Beranda / Romansa / Dua Sisi / Adaptasi

Share

Adaptasi

Penulis: Dwi Kurnialis
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-02 21:14:07

Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00, tetapi Ameera belum dapat memejamkan mata. Ia terbaring di atas ranjang dengan perasaan gelisah. Ayu yang berada di ranjang bawahnya dapat merasakan gerakan Ameera yang seolah tidak nyaman berada di tempat tidurnya.

“Kamu kenapa sih, Ra?” Kali ini sapaan untuk Ameera dari Ayu berubah lagi.

“Gue nggak bisa tidur nih, Ay!”

“Kenapa? Besok kita mesti bangun pagi, loh! Kalo kamu Ndak tidur dari sekarang, bisa-bisa kamu bangun kesiangan.”

“Emangnya, kita harus bangun jam berapa?”

“Jam 3 biar kita bisa salat malam, witir, sekaligus salat fajar.”

Ameera tercekat hingga setengah bangkit, kepalanya menghadap ke bawah tepat di sisi ranjang. “Apa? Sebelum Subuh?” ucapnya sedikit berseru.

“Iyo. Kenapa kaget gitu, tho? Memangnya kamu Ndak pernah salat malam?”

Ameera hanya menyeringai. Gadis kota itu memang sama sekali belum pernah melaksanakan semua salat yang disebutkan oleh Ayu.

“Lah, terus masalahnya apa? Kok kamu sampe kaget gitu.”

“Ya, secara kita tadi aja acara ... apa tuh, lalaran?”

“Iyo lalaran!”

“Nah, iya tuh, acara itu tuh, selesainya aja sampe malem, terus jam segini masih belum tidur, besok sebelum Subuh kita harus udah bangun. Emang nggak ada kebijakan gitu dari pesantren?”

“Ini tuh, urusannya bukan sama pesantren. Tapi urusan kita sama Allah. Kalo kamu mau salat pas matahari sudah muncul, itu namanya bukan salat Subuh. Tapi salat Dhuha!”

“Ya tapi kan, pasti masih ngantuk, Ay!” ucap Ameera sedikit manja.

“Mangkanya biar Ndak ngantuk, kamu cepetan tidur!”

Ayu segera membenamkan kepalanya ke dalam selimut, sedangkan Ameera kembali meluruskan tubuhnya di atas ranjang. Ya ampun, punya dosa apa sih, gue bisa sampe ke tempat ini?

***

Udara masih cukup dingin merasuk ke dalam tulang. Bagi Ameera, ini adalah pengalaman pertama yang tidak akan pernah ia lupakan. Di mana ia harus mengambil air wudhu saat teman-temannya di kota sedang enak tertidur pulas di atas kasur empuk. Setelahnya ia segera membalut tubuhnya dengan mukena.

Meskipun dirinya belum banyak hafal bacaan salat Tahajjud beserta Witir, tetapi dirinya merasa tenang lantaran ada Ayu, sahabat barunya yang dengan senang hati mengajarinya. Gadis itu terlihat menurut saja terhadap instruksi Ayu. Sementara dari shaf paling depan, tepat di dekat mimbar, seorang pemuda tengah memperhatikan kedua gadis yang sedang sibuk belajar praktik salat Tahajjud. Pemuda itu tersenyum. Ayu yang menyadari putera kiyai besarnya sedang memperhatikan ia dan Ameera, maka gadis itupun mengangguk seraya membalas senyum orang yang akrab disapa “Gus Ahmad” oleh para santri.

“Udah, Ay! Apa lagi?” tanya Ayu setelah salat Witirnya selesai.

“Kamu bisa bacaan doanya kan, Ra?”

Ameera menggeleng.

Ayu menyeringai seraya menggaruk dahinya yang tidak gatal. Dirinya benar-benar tak menyangka jika gadis cantik di hadapannya ini benar-benar belum paham tentang agamanya sendiri. “Tapi kamu bisa ngaji kan, Ra?”

“Sedikit-sedikit, sih!”

Ayu beranjak bangun, melangkah mendekati sebuah lemari kecil yang ada di sudut ruangan masjid, tepat dekat dnegan pintu pembatas antara ruang salat dengan serambi. Tak berapa lama kemudian, gadis Jawa itu kembali ke tempatnya semula dengan membawa sebuah buku yang baru saja diambilnya dari lemari.

Ayu membuka buku tuntunan salat sunnah. “Nih, kamu baca sekaligus doa ini!” ucapnya setelah mendapati halaman yang dicarinya dan lekas memberikannya kepada Ameera.

Ameera menatap tajam pada buku yang dipegangnya. “Ya ampun, Ay! Ini kan, panjang banget!”

“Jangan ngeluh, Ameera! Aku yakin kamu pasti bisa.”

“Ih, dulu gue sekolah hafalannya nggak gini-gini amat, deh!” keluh Ameera lagi.

“Ini bukan sekolah, Ra! Ini pesantren!” tegas Ayu mengingatkan.

Ameera berdecak seraya menggigit bibirnya. Rasanya ia enggan untuk melaksanakan titah dari Ayu. Menurutnya ini benar-benar konyol. Ide Om Roni memasukkannya ke pesantren benar-benar tak disukainya. Namun, sesaat ia menoleh kepada Ayu. Wajah gadis itu terlihat sangat berharap Ameera bersedia melakukan kemauannya. Tumbuh rasa iba di benak Ameera. Secara perlahan, sedikit terbata Ameera mulai membaca sebuah doa, yaitu doa setelah salat Witir. Sementara Ayu dengan senang hati membimbingnya. Sementara dari kejauhan, si pemuda soleh itu masih terus memperhatikan kedua gadis yang duduk di shaft paling ujung belakang.

“Kenapa, Mad? Ada yang aneh sama Ayu dan temannya?” tanya Samsul seketika yang mendapati Ahmad sedang terdiam memperhatikan Ayu dan Ameera.

“Ah, Ndak, Sam!” sahut Ahmad. “Itu yang sama Ayu siapa sih, Sam? Kok, kayaknya aku belum pernah liat?” tanyanya kemudian.

“Oh itu, santriwati baru. Orang Jakarta.”

“O ... pantesan.”

“Cantik yo, Mad?” Entah pertanyaan itu benar-benar ditujukan untuk memuji, atau hanya sedang menggoda Ahmad.

“Kamu ini, Sam, mbok yo kalo bertanya itu Ndak usah yang aneh-aneh!”

“Loh, seng aneh-aneh ki yo sopo? Lawong aku tanyanya beneran.”

“Namanya perempuan itu ya cantik tho, Sam. Kalo ganteng itu kamu!” ujar Ahmad.

“Lah terserah kuwe lah, Mad!” Samsul lebih baik menyerah ketimbang harus berdebat dengan Ahmad yang jelas-jelas tingkat kecerdasan berbicaranya belum ada yang mampu menandingi.

“Sudah, daripada kita ngomongin orang, mending sekarang kita ngaji, sambil nunggu Subuh. Tapi jangan lupa Qabliyah-nya!”

“Inggih. Pak Kiyai Ahmad!” sahut Samsul dengan gurauannya.

 Ahmad menggeleng seraya tersenyum. Baginya Samsul bukan hanya rekanan kerja di pesantren. Namun sudah seperti saudara kandungnya sendiri. Masa kecil keduanya dilalui bersama-sama.

 Kiyai Husein sengaja mengajak Samsul untuk tinggal bersamanya. Selain rasa kasihan karena laki-laki yang usianya lebih tua beberapa bulan saja dari Ahmad itu merupakan anak yatim piatu, beliau juga mengharapkan Samsul dapat menjadi saudara bagi Ahmad yang merupakan anak semata wayang. Bahkan, semua yang dimiliki Ahmad, turut juga diberikan kepada Samsul. Hanya saja, pemuda itu memiliki kesadaran diri mngenai statusnya.

Meskipun Kiyai Husein dan Bu Nyai bersedia menyekolahkan Samsul, tetapi pemuda itu menolak keras untuk dikuliahkan. Samsul lebih memilih fokus pada pesantren. Begitupun dengan urusan pesantren, walau dirinya sudah lebih banyak membantu kemajuan pesantren daripada Ahmad, tapi dia juga enggan jika dijadikan pengganti Kiyai Husein sebagai pimpinan pondok. Baginya, Ahmad lebih berhak menyandang status itu. Padahal, Ahmad sendiri tidak berharap ayahnya akan memberikan amanah besar itu kepadanya.

***

Kamar sudah rapi. Ameera juga sudah menyapu lantai. Sejenak ia merebahkan tubuhnya di atas salah satu ranjang yang ada di bagian bawah. Matanya mengerjap beberapa kali seraya mengupa “ Ya ampun, sumpe gue ngantuk banget!”

“Assalamu’alaikum.” Dua orang gadis masuk ke dalam kamar.

Ameera segera beringsut bangun. “W*’alakumussalam.”

Kedua gadis di hadaan Ameera tercengang memperhatikannya dari ujung kepala hingga ujung kaki lalu kembali ke kepalanya lagi.

“Ada yang aneh, ya?” tanya Ameera heran.

“Kamu siapa?” tanya salah satu gadis yang mengenakan jilbab warna hitam bertali belakang.

“Dia Ameera!” Ayu sudah berada di ambang pintu, lalu mendekat kepada ketiga temannya. “Dia santri baru di sini. Baru saja dateng kemarin sore,” jelasnya.

“Hai, Ameera! Aku Rumi, dan ini Kendis.” Keduanya tampak tersenyum ramah kepada Ameera. Sementara si gadis kota itu hanya mengangguk, sama persis ketika dirinya baru berkenalan dengan Ayu kemarin sore.

Rumi dan Kendis merasa aneh atas sikap teman baru mereka. Sejenak keduanya saling bersitatap. Sedangkan Ayu paham betul apa yang di dalam benak kedua sahabat lamanya. Karen sebelumnya ia pun merasakan hal yang sama seperti mereka. “Udah, Ndak usah banyak mikir!” sarannya kepada Rumi dan Kendis. “Ameera ini bukan manusia aneh yang perlu kalian takutkan,” imbuhnya.

“Sorry ya, Rumi, Kendis. Bener kok apa yang Ayu bilang. Gue bukan orang aneh. Tapi emang gue bukan orang yang gampang nerima orang baru,” ucap Ameera menjelaskan. "Maksud gue ... bukan orang baru juga, sih. Tapi gue yang nggak mudah beradaptasi di lingkungan baru. Iya ... gitu maksud gue,” ubah Ameera sedikit kikuk.

“O ... kalo soal itu kami ngerti, kok. Iya kan, Ndis?” ucap Rumi beralih ke Kendis.

“Iya, bener kata Rumi. Dulu juga kami begitu. Kalo kata orang kota, namanya nerpes?”

“Nervous kali, bukan nerpes!” gumam Ameera lirih.

“Mbok ya, kalo ngomong ki seng bener tho, Ndis! Bukan nerpes! Tapi nervous!” tegas Rumi.

“Yo iku maksudku loh, Rum! Jan ... lambeku ki angel nek kon ngomong bahasa Inggris!”

“Halah, biasa makan tiwul aja, kok sok-sokan ngomong bahasa Inggris!” celoteh Rumi.

Perbincangan mereka sungguh sangat mengundang gelak tawa. Seketika ruangan berukuran 3x4 meter itu riuh, pecah dengan kekocakan dan ketengilan Rumi dan Kendis. Ameera kini mulai dapat membaur dengan ketiga teman barunya, meskipun perkenalan mereka terbilang sangat baru. Namun, untuk sesaat Ameera dapat melupakan kekesalannya terhadap Om Romi. Entah sudah sampai di rumah atau belum, Ameera sama sekali tak memikirkan lelaki yang sudah mengasuhnya sejak kedua orang tuanya meninggal beberapa tahun yang lalu.

Bagi Ameera, saat ini dirinya ingin berusaha menerima keputusan sepihak sang paman. Setidaknya ini awal yang mengesankan, walau sebenarnya pasti di hari-hari selanjutnya ia masih akan menemui hal baru yang sebelumnya tak pernah ia jalani. Hafalan doa akan menjadi makanan sehari-harinya. Dirinya hanya berharap, Ayu dan kedua temannya yang lain akan bersedia membantunya andaikata menemukan sebuah kesulitan

Bab terkait

  • Dua Sisi   Dapur

    Senin pagi merupakan awal pekan bagi setiap orang menyusun rencana satu minggu ke depan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Ameera. Gadis itu terlihat tak bersemangat. Kegiatan paginya diisi dengan bersih-bersih kamar dan teras depan. Sementara dari jarak yang lumayan jauh, tepatnya di halaman depan kelas, para murid yang masih duduk di bangku MI, Mts, dan MA, semuanya melaksanakan upacara bendera.“Kalo liat yang kayak gitu, rasanya pengen balik ke Jakarta dan sekolah lagi. Seru kali, ya?” Ingatan Ameera kembali beralih ke masalalu, di mana ia dapat merasakan kebahagiaan bersama teman-teman sekolahnya. Namun, itu hanya tinggal kenangan. Kemauan Om Roni terlalu besar. Ameera merasa sangat benci kepada pamannya. “Gue nggak nyangka, Om Roni setega ini ke gue!”“Tega gimana?” Pertanyaan darri seseorang membuyarkan lamunan Ameera. Rupanya sudah sejak tadi Rumi sudah berada di belakangnya.“Eh, lo, Rum?”“Ka

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-09
  • Dua Sisi   Sial

    Para santri semua telah berada di posisinya masing-masing mengantri di dapur umum untuk mengambil jatah sarapan mereka. Sudah biasa hingar bingar terjadi tatkala semua telah merasa lapar. Tak jarang dari beberapa santriwan yang memilih mengambil makanan dengan menggunakan naman besar. Bude Darmi akan mengisi wadah mereka dengan porsi yang cukup dimakan untuk 5 hingga 7 orang. Kemudian para santriwan akan membawa nampan mereka ke kamar dan menyantap bersama di sana.Ameera yang tak terbiasa makan beramai-ramai seperti itu merasa kikuk menyantap makanannya. Sejenak ia sempat hanya menatap piringnya lalu menoleh ke sekitarnya. Semua teman-temannya makan dengan lahap, padahal hanya dengan sayur dan lauk ala kadarnya yaitu sayur santan terung yang dicampur cabai hijau ditambah lauk tempe goreng tanpa tepung.“Kenapa kamu Ndak makan, Ra?” tegur Rumi yang duduk tepat di sisi kirinya.“Nggak n

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-15
  • Dua Sisi   Bidadari Pesantren

    Kehidupan Ameera di pesantren cukup membawa ke arah yang positive. Seminggu pertama berada di tempat yang teramat asing baginya, membuatnya sedikit mulai memahami jika menjadi santriwati itu memiliki aturan-aturan khusus yang harus ia patuhi. Salah satunya adalah ia harus terbiasa mengenakan pakaian muslimah.Bagi Ameera, ini adalah hal yang cukup rumit dan sangat menguji sifat sabar dan nilai keikhlasannya. Bagaimana tidak? Sebelumnya ia hanya gadis kota yang tak pernah berjilbab, dan selalu tampil casual dengan celana jeans atau kulot ¾ dilengkapi kaos, sama seperti teman-temannya.Om Roni sudah menyiapkan semua kebutuhannya. Termasuk pakaian muslimah. Siang yang terik cukup membuat Ameera merasa gerah. Selepas melaksanakan salat Dzuhur berjamaah, gadis bertubuh langsing itu segera berlari dari masjid menuju kamarnya. Tanpa menutup pintu, ia segera menghidupkan kipas angin dan melepas mukenanya dengan cepat. Ameera merebahkan tubuh

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-01
  • Dua Sisi   Calon yang soleh

    “Peh ...” Ameera melepeh buah sawo yang sudah digigitnya. “Uh, gue pikir buah sawo dari pohonnya langsung bakalan enak dimakan. Ternyata, nggak ada enak-enaknya sama sekali!”Ameera membuang buah sawo yang masih berada di tangannya lalu bertepuk tangan pelan membersihkan kotoran yang tersisa. Ia kembali duduk di kursi bambu. “Oh ya ampun, mau sampe kapan gue terpenjara di tempat ini?” Ia mulai kembali menggerutu. Lagi-lagi dirinya mengingat perbuatan Om Roni yang menurutnya sudah keterlaluan. “Kalo aja waktu itu gue tahu Om Roni bakalan bawa gue ke sini, pasti gue bakalan kabur duluan.”***“Sebenernya kita mau ke mana, sih, Om?” tanya Ameera yang sejak pagi sudah berada di dalam kendaraan pribadi milik Om Roni. Gadis itu mencoba untuk menerka tujuan pamannya. Namun, ia sama sekali tidak dapat memastikannya. Om Roni sendiri sama sekali tak memberitahunya. Lelaki berusia 38 tahun itu lebih ba

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-03
  • Dua Sisi   Gus Ahmad

    “Pokoknya kita mesti sabar menghadapi sikap Ameera. Kita Ndak boleh kalah sama dia,” ujar Ayu menguatkan kedua sahabatnya.Sikap angkuh Ameera terhadap mereka, sedikitnya membuat Rumy menjadi sedikit kesal. Terlebih setelah apa yang diperbuat Ameera kepadanya, mencubit tangannya hingga sakit. Rasanya kalau bukan karena Ayu yang memintanya, ingin ia pergi mengadu kepada Bu Nyai agar Ameera bisa mendapat hukuman yang setimpal atas perbuatannya.“Tapi dia itu keterlaluan. Sama sekali Ndak dengar omongan kita!” Rumy masih terus mengelus tangannya yang merah.“Iya ... tapi itu pasti karena dia masih baru. Aku yakin, cepat atau lambat Ameera bisa jadi lebih baik,” ujar Ayu meyakinkan. “Coba kamu liat Kendis!” Ayu bangkit dari duduknya dan merapatkan diri ke Kendis yang duduk di kursi belajar, seraya merangkul bahu gadis yang sedikit lemot itu. “Dulu ... kamu sering merasa risih sama kekurangannya. Tapi sekarang Nda

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-14
  • Dua Sisi   Menantu untuk Ummi

    “Kapan kalian mau menikah? Ummi sudah Ndak sabar pengin menimang cucu dari kalian.”Ahmad dan Samsul saling melempar pandang. Sempat sekejap Samsul menyeringai manja kepada Bu Nyai. Sedangkan Ahmad, pemuda bertubuh sedikit kurus itu hanya mengerjap saja tanpa menjawab. Suasana makan malam yang semula tenang dan damai, kini berubah sedikit mencekam. Kiyai Husein dan Bu Nyai menatap dalam wajah kedua putranya.“Ditanya kok malah diam saja!” gumam Bu Nyai.“Nyuwon pangapunten, Ummi. Kita, kan, lagi makan, apa Ndak sebaiknya kita Ndak membahas persoalan itu?” ujar Ahmad kemudian.“Memangnya kalo kita membahas tentang pernikahan kalian di meja makan, salah, ya?” tanya Bu Nyai lagi.“Bukan begitu maksud Ahmad, Ummi!” tegas pemuda bersongkok hitam yang sejak tadi duduk sejajar dengan Samsul.“Wes to, Ummi tenang saja! Sebentar lagi InsyaaAllah Ahmad bakalan menikah,” timp

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-21
  • Dua Sisi   Menikah muda

    Obrolan yang terjadi antara Ayu dan Bu Nyai cukup mengambil alih isi otak Ameera. Seharian sudah ia memikirkan perkara serius ini. Padahal, Ayu yang jelas-jelas berkaitan erat dengan permasalahan itu justru terlihat santai.“Ay, lo nggak risih tuh, sama omongan Bu Nyai tadi pagi?” selidik Ameera seraya mempersiapkan mukenanya. Malam ini selepas salat Isya mereka akan mengikuti kegiatan rutin malam hari yaitu pengajian Al Qur’an.“Risih gimana?” tanya Ayu heran.“Ya ... lo, kan, masih muda. Masak lo mau, sih, dinikahin sama anaknya Bu Nyai!” cetus Ameera lantang.Rumy dan Kendis, pun terkejut. Mereka segera mendekat kepada Ayu yang sedang memilah Al Qur’an di lemari kecil dekat meja belajar. “Hah! Seng tenane, Ay?” Rumy belum percaya. “Kamu mau dijodohin sama Gus Ahmad?”“Wah ... selamat, yo, Ay!” Kendis mengangsurkan tangannya kepada Ayu. Sementara Ayu lekas m

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-28
  • Dua Sisi   Alasan Om Roni

    Seminggu sudah Ameera tak berada di rumah. Rasanya sungguh aneh. Biasanya rumah akan berantakan dengan segala kejorokan gadis berusia 18 tahun itu. Tapi kini justru tampak rapi.Seperti pagi ini, Om Roni menikmati sarapannya sendirian. Biasanya Ameera akan banyak berbincang dengannya di meja makan. Terutama membicarakan izin keluar dengan teman-temannya.“Assalamu’alaikum,” suara seseorang memecah keheningan meja makan.Om Roni menoleh dan mendapati wanita berjilbab bernama Nana, sekretaris sekaligus calon istrinya. “Wa’alaikumussalam!”“Wah, aku telat, ya?”“Telat?”“Iya. Kamu pasti udah sarapan. Padahal, niat aku mau ajakin kamu sarapan bareng. Tadi aku bikin nasi goreng buat kita berdua.”Om Roni menghela napas sembari tersenyum. Ia beranjak, kemudian menarik salah saatu kursi makan dari bawah meja dan mempersilakan Nana untuk duduk bersamanya.&ld

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-28

Bab terbaru

  • Dua Sisi   Surga Untuk Orang tua

    Seperti yang Ahmad katakan kepada Ameera, malam berikutnya ia menunggu gadis kota itu di masjid. Sedangkan Ameera masih terus merasa ragu hendak menemuinya. Ameera sibuk memilin ujung jilbabnya hingga nyaris kusut membentuk pola garis tidak beraturan lagi. Ia berdiri di sudut serambi seraya terus memfokuskan iris ke arah Ahmad yang masih membaca kitab di dekat mihrab.“Udah ... sana buruan temuin. Jangan sampai beliau menunggu lama!” titah Rumy sambil terus mendorong siku Ameera.“Masa gue, sih, yang mesti nemuin dia duluan? Kan, dia yang mau. Bukan gue!”“Kamu itu santri di sini, Ra. Dan beliau gurumu!” tegas Rumy.Ameera berdecih kesal. Ucapan Rumy seolah ingin memaksanya untuk patuh pada aturan yang dibuat oleh Ahmad secara sepihak. Padahal, perdebatan yang terjadi kemarin malam antara dirinya dan Ahmad sama sekali tidak ada hubungannya dengan pesantren. Kenapa gue mesti patuh? Rumy mer

  • Dua Sisi   Tertunda

    Mampus, deh, gue! Kok bisa salah ngira gini, sih! Gue pikir dia suaminya Ayu. Emangnya Abah punya anak selain dia, ya?Wajah Ameera mengerut. Rasa tidak enak hati seketika langsung menghinggapinya. Ahmad yang masih terus menatapnya di dalam remang cahaya, seakan mampu menangkap ekspresi yang ia tampilkan."Udah! Aku Ndak apa-apa, kok. Aku juga Ndak marah. Tapi lain kali jangan asal menuduh kalo Ndak paham masalah yang sebenarnya, ya!""Gue tekankan kalo gue bukan menuduh. Tapi gue cuma salah ngira aja! Lagian ... Yang gue denger anak Abah itu cuma satu.""Anak Abah banyak," kata Ahmad sembari mempersilakan Ameera melanjutkan langkahnya."Sebentar! Lo bilang anak Abah banyak, anak yang mana? Atau ... Abah punya anak dari istri yang lain, ya?" selidik Ameera.Ahmad mendengkus. Pertanyaan Ameera kali ini dirasa cukup keterlaluan. Menurutnya. Jika tadi ia sama sekali tidak marah, tetapi kali ini hatinya merasa tidak terima. Ameera meman

  • Dua Sisi   Salah Duga

    "Hus! Kalo ngomong, tuh, mbok jangan sembaranga tho, Ra!" protes Rumy sambil mendelik. "Mana mungkin suami Ayu tega ninggalin Ayu pas malam pertama begini," imbuhnya. "Ya ampun, Rum! Siapa juga, sih, yang ngomong sembarangan!" Ameera merasa tdak terima. "Orang barusan gue ketemu sama suaminya, kok!" akunya tak mau kalah dari Arumi. Mendengar tentang yang terjadi di antara kedua teman sekamarnya, membuat Kendis merasa tidak tenang. Gadis ya

  • Dua Sisi   Malam pertama

    Sepuluh hari kemudian.“Saya terima nikahnya Ayu Chumaira binti Zainudin dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” Ucapan sang pengantin pria terdengar sangat lugas, menggema ke seantero penjuru desa.Malam yang selama sekian hari dinantikan oleh segenap penduduk pesantren. Sebuah hajat besar telah terlaksana dengan khidmat. Seorang pemuda mengenakan galabiyya berwarna putih duduk bersimpuh di hadapan sang ayah, tepat di belakang mimbar masjid pesantren.Doa pernikahan memenuhi ruang masjid. Sementara di serambi, Ayu tampak anggun mengenakan pakaian pengantin berwarna putih. Di sisi kanan dan kirinya diapit oleh Bu Nyai dan Bude Darmi. Rasa haru menyelinap masuk ke benaknya. Ia tak mengira statusnya akan berubah secepat ini. Impiannya mendapatkan sosok imam yang soleh telah terkabul.Ayu menggenggam erat jemari Bu Nyai dan Bude Darmi secara bersamaan. Kaca-kaca di pelupuk mata seolah akan pecah dengan segera. Se

  • Dua Sisi   Ayu Chumaira

    Rasa cinta tak akan mampu mengubah takdir seseorang. Namun, rasa cinta mampu membawa seseorang menggapai asa yang tak pernah terduga. Begitulah kiranya seorang gadis bernama Ayu Chumaira mendefinisikan rasa cintanya.Seumur hidupnya ia tak pernah mencintai lain daripada Tuhan. Bahkan, ia bukanlah orang yang selalu memikirkan dirinya sendiri. Cintanya kepada Rabb melebihi apa pun di benaknya. Sampai tiba sebuah lamaran dari ibu pengasuh pesantren tempatnya menimba ilmu agama, ia masih enggan untuk membicarakan perihal cinta.“Kamu benar sudah mantep, Nduk?” selidik Bude Darmi.Sejak pagi Ayu masih belum keluar dari dapur umum. Seperti biasa, ia tidak akan meninggalkan Bude Darmi dengan segudang piring kotor bekas sarapan para santri.“Insyaa Allah, Bude!” jawab Ayu yang tengah mengumpulkan makanan sisa.“Seberapa yakin?”“Insyaa Allah ... seyakin Bu Nyai memilih aku m

  • Dua Sisi   Gadis kota masuk desa

    Suasana kediaman Kiyai Husein cukup tenang. Wajar saja, di rumah itu hanya hidup empat orang dewasa yang sudah memiliki kesibukan masing-masing. Hanya Bu Nyai saja yang terbilang nyaris tidak memiliki kegiatan. Beliau hanya seorang ibu rumah tangga biasa, yang sehari-harinya diisi dengan berbagai kegiatan keagaamaan.Seperti yang dikatakan oleh Ahmad, umminya ingin bertemu dengan juru masak pesantren. Maka, Bude Darmi bergegas menemui Bu Nyai. Kebetulan wanita paruh baya itu tengah mengaji di gazebo yang ada di halaman belakang rumah.Keduanya memilih untuk berbincang di sana. Selain tempatnya enak, di sana mereka juga dapat menikmati ikan hias peliharaan Kiyai Husein.“Kenapa mesti saya, tho, Bu? Kenapa Bu Nyai Ndak menyewa jasa catering saja?” tanya Bude Darmi seraya memilin ujung jilbabnya yang menjuntai di depan dada.“Ini bukan Cuma hajat kami, tapi ini juga hajat pesantren. Kami ingin Yu Darmi dan para santriwati yang mengolah semu

  • Dua Sisi   Mulai Baik

    “Nduk, kamu cuci sayurannya, yo!” titah Bude Darmi kepada Ameera. Sejak siang Ameera berada di dapur umum. Ia merasa jenuh terus bersama teman-temannya di asrama. Padahal kegiatan di pesantren cukup padat. Ahmad meminta para santri untuk menghafal kitab yang sudah ia ajarkan sebelumnya. “Bude udah lama kerja di sini?” tanya Ameera yang mulai sibuk mencuci sawi. “Walah, sampe lupa berapa lamanya. Yang pasti sejak Gus Ahmad dan Ustadz Samsul masih kecil-kecil.” Perempuan paruh baya itu sibuk mengulek bumbu. Ameera menghentikan aktivitasnya. Ada yang terdengar aneh baginya. “Ustadz Samsul? Dia siapa, Bude?” Ameera dibuat penasaran. Bude Darmi beralih kepada Ameera. “Dia anak angkatnya Kiyai Husein.” “Oh ...” Ameera manggut-manggut. “Memangnya kamu Ndak pernah tahu sama Ustadz Samsul?” Ameera mencebik seraya menggeleng. “Wah, sayang banget kalo kamu Ndak tahu.” “Kenapa?” Bude Darmi melanjutkan pekerj

  • Dua Sisi   Alasan Om Roni

    Seminggu sudah Ameera tak berada di rumah. Rasanya sungguh aneh. Biasanya rumah akan berantakan dengan segala kejorokan gadis berusia 18 tahun itu. Tapi kini justru tampak rapi.Seperti pagi ini, Om Roni menikmati sarapannya sendirian. Biasanya Ameera akan banyak berbincang dengannya di meja makan. Terutama membicarakan izin keluar dengan teman-temannya.“Assalamu’alaikum,” suara seseorang memecah keheningan meja makan.Om Roni menoleh dan mendapati wanita berjilbab bernama Nana, sekretaris sekaligus calon istrinya. “Wa’alaikumussalam!”“Wah, aku telat, ya?”“Telat?”“Iya. Kamu pasti udah sarapan. Padahal, niat aku mau ajakin kamu sarapan bareng. Tadi aku bikin nasi goreng buat kita berdua.”Om Roni menghela napas sembari tersenyum. Ia beranjak, kemudian menarik salah saatu kursi makan dari bawah meja dan mempersilakan Nana untuk duduk bersamanya.&ld

  • Dua Sisi   Menikah muda

    Obrolan yang terjadi antara Ayu dan Bu Nyai cukup mengambil alih isi otak Ameera. Seharian sudah ia memikirkan perkara serius ini. Padahal, Ayu yang jelas-jelas berkaitan erat dengan permasalahan itu justru terlihat santai.“Ay, lo nggak risih tuh, sama omongan Bu Nyai tadi pagi?” selidik Ameera seraya mempersiapkan mukenanya. Malam ini selepas salat Isya mereka akan mengikuti kegiatan rutin malam hari yaitu pengajian Al Qur’an.“Risih gimana?” tanya Ayu heran.“Ya ... lo, kan, masih muda. Masak lo mau, sih, dinikahin sama anaknya Bu Nyai!” cetus Ameera lantang.Rumy dan Kendis, pun terkejut. Mereka segera mendekat kepada Ayu yang sedang memilah Al Qur’an di lemari kecil dekat meja belajar. “Hah! Seng tenane, Ay?” Rumy belum percaya. “Kamu mau dijodohin sama Gus Ahmad?”“Wah ... selamat, yo, Ay!” Kendis mengangsurkan tangannya kepada Ayu. Sementara Ayu lekas m

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status