Senin pagi merupakan awal pekan bagi setiap orang menyusun rencana satu minggu ke depan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Ameera. Gadis itu terlihat tak bersemangat. Kegiatan paginya diisi dengan bersih-bersih kamar dan teras depan. Sementara dari jarak yang lumayan jauh, tepatnya di halaman depan kelas, para murid yang masih duduk di bangku MI, Mts, dan MA, semuanya melaksanakan upacara bendera.
“Kalo liat yang kayak gitu, rasanya pengen balik ke Jakarta dan sekolah lagi. Seru kali, ya?” Ingatan Ameera kembali beralih ke masalalu, di mana ia dapat merasakan kebahagiaan bersama teman-teman sekolahnya. Namun, itu hanya tinggal kenangan. Kemauan Om Roni terlalu besar. Ameera merasa sangat benci kepada pamannya. “Gue nggak nyangka, Om Roni setega ini ke gue!”
“Tega gimana?” Pertanyaan darri seseorang membuyarkan lamunan Ameera. Rupanya sudah sejak tadi Rumi sudah berada di belakangnya.
“Eh, lo, Rum?”
“Kamu kenapa, Ra? Kuwe punya masalah?” tanya Rumi lebih dalam.
“Hah! Kue???” Ameera belum mengerti dengan kosakata suku Jawa.
“Maksud kamu!” kata Rumi menjelaskan.
“Oh! Sedikit,” sahut Ameera kemudian.
“Kalo kamu ada masalah, berbagi aja sama aku, Ayu, dan Kendis! Siapa tau kami bisa bantu kamu.”
Ameera meletakkan sapu ijuknya di sisi pintu. “Masalah gue itu terlalu rumit, Rum. Kalian belum tentu bisa ngerti, apalagi bantu mecahin masalahnya.”
Rumi menghela napas anjang. Ucapan Ameera sedikit merendahkan dia dan kedua sahabatnya yang lain. Namun, baginya itu bukanlah masalah dan memicu untuk menjauhi Ameera. Gadis itu hanya belum memercayai jika manusia tidak bisa membantunya, maka ada Allah yang memiliki kuasa di atas segalanya.
“Yo wes, kalo kamu Ndak mau cerita, yo Ndak apa-apa!”
Ameera menyeringai. “By the way, Ayu sama Kendis ke mana? Kok dari pagi gue nggak liat mereka?”
“Mereka lagi bantu Bude Darmi masak di dapur! Kamu mau ikut ke sana?”
“Ke dapur maksud lo?”
Rumi mengangguk.
“Boleh, deh. Lagian gue juga bete di sini sendirian!”
Ameera lekas mengikuti Rumi. Sampai di dapur pesantren, Ameera sedikit tercengang melihat kondisi dapur yang jauh berbeda dari dapurnya di rumah. Hah ... ini dapur? Yang bener aja. Jorok amat, sih? Batin Ameera seraya mengedarkan mata ke seluruh penjuru ruangan yang berbau asap. Beberapa tungku dua lubang tersedia di teras bagian belakang dapur. Terlihat Ayu sedang duduk seraya menyiangi sayuran di dekat pintu belakang. Sementara di luar ada seorang wanita paruh baya sedang mengambil kayu bakar dari sebuah gubuk kecil.
“Wes, Dul, kamu bawa kayunya deket pawon!” ucap wanita bernama Bude Darmi.
“Inggih, Bude,” jawab Abdul.
Ameera masih terus menatap ke arah luar. Dirinya masih heran atas kondisi dapur pesantren yang letaknya tepat di samping agak ke belakang rumah Kiyai Husein.
“Kenapa, Ra?” tanya Ayu yang rupanya memperhatikan Ameera.
Ameera mendekat ke Ayu, lalu berjongkok di depannya. “Ini dapur, Ay?”
“Menurutmu opo?” tanya Ayu balik.
Ameera mendongak memperhatikan langit-langit dapur yang hitam. “Ini sih, udah kayak kandang!”
“Hus! Jangan ngawur kowe, Ra! Bisa-bisa kalo Bude Darmi denger, kamu bisa diomeli!” ujar Kendis yang sedang menggiling bumbu dengan cobek.
“Wes, Ndak popo, Ndis! Wes biasa kalo ada orang baru yang bilang begitu. Bude Ndak kaget!” seru Bude Darmi yang datang dari arah belakang Ameera. Sementara Ameera lekas berjengit, berdiri menatap Bude Darmi. “Nduk, Cah ayu, nama kamu siapa?” tanya Bude Darmi ramah.
“Ameera, Bude!”
“Walah ... namanya bagus, yo. Koyo cah kota!”
“La emang cah kota loh, Bude!” seru Rumi. “Asli anak Jakarta!”
“Eh ladalah, pantesan aja ngebilangin dapur kita ini koyo kandang, lawong dianya wong kota. Yo wajar to, Ay!” Bude Darmi sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Ameera sebelumnya. Wanita itu justru dapat memaklumi pemikiran Ameera. Sehingga hal tersebut justru membuat Ameera merasa malu.
“Dengar tu, Ra. Bude Darmi sama sekali Ndak marah sama kamu. Tapi, nanti-nanti kamu mesti bisa jaga sikap dan ucapanmu, biar Ndak ada yang tersinggung!” saran Ayu. “Ndak semua orang seperti Bude Darmi!!”
“Tapi ... tadi kata Kendis Bude Darmi suka ngomel, ya?” tanya Ameera penasaran.
“Bude memang suka ngomel, tapi Cuma sama Kendis. Lawong Kendis juga kalo Bude ajari suka sekali ngeyel!” ungkap Bude Darmi memicu gelak tawa ketiga gadis di hadapannya. Sementara Kendis hanya mencebik.
***
Kepulan asap cukup memenuhi ruang dapur pesantren. Ayu yang masih berada di dalamnya merasa pengap. Gadis berjilbab cokelat itu lekas keluar menuju tungku. Ternyata benar dugaannya. Api di tungku tidak hidup. Sementara Ameera yang sedang mengurusnya justru terbatuk-batuk.
“Ya ampun, Ra! Kok asepnya gini banget, to?” tanya Ayu yang melangkah keluar sambil mengibas asap tebal di depannya.
“Kesel gue, Ay. Dari tadi apinya nggak mau idup!” sahut Ameera sambil sesekali meniup tungku.
“Minggir, kamu! Wes, biar aku aja yang hidupkan apinya!” Ayu mengambil alih tempat Ameera berjongkok. Sementara gadis itu bangkit seraya mengucek matanya yang pedih karena asap.
Ayu mengambil pipa air yang tidak terlalu panjang berada di samping tungku. “Kamu itu salah set, Ra! Harusnya pake alat ini!” ucapnya, lalu meniup tungku.
Api menyala, Ameera terheran. “Kenapa lo nggak bilang kalo harusnya niup pake pipa itu?” ucapnya sedikit kesal. “Coba kalo lo ajarin gue dari tadi, kan jadinya nggak bakalan ada asep yang bikin mata gue pedih kayak gini!”
Ayu tercengang menatap Ameera. Tak lama kemudian gadis Jawa itu justru tertawa sambil menutup mulutnya. Ameera heran atas perilaku sahabatnya. “Lo kenapa sih, Ay? Gue omelin lo malah ketawa nggak jelas gitu!”
Bude Darmi keluar dari dalam dapur disusul oleh Rumi dan Kendis. Mereka turut heran atas tawa Ayu yang terpingkal-pingkal. “Jane ono opo to, Nduk? Kok kamu tertawanya heboh?”
“Ho’oh, Ay, ada apa?” timpal Rumi.
Ayu masih terus tertawa sambil menunjuk ke arah wajah Ameera. Bude Darmi, Rumi, dan Kendis turut memperhatikan wajah Ameera. Pada akhirnya, mereka juga ikut tertawa. Terlebih Kendis, suara tawanya sangat keras melebihi yang lainnya. Ameera semakin heran. “Kalian kenapa, sih? Emang ada yang lucu, ya?”
“Aduh, Ra! Mending kamu ngaca! Itu loh wajahmu, wes koyo badut seng ono neng tipi-tipi kae!” ungkap Kendis yang masih terus terpingkal.
Ameera lekas masuk ke dalam dapur. Di sudut ruang dapur terdapat sebuah lemari untuk menyimpan alat-alat masak, yang di bagian pintunya juga sengaja dilapisi cermin. Betapa terkejutnya Ameera setelah mendapati wajahnya penuh dengan angus tungku di bagian pipi dan keningnya. Gadis itu lekas berlari menuju ke kamar mandi umum. Di sana ia segera membasuh wajahnya dengan air dan sabun. Setelah yakin benar-benar sudah bersih, ia kembali bercermin. Perasaan dongkol seketika menghampiri jiwanya.
“Ya ampun, ini semua gara-gara Om Roni. Kalo dia nggak masukin gue ke tempat ini, gue nggak bakalan sesial ini. Pokoknya gue mau minta Om Roni ngeluarin gue dari sini. Gue nggak mau berlama-lama di sini. Bisa strees gue!” Ameera setengah menangis. Hatinya benar-benar marah.
“Ra! Ra!” Ayu mengetuk pintu kamar mandi. Ameera bergegas keluar.
“Kamu nggak apa-apa, Ra?” tanya Ayu sedikit mengkhawatirkan kondisi psikis Ameera.
Ameera menggeleng. Wajahnya terlihat lemas dan sedih.
“Syukurlah.” Ayu merasa sedikit lega. “Maaf ya, kalo tadi aku udah bikin kamu malu!”
“Udah, gue nggak apa-apa, kok!”
“Yo wes, sekarang kamu ikut aku aja, yuk!”
“Ke mana?”
“Bude Darmi nyuruh kita siapin sarapan buat Abah dan keluarganya.”
Ameera tercekat. “Hah, apa? Nyiapin sarapan? Ogah!”
Ayu memasang wajah iba. Sebenarnya sejak awal dirinya meyakini kalau Ameera pasti tidak akan bersedia, mengingat sifat angkuh Ameera yang mulai ia pahami. “Jangan gitu dong, Ra! Abah itu kan, kiyai besar, pimpinan pondok pesantren ini. Jadi kita harus menghormati beliau.”
“Gue juga tau, kalo kita itu harus menghormati Abah. Tapi lo juga harus inget dong, Ay! Kita di sini tuh buat belajar, bukan jadi pembantu!” sangkal Ameera keras.
Ameera melangkah meninggalkan area kamar mandi. Sementara Ayu mengikutinya. “Justru karena kita belajar, kita mau meminta ilmu dari beliau, apa salahnya kalo kita membalas kebaikan beliau?”
Ameera menghentikan langkahnya, demikian pula dengan Ayu. Sesaat Ameera menoleh kepada Ayu. “Apa bayaran kita belum cukup buat ngebalas kebaikannya?” tanyanya. Ayu terdiam. Ameera kembali melanjutkan langkahnya, berniat pergi ke kamar. Sementara Ayu masih terpaku di tempatnya.
“Apa ini cara berpikir orang kota?” tanya Ayu sedikit berseru. “Mengukur semua kebaikan dengan uang!” imbuhnya.
Ameera terkejut dan segera menghentikan langkahnya.
Para santri semua telah berada di posisinya masing-masing mengantri di dapur umum untuk mengambil jatah sarapan mereka. Sudah biasa hingar bingar terjadi tatkala semua telah merasa lapar. Tak jarang dari beberapa santriwan yang memilih mengambil makanan dengan menggunakan naman besar. Bude Darmi akan mengisi wadah mereka dengan porsi yang cukup dimakan untuk 5 hingga 7 orang. Kemudian para santriwan akan membawa nampan mereka ke kamar dan menyantap bersama di sana.Ameera yang tak terbiasa makan beramai-ramai seperti itu merasa kikuk menyantap makanannya. Sejenak ia sempat hanya menatap piringnya lalu menoleh ke sekitarnya. Semua teman-temannya makan dengan lahap, padahal hanya dengan sayur dan lauk ala kadarnya yaitu sayur santan terung yang dicampur cabai hijau ditambah lauk tempe goreng tanpa tepung.“Kenapa kamu Ndak makan, Ra?” tegur Rumi yang duduk tepat di sisi kirinya.“Nggak n
Kehidupan Ameera di pesantren cukup membawa ke arah yang positive. Seminggu pertama berada di tempat yang teramat asing baginya, membuatnya sedikit mulai memahami jika menjadi santriwati itu memiliki aturan-aturan khusus yang harus ia patuhi. Salah satunya adalah ia harus terbiasa mengenakan pakaian muslimah.Bagi Ameera, ini adalah hal yang cukup rumit dan sangat menguji sifat sabar dan nilai keikhlasannya. Bagaimana tidak? Sebelumnya ia hanya gadis kota yang tak pernah berjilbab, dan selalu tampil casual dengan celana jeans atau kulot ¾ dilengkapi kaos, sama seperti teman-temannya.Om Roni sudah menyiapkan semua kebutuhannya. Termasuk pakaian muslimah. Siang yang terik cukup membuat Ameera merasa gerah. Selepas melaksanakan salat Dzuhur berjamaah, gadis bertubuh langsing itu segera berlari dari masjid menuju kamarnya. Tanpa menutup pintu, ia segera menghidupkan kipas angin dan melepas mukenanya dengan cepat. Ameera merebahkan tubuh
“Peh ...” Ameera melepeh buah sawo yang sudah digigitnya. “Uh, gue pikir buah sawo dari pohonnya langsung bakalan enak dimakan. Ternyata, nggak ada enak-enaknya sama sekali!”Ameera membuang buah sawo yang masih berada di tangannya lalu bertepuk tangan pelan membersihkan kotoran yang tersisa. Ia kembali duduk di kursi bambu. “Oh ya ampun, mau sampe kapan gue terpenjara di tempat ini?” Ia mulai kembali menggerutu. Lagi-lagi dirinya mengingat perbuatan Om Roni yang menurutnya sudah keterlaluan. “Kalo aja waktu itu gue tahu Om Roni bakalan bawa gue ke sini, pasti gue bakalan kabur duluan.”***“Sebenernya kita mau ke mana, sih, Om?” tanya Ameera yang sejak pagi sudah berada di dalam kendaraan pribadi milik Om Roni. Gadis itu mencoba untuk menerka tujuan pamannya. Namun, ia sama sekali tidak dapat memastikannya. Om Roni sendiri sama sekali tak memberitahunya. Lelaki berusia 38 tahun itu lebih ba
“Pokoknya kita mesti sabar menghadapi sikap Ameera. Kita Ndak boleh kalah sama dia,” ujar Ayu menguatkan kedua sahabatnya.Sikap angkuh Ameera terhadap mereka, sedikitnya membuat Rumy menjadi sedikit kesal. Terlebih setelah apa yang diperbuat Ameera kepadanya, mencubit tangannya hingga sakit. Rasanya kalau bukan karena Ayu yang memintanya, ingin ia pergi mengadu kepada Bu Nyai agar Ameera bisa mendapat hukuman yang setimpal atas perbuatannya.“Tapi dia itu keterlaluan. Sama sekali Ndak dengar omongan kita!” Rumy masih terus mengelus tangannya yang merah.“Iya ... tapi itu pasti karena dia masih baru. Aku yakin, cepat atau lambat Ameera bisa jadi lebih baik,” ujar Ayu meyakinkan. “Coba kamu liat Kendis!” Ayu bangkit dari duduknya dan merapatkan diri ke Kendis yang duduk di kursi belajar, seraya merangkul bahu gadis yang sedikit lemot itu. “Dulu ... kamu sering merasa risih sama kekurangannya. Tapi sekarang Nda
“Kapan kalian mau menikah? Ummi sudah Ndak sabar pengin menimang cucu dari kalian.”Ahmad dan Samsul saling melempar pandang. Sempat sekejap Samsul menyeringai manja kepada Bu Nyai. Sedangkan Ahmad, pemuda bertubuh sedikit kurus itu hanya mengerjap saja tanpa menjawab. Suasana makan malam yang semula tenang dan damai, kini berubah sedikit mencekam. Kiyai Husein dan Bu Nyai menatap dalam wajah kedua putranya.“Ditanya kok malah diam saja!” gumam Bu Nyai.“Nyuwon pangapunten, Ummi. Kita, kan, lagi makan, apa Ndak sebaiknya kita Ndak membahas persoalan itu?” ujar Ahmad kemudian.“Memangnya kalo kita membahas tentang pernikahan kalian di meja makan, salah, ya?” tanya Bu Nyai lagi.“Bukan begitu maksud Ahmad, Ummi!” tegas pemuda bersongkok hitam yang sejak tadi duduk sejajar dengan Samsul.“Wes to, Ummi tenang saja! Sebentar lagi InsyaaAllah Ahmad bakalan menikah,” timp
Obrolan yang terjadi antara Ayu dan Bu Nyai cukup mengambil alih isi otak Ameera. Seharian sudah ia memikirkan perkara serius ini. Padahal, Ayu yang jelas-jelas berkaitan erat dengan permasalahan itu justru terlihat santai.“Ay, lo nggak risih tuh, sama omongan Bu Nyai tadi pagi?” selidik Ameera seraya mempersiapkan mukenanya. Malam ini selepas salat Isya mereka akan mengikuti kegiatan rutin malam hari yaitu pengajian Al Qur’an.“Risih gimana?” tanya Ayu heran.“Ya ... lo, kan, masih muda. Masak lo mau, sih, dinikahin sama anaknya Bu Nyai!” cetus Ameera lantang.Rumy dan Kendis, pun terkejut. Mereka segera mendekat kepada Ayu yang sedang memilah Al Qur’an di lemari kecil dekat meja belajar. “Hah! Seng tenane, Ay?” Rumy belum percaya. “Kamu mau dijodohin sama Gus Ahmad?”“Wah ... selamat, yo, Ay!” Kendis mengangsurkan tangannya kepada Ayu. Sementara Ayu lekas m
Seminggu sudah Ameera tak berada di rumah. Rasanya sungguh aneh. Biasanya rumah akan berantakan dengan segala kejorokan gadis berusia 18 tahun itu. Tapi kini justru tampak rapi.Seperti pagi ini, Om Roni menikmati sarapannya sendirian. Biasanya Ameera akan banyak berbincang dengannya di meja makan. Terutama membicarakan izin keluar dengan teman-temannya.“Assalamu’alaikum,” suara seseorang memecah keheningan meja makan.Om Roni menoleh dan mendapati wanita berjilbab bernama Nana, sekretaris sekaligus calon istrinya. “Wa’alaikumussalam!”“Wah, aku telat, ya?”“Telat?”“Iya. Kamu pasti udah sarapan. Padahal, niat aku mau ajakin kamu sarapan bareng. Tadi aku bikin nasi goreng buat kita berdua.”Om Roni menghela napas sembari tersenyum. Ia beranjak, kemudian menarik salah saatu kursi makan dari bawah meja dan mempersilakan Nana untuk duduk bersamanya.&ld
“Nduk, kamu cuci sayurannya, yo!” titah Bude Darmi kepada Ameera. Sejak siang Ameera berada di dapur umum. Ia merasa jenuh terus bersama teman-temannya di asrama. Padahal kegiatan di pesantren cukup padat. Ahmad meminta para santri untuk menghafal kitab yang sudah ia ajarkan sebelumnya. “Bude udah lama kerja di sini?” tanya Ameera yang mulai sibuk mencuci sawi. “Walah, sampe lupa berapa lamanya. Yang pasti sejak Gus Ahmad dan Ustadz Samsul masih kecil-kecil.” Perempuan paruh baya itu sibuk mengulek bumbu. Ameera menghentikan aktivitasnya. Ada yang terdengar aneh baginya. “Ustadz Samsul? Dia siapa, Bude?” Ameera dibuat penasaran. Bude Darmi beralih kepada Ameera. “Dia anak angkatnya Kiyai Husein.” “Oh ...” Ameera manggut-manggut. “Memangnya kamu Ndak pernah tahu sama Ustadz Samsul?” Ameera mencebik seraya menggeleng. “Wah, sayang banget kalo kamu Ndak tahu.” “Kenapa?” Bude Darmi melanjutkan pekerj
Seperti yang Ahmad katakan kepada Ameera, malam berikutnya ia menunggu gadis kota itu di masjid. Sedangkan Ameera masih terus merasa ragu hendak menemuinya. Ameera sibuk memilin ujung jilbabnya hingga nyaris kusut membentuk pola garis tidak beraturan lagi. Ia berdiri di sudut serambi seraya terus memfokuskan iris ke arah Ahmad yang masih membaca kitab di dekat mihrab.“Udah ... sana buruan temuin. Jangan sampai beliau menunggu lama!” titah Rumy sambil terus mendorong siku Ameera.“Masa gue, sih, yang mesti nemuin dia duluan? Kan, dia yang mau. Bukan gue!”“Kamu itu santri di sini, Ra. Dan beliau gurumu!” tegas Rumy.Ameera berdecih kesal. Ucapan Rumy seolah ingin memaksanya untuk patuh pada aturan yang dibuat oleh Ahmad secara sepihak. Padahal, perdebatan yang terjadi kemarin malam antara dirinya dan Ahmad sama sekali tidak ada hubungannya dengan pesantren. Kenapa gue mesti patuh? Rumy mer
Mampus, deh, gue! Kok bisa salah ngira gini, sih! Gue pikir dia suaminya Ayu. Emangnya Abah punya anak selain dia, ya?Wajah Ameera mengerut. Rasa tidak enak hati seketika langsung menghinggapinya. Ahmad yang masih terus menatapnya di dalam remang cahaya, seakan mampu menangkap ekspresi yang ia tampilkan."Udah! Aku Ndak apa-apa, kok. Aku juga Ndak marah. Tapi lain kali jangan asal menuduh kalo Ndak paham masalah yang sebenarnya, ya!""Gue tekankan kalo gue bukan menuduh. Tapi gue cuma salah ngira aja! Lagian ... Yang gue denger anak Abah itu cuma satu.""Anak Abah banyak," kata Ahmad sembari mempersilakan Ameera melanjutkan langkahnya."Sebentar! Lo bilang anak Abah banyak, anak yang mana? Atau ... Abah punya anak dari istri yang lain, ya?" selidik Ameera.Ahmad mendengkus. Pertanyaan Ameera kali ini dirasa cukup keterlaluan. Menurutnya. Jika tadi ia sama sekali tidak marah, tetapi kali ini hatinya merasa tidak terima. Ameera meman
"Hus! Kalo ngomong, tuh, mbok jangan sembaranga tho, Ra!" protes Rumy sambil mendelik. "Mana mungkin suami Ayu tega ninggalin Ayu pas malam pertama begini," imbuhnya. "Ya ampun, Rum! Siapa juga, sih, yang ngomong sembarangan!" Ameera merasa tdak terima. "Orang barusan gue ketemu sama suaminya, kok!" akunya tak mau kalah dari Arumi. Mendengar tentang yang terjadi di antara kedua teman sekamarnya, membuat Kendis merasa tidak tenang. Gadis ya
Sepuluh hari kemudian.“Saya terima nikahnya Ayu Chumaira binti Zainudin dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” Ucapan sang pengantin pria terdengar sangat lugas, menggema ke seantero penjuru desa.Malam yang selama sekian hari dinantikan oleh segenap penduduk pesantren. Sebuah hajat besar telah terlaksana dengan khidmat. Seorang pemuda mengenakan galabiyya berwarna putih duduk bersimpuh di hadapan sang ayah, tepat di belakang mimbar masjid pesantren.Doa pernikahan memenuhi ruang masjid. Sementara di serambi, Ayu tampak anggun mengenakan pakaian pengantin berwarna putih. Di sisi kanan dan kirinya diapit oleh Bu Nyai dan Bude Darmi. Rasa haru menyelinap masuk ke benaknya. Ia tak mengira statusnya akan berubah secepat ini. Impiannya mendapatkan sosok imam yang soleh telah terkabul.Ayu menggenggam erat jemari Bu Nyai dan Bude Darmi secara bersamaan. Kaca-kaca di pelupuk mata seolah akan pecah dengan segera. Se
Rasa cinta tak akan mampu mengubah takdir seseorang. Namun, rasa cinta mampu membawa seseorang menggapai asa yang tak pernah terduga. Begitulah kiranya seorang gadis bernama Ayu Chumaira mendefinisikan rasa cintanya.Seumur hidupnya ia tak pernah mencintai lain daripada Tuhan. Bahkan, ia bukanlah orang yang selalu memikirkan dirinya sendiri. Cintanya kepada Rabb melebihi apa pun di benaknya. Sampai tiba sebuah lamaran dari ibu pengasuh pesantren tempatnya menimba ilmu agama, ia masih enggan untuk membicarakan perihal cinta.“Kamu benar sudah mantep, Nduk?” selidik Bude Darmi.Sejak pagi Ayu masih belum keluar dari dapur umum. Seperti biasa, ia tidak akan meninggalkan Bude Darmi dengan segudang piring kotor bekas sarapan para santri.“Insyaa Allah, Bude!” jawab Ayu yang tengah mengumpulkan makanan sisa.“Seberapa yakin?”“Insyaa Allah ... seyakin Bu Nyai memilih aku m
Suasana kediaman Kiyai Husein cukup tenang. Wajar saja, di rumah itu hanya hidup empat orang dewasa yang sudah memiliki kesibukan masing-masing. Hanya Bu Nyai saja yang terbilang nyaris tidak memiliki kegiatan. Beliau hanya seorang ibu rumah tangga biasa, yang sehari-harinya diisi dengan berbagai kegiatan keagaamaan.Seperti yang dikatakan oleh Ahmad, umminya ingin bertemu dengan juru masak pesantren. Maka, Bude Darmi bergegas menemui Bu Nyai. Kebetulan wanita paruh baya itu tengah mengaji di gazebo yang ada di halaman belakang rumah.Keduanya memilih untuk berbincang di sana. Selain tempatnya enak, di sana mereka juga dapat menikmati ikan hias peliharaan Kiyai Husein.“Kenapa mesti saya, tho, Bu? Kenapa Bu Nyai Ndak menyewa jasa catering saja?” tanya Bude Darmi seraya memilin ujung jilbabnya yang menjuntai di depan dada.“Ini bukan Cuma hajat kami, tapi ini juga hajat pesantren. Kami ingin Yu Darmi dan para santriwati yang mengolah semu
“Nduk, kamu cuci sayurannya, yo!” titah Bude Darmi kepada Ameera. Sejak siang Ameera berada di dapur umum. Ia merasa jenuh terus bersama teman-temannya di asrama. Padahal kegiatan di pesantren cukup padat. Ahmad meminta para santri untuk menghafal kitab yang sudah ia ajarkan sebelumnya. “Bude udah lama kerja di sini?” tanya Ameera yang mulai sibuk mencuci sawi. “Walah, sampe lupa berapa lamanya. Yang pasti sejak Gus Ahmad dan Ustadz Samsul masih kecil-kecil.” Perempuan paruh baya itu sibuk mengulek bumbu. Ameera menghentikan aktivitasnya. Ada yang terdengar aneh baginya. “Ustadz Samsul? Dia siapa, Bude?” Ameera dibuat penasaran. Bude Darmi beralih kepada Ameera. “Dia anak angkatnya Kiyai Husein.” “Oh ...” Ameera manggut-manggut. “Memangnya kamu Ndak pernah tahu sama Ustadz Samsul?” Ameera mencebik seraya menggeleng. “Wah, sayang banget kalo kamu Ndak tahu.” “Kenapa?” Bude Darmi melanjutkan pekerj
Seminggu sudah Ameera tak berada di rumah. Rasanya sungguh aneh. Biasanya rumah akan berantakan dengan segala kejorokan gadis berusia 18 tahun itu. Tapi kini justru tampak rapi.Seperti pagi ini, Om Roni menikmati sarapannya sendirian. Biasanya Ameera akan banyak berbincang dengannya di meja makan. Terutama membicarakan izin keluar dengan teman-temannya.“Assalamu’alaikum,” suara seseorang memecah keheningan meja makan.Om Roni menoleh dan mendapati wanita berjilbab bernama Nana, sekretaris sekaligus calon istrinya. “Wa’alaikumussalam!”“Wah, aku telat, ya?”“Telat?”“Iya. Kamu pasti udah sarapan. Padahal, niat aku mau ajakin kamu sarapan bareng. Tadi aku bikin nasi goreng buat kita berdua.”Om Roni menghela napas sembari tersenyum. Ia beranjak, kemudian menarik salah saatu kursi makan dari bawah meja dan mempersilakan Nana untuk duduk bersamanya.&ld
Obrolan yang terjadi antara Ayu dan Bu Nyai cukup mengambil alih isi otak Ameera. Seharian sudah ia memikirkan perkara serius ini. Padahal, Ayu yang jelas-jelas berkaitan erat dengan permasalahan itu justru terlihat santai.“Ay, lo nggak risih tuh, sama omongan Bu Nyai tadi pagi?” selidik Ameera seraya mempersiapkan mukenanya. Malam ini selepas salat Isya mereka akan mengikuti kegiatan rutin malam hari yaitu pengajian Al Qur’an.“Risih gimana?” tanya Ayu heran.“Ya ... lo, kan, masih muda. Masak lo mau, sih, dinikahin sama anaknya Bu Nyai!” cetus Ameera lantang.Rumy dan Kendis, pun terkejut. Mereka segera mendekat kepada Ayu yang sedang memilah Al Qur’an di lemari kecil dekat meja belajar. “Hah! Seng tenane, Ay?” Rumy belum percaya. “Kamu mau dijodohin sama Gus Ahmad?”“Wah ... selamat, yo, Ay!” Kendis mengangsurkan tangannya kepada Ayu. Sementara Ayu lekas m