatir menjadi lega. Sementara Kiyai Husein justru bingung memikirkan kedua pendapat orang terdekatnya. “Mad, Abah punya saran. Tapi ini baru saran saja, semuanya terserah sama kamu, karena kamu yang mau menjalani.”

“Saran nopo niku, Bah?” tanya Ahmad penasaran.

“Pesantren kita ini kan, sudah terdaftar di kementerian agama dan pendidikan. Banyak lulusan dari Madrasah Aliyah kita yang memilih untuk keluar dari sini, demi mencari perguruan tinggi yang berkualitas. Sekarang kalo dipikir-pikir, daripada kamu mencari pekerjaan di luar, kenapa Ndak kamu dirikan saja perguruan tinggi di pesantren kita?”

Bu Nyai terkejut mendengar ucapan suaminya. Hingga ia menarik tubuhnya ke depan. “Nah, kalo ini Ummi setuju!” serunya bersemangat.

“Tapi itu kan, biayanya Ndak sedikit, Bah!”  ujar Ahmad.

“Memangnya kamu Ndak yakin sama pertolongan Allah?”

Pertanyaan singkat, tapi cukup mengena di hati. Ahmad menatap diam wajah sang ayah. Dirinya dapat melihat betapa lelaki itu sangat mendukung cita-citanya. Namun, Kiyai Husein bukanlah orang yang berpikiran dangkal seerti kebanyakan manusia sebayanya. Meskipun usianya semakin senja, tetapi cara berpikirnya cukup maju. Terlebih jika itu untuk kemaslahan umat Islam.

Related chapters

  • Dua Sisi   Adaptasi

    Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00, tetapi Ameera belum dapat memejamkan mata. Ia terbaring di atas ranjang dengan perasaan gelisah. Ayu yang berada di ranjang bawahnya dapat merasakan gerakan Ameera yang seolah tidak nyaman berada di tempat tidurnya. “Kamu kenapa sih, Ra?” Kali ini sapaan untuk Ameera dari Ayu berubah lagi. “Gue nggak bisa tidur nih, Ay!” “Kenapa? Besok kita mesti bangun pagi, loh! Kalo kamu Ndak tidur dari sekarang, bisa-bisa kamu bangun kesiangan.” “Emangnya, kita harus bangun jam berapa?” “Jam 3 biar kita bisa salat malam, witir, sekaligus salat fajar.” Ameera tercekat hingga setengah bangkit, kepalanya menghadap ke bawah tepat di sisi ranjang. “Apa? Sebelum Subuh?” ucapnya sedikit berseru. “Iyo. Kenapa kaget gitu, tho? Memangnya kamu Ndak pernah salat malam?” Ameera hanya menyeringai. Gadis kota itu memang sama sekali belum pernah melaksanakan semua salat yang disebutkan oleh Ayu. “Lah, te

    Last Updated : 2021-07-02
  • Dua Sisi   Dapur

    Senin pagi merupakan awal pekan bagi setiap orang menyusun rencana satu minggu ke depan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Ameera. Gadis itu terlihat tak bersemangat. Kegiatan paginya diisi dengan bersih-bersih kamar dan teras depan. Sementara dari jarak yang lumayan jauh, tepatnya di halaman depan kelas, para murid yang masih duduk di bangku MI, Mts, dan MA, semuanya melaksanakan upacara bendera.“Kalo liat yang kayak gitu, rasanya pengen balik ke Jakarta dan sekolah lagi. Seru kali, ya?” Ingatan Ameera kembali beralih ke masalalu, di mana ia dapat merasakan kebahagiaan bersama teman-teman sekolahnya. Namun, itu hanya tinggal kenangan. Kemauan Om Roni terlalu besar. Ameera merasa sangat benci kepada pamannya. “Gue nggak nyangka, Om Roni setega ini ke gue!”“Tega gimana?” Pertanyaan darri seseorang membuyarkan lamunan Ameera. Rupanya sudah sejak tadi Rumi sudah berada di belakangnya.“Eh, lo, Rum?”“Ka

    Last Updated : 2021-07-09
  • Dua Sisi   Sial

    Para santri semua telah berada di posisinya masing-masing mengantri di dapur umum untuk mengambil jatah sarapan mereka. Sudah biasa hingar bingar terjadi tatkala semua telah merasa lapar. Tak jarang dari beberapa santriwan yang memilih mengambil makanan dengan menggunakan naman besar. Bude Darmi akan mengisi wadah mereka dengan porsi yang cukup dimakan untuk 5 hingga 7 orang. Kemudian para santriwan akan membawa nampan mereka ke kamar dan menyantap bersama di sana.Ameera yang tak terbiasa makan beramai-ramai seperti itu merasa kikuk menyantap makanannya. Sejenak ia sempat hanya menatap piringnya lalu menoleh ke sekitarnya. Semua teman-temannya makan dengan lahap, padahal hanya dengan sayur dan lauk ala kadarnya yaitu sayur santan terung yang dicampur cabai hijau ditambah lauk tempe goreng tanpa tepung.“Kenapa kamu Ndak makan, Ra?” tegur Rumi yang duduk tepat di sisi kirinya.“Nggak n

    Last Updated : 2021-07-15
  • Dua Sisi   Bidadari Pesantren

    Kehidupan Ameera di pesantren cukup membawa ke arah yang positive. Seminggu pertama berada di tempat yang teramat asing baginya, membuatnya sedikit mulai memahami jika menjadi santriwati itu memiliki aturan-aturan khusus yang harus ia patuhi. Salah satunya adalah ia harus terbiasa mengenakan pakaian muslimah.Bagi Ameera, ini adalah hal yang cukup rumit dan sangat menguji sifat sabar dan nilai keikhlasannya. Bagaimana tidak? Sebelumnya ia hanya gadis kota yang tak pernah berjilbab, dan selalu tampil casual dengan celana jeans atau kulot ¾ dilengkapi kaos, sama seperti teman-temannya.Om Roni sudah menyiapkan semua kebutuhannya. Termasuk pakaian muslimah. Siang yang terik cukup membuat Ameera merasa gerah. Selepas melaksanakan salat Dzuhur berjamaah, gadis bertubuh langsing itu segera berlari dari masjid menuju kamarnya. Tanpa menutup pintu, ia segera menghidupkan kipas angin dan melepas mukenanya dengan cepat. Ameera merebahkan tubuh

    Last Updated : 2021-08-01
  • Dua Sisi   Calon yang soleh

    “Peh ...” Ameera melepeh buah sawo yang sudah digigitnya. “Uh, gue pikir buah sawo dari pohonnya langsung bakalan enak dimakan. Ternyata, nggak ada enak-enaknya sama sekali!”Ameera membuang buah sawo yang masih berada di tangannya lalu bertepuk tangan pelan membersihkan kotoran yang tersisa. Ia kembali duduk di kursi bambu. “Oh ya ampun, mau sampe kapan gue terpenjara di tempat ini?” Ia mulai kembali menggerutu. Lagi-lagi dirinya mengingat perbuatan Om Roni yang menurutnya sudah keterlaluan. “Kalo aja waktu itu gue tahu Om Roni bakalan bawa gue ke sini, pasti gue bakalan kabur duluan.”***“Sebenernya kita mau ke mana, sih, Om?” tanya Ameera yang sejak pagi sudah berada di dalam kendaraan pribadi milik Om Roni. Gadis itu mencoba untuk menerka tujuan pamannya. Namun, ia sama sekali tidak dapat memastikannya. Om Roni sendiri sama sekali tak memberitahunya. Lelaki berusia 38 tahun itu lebih ba

    Last Updated : 2021-08-03
  • Dua Sisi   Gus Ahmad

    “Pokoknya kita mesti sabar menghadapi sikap Ameera. Kita Ndak boleh kalah sama dia,” ujar Ayu menguatkan kedua sahabatnya.Sikap angkuh Ameera terhadap mereka, sedikitnya membuat Rumy menjadi sedikit kesal. Terlebih setelah apa yang diperbuat Ameera kepadanya, mencubit tangannya hingga sakit. Rasanya kalau bukan karena Ayu yang memintanya, ingin ia pergi mengadu kepada Bu Nyai agar Ameera bisa mendapat hukuman yang setimpal atas perbuatannya.“Tapi dia itu keterlaluan. Sama sekali Ndak dengar omongan kita!” Rumy masih terus mengelus tangannya yang merah.“Iya ... tapi itu pasti karena dia masih baru. Aku yakin, cepat atau lambat Ameera bisa jadi lebih baik,” ujar Ayu meyakinkan. “Coba kamu liat Kendis!” Ayu bangkit dari duduknya dan merapatkan diri ke Kendis yang duduk di kursi belajar, seraya merangkul bahu gadis yang sedikit lemot itu. “Dulu ... kamu sering merasa risih sama kekurangannya. Tapi sekarang Nda

    Last Updated : 2021-08-14
  • Dua Sisi   Menantu untuk Ummi

    “Kapan kalian mau menikah? Ummi sudah Ndak sabar pengin menimang cucu dari kalian.”Ahmad dan Samsul saling melempar pandang. Sempat sekejap Samsul menyeringai manja kepada Bu Nyai. Sedangkan Ahmad, pemuda bertubuh sedikit kurus itu hanya mengerjap saja tanpa menjawab. Suasana makan malam yang semula tenang dan damai, kini berubah sedikit mencekam. Kiyai Husein dan Bu Nyai menatap dalam wajah kedua putranya.“Ditanya kok malah diam saja!” gumam Bu Nyai.“Nyuwon pangapunten, Ummi. Kita, kan, lagi makan, apa Ndak sebaiknya kita Ndak membahas persoalan itu?” ujar Ahmad kemudian.“Memangnya kalo kita membahas tentang pernikahan kalian di meja makan, salah, ya?” tanya Bu Nyai lagi.“Bukan begitu maksud Ahmad, Ummi!” tegas pemuda bersongkok hitam yang sejak tadi duduk sejajar dengan Samsul.“Wes to, Ummi tenang saja! Sebentar lagi InsyaaAllah Ahmad bakalan menikah,” timp

    Last Updated : 2021-08-21
  • Dua Sisi   Menikah muda

    Obrolan yang terjadi antara Ayu dan Bu Nyai cukup mengambil alih isi otak Ameera. Seharian sudah ia memikirkan perkara serius ini. Padahal, Ayu yang jelas-jelas berkaitan erat dengan permasalahan itu justru terlihat santai.“Ay, lo nggak risih tuh, sama omongan Bu Nyai tadi pagi?” selidik Ameera seraya mempersiapkan mukenanya. Malam ini selepas salat Isya mereka akan mengikuti kegiatan rutin malam hari yaitu pengajian Al Qur’an.“Risih gimana?” tanya Ayu heran.“Ya ... lo, kan, masih muda. Masak lo mau, sih, dinikahin sama anaknya Bu Nyai!” cetus Ameera lantang.Rumy dan Kendis, pun terkejut. Mereka segera mendekat kepada Ayu yang sedang memilah Al Qur’an di lemari kecil dekat meja belajar. “Hah! Seng tenane, Ay?” Rumy belum percaya. “Kamu mau dijodohin sama Gus Ahmad?”“Wah ... selamat, yo, Ay!” Kendis mengangsurkan tangannya kepada Ayu. Sementara Ayu lekas m

    Last Updated : 2021-08-28

Latest chapter

  • Dua Sisi   Surga Untuk Orang tua

    Seperti yang Ahmad katakan kepada Ameera, malam berikutnya ia menunggu gadis kota itu di masjid. Sedangkan Ameera masih terus merasa ragu hendak menemuinya. Ameera sibuk memilin ujung jilbabnya hingga nyaris kusut membentuk pola garis tidak beraturan lagi. Ia berdiri di sudut serambi seraya terus memfokuskan iris ke arah Ahmad yang masih membaca kitab di dekat mihrab.“Udah ... sana buruan temuin. Jangan sampai beliau menunggu lama!” titah Rumy sambil terus mendorong siku Ameera.“Masa gue, sih, yang mesti nemuin dia duluan? Kan, dia yang mau. Bukan gue!”“Kamu itu santri di sini, Ra. Dan beliau gurumu!” tegas Rumy.Ameera berdecih kesal. Ucapan Rumy seolah ingin memaksanya untuk patuh pada aturan yang dibuat oleh Ahmad secara sepihak. Padahal, perdebatan yang terjadi kemarin malam antara dirinya dan Ahmad sama sekali tidak ada hubungannya dengan pesantren. Kenapa gue mesti patuh? Rumy mer

  • Dua Sisi   Tertunda

    Mampus, deh, gue! Kok bisa salah ngira gini, sih! Gue pikir dia suaminya Ayu. Emangnya Abah punya anak selain dia, ya?Wajah Ameera mengerut. Rasa tidak enak hati seketika langsung menghinggapinya. Ahmad yang masih terus menatapnya di dalam remang cahaya, seakan mampu menangkap ekspresi yang ia tampilkan."Udah! Aku Ndak apa-apa, kok. Aku juga Ndak marah. Tapi lain kali jangan asal menuduh kalo Ndak paham masalah yang sebenarnya, ya!""Gue tekankan kalo gue bukan menuduh. Tapi gue cuma salah ngira aja! Lagian ... Yang gue denger anak Abah itu cuma satu.""Anak Abah banyak," kata Ahmad sembari mempersilakan Ameera melanjutkan langkahnya."Sebentar! Lo bilang anak Abah banyak, anak yang mana? Atau ... Abah punya anak dari istri yang lain, ya?" selidik Ameera.Ahmad mendengkus. Pertanyaan Ameera kali ini dirasa cukup keterlaluan. Menurutnya. Jika tadi ia sama sekali tidak marah, tetapi kali ini hatinya merasa tidak terima. Ameera meman

  • Dua Sisi   Salah Duga

    "Hus! Kalo ngomong, tuh, mbok jangan sembaranga tho, Ra!" protes Rumy sambil mendelik. "Mana mungkin suami Ayu tega ninggalin Ayu pas malam pertama begini," imbuhnya. "Ya ampun, Rum! Siapa juga, sih, yang ngomong sembarangan!" Ameera merasa tdak terima. "Orang barusan gue ketemu sama suaminya, kok!" akunya tak mau kalah dari Arumi. Mendengar tentang yang terjadi di antara kedua teman sekamarnya, membuat Kendis merasa tidak tenang. Gadis ya

  • Dua Sisi   Malam pertama

    Sepuluh hari kemudian.“Saya terima nikahnya Ayu Chumaira binti Zainudin dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” Ucapan sang pengantin pria terdengar sangat lugas, menggema ke seantero penjuru desa.Malam yang selama sekian hari dinantikan oleh segenap penduduk pesantren. Sebuah hajat besar telah terlaksana dengan khidmat. Seorang pemuda mengenakan galabiyya berwarna putih duduk bersimpuh di hadapan sang ayah, tepat di belakang mimbar masjid pesantren.Doa pernikahan memenuhi ruang masjid. Sementara di serambi, Ayu tampak anggun mengenakan pakaian pengantin berwarna putih. Di sisi kanan dan kirinya diapit oleh Bu Nyai dan Bude Darmi. Rasa haru menyelinap masuk ke benaknya. Ia tak mengira statusnya akan berubah secepat ini. Impiannya mendapatkan sosok imam yang soleh telah terkabul.Ayu menggenggam erat jemari Bu Nyai dan Bude Darmi secara bersamaan. Kaca-kaca di pelupuk mata seolah akan pecah dengan segera. Se

  • Dua Sisi   Ayu Chumaira

    Rasa cinta tak akan mampu mengubah takdir seseorang. Namun, rasa cinta mampu membawa seseorang menggapai asa yang tak pernah terduga. Begitulah kiranya seorang gadis bernama Ayu Chumaira mendefinisikan rasa cintanya.Seumur hidupnya ia tak pernah mencintai lain daripada Tuhan. Bahkan, ia bukanlah orang yang selalu memikirkan dirinya sendiri. Cintanya kepada Rabb melebihi apa pun di benaknya. Sampai tiba sebuah lamaran dari ibu pengasuh pesantren tempatnya menimba ilmu agama, ia masih enggan untuk membicarakan perihal cinta.“Kamu benar sudah mantep, Nduk?” selidik Bude Darmi.Sejak pagi Ayu masih belum keluar dari dapur umum. Seperti biasa, ia tidak akan meninggalkan Bude Darmi dengan segudang piring kotor bekas sarapan para santri.“Insyaa Allah, Bude!” jawab Ayu yang tengah mengumpulkan makanan sisa.“Seberapa yakin?”“Insyaa Allah ... seyakin Bu Nyai memilih aku m

  • Dua Sisi   Gadis kota masuk desa

    Suasana kediaman Kiyai Husein cukup tenang. Wajar saja, di rumah itu hanya hidup empat orang dewasa yang sudah memiliki kesibukan masing-masing. Hanya Bu Nyai saja yang terbilang nyaris tidak memiliki kegiatan. Beliau hanya seorang ibu rumah tangga biasa, yang sehari-harinya diisi dengan berbagai kegiatan keagaamaan.Seperti yang dikatakan oleh Ahmad, umminya ingin bertemu dengan juru masak pesantren. Maka, Bude Darmi bergegas menemui Bu Nyai. Kebetulan wanita paruh baya itu tengah mengaji di gazebo yang ada di halaman belakang rumah.Keduanya memilih untuk berbincang di sana. Selain tempatnya enak, di sana mereka juga dapat menikmati ikan hias peliharaan Kiyai Husein.“Kenapa mesti saya, tho, Bu? Kenapa Bu Nyai Ndak menyewa jasa catering saja?” tanya Bude Darmi seraya memilin ujung jilbabnya yang menjuntai di depan dada.“Ini bukan Cuma hajat kami, tapi ini juga hajat pesantren. Kami ingin Yu Darmi dan para santriwati yang mengolah semu

  • Dua Sisi   Mulai Baik

    “Nduk, kamu cuci sayurannya, yo!” titah Bude Darmi kepada Ameera. Sejak siang Ameera berada di dapur umum. Ia merasa jenuh terus bersama teman-temannya di asrama. Padahal kegiatan di pesantren cukup padat. Ahmad meminta para santri untuk menghafal kitab yang sudah ia ajarkan sebelumnya. “Bude udah lama kerja di sini?” tanya Ameera yang mulai sibuk mencuci sawi. “Walah, sampe lupa berapa lamanya. Yang pasti sejak Gus Ahmad dan Ustadz Samsul masih kecil-kecil.” Perempuan paruh baya itu sibuk mengulek bumbu. Ameera menghentikan aktivitasnya. Ada yang terdengar aneh baginya. “Ustadz Samsul? Dia siapa, Bude?” Ameera dibuat penasaran. Bude Darmi beralih kepada Ameera. “Dia anak angkatnya Kiyai Husein.” “Oh ...” Ameera manggut-manggut. “Memangnya kamu Ndak pernah tahu sama Ustadz Samsul?” Ameera mencebik seraya menggeleng. “Wah, sayang banget kalo kamu Ndak tahu.” “Kenapa?” Bude Darmi melanjutkan pekerj

  • Dua Sisi   Alasan Om Roni

    Seminggu sudah Ameera tak berada di rumah. Rasanya sungguh aneh. Biasanya rumah akan berantakan dengan segala kejorokan gadis berusia 18 tahun itu. Tapi kini justru tampak rapi.Seperti pagi ini, Om Roni menikmati sarapannya sendirian. Biasanya Ameera akan banyak berbincang dengannya di meja makan. Terutama membicarakan izin keluar dengan teman-temannya.“Assalamu’alaikum,” suara seseorang memecah keheningan meja makan.Om Roni menoleh dan mendapati wanita berjilbab bernama Nana, sekretaris sekaligus calon istrinya. “Wa’alaikumussalam!”“Wah, aku telat, ya?”“Telat?”“Iya. Kamu pasti udah sarapan. Padahal, niat aku mau ajakin kamu sarapan bareng. Tadi aku bikin nasi goreng buat kita berdua.”Om Roni menghela napas sembari tersenyum. Ia beranjak, kemudian menarik salah saatu kursi makan dari bawah meja dan mempersilakan Nana untuk duduk bersamanya.&ld

  • Dua Sisi   Menikah muda

    Obrolan yang terjadi antara Ayu dan Bu Nyai cukup mengambil alih isi otak Ameera. Seharian sudah ia memikirkan perkara serius ini. Padahal, Ayu yang jelas-jelas berkaitan erat dengan permasalahan itu justru terlihat santai.“Ay, lo nggak risih tuh, sama omongan Bu Nyai tadi pagi?” selidik Ameera seraya mempersiapkan mukenanya. Malam ini selepas salat Isya mereka akan mengikuti kegiatan rutin malam hari yaitu pengajian Al Qur’an.“Risih gimana?” tanya Ayu heran.“Ya ... lo, kan, masih muda. Masak lo mau, sih, dinikahin sama anaknya Bu Nyai!” cetus Ameera lantang.Rumy dan Kendis, pun terkejut. Mereka segera mendekat kepada Ayu yang sedang memilah Al Qur’an di lemari kecil dekat meja belajar. “Hah! Seng tenane, Ay?” Rumy belum percaya. “Kamu mau dijodohin sama Gus Ahmad?”“Wah ... selamat, yo, Ay!” Kendis mengangsurkan tangannya kepada Ayu. Sementara Ayu lekas m

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status