Kehidupan Ameera di pesantren cukup membawa ke arah yang positive. Seminggu pertama berada di tempat yang teramat asing baginya, membuatnya sedikit mulai memahami jika menjadi santriwati itu memiliki aturan-aturan khusus yang harus ia patuhi. Salah satunya adalah ia harus terbiasa mengenakan pakaian muslimah.
Bagi Ameera, ini adalah hal yang cukup rumit dan sangat menguji sifat sabar dan nilai keikhlasannya. Bagaimana tidak? Sebelumnya ia hanya gadis kota yang tak pernah berjilbab, dan selalu tampil casual dengan celana jeans atau kulot ¾ dilengkapi kaos, sama seperti teman-temannya.
Om Roni sudah menyiapkan semua kebutuhannya. Termasuk pakaian muslimah. Siang yang terik cukup membuat Ameera merasa gerah. Selepas melaksanakan salat Dzuhur berjamaah, gadis bertubuh langsing itu segera berlari dari masjid menuju kamarnya. Tanpa menutup pintu, ia segera menghidupkan kipas angin dan melepas mukenanya dengan cepat. Ameera merebahkan tubuh di atas ranjang. Dia sangat menikmati embusan angin yang menyentuh kulitnya, terutama pada bagian leher. “Huh ... nggak ada AC kipas pun jadi.”
“Astagfirullahal’adzim!” pekik seseorang sehingga membuat Ameera terkejut dan bangkit.
“Apaan, sih, Rum!”
Rumy segera menutup pintu kamarnya rapat-rapat. “Yo kamu itu, loh, bisa-bisanya lepas kerudung posisi pintu Ndak ditutup!” oceh Rumy. “Kalo sampe ada ikhwan lewat terus melihat auratmu gimana?”
“Ikhwan? Siapa Ikhwan?” Ameera bingung.
“Ikhwan itu sebutan untuk kaum laki-laki.”
“Oh ...” Ameera manggut-manggut.
“Lain kali ... kalo mau lepas kerudung, jangan lupa tutup pintunya! Untung saja aku yang lihat, kalo Bu Nyai yang lihat, bisa-bisa kamu diomeli!”
“Eh, nyoka bokap gue aja nggak pernah ngomelin gue! Kenapa Bu Nyai mau ngomelin gue seenaknya?” ujar Ameera lantang.
Rumy menempel telunjuknya di depan bibir, memberi kode agar Ameera tak bersuara keras. Gadis itu khawatir akan ada pihak pesantren yang mendengar ocehan Ameera. Sementara Ameera justru tak suka jika harus disuruh diam.
“Kenapa? Takut ada yang dengar?”
Rumy justru melakukan hal yang lebih lagi terhadap Ameera. Gadis yang usianya lebih muda satu tahun dari Ameera itu malah nekad membungkam mulut gadis kota di hadapannya dengan spontan hingga membuat Ameera kesulitan bernapas. Akhirnya Ameera, pun mencubit tangan Rumy dengan keras.
“Aw!” Rumy teriak kesakitan dan langsung melepaskan bungkamannya. Sementara Ameera mencoba kembali mengatur napasnya yang masih cukup tersengal.
“Ameera jahat banget, sih!” gerutu Rumy seraya mengelus tangannya yang memerah.
“Abisnya ... lo main bekep mulut gue!” sanggah Ameera dengan nada kesal.
Terdengar suara handle pintu ditekan. Dua orang penghuni kamar yang lain datang. Mereka tampak heran melihat ekspresi dua orang yang sejak tadi sudah berada di kamar.
“Kalian kenapa?” selidik Ayu.
“Ini, nih, si Ameera cubit tanganku.”
“Salah siapa lo ngebekep mulut gue!”
Kembali terjadi kegaduhan. Hal itu memantik Ayu untuk segera melerai. “Udah! Udah! Jangan ribut!” Ayu menatap Ameera. “Jilbabmu mana?”
“Gue lepas,” sahut Ameera seraya melirik ke jilbab yang ditaruhnya di ranjang.
“Kenapa?” cecar Ayu.
Ameera kembali didera rasa kesal. Mengapa nasibnya menjadi malang seperti ini? Memiliki teman-teman yang sangat mematuhi aturan di pesantren lumayan merepotkan baginya. Begitu pikirnya. “Aduh! Ya karena gue gerah, itu sebabnya gue lepas!”
Ayu duduk di tepian ranjangnya. Disusul oleh Rumy yang segera mendaratkan bokongnya di samping Ayu sambil terus meniup bekas cubitan Ameera.
“Terus kamu, Rum, kenapa kamu ngebungkam mulutnya Ameera?” selidik Ayu. Gadis asli Jogja itu sungguh ingin tahu penyebab kegaduhan antara Ameera dan Rumy.
“Ya itu ... gara-gara Meera lepas jilbab, tapi pintunya sama sekali Ndak ditutup. Yo aku omeli dia tho!”
Ayu menghela napas cukup dalam. Lagi-lagi Ameera berbuat ulah konyol yang tidak seharusnya ia lakukan di pesantren.
“Padahal, aku udah bilang sama dia kalo Bu Nyai yang liat bisa-bisa dia diomeli. Eh malah dianya bicaranya keras-keras. Yo tak bungkem saja mulutnya,” sambung Rumy.
“Iya ... tapi cara lo ngebekep itu kenceng bener! Bikin gue susah napas, tahu!” Lagi-lagi Ameera berbicara dengan lantang.
“Apa kamu Ndak bisa bicara baik-baik, tanpa harus emosi?” tegur Ayu lembut tapi tegas hingga membuat Ameera beralih pandang tak berani menatapnya. Ayu dapat melihat bagaimana ekspresi Ameera. Gadis itu terlihat melemah di hadapannya. “Aku bukannya mau membela Rumy. Tapi, kalo memang benar apa yang diceritakan sama dia, aku benarkan posisinya.” Ayu memberi jeda pada ucapannya. “Sebagai perempuan muslim, seharusnya kamu lebih bisa menjaga kehormatanmu dari kejahatan, terutama kejahatan nafsu dari yang bukan mahrammu!”
Ameera berdecak. “Ya ampun, lagi-lagi gue yang salah!”
“Aku Ndak lagi menyalahkanmu, karena aku juga bukan orang yang bisa dianggap benar. Tapi aku sedang memberitahumu, Ra!”
“Ya terus gue mesti gimana, dong? Lagian, gue Cuma lepas jilbab. Bukan telanjang!”
Ayu tersenyum. Ameera benar-benar keras kepala. Ia harus ekstra sabar dalam memberikan pengarahan untuk keponakan Om Roni itu. Sedangkan Kendis, gadis yang sejak tadi hanya menatap dan mendengar perdebatan di antara ketiga sahabatnya itu hanya mampu menggeleng.
“Aku kok mumet yo lihat kalian pada ribut! Udah kayak debat pilihan capres saja.” Kendis yang notabene cara berpikirnya sedikit lambat itu sedikit mengisi suasana tegang menjadi jenaka. Hal itu membuat Ameera merasa muak. Kemudian ia lekas mengenakan kembali jilbabnya.
“Ra, maaf kalo ucapanku sedikit menyinggung perasaanmu. Tapi semua juga demi kebaikan kamu.” Ayu mencoba kembali memberi penjelasan. “Jilbab adalah identitas kita sebagai muslimah. Dan itu bukan aturan adat istiadat, tapi itu aturan dari Allah.”
Ameera meniupkan karbondioksida dari mulutnya sambil memegangi kepalanya. Rasa-rasanya ia sudah tak tahan berada di kamar bersama teman-temannya, terutama dengan Ayu. Hatinya merasa tidak dapat menerima pendapat sahabatnya. Ia meminta Ayu untuk tidak berceramah lagi, dan bergegas meninggalkan kamar.
***
Pepatah mengatakan “Tak ada rotan, akar pun jadi” maka “Tak ada kipas angin, pohon pun jadi” begitulah kiranya ide yang didapat Ameera ketika melihat sebuah pohon sawo yang ada di belakang gedung staf pengajar. Rasa kesalnya terhadap tiga orang sahabatnya cukup membawanya ingin menjauh dari keramaian.
“Wah ada tempat teduh, tuh. Bisa kali, ya, gue ngadem di sana?”
Tanpa berpikir lama, Ameera menuju ke bawah batang pohon sawo. Sungguh tempatnya sangat sejuk. Pohon yang tingginya kisaran enam meter itu cukup membantunya untuk mengurangi rasa gerah yang menderanya.
Tepat di dekat batang pohon, ada kursi bambu rakitan yang berbentuk memanjang. Lagi-lagi Ameera melakukan hal konyol di sana. Ia merebahkan tubuhnya di kursi bambu dengan posisi terlentang.
***
Udara panas cukup membuat sebagian orang kesulitan untuk beristirahat dengan tenang. Demikian pula dengan Ahmad. Sebenarnya ia tengah didera rasa lelah, tapi ia sama sekali tak mengambil waktu untuk beristirahat. Sepulangnya dari salat Dzuhur berjamah di masjid, pemuda berkulit sawo matang itu memilih untuk mengerjakan sesuatu di ruang staf pesantren. Mengingat tentang kemauan orang tuanya agar ia mengajukan persetujuan pendirian universitas.
“Berkasnya kemarin aku simpan di mana, yo?” Ahmad tampak berpikir, mencoba mengingat-ingat kertas yang sudah diprint-nya kemarin. Kemudian ia mengingat sesuatu, dan lekas bangkit lalu melangkah menuju lemari yang ada pojok ruangan, dekat sekali dengan jendela bagian belakang ruangan.
Ahmad memilah di antara susunan campuran banyak map. “Nah, iki seng tak cari. Alhamdulillah ternyata beneran aku simpan di sini,” ucapnya lega diiringi senyuman. Ahmad segera menutup kembali lemarinya. Ia hendak kembali ke meja kerjanya. Namun, belum sempat dirinya melangkah, tanpa sengaja sepasang netranya menangkap sesosok gadis yang sedang terlentang di luar ruangan. Tepatnya di bawah pohon sawo belakang ruang staf pesantren.
Mata Ahmad sama sekali tidak berkedip. Ia justru tercengang. Gadis itu beranjak bangun dan tersenyum. Ahmad senang melihatnya. Kali ini pemuda itu turut tersenyum. “MasyaaAllah, indah sekali makhluk ciptaan-Mu, Ya Allah.”
“Apanya yang indah, Mad?” tanya seseorang memecahkan pikiran Ahmad.
Ahmad tercekat. “Eh, Samsul? Ndak, bukan opo-opo. Kuwe mau apa, Sul, ke sini?” tanyanya sedikit kikuk sambil sesekali melirik ke arah luar jendela, seiring rasa khawatir Samsul akan mencurigainya.
“Ya mau cari kamu, tho, Mad!”
Ahmad beralih tempat menjauh dari jendela. Ia kembali duduk di kursi kerjanya. Sementara Samsul mengekorinya. “Memangnya mau ada perlu apa? Kok, kayaknya penting banget.”
“Ini soal pesantren, Mad.”
Ahmad menyipitkan mata. “Ada apa sama pesantren?” selidiknya.
“Apa bener yang dibilang sama Abah, kalo kamu mau mengajukan pendirian universitas?”
“Iya, ini aku lagi mau urus pemberkasannya.”
Samsul tampak menunduk. Ada raut kesedihan di wajahnya. Hal itu membuat Ahmad merasa terheran. “Kamu kenapa, Sul? Kok kelihatannya sedih gitu.”
“Kalo kamu fokus sama urusan pendidikan, terus gimana sama pesantren ini?” tanya Samsul. “Abah sudah bilang ke aku, supaya aku fokus ke pesantren. Tapi rasanya aku Ndak mampu kalo harus mengurus pesantren ini sendirian tanpa kamu, Mad.”
Ahmad mengerti apa yang dimaksud Samsul. Dia tahu persis bagaimana sifat saudara angkatnya itu. Pemuda bernama lengkap Samsul Huda itu sosok orang yang cukup sadar diri atas statusnya dalam keluarga Kiyai Husein. Dirinya sering merasa tak pantas jika harus mengemban amanah besar setara dengan Ahmad yang merupakan anak kandung dari orang tua angkatnya.
Ahmad tersenyum. Ia menepuk mencengkeram lembut bahu kiri Samsul. “Kamu tenang saja, Sul. Aku akan senang hati membantumu. Tapi ... ada syaratnya?”
Samsul membelalak. “Syaratnya opo, Mad?”
“Syaratnya ... tetap kamu yang harus menggantikan kedudukan Abah di pesantren, bukan aku apalagi Ummi.”
Kedua pemuda itu saling bertatapan. Binar mata Ahmad melambangkan sebuah dukungan besar untuk Samsul. “Wes tho, pokoknya kamu harus memantapkan hati. Yakin, Insyaa Allah kamu mampu mengemban amanah Abah.”
Sebenarnya Samsul masih merasa cukup berat untuk menerima hal itu. Namun, ia tidak ingin mengecewakan orang tua dan saudara angkatnya. Sepertinya mereka berharap penuh atas dirinya. Bisa jadi Allah memercayakan ini kepadanya, sebagai bentuk balas budi atas kebaikan keluarga Kiyai Husein.
“Terima kasih, ya, Mad, kamu sudah memberikan dukungan penuh buat aku.”
“Kita ini bersaudara, Sul. Sudah jadi kewajiban untuk kita saling membantu. Jangankan kamu, orang lain pun kalo kita mampu, ya wajib kita bantu.”
Samsul tersenyum mendengar celoteh Ahmad. Sementara Ahmad justru mencoba untuk mencuri sedikit ke arah luar jendela. Gadis itu masih di sana. Terlihat sedang berjingkrak-jingkrak guna menggapai buah sawo yang ada di pohon. Ahmad kembali tersenyum, dan itu menumbuhkan kecurigaan di benak Samsul yang rupanya sudah paham atas apa yang sedang disaksikan saudaranya.
“Oh ... pantesan kamu bilang ada yang indah! Rupanya ada bidadari di pesantren ini ya, Mad?”
“Iya, Sul,” sahut Ahmad di luar kesadarannya seraya terus memperhatikan Ameera. Namun, tak berselang waktu lama, Ahmad segera menyadari kondisinya. “Eh, Sul, lupain aja omonganku barusan. Anggap aku Ndak pernah ngomong opo-opo, yo!’ pintanya.
“Eyalah, Mad, Mad, kamu ini kayak sama siapa saja. Aku ini saudaramu, Ndak usah malu-malu.”
Ahmad tertunduk seraya menggeleng. Pipinya menghangat seiring jengah yang melanda.
“Peh ...” Ameera melepeh buah sawo yang sudah digigitnya. “Uh, gue pikir buah sawo dari pohonnya langsung bakalan enak dimakan. Ternyata, nggak ada enak-enaknya sama sekali!”Ameera membuang buah sawo yang masih berada di tangannya lalu bertepuk tangan pelan membersihkan kotoran yang tersisa. Ia kembali duduk di kursi bambu. “Oh ya ampun, mau sampe kapan gue terpenjara di tempat ini?” Ia mulai kembali menggerutu. Lagi-lagi dirinya mengingat perbuatan Om Roni yang menurutnya sudah keterlaluan. “Kalo aja waktu itu gue tahu Om Roni bakalan bawa gue ke sini, pasti gue bakalan kabur duluan.”***“Sebenernya kita mau ke mana, sih, Om?” tanya Ameera yang sejak pagi sudah berada di dalam kendaraan pribadi milik Om Roni. Gadis itu mencoba untuk menerka tujuan pamannya. Namun, ia sama sekali tidak dapat memastikannya. Om Roni sendiri sama sekali tak memberitahunya. Lelaki berusia 38 tahun itu lebih ba
“Pokoknya kita mesti sabar menghadapi sikap Ameera. Kita Ndak boleh kalah sama dia,” ujar Ayu menguatkan kedua sahabatnya.Sikap angkuh Ameera terhadap mereka, sedikitnya membuat Rumy menjadi sedikit kesal. Terlebih setelah apa yang diperbuat Ameera kepadanya, mencubit tangannya hingga sakit. Rasanya kalau bukan karena Ayu yang memintanya, ingin ia pergi mengadu kepada Bu Nyai agar Ameera bisa mendapat hukuman yang setimpal atas perbuatannya.“Tapi dia itu keterlaluan. Sama sekali Ndak dengar omongan kita!” Rumy masih terus mengelus tangannya yang merah.“Iya ... tapi itu pasti karena dia masih baru. Aku yakin, cepat atau lambat Ameera bisa jadi lebih baik,” ujar Ayu meyakinkan. “Coba kamu liat Kendis!” Ayu bangkit dari duduknya dan merapatkan diri ke Kendis yang duduk di kursi belajar, seraya merangkul bahu gadis yang sedikit lemot itu. “Dulu ... kamu sering merasa risih sama kekurangannya. Tapi sekarang Nda
“Kapan kalian mau menikah? Ummi sudah Ndak sabar pengin menimang cucu dari kalian.”Ahmad dan Samsul saling melempar pandang. Sempat sekejap Samsul menyeringai manja kepada Bu Nyai. Sedangkan Ahmad, pemuda bertubuh sedikit kurus itu hanya mengerjap saja tanpa menjawab. Suasana makan malam yang semula tenang dan damai, kini berubah sedikit mencekam. Kiyai Husein dan Bu Nyai menatap dalam wajah kedua putranya.“Ditanya kok malah diam saja!” gumam Bu Nyai.“Nyuwon pangapunten, Ummi. Kita, kan, lagi makan, apa Ndak sebaiknya kita Ndak membahas persoalan itu?” ujar Ahmad kemudian.“Memangnya kalo kita membahas tentang pernikahan kalian di meja makan, salah, ya?” tanya Bu Nyai lagi.“Bukan begitu maksud Ahmad, Ummi!” tegas pemuda bersongkok hitam yang sejak tadi duduk sejajar dengan Samsul.“Wes to, Ummi tenang saja! Sebentar lagi InsyaaAllah Ahmad bakalan menikah,” timp
Obrolan yang terjadi antara Ayu dan Bu Nyai cukup mengambil alih isi otak Ameera. Seharian sudah ia memikirkan perkara serius ini. Padahal, Ayu yang jelas-jelas berkaitan erat dengan permasalahan itu justru terlihat santai.“Ay, lo nggak risih tuh, sama omongan Bu Nyai tadi pagi?” selidik Ameera seraya mempersiapkan mukenanya. Malam ini selepas salat Isya mereka akan mengikuti kegiatan rutin malam hari yaitu pengajian Al Qur’an.“Risih gimana?” tanya Ayu heran.“Ya ... lo, kan, masih muda. Masak lo mau, sih, dinikahin sama anaknya Bu Nyai!” cetus Ameera lantang.Rumy dan Kendis, pun terkejut. Mereka segera mendekat kepada Ayu yang sedang memilah Al Qur’an di lemari kecil dekat meja belajar. “Hah! Seng tenane, Ay?” Rumy belum percaya. “Kamu mau dijodohin sama Gus Ahmad?”“Wah ... selamat, yo, Ay!” Kendis mengangsurkan tangannya kepada Ayu. Sementara Ayu lekas m
Seminggu sudah Ameera tak berada di rumah. Rasanya sungguh aneh. Biasanya rumah akan berantakan dengan segala kejorokan gadis berusia 18 tahun itu. Tapi kini justru tampak rapi.Seperti pagi ini, Om Roni menikmati sarapannya sendirian. Biasanya Ameera akan banyak berbincang dengannya di meja makan. Terutama membicarakan izin keluar dengan teman-temannya.“Assalamu’alaikum,” suara seseorang memecah keheningan meja makan.Om Roni menoleh dan mendapati wanita berjilbab bernama Nana, sekretaris sekaligus calon istrinya. “Wa’alaikumussalam!”“Wah, aku telat, ya?”“Telat?”“Iya. Kamu pasti udah sarapan. Padahal, niat aku mau ajakin kamu sarapan bareng. Tadi aku bikin nasi goreng buat kita berdua.”Om Roni menghela napas sembari tersenyum. Ia beranjak, kemudian menarik salah saatu kursi makan dari bawah meja dan mempersilakan Nana untuk duduk bersamanya.&ld
“Nduk, kamu cuci sayurannya, yo!” titah Bude Darmi kepada Ameera. Sejak siang Ameera berada di dapur umum. Ia merasa jenuh terus bersama teman-temannya di asrama. Padahal kegiatan di pesantren cukup padat. Ahmad meminta para santri untuk menghafal kitab yang sudah ia ajarkan sebelumnya. “Bude udah lama kerja di sini?” tanya Ameera yang mulai sibuk mencuci sawi. “Walah, sampe lupa berapa lamanya. Yang pasti sejak Gus Ahmad dan Ustadz Samsul masih kecil-kecil.” Perempuan paruh baya itu sibuk mengulek bumbu. Ameera menghentikan aktivitasnya. Ada yang terdengar aneh baginya. “Ustadz Samsul? Dia siapa, Bude?” Ameera dibuat penasaran. Bude Darmi beralih kepada Ameera. “Dia anak angkatnya Kiyai Husein.” “Oh ...” Ameera manggut-manggut. “Memangnya kamu Ndak pernah tahu sama Ustadz Samsul?” Ameera mencebik seraya menggeleng. “Wah, sayang banget kalo kamu Ndak tahu.” “Kenapa?” Bude Darmi melanjutkan pekerj
Suasana kediaman Kiyai Husein cukup tenang. Wajar saja, di rumah itu hanya hidup empat orang dewasa yang sudah memiliki kesibukan masing-masing. Hanya Bu Nyai saja yang terbilang nyaris tidak memiliki kegiatan. Beliau hanya seorang ibu rumah tangga biasa, yang sehari-harinya diisi dengan berbagai kegiatan keagaamaan.Seperti yang dikatakan oleh Ahmad, umminya ingin bertemu dengan juru masak pesantren. Maka, Bude Darmi bergegas menemui Bu Nyai. Kebetulan wanita paruh baya itu tengah mengaji di gazebo yang ada di halaman belakang rumah.Keduanya memilih untuk berbincang di sana. Selain tempatnya enak, di sana mereka juga dapat menikmati ikan hias peliharaan Kiyai Husein.“Kenapa mesti saya, tho, Bu? Kenapa Bu Nyai Ndak menyewa jasa catering saja?” tanya Bude Darmi seraya memilin ujung jilbabnya yang menjuntai di depan dada.“Ini bukan Cuma hajat kami, tapi ini juga hajat pesantren. Kami ingin Yu Darmi dan para santriwati yang mengolah semu
Rasa cinta tak akan mampu mengubah takdir seseorang. Namun, rasa cinta mampu membawa seseorang menggapai asa yang tak pernah terduga. Begitulah kiranya seorang gadis bernama Ayu Chumaira mendefinisikan rasa cintanya.Seumur hidupnya ia tak pernah mencintai lain daripada Tuhan. Bahkan, ia bukanlah orang yang selalu memikirkan dirinya sendiri. Cintanya kepada Rabb melebihi apa pun di benaknya. Sampai tiba sebuah lamaran dari ibu pengasuh pesantren tempatnya menimba ilmu agama, ia masih enggan untuk membicarakan perihal cinta.“Kamu benar sudah mantep, Nduk?” selidik Bude Darmi.Sejak pagi Ayu masih belum keluar dari dapur umum. Seperti biasa, ia tidak akan meninggalkan Bude Darmi dengan segudang piring kotor bekas sarapan para santri.“Insyaa Allah, Bude!” jawab Ayu yang tengah mengumpulkan makanan sisa.“Seberapa yakin?”“Insyaa Allah ... seyakin Bu Nyai memilih aku m
Seperti yang Ahmad katakan kepada Ameera, malam berikutnya ia menunggu gadis kota itu di masjid. Sedangkan Ameera masih terus merasa ragu hendak menemuinya. Ameera sibuk memilin ujung jilbabnya hingga nyaris kusut membentuk pola garis tidak beraturan lagi. Ia berdiri di sudut serambi seraya terus memfokuskan iris ke arah Ahmad yang masih membaca kitab di dekat mihrab.“Udah ... sana buruan temuin. Jangan sampai beliau menunggu lama!” titah Rumy sambil terus mendorong siku Ameera.“Masa gue, sih, yang mesti nemuin dia duluan? Kan, dia yang mau. Bukan gue!”“Kamu itu santri di sini, Ra. Dan beliau gurumu!” tegas Rumy.Ameera berdecih kesal. Ucapan Rumy seolah ingin memaksanya untuk patuh pada aturan yang dibuat oleh Ahmad secara sepihak. Padahal, perdebatan yang terjadi kemarin malam antara dirinya dan Ahmad sama sekali tidak ada hubungannya dengan pesantren. Kenapa gue mesti patuh? Rumy mer
Mampus, deh, gue! Kok bisa salah ngira gini, sih! Gue pikir dia suaminya Ayu. Emangnya Abah punya anak selain dia, ya?Wajah Ameera mengerut. Rasa tidak enak hati seketika langsung menghinggapinya. Ahmad yang masih terus menatapnya di dalam remang cahaya, seakan mampu menangkap ekspresi yang ia tampilkan."Udah! Aku Ndak apa-apa, kok. Aku juga Ndak marah. Tapi lain kali jangan asal menuduh kalo Ndak paham masalah yang sebenarnya, ya!""Gue tekankan kalo gue bukan menuduh. Tapi gue cuma salah ngira aja! Lagian ... Yang gue denger anak Abah itu cuma satu.""Anak Abah banyak," kata Ahmad sembari mempersilakan Ameera melanjutkan langkahnya."Sebentar! Lo bilang anak Abah banyak, anak yang mana? Atau ... Abah punya anak dari istri yang lain, ya?" selidik Ameera.Ahmad mendengkus. Pertanyaan Ameera kali ini dirasa cukup keterlaluan. Menurutnya. Jika tadi ia sama sekali tidak marah, tetapi kali ini hatinya merasa tidak terima. Ameera meman
"Hus! Kalo ngomong, tuh, mbok jangan sembaranga tho, Ra!" protes Rumy sambil mendelik. "Mana mungkin suami Ayu tega ninggalin Ayu pas malam pertama begini," imbuhnya. "Ya ampun, Rum! Siapa juga, sih, yang ngomong sembarangan!" Ameera merasa tdak terima. "Orang barusan gue ketemu sama suaminya, kok!" akunya tak mau kalah dari Arumi. Mendengar tentang yang terjadi di antara kedua teman sekamarnya, membuat Kendis merasa tidak tenang. Gadis ya
Sepuluh hari kemudian.“Saya terima nikahnya Ayu Chumaira binti Zainudin dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” Ucapan sang pengantin pria terdengar sangat lugas, menggema ke seantero penjuru desa.Malam yang selama sekian hari dinantikan oleh segenap penduduk pesantren. Sebuah hajat besar telah terlaksana dengan khidmat. Seorang pemuda mengenakan galabiyya berwarna putih duduk bersimpuh di hadapan sang ayah, tepat di belakang mimbar masjid pesantren.Doa pernikahan memenuhi ruang masjid. Sementara di serambi, Ayu tampak anggun mengenakan pakaian pengantin berwarna putih. Di sisi kanan dan kirinya diapit oleh Bu Nyai dan Bude Darmi. Rasa haru menyelinap masuk ke benaknya. Ia tak mengira statusnya akan berubah secepat ini. Impiannya mendapatkan sosok imam yang soleh telah terkabul.Ayu menggenggam erat jemari Bu Nyai dan Bude Darmi secara bersamaan. Kaca-kaca di pelupuk mata seolah akan pecah dengan segera. Se
Rasa cinta tak akan mampu mengubah takdir seseorang. Namun, rasa cinta mampu membawa seseorang menggapai asa yang tak pernah terduga. Begitulah kiranya seorang gadis bernama Ayu Chumaira mendefinisikan rasa cintanya.Seumur hidupnya ia tak pernah mencintai lain daripada Tuhan. Bahkan, ia bukanlah orang yang selalu memikirkan dirinya sendiri. Cintanya kepada Rabb melebihi apa pun di benaknya. Sampai tiba sebuah lamaran dari ibu pengasuh pesantren tempatnya menimba ilmu agama, ia masih enggan untuk membicarakan perihal cinta.“Kamu benar sudah mantep, Nduk?” selidik Bude Darmi.Sejak pagi Ayu masih belum keluar dari dapur umum. Seperti biasa, ia tidak akan meninggalkan Bude Darmi dengan segudang piring kotor bekas sarapan para santri.“Insyaa Allah, Bude!” jawab Ayu yang tengah mengumpulkan makanan sisa.“Seberapa yakin?”“Insyaa Allah ... seyakin Bu Nyai memilih aku m
Suasana kediaman Kiyai Husein cukup tenang. Wajar saja, di rumah itu hanya hidup empat orang dewasa yang sudah memiliki kesibukan masing-masing. Hanya Bu Nyai saja yang terbilang nyaris tidak memiliki kegiatan. Beliau hanya seorang ibu rumah tangga biasa, yang sehari-harinya diisi dengan berbagai kegiatan keagaamaan.Seperti yang dikatakan oleh Ahmad, umminya ingin bertemu dengan juru masak pesantren. Maka, Bude Darmi bergegas menemui Bu Nyai. Kebetulan wanita paruh baya itu tengah mengaji di gazebo yang ada di halaman belakang rumah.Keduanya memilih untuk berbincang di sana. Selain tempatnya enak, di sana mereka juga dapat menikmati ikan hias peliharaan Kiyai Husein.“Kenapa mesti saya, tho, Bu? Kenapa Bu Nyai Ndak menyewa jasa catering saja?” tanya Bude Darmi seraya memilin ujung jilbabnya yang menjuntai di depan dada.“Ini bukan Cuma hajat kami, tapi ini juga hajat pesantren. Kami ingin Yu Darmi dan para santriwati yang mengolah semu
“Nduk, kamu cuci sayurannya, yo!” titah Bude Darmi kepada Ameera. Sejak siang Ameera berada di dapur umum. Ia merasa jenuh terus bersama teman-temannya di asrama. Padahal kegiatan di pesantren cukup padat. Ahmad meminta para santri untuk menghafal kitab yang sudah ia ajarkan sebelumnya. “Bude udah lama kerja di sini?” tanya Ameera yang mulai sibuk mencuci sawi. “Walah, sampe lupa berapa lamanya. Yang pasti sejak Gus Ahmad dan Ustadz Samsul masih kecil-kecil.” Perempuan paruh baya itu sibuk mengulek bumbu. Ameera menghentikan aktivitasnya. Ada yang terdengar aneh baginya. “Ustadz Samsul? Dia siapa, Bude?” Ameera dibuat penasaran. Bude Darmi beralih kepada Ameera. “Dia anak angkatnya Kiyai Husein.” “Oh ...” Ameera manggut-manggut. “Memangnya kamu Ndak pernah tahu sama Ustadz Samsul?” Ameera mencebik seraya menggeleng. “Wah, sayang banget kalo kamu Ndak tahu.” “Kenapa?” Bude Darmi melanjutkan pekerj
Seminggu sudah Ameera tak berada di rumah. Rasanya sungguh aneh. Biasanya rumah akan berantakan dengan segala kejorokan gadis berusia 18 tahun itu. Tapi kini justru tampak rapi.Seperti pagi ini, Om Roni menikmati sarapannya sendirian. Biasanya Ameera akan banyak berbincang dengannya di meja makan. Terutama membicarakan izin keluar dengan teman-temannya.“Assalamu’alaikum,” suara seseorang memecah keheningan meja makan.Om Roni menoleh dan mendapati wanita berjilbab bernama Nana, sekretaris sekaligus calon istrinya. “Wa’alaikumussalam!”“Wah, aku telat, ya?”“Telat?”“Iya. Kamu pasti udah sarapan. Padahal, niat aku mau ajakin kamu sarapan bareng. Tadi aku bikin nasi goreng buat kita berdua.”Om Roni menghela napas sembari tersenyum. Ia beranjak, kemudian menarik salah saatu kursi makan dari bawah meja dan mempersilakan Nana untuk duduk bersamanya.&ld
Obrolan yang terjadi antara Ayu dan Bu Nyai cukup mengambil alih isi otak Ameera. Seharian sudah ia memikirkan perkara serius ini. Padahal, Ayu yang jelas-jelas berkaitan erat dengan permasalahan itu justru terlihat santai.“Ay, lo nggak risih tuh, sama omongan Bu Nyai tadi pagi?” selidik Ameera seraya mempersiapkan mukenanya. Malam ini selepas salat Isya mereka akan mengikuti kegiatan rutin malam hari yaitu pengajian Al Qur’an.“Risih gimana?” tanya Ayu heran.“Ya ... lo, kan, masih muda. Masak lo mau, sih, dinikahin sama anaknya Bu Nyai!” cetus Ameera lantang.Rumy dan Kendis, pun terkejut. Mereka segera mendekat kepada Ayu yang sedang memilah Al Qur’an di lemari kecil dekat meja belajar. “Hah! Seng tenane, Ay?” Rumy belum percaya. “Kamu mau dijodohin sama Gus Ahmad?”“Wah ... selamat, yo, Ay!” Kendis mengangsurkan tangannya kepada Ayu. Sementara Ayu lekas m