Beranda / Romansa / Dua Sisi / Calon yang soleh

Share

Calon yang soleh

Penulis: Dwi Kurnialis
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-03 23:20:21

“Peh ...” Ameera melepeh buah sawo yang sudah digigitnya. “Uh, gue pikir buah sawo dari pohonnya langsung bakalan enak dimakan. Ternyata, nggak ada enak-enaknya sama sekali!”

Ameera membuang buah sawo yang masih berada di tangannya lalu bertepuk tangan pelan membersihkan kotoran yang tersisa. Ia kembali duduk di kursi bambu. “Oh ya ampun, mau sampe kapan gue terpenjara di tempat ini?” Ia mulai kembali menggerutu. Lagi-lagi dirinya mengingat perbuatan Om Roni yang menurutnya  sudah keterlaluan. “Kalo aja waktu itu gue tahu Om Roni bakalan bawa gue ke sini, pasti gue bakalan kabur duluan.”

***

“Sebenernya kita mau ke mana, sih, Om?” tanya Ameera yang sejak pagi sudah berada di dalam kendaraan pribadi milik Om Roni. Gadis itu mencoba untuk menerka tujuan pamannya. Namun, ia sama sekali tidak dapat memastikannya. Om Roni sendiri sama sekali tak memberitahunya.  Lelaki berusia 38 tahun itu lebih banyak diam ketimbang meladeni semua pertanyaan keponakannya.

“Om, coba deh jawab pertanyaanku!” titah Ameera penuh penegasan. Rasanya ia mulai geram karena tak mendapat kejelasan dari orang yang sudah menjadi orang tua tunggal baginya sejak beberapa tahun lalu.

Om Roni menghela napas panjang. Ia menoleh kepada Ameera. “Om mau bawa kamu ke pesantren.”

Ameera membelalak. Matanya yang kecil membulat dengan sempurna. “What?” Ameera menangkup kedua pipinya sendiri. “Oh my God. Ini ide gila apa lagi, sih, Om? Kemaren Om minta aku untuk nggak keluar dari rumah. Dan sekarang Om mau masukin aku ke pesantren! Kenapa Om nggak suruh aku mati aja, sih?”

“Kalo Om suruh kamu mati, yang ada justru Om makin repot!” sahut Om Roni tanpa sedikitpun menatap Ameera. Lelaki yang memilih untuk menunda pernikahannya karena harus mengurus Ameera itu tetap memfokuskan pandangannya ke arah depan.

“Om, ini pesantren, loh! Gimana aku bisa tinggal di sana. Aku ini bukan manusia ahli ibadah!” Ameera berupaya untuk membujuk pamannya agar bisa mengurungkan niat itu.

Om Roni menghentikan laju kendaraannya. Kebetulan mereka sudah keluar dari jalur tol, sehingga dapat menepi di bahu jalan raya. Sesaat ia menatap wajah Ameera. Gadis itu terlihat murung. “Kamu dengerin Om, ya? Berpisah sama kamu juga bukan hal yang mudah buat Om. Tapi Om pikir ini adalah jalan satu-satunya buat kebaikan kamu.”

Ameera tersenyum kecut. Jelas sekali ia tak menyukai pendapat pamannya. “Kebaikan? Kebaikan buat Om. Tapi bukan buat aku!”

“Kamu nggak ngerti, Ameera. Kamu nggak ngerti gimana rasanya jadi Om yang nggak bisa konsentrasi kerja karena mikirin kamu.”

“Kenapa juga Om mesti mikirin aku? Aku udah besar. Aku bisa urus diri aku sendiri.” Ameera sedikit menentang pamannya. Kekerasan hatinya memang sulit untuk dikikiskan.

“Kalo Om nggak inget sama pesan orang tua kamu, mungkin juga Om nggak akan mengekang kamu seketat ini.”

Ameera terheran. “Pesan? Emangnya Papa sama Mama pesan apa ke  Om Roni?”

“Kalo sekiranya Om merasa kewalahan dalam mendidik kamu, Papamu mau kamu dimasukkan ke pesantren yang ada di kampungnya.”

Ameera tertunduk. Matanya mulai berkaca-kaca sambil sedikit menarik alisnya ke dalam. Sesak seketika melanda rongga dadanya. “Jadi Om kewalahan untuk urusin aku?” tanyanya lirih.

Om Roni menggeleng-geleng. Sepertinya ia telah salah berucap. Rasa sesal seketika menderanya. “Nggak, bukan gitu maksud, Om!”

Ameera mendongak, dan beralih ke lelaki yang duduk di sampingnya. “Terus apa?”

“Om Cuma pengen kamu bisa jadi lebih baik. Selama ini Om merasa udah salah menempatkan kamu.”

“Maksud Om, sekolah dan pergaulanku?” selidik Ameera.

Om Roni mengangguk. Tak dapat dipungkiri, kekhawatiran Om Roni kian membesar ketika mendapati beberapa teman-teman keponakannya datang ke rumah. Gadis-gadis itu terlihat berpenampilan aneh. Lebih tepatnya cara berpenampilan yang mencerminkan kurangnya pemahaman agama pada diri mereka. Ameera memang tak pernah didapatinya mengenakan pakaian sejenis teman-temannya. Namun, ia mengibaratkan Ameera seperti ombak. Di mana ada daratan, ombak yang dihalau tebing agar kembali ke tengah lautan, akan tetap menepi ke sana.

“Om takut, Ra!”

Mata Ameera menyipit. “Takut apa, Om?”

“Om takut nggak bisa penuhi janji Om sama orang tua kamu.”

“Janji? Janji apa?”

“Kamu udah 18 tahun, Om anggap kamu udah cukup dewasa. Tapi, di mata Om kedewasaan kamu itu belum sempurna. Om pengen suatu saat nanti kamu bisa dapetin laki-laki yang bener-bener bisa menyempurnakan agamamu.”

Ameera mulai menebak arah pembicaraan pamannya. Rahangnya menegang seiring dengan ketajaman sorot matanya. “Nggak usah bercanda, deh, Om! Aku masih belum mau nikah, kok!” tegasnya. “Udah, deh, yuk kita balik ke Jakarta aja!” Kali ini Ameera sedikit manja.

“Nggak, Ameera! Om nggak agi bercanda.”

Ameera berdecak seraya bersedekap. “Om Roni nggak asik!” ungkapnya kesal. “Om, di kota itu banyak, kok, cowok soleh. Temen-temen sekolah aku juga banyak yang pinter ngaji! Udah yuk, kita balik ke kota lagi! Please...!” bujuk Ameera lagi,.

“Kalo Om bilang nggak, ya nggak! Mungkin emang banyak cowok kota yang ngelakuin ibadah dan pinter ngaji, tapi Om pengennya cowok yang nggak Cuma sekedar pinter ngaji aja. Papa dan Om mau kamu bisa menikah sama laki-laki yang agamanya baik, yang bisa merubah kehidupan kamu.”

Ameera terdiam. Ia tak dapat menyangkal pernyataan pamannya. Baginya itu sudah cukup menegaskan betapa peraturan Om Roni percuma jika terus ia tentang. Rasanya murka, tapi harus ia pendam.

***

Ameera menggembungkan pipinya, mengeluarkan karbondioksida hingga ujung depan jilbabnya nyaris bergoyang. “Gue harus bisa keluar dari tempat ini? Tapi gimana caranya?” Ameera memutar bola matanya, pada akhirnya tatapannya menemukan sebuah tempat yang mencairkan otaknya.

Ameera mendekat ke arah gedung yang ia perhatikan dari jarak beberapa meter. Sesaat ia berdiri seraya menilik ke dalam gedung ruangan staf pesantren dari luar jendela kaca. Sepasang netra Ameera menyapu seluruh isi ruangan. Tak ada seorang pun di sana. Kemudian pandangannya beralih pada sebuah lemari kaca yang transparan. Letaknya di sudut ruangan lurus berseberangan dengan tempatnya berdiri. Ameera dapat melihat sekumpulan telepon genggam tersimpan di sana.

Ameera memutar tubuhnya 180’. “Handphone gue ada di sana, gimana caranya gue bisa ambil, ya?” otaknya juga turut berputar demi mencari ide. Namun, sepertinya ia mengalami kebuntuan berpikir. Ia kembali berniat menengok ruangan staf pesantren lagi. Namun nahas, seorang pemuda berbaju gamis telah menatapnya dari balik jendela kaca. Bahu Ameera reflek terangkat. “Gus!” Seketika tubuhnya gemetaran.

“Ngapain kamu di sini?” tanya Ahmad.

“Harusnya aku yang tanya, kok tiba-tiba Gus ada di situ? Padahal, barusan aku lihat nggak ada siapa-siapa?” Sungguh nada bicara Ameera terlalu cuek. Sepertinya ia belum bisa menempatkan diri tengah berbicara dengan siapa dan sebagai apa kedudukannya di pesantren.

“Dari tadi saya berdiri di depan lemari ini!” sahut Ahmad. Ya, memang benar. Sejak semula Ahmad sudah berada di depan lemari. Ia tengah mengembalikan berkas yang sebelumnya ia ambil dari lemari. Namun, tanpa sengaja ketika dirinya hendak kembali ke meja kerjanya, matanya menangkap sesosok wanita tengah membelakangi jendela kaca yang letaknya berdampingan dengan lemari. “Mau apa kamu ngintip-ngintip? Memangnya Ndak bisa mengucap salam, dan permisi lewat pintu?” cecarnya.

Ameera mencebik. “Siapa juga yang lagi ngintip!” sanggahnya dengan salah tingkah. “Aku Cuma pengen lihat-lihat aja, kok!” Sungguh konyol alibi yang dimainkan Ameera. Ahmad dapat menangkap signal tidak beres dari jawabannya. Tentu saja, itu sudah banyak ia dapatkan dari para santri lainnya yang sama persis dengan Ameera. Tujuannya hanya demi ingin mencari letak telepon genggamnya disimpan. “Kamu tenang aja, Hp-mu disimpen dengan aman di sini!” ucapnya seraya melayangkan senyum ejekan kepada Ameera.

Ameera justru menyipitkan mata dengan mulut menganga. Bagaimana mungkin pemuda itu tahu maksud terselubungnya? Gadis cantik itu mulai jengah. Tanpa berkata apa-apa, ia lekas pergi meninggalkan Ahmad.

Bab terkait

  • Dua Sisi   Gus Ahmad

    “Pokoknya kita mesti sabar menghadapi sikap Ameera. Kita Ndak boleh kalah sama dia,” ujar Ayu menguatkan kedua sahabatnya.Sikap angkuh Ameera terhadap mereka, sedikitnya membuat Rumy menjadi sedikit kesal. Terlebih setelah apa yang diperbuat Ameera kepadanya, mencubit tangannya hingga sakit. Rasanya kalau bukan karena Ayu yang memintanya, ingin ia pergi mengadu kepada Bu Nyai agar Ameera bisa mendapat hukuman yang setimpal atas perbuatannya.“Tapi dia itu keterlaluan. Sama sekali Ndak dengar omongan kita!” Rumy masih terus mengelus tangannya yang merah.“Iya ... tapi itu pasti karena dia masih baru. Aku yakin, cepat atau lambat Ameera bisa jadi lebih baik,” ujar Ayu meyakinkan. “Coba kamu liat Kendis!” Ayu bangkit dari duduknya dan merapatkan diri ke Kendis yang duduk di kursi belajar, seraya merangkul bahu gadis yang sedikit lemot itu. “Dulu ... kamu sering merasa risih sama kekurangannya. Tapi sekarang Nda

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-14
  • Dua Sisi   Menantu untuk Ummi

    “Kapan kalian mau menikah? Ummi sudah Ndak sabar pengin menimang cucu dari kalian.”Ahmad dan Samsul saling melempar pandang. Sempat sekejap Samsul menyeringai manja kepada Bu Nyai. Sedangkan Ahmad, pemuda bertubuh sedikit kurus itu hanya mengerjap saja tanpa menjawab. Suasana makan malam yang semula tenang dan damai, kini berubah sedikit mencekam. Kiyai Husein dan Bu Nyai menatap dalam wajah kedua putranya.“Ditanya kok malah diam saja!” gumam Bu Nyai.“Nyuwon pangapunten, Ummi. Kita, kan, lagi makan, apa Ndak sebaiknya kita Ndak membahas persoalan itu?” ujar Ahmad kemudian.“Memangnya kalo kita membahas tentang pernikahan kalian di meja makan, salah, ya?” tanya Bu Nyai lagi.“Bukan begitu maksud Ahmad, Ummi!” tegas pemuda bersongkok hitam yang sejak tadi duduk sejajar dengan Samsul.“Wes to, Ummi tenang saja! Sebentar lagi InsyaaAllah Ahmad bakalan menikah,” timp

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-21
  • Dua Sisi   Menikah muda

    Obrolan yang terjadi antara Ayu dan Bu Nyai cukup mengambil alih isi otak Ameera. Seharian sudah ia memikirkan perkara serius ini. Padahal, Ayu yang jelas-jelas berkaitan erat dengan permasalahan itu justru terlihat santai.“Ay, lo nggak risih tuh, sama omongan Bu Nyai tadi pagi?” selidik Ameera seraya mempersiapkan mukenanya. Malam ini selepas salat Isya mereka akan mengikuti kegiatan rutin malam hari yaitu pengajian Al Qur’an.“Risih gimana?” tanya Ayu heran.“Ya ... lo, kan, masih muda. Masak lo mau, sih, dinikahin sama anaknya Bu Nyai!” cetus Ameera lantang.Rumy dan Kendis, pun terkejut. Mereka segera mendekat kepada Ayu yang sedang memilah Al Qur’an di lemari kecil dekat meja belajar. “Hah! Seng tenane, Ay?” Rumy belum percaya. “Kamu mau dijodohin sama Gus Ahmad?”“Wah ... selamat, yo, Ay!” Kendis mengangsurkan tangannya kepada Ayu. Sementara Ayu lekas m

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-28
  • Dua Sisi   Alasan Om Roni

    Seminggu sudah Ameera tak berada di rumah. Rasanya sungguh aneh. Biasanya rumah akan berantakan dengan segala kejorokan gadis berusia 18 tahun itu. Tapi kini justru tampak rapi.Seperti pagi ini, Om Roni menikmati sarapannya sendirian. Biasanya Ameera akan banyak berbincang dengannya di meja makan. Terutama membicarakan izin keluar dengan teman-temannya.“Assalamu’alaikum,” suara seseorang memecah keheningan meja makan.Om Roni menoleh dan mendapati wanita berjilbab bernama Nana, sekretaris sekaligus calon istrinya. “Wa’alaikumussalam!”“Wah, aku telat, ya?”“Telat?”“Iya. Kamu pasti udah sarapan. Padahal, niat aku mau ajakin kamu sarapan bareng. Tadi aku bikin nasi goreng buat kita berdua.”Om Roni menghela napas sembari tersenyum. Ia beranjak, kemudian menarik salah saatu kursi makan dari bawah meja dan mempersilakan Nana untuk duduk bersamanya.&ld

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-28
  • Dua Sisi   Mulai Baik

    “Nduk, kamu cuci sayurannya, yo!” titah Bude Darmi kepada Ameera. Sejak siang Ameera berada di dapur umum. Ia merasa jenuh terus bersama teman-temannya di asrama. Padahal kegiatan di pesantren cukup padat. Ahmad meminta para santri untuk menghafal kitab yang sudah ia ajarkan sebelumnya. “Bude udah lama kerja di sini?” tanya Ameera yang mulai sibuk mencuci sawi. “Walah, sampe lupa berapa lamanya. Yang pasti sejak Gus Ahmad dan Ustadz Samsul masih kecil-kecil.” Perempuan paruh baya itu sibuk mengulek bumbu. Ameera menghentikan aktivitasnya. Ada yang terdengar aneh baginya. “Ustadz Samsul? Dia siapa, Bude?” Ameera dibuat penasaran. Bude Darmi beralih kepada Ameera. “Dia anak angkatnya Kiyai Husein.” “Oh ...” Ameera manggut-manggut. “Memangnya kamu Ndak pernah tahu sama Ustadz Samsul?” Ameera mencebik seraya menggeleng. “Wah, sayang banget kalo kamu Ndak tahu.” “Kenapa?” Bude Darmi melanjutkan pekerj

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-02
  • Dua Sisi   Gadis kota masuk desa

    Suasana kediaman Kiyai Husein cukup tenang. Wajar saja, di rumah itu hanya hidup empat orang dewasa yang sudah memiliki kesibukan masing-masing. Hanya Bu Nyai saja yang terbilang nyaris tidak memiliki kegiatan. Beliau hanya seorang ibu rumah tangga biasa, yang sehari-harinya diisi dengan berbagai kegiatan keagaamaan.Seperti yang dikatakan oleh Ahmad, umminya ingin bertemu dengan juru masak pesantren. Maka, Bude Darmi bergegas menemui Bu Nyai. Kebetulan wanita paruh baya itu tengah mengaji di gazebo yang ada di halaman belakang rumah.Keduanya memilih untuk berbincang di sana. Selain tempatnya enak, di sana mereka juga dapat menikmati ikan hias peliharaan Kiyai Husein.“Kenapa mesti saya, tho, Bu? Kenapa Bu Nyai Ndak menyewa jasa catering saja?” tanya Bude Darmi seraya memilin ujung jilbabnya yang menjuntai di depan dada.“Ini bukan Cuma hajat kami, tapi ini juga hajat pesantren. Kami ingin Yu Darmi dan para santriwati yang mengolah semu

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-02
  • Dua Sisi   Ayu Chumaira

    Rasa cinta tak akan mampu mengubah takdir seseorang. Namun, rasa cinta mampu membawa seseorang menggapai asa yang tak pernah terduga. Begitulah kiranya seorang gadis bernama Ayu Chumaira mendefinisikan rasa cintanya.Seumur hidupnya ia tak pernah mencintai lain daripada Tuhan. Bahkan, ia bukanlah orang yang selalu memikirkan dirinya sendiri. Cintanya kepada Rabb melebihi apa pun di benaknya. Sampai tiba sebuah lamaran dari ibu pengasuh pesantren tempatnya menimba ilmu agama, ia masih enggan untuk membicarakan perihal cinta.“Kamu benar sudah mantep, Nduk?” selidik Bude Darmi.Sejak pagi Ayu masih belum keluar dari dapur umum. Seperti biasa, ia tidak akan meninggalkan Bude Darmi dengan segudang piring kotor bekas sarapan para santri.“Insyaa Allah, Bude!” jawab Ayu yang tengah mengumpulkan makanan sisa.“Seberapa yakin?”“Insyaa Allah ... seyakin Bu Nyai memilih aku m

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04
  • Dua Sisi   Malam pertama

    Sepuluh hari kemudian.“Saya terima nikahnya Ayu Chumaira binti Zainudin dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” Ucapan sang pengantin pria terdengar sangat lugas, menggema ke seantero penjuru desa.Malam yang selama sekian hari dinantikan oleh segenap penduduk pesantren. Sebuah hajat besar telah terlaksana dengan khidmat. Seorang pemuda mengenakan galabiyya berwarna putih duduk bersimpuh di hadapan sang ayah, tepat di belakang mimbar masjid pesantren.Doa pernikahan memenuhi ruang masjid. Sementara di serambi, Ayu tampak anggun mengenakan pakaian pengantin berwarna putih. Di sisi kanan dan kirinya diapit oleh Bu Nyai dan Bude Darmi. Rasa haru menyelinap masuk ke benaknya. Ia tak mengira statusnya akan berubah secepat ini. Impiannya mendapatkan sosok imam yang soleh telah terkabul.Ayu menggenggam erat jemari Bu Nyai dan Bude Darmi secara bersamaan. Kaca-kaca di pelupuk mata seolah akan pecah dengan segera. Se

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-07

Bab terbaru

  • Dua Sisi   Surga Untuk Orang tua

    Seperti yang Ahmad katakan kepada Ameera, malam berikutnya ia menunggu gadis kota itu di masjid. Sedangkan Ameera masih terus merasa ragu hendak menemuinya. Ameera sibuk memilin ujung jilbabnya hingga nyaris kusut membentuk pola garis tidak beraturan lagi. Ia berdiri di sudut serambi seraya terus memfokuskan iris ke arah Ahmad yang masih membaca kitab di dekat mihrab.“Udah ... sana buruan temuin. Jangan sampai beliau menunggu lama!” titah Rumy sambil terus mendorong siku Ameera.“Masa gue, sih, yang mesti nemuin dia duluan? Kan, dia yang mau. Bukan gue!”“Kamu itu santri di sini, Ra. Dan beliau gurumu!” tegas Rumy.Ameera berdecih kesal. Ucapan Rumy seolah ingin memaksanya untuk patuh pada aturan yang dibuat oleh Ahmad secara sepihak. Padahal, perdebatan yang terjadi kemarin malam antara dirinya dan Ahmad sama sekali tidak ada hubungannya dengan pesantren. Kenapa gue mesti patuh? Rumy mer

  • Dua Sisi   Tertunda

    Mampus, deh, gue! Kok bisa salah ngira gini, sih! Gue pikir dia suaminya Ayu. Emangnya Abah punya anak selain dia, ya?Wajah Ameera mengerut. Rasa tidak enak hati seketika langsung menghinggapinya. Ahmad yang masih terus menatapnya di dalam remang cahaya, seakan mampu menangkap ekspresi yang ia tampilkan."Udah! Aku Ndak apa-apa, kok. Aku juga Ndak marah. Tapi lain kali jangan asal menuduh kalo Ndak paham masalah yang sebenarnya, ya!""Gue tekankan kalo gue bukan menuduh. Tapi gue cuma salah ngira aja! Lagian ... Yang gue denger anak Abah itu cuma satu.""Anak Abah banyak," kata Ahmad sembari mempersilakan Ameera melanjutkan langkahnya."Sebentar! Lo bilang anak Abah banyak, anak yang mana? Atau ... Abah punya anak dari istri yang lain, ya?" selidik Ameera.Ahmad mendengkus. Pertanyaan Ameera kali ini dirasa cukup keterlaluan. Menurutnya. Jika tadi ia sama sekali tidak marah, tetapi kali ini hatinya merasa tidak terima. Ameera meman

  • Dua Sisi   Salah Duga

    "Hus! Kalo ngomong, tuh, mbok jangan sembaranga tho, Ra!" protes Rumy sambil mendelik. "Mana mungkin suami Ayu tega ninggalin Ayu pas malam pertama begini," imbuhnya. "Ya ampun, Rum! Siapa juga, sih, yang ngomong sembarangan!" Ameera merasa tdak terima. "Orang barusan gue ketemu sama suaminya, kok!" akunya tak mau kalah dari Arumi. Mendengar tentang yang terjadi di antara kedua teman sekamarnya, membuat Kendis merasa tidak tenang. Gadis ya

  • Dua Sisi   Malam pertama

    Sepuluh hari kemudian.“Saya terima nikahnya Ayu Chumaira binti Zainudin dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” Ucapan sang pengantin pria terdengar sangat lugas, menggema ke seantero penjuru desa.Malam yang selama sekian hari dinantikan oleh segenap penduduk pesantren. Sebuah hajat besar telah terlaksana dengan khidmat. Seorang pemuda mengenakan galabiyya berwarna putih duduk bersimpuh di hadapan sang ayah, tepat di belakang mimbar masjid pesantren.Doa pernikahan memenuhi ruang masjid. Sementara di serambi, Ayu tampak anggun mengenakan pakaian pengantin berwarna putih. Di sisi kanan dan kirinya diapit oleh Bu Nyai dan Bude Darmi. Rasa haru menyelinap masuk ke benaknya. Ia tak mengira statusnya akan berubah secepat ini. Impiannya mendapatkan sosok imam yang soleh telah terkabul.Ayu menggenggam erat jemari Bu Nyai dan Bude Darmi secara bersamaan. Kaca-kaca di pelupuk mata seolah akan pecah dengan segera. Se

  • Dua Sisi   Ayu Chumaira

    Rasa cinta tak akan mampu mengubah takdir seseorang. Namun, rasa cinta mampu membawa seseorang menggapai asa yang tak pernah terduga. Begitulah kiranya seorang gadis bernama Ayu Chumaira mendefinisikan rasa cintanya.Seumur hidupnya ia tak pernah mencintai lain daripada Tuhan. Bahkan, ia bukanlah orang yang selalu memikirkan dirinya sendiri. Cintanya kepada Rabb melebihi apa pun di benaknya. Sampai tiba sebuah lamaran dari ibu pengasuh pesantren tempatnya menimba ilmu agama, ia masih enggan untuk membicarakan perihal cinta.“Kamu benar sudah mantep, Nduk?” selidik Bude Darmi.Sejak pagi Ayu masih belum keluar dari dapur umum. Seperti biasa, ia tidak akan meninggalkan Bude Darmi dengan segudang piring kotor bekas sarapan para santri.“Insyaa Allah, Bude!” jawab Ayu yang tengah mengumpulkan makanan sisa.“Seberapa yakin?”“Insyaa Allah ... seyakin Bu Nyai memilih aku m

  • Dua Sisi   Gadis kota masuk desa

    Suasana kediaman Kiyai Husein cukup tenang. Wajar saja, di rumah itu hanya hidup empat orang dewasa yang sudah memiliki kesibukan masing-masing. Hanya Bu Nyai saja yang terbilang nyaris tidak memiliki kegiatan. Beliau hanya seorang ibu rumah tangga biasa, yang sehari-harinya diisi dengan berbagai kegiatan keagaamaan.Seperti yang dikatakan oleh Ahmad, umminya ingin bertemu dengan juru masak pesantren. Maka, Bude Darmi bergegas menemui Bu Nyai. Kebetulan wanita paruh baya itu tengah mengaji di gazebo yang ada di halaman belakang rumah.Keduanya memilih untuk berbincang di sana. Selain tempatnya enak, di sana mereka juga dapat menikmati ikan hias peliharaan Kiyai Husein.“Kenapa mesti saya, tho, Bu? Kenapa Bu Nyai Ndak menyewa jasa catering saja?” tanya Bude Darmi seraya memilin ujung jilbabnya yang menjuntai di depan dada.“Ini bukan Cuma hajat kami, tapi ini juga hajat pesantren. Kami ingin Yu Darmi dan para santriwati yang mengolah semu

  • Dua Sisi   Mulai Baik

    “Nduk, kamu cuci sayurannya, yo!” titah Bude Darmi kepada Ameera. Sejak siang Ameera berada di dapur umum. Ia merasa jenuh terus bersama teman-temannya di asrama. Padahal kegiatan di pesantren cukup padat. Ahmad meminta para santri untuk menghafal kitab yang sudah ia ajarkan sebelumnya. “Bude udah lama kerja di sini?” tanya Ameera yang mulai sibuk mencuci sawi. “Walah, sampe lupa berapa lamanya. Yang pasti sejak Gus Ahmad dan Ustadz Samsul masih kecil-kecil.” Perempuan paruh baya itu sibuk mengulek bumbu. Ameera menghentikan aktivitasnya. Ada yang terdengar aneh baginya. “Ustadz Samsul? Dia siapa, Bude?” Ameera dibuat penasaran. Bude Darmi beralih kepada Ameera. “Dia anak angkatnya Kiyai Husein.” “Oh ...” Ameera manggut-manggut. “Memangnya kamu Ndak pernah tahu sama Ustadz Samsul?” Ameera mencebik seraya menggeleng. “Wah, sayang banget kalo kamu Ndak tahu.” “Kenapa?” Bude Darmi melanjutkan pekerj

  • Dua Sisi   Alasan Om Roni

    Seminggu sudah Ameera tak berada di rumah. Rasanya sungguh aneh. Biasanya rumah akan berantakan dengan segala kejorokan gadis berusia 18 tahun itu. Tapi kini justru tampak rapi.Seperti pagi ini, Om Roni menikmati sarapannya sendirian. Biasanya Ameera akan banyak berbincang dengannya di meja makan. Terutama membicarakan izin keluar dengan teman-temannya.“Assalamu’alaikum,” suara seseorang memecah keheningan meja makan.Om Roni menoleh dan mendapati wanita berjilbab bernama Nana, sekretaris sekaligus calon istrinya. “Wa’alaikumussalam!”“Wah, aku telat, ya?”“Telat?”“Iya. Kamu pasti udah sarapan. Padahal, niat aku mau ajakin kamu sarapan bareng. Tadi aku bikin nasi goreng buat kita berdua.”Om Roni menghela napas sembari tersenyum. Ia beranjak, kemudian menarik salah saatu kursi makan dari bawah meja dan mempersilakan Nana untuk duduk bersamanya.&ld

  • Dua Sisi   Menikah muda

    Obrolan yang terjadi antara Ayu dan Bu Nyai cukup mengambil alih isi otak Ameera. Seharian sudah ia memikirkan perkara serius ini. Padahal, Ayu yang jelas-jelas berkaitan erat dengan permasalahan itu justru terlihat santai.“Ay, lo nggak risih tuh, sama omongan Bu Nyai tadi pagi?” selidik Ameera seraya mempersiapkan mukenanya. Malam ini selepas salat Isya mereka akan mengikuti kegiatan rutin malam hari yaitu pengajian Al Qur’an.“Risih gimana?” tanya Ayu heran.“Ya ... lo, kan, masih muda. Masak lo mau, sih, dinikahin sama anaknya Bu Nyai!” cetus Ameera lantang.Rumy dan Kendis, pun terkejut. Mereka segera mendekat kepada Ayu yang sedang memilah Al Qur’an di lemari kecil dekat meja belajar. “Hah! Seng tenane, Ay?” Rumy belum percaya. “Kamu mau dijodohin sama Gus Ahmad?”“Wah ... selamat, yo, Ay!” Kendis mengangsurkan tangannya kepada Ayu. Sementara Ayu lekas m

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status