“Maaf, Pak Roni. Ada yang mau saya tanyakan sama Pak Roni!” ucap Bu Nyai setelah ia kembali dari kamar Ameera. Rasa penasarannya akan sosok Ameera yang cenderung diam mendorongnya untuk berupaya mencari tahu mengenai kondisi santriwati barunya.
“Iya, Bu Nyai, silakan saja!”
“Kalau saya perhatikan, sepertinya Ameera cenderung diam. Apa dia benar-benar anak yang pendiam?” selidik Bu Nyai.
Kiyai Husein justru merasa terpancing penasaran atas pertanyaan yang diutarakan oleh istrinya. “Ada apa to, Ummi? Kok tanyanya sampai segitunya?”
“Bukan apa-apa, Bah! Ummi hanya merasa heran, kenapa setiap kali Ummi ajak bicara, Ameera itu seperti Ndak fokus untuk menjawab pertanyaan Ummi!”
“Apa yang dikatakan oleh Bu Nyai memang benar. Akhir-akhir ini Ameera banyak diam. Itu sebabnya saya mau dia nyantri di sini, biar dapat ilmu agama sekaligus teman-teman yang baik.”
Kiyai Husein dan Bu Nyai bersitatap. Dari sorot mata Bu Nyai seperti sedang meragukan penjelasan dari Om Roni. Namun, ia berupaya untuk menepiskannya. Kalau dipikir-pikir alasan Om Roni ada benarnya. Sebaiknya gadis seusia Ameera jika belum menikah di tempatkan di pesantren saja. Barangkali nanti dia akan menemukan jodoh yang tepat.
***
Ameera sedang sibuk dengan gawainya. Beberapa chat dan direct message masuk via akun media sosial pribadinya. Namun, gadis itu tak langsung membukanya. Dia lebih memilih untuk berselancar di beranda. Satu demi satu foto yang berseliweran di layar handphonenya ia scrol. Beberapa ada yang dengan ikhlas ia aktifkan tombol dengan emoticon love di pojok kiri bawah foto. Tapi, lebih banyak yang tak dihiraukannya.
Setelah beberapa foto terlewati, secara spontan jari telunjuknya berhenti tepat di sebuah foto bercaption “Holiday” dengan latar belakang pemandangan sebuah pantai di kawasan Anyer.
“Jadi dia lagi liburan? Kok dia nggak bilang, sih?” Ameera mulai merasa kesal terhadap si pengunggah foto. Kemudian jarinya lekas menyentuh tombol direct message yang sudah aktif. Lagi-lagi Ameera tak menghiraukan DM dari teman-teman yang sudah mengantre minta untuk dibaca. Matanya fokus mencari akun dengan nama “Penjahat_Cinta”. Namun, ternyata akun itu sama sekali tak mengirim pesan kepadanya.
Perasaan kesal semakin tumbuh di benak Ameera. Namun, gadis itu mencoba untuk meredamnya. Jari-jarinya dengan cekatan menari di atas layar gawai. Ia merangkai huruf demi huruf menjadi beberapa kalimat untuk akun Penjahat_Cinta.
Enak nih, yang lagi liburan. Kalo gue lagi mulai nyantri di Jogja. Kapan lo mau jengukin gue ke sini? Begitulah kalimat yang Ameera kirim untuk temannya. Ameera yang notabenenya lahir dan besar di Jakarta, selalu berbahasa layaknya anak perkotaan lainnya.
Sayang sekali, si pemilik akun Penjahat_Cinta sedang tidak aktif. Kemudia Ameera memilih untuk membuka satu per satu pesan dari akun yang lainnya. Kebanyakan dari mereka hanya meng-tag Ameera pada stories masing-masing. Ameera kembali menutup I*******m dan beralih pada pesan w******p.
Lo ke mana aja nggak ada kabar? Anak-anak pada nanyain, tuh.
Pesan itu seolah mengingatkannya jika beberapa hari belakangan dia sama sekali tidak bertemu dan berkumpul bersama teman-temannya. Dan itu semua juga berkat larangan Om Roni lantaran ia harus mempersiapkan segala keperluan yang akan dibawa ke pesantren.
Sorry, gue udah nggak di rumah lagi. Om Roni masukin gue ke pesantren.
Pesan terkirim. Ameera memilih untuk mengunci ponselnya. Kemudian ia bangkit, lalu melangkah ke pintu, kemudian berdiri di ambangnya seraya memperhatikan suasana di koridor. Beberapa santriwati sedang berbincang. Sesekali mereka pun memperhatikan Ameera sambil berbicara lirih. Sementara Ameera tak mengambil pusing. Dia menyadari statusnya sebagai orang baru di sana, pasti akan banyak orang yang akan membicarakannya. Ameera mengalihkan tatapannya kepada segerombolan santriwan yang sedang bermain futsal. “Gue pikir anak pesantren kerjaannya Cuma ngaji doang. Ternyata mereka juga punya hobi lain?” Ameera bersenandika.
“Assalamu’alaikum!” sapa seorang gadis datang menghampiri Ameera.
Ameera tercekat. Sedari tadi dia memang sedang fokus kepada para santriwan yang sedang bermain futsal, sehingga ia tak menyadari atas kedatangan seorang santriwati yang sebaya dengannya. “Eh, Wa’alaikumussalam!” sahutnya sedikit kikuk.
“Kamu santri baru, ya?” Gadis bertunik hijau itu terlihat ramah.
“Iya. Baru aja dateng.”
“Kenalin, aku Ayu!” ucap Ayu seraya mengulurkan tangannya.
Ameera ragu menjabat tangan Ayu. “Aku Ameera!” ucapnya kemudian.
“Kamu tinggal di kamar ini?” tanya Ayu seraya melongok ke dalam.
Ameera mengangguk, dan lagi-lagi itu juga dilakukan dengan sedikit keraguan. Tentu saja ini mengundang rasa heran dari benak Ayu. Ameera ini aneh!
Ayu melangkah masuk ke dalam kamar. “Kalo gitu ... berarti kita sekamar!” Ayu terdengar sangat bersemangat.
“Terus, yang dua lagi siapa?”
“Oh itu ... mereka lagi pulang. Tapi sebentar lagi mereka pasti dateng. Namanya Kendis sama Rumi.”
Mata Ameera mengekor terus ke manapun tubuh Ayu bergerak.
“Kamu masih sekolah atau sudah lulus, Mir?” tanya Ayu seraya memukuli tempat tidurnya dengan sapu lidi khusus.
“Mir???” tanya Ameera bingung.
Ayu menghentikan aktivitasnya, beralih menatap Ameera. “Iya, nama kamu Ameera, kan?”
“Iya, Ameera. Bukan Mir.”
Ayu terkekeh. Suara tawanya cukup jelas, tapi tetap sopan. “Maksudku nama kamu Ameera, jadi aku sebut singkatnya Mir, Mi ... Ra!”
“Emangnya boleh ngegantiin nama orang seenaknya aja?”
“Iya, deh. Maaf ya, aku Ndak bermaksud mengganti nama kamu,” ucap Ayu penuh sesal. “Terus, kamu belum menjawab pertanyaanku tadi! Kamu masih sekolah apa sudah lulus?”
“Gue baru lulus.”
Tiba-tiba telepon genggam Ameera berdering. Gadis yang sejak tadi masih berdiri di ambang pintu segera mengambil barang berbentuk segiempat pipih itu dari dalam tasnya. Ameera berniat hendak menerima panggilan teleponnya di luar. Namun baru saja mendekat ke pintu, Ayu selangkah lebih dulu menutup daun pintu rapat-rapat. “Jangan terima telepon di luar! Bisa berbahaya,” ucapnya lirih.
Ameera mengurungkan niatnya. Ia segera kembali dan duduk di tepian ranjang milik Ayu. Dengan nada pelan Ameera berbicara dengan seseorang yang berada di ujung telepon. Sementara Ayu terdiam mendengarkannya.
“Halo!”
...
“Iya, gue sekarang lagi di Jogja.”
...
“Ya bisa-lah! Terus, kapan lo jengukin gue?”
...
Entah apa yang dikatakan orang itu sehingga Ameera tiba-tiba tertawa cukup keras. Hal itu membuat Ayu kembali berpikir mengenai si santriwati baru itu. Ternyata dia bisa tertawa juga tho? Aku pikir dia bener-bener pendiam.
“Bila perlu lo ikutan aja nyantri di sini. Biar gue ada temennya!”
Secara tiba-tiba sambungan telepon Ameera putus. Gadis manis itu mendecak kesal. “Ya ... kok putus, sih?” ucapnya sambil memeriksa signal di handphonenya. “Signalnya jelek amat, sih!” imbuhnya lagi.
“Di sini memang susah signal,” ujar Ayu. Gadis itu kemudian duduk di samping Ameera. “Kalo aku boleh kasih saran, mendingan kamu titipin hape-mu itu di kantor skretariat pesantren.”
“Kenapa mesti dititipin?” tanya Ameera heran.
“Di pesantren ini Ndak bisa sesuka hati pegang hape! Cuma waktu-waktu tertentu saja.”
“Berarti pesantren ini nggak asik dong! Masak pegang hape aja nggak boleh,” gerutu Ameera. Baginya sungguh tidak masuk di akal. Bukankah di zaman seperti saat ini, alat komunikasi memang sudah menjadi barang umum yang wajib dipakai masyarakat.
“Bukan Ndak boleh, tapi ada jadwalnya. Di pesantren ini rata-rata semua santrinya punya hape, kok. Aku juga punya. Tapi kami titipkan di kantor.”
***
Denting jam dinding di kantor pesantren terdengar sangat jelas. Hari Jum’at merupakan hari libur dari segala bentuk proses belajar mengajar di pesantren. Jadi wajar saja jika kantor sepi tanpa adanya staf. Seorang pemuda tengah sibuk menata buku-buku di lemari kantor. Beberapa kardus berukuran sedang berada di mejanya. Pemuda bernama Ahmad itu memilah buku dan mengelompokkan sesuai dengan bagian-bagian judul buku yang saling berkaitan.
“Assalamu’alaikum, Gus!” Suara Ayu memecahkan konsntrasi Ahmad.
Seketika lelaki berusia dua puluh tiga tahun itu beralih ke sumber suara. “Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”
Ayu melangkah menuju meja Ahmad. Sementara Ameera mengekor di belakangnya. Ahmad sempat memperhatikan cara Ameera berjalan sambil menunduk. “Iya, Yu. Ada yang bisa saya bantu!” ucap Ahmad kembali fokus kepada Ayu.
Ameera tampak memberikan handphonenya kepada Ayu. Sedikit pun ia tak menatap wajah pemuda di hadapannya.
“Begini, Gus. Ini Ameera, santriwati baru. Beliau mau menitipkan hape-nya pada pihak pesantren.” Ayu lekas mengangurkan handphone milik Ameera di atas meja.
Netra Ahmad beralih pada benda berbentuk segiempat pipih itu, kemudian kembali pada Ayu dan Ameera. Seulas senyum terbit di wajahnya, hingga membuat ketampanannya semakin menggemaskan. “Biar nanti saya sampaikan ke pihak yang lebih berwenang mengurus ini.”
“Kalo begitu, kami permisi dulu ya, Gus. Monggo, Assalamu’alaikum.” Ayu dan Ameera segera meninggalkan ruangan yang penuh dengan lemari serta meja kursi para pengajar. Sementara Ahmad justru tertegun menatap kepergian keduanya. Bahkan, Ahmad dan Ameera sempat bertemu mata ketika gadis itu menoleh ke arahnya, kemudian tersenyum simpul diiringi anggukan kecil dari luar jendela kaca ruang sekretariat pesantren. “Dari mana bidadari secantik itu berasal?” gumam Ahmad.
“Sayang, kamu di sini baik-baik, ya. Om mau waktu kamu pulang ke Jakarta nanti, kamu udah bawa bekal ilmu agama yang banyak!” ujar Om Roni.Padahal sebelumnya Ameera sudah berpesan kepada Bu Nyai, kalau pamannya hendak pulang, beliau tidak perlu menemui Ameera terebih dahulu. Hal itupun telah disampaikan. Namun, sepertinya Om Roni merasa belum puas jika tidak melihat Ameera sekali lagi sebelum dirinya benar-benar meninggalkan keponakannya di pesantren.“Om juga baik-baik, ya. Jaga kesehatannya.”“Tentu. O ya, tadi Om juga udah bilang ke Pak Kiyai Husein dan Bu Nyai, kalo Om Cuma akan nengokin kamu tiga bulan sekali. Terus ... soal keuangan Om titipkan ke rekening pesantren. Jadi, kalo kamu butuh apa pun yang harus dibeli, kamu tinggal bilang aja sama Bu Nyai.”Sungguh, ini benar-benar di luar dugaan Ameera. Dirinya pikir, Om Roni akan memberinya kartu ATM atau kredit card yang sama seperti sebelumnya. Ameera mencebik ke
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00, tetapi Ameera belum dapat memejamkan mata. Ia terbaring di atas ranjang dengan perasaan gelisah. Ayu yang berada di ranjang bawahnya dapat merasakan gerakan Ameera yang seolah tidak nyaman berada di tempat tidurnya. “Kamu kenapa sih, Ra?” Kali ini sapaan untuk Ameera dari Ayu berubah lagi. “Gue nggak bisa tidur nih, Ay!” “Kenapa? Besok kita mesti bangun pagi, loh! Kalo kamu Ndak tidur dari sekarang, bisa-bisa kamu bangun kesiangan.” “Emangnya, kita harus bangun jam berapa?” “Jam 3 biar kita bisa salat malam, witir, sekaligus salat fajar.” Ameera tercekat hingga setengah bangkit, kepalanya menghadap ke bawah tepat di sisi ranjang. “Apa? Sebelum Subuh?” ucapnya sedikit berseru. “Iyo. Kenapa kaget gitu, tho? Memangnya kamu Ndak pernah salat malam?” Ameera hanya menyeringai. Gadis kota itu memang sama sekali belum pernah melaksanakan semua salat yang disebutkan oleh Ayu. “Lah, te
Senin pagi merupakan awal pekan bagi setiap orang menyusun rencana satu minggu ke depan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Ameera. Gadis itu terlihat tak bersemangat. Kegiatan paginya diisi dengan bersih-bersih kamar dan teras depan. Sementara dari jarak yang lumayan jauh, tepatnya di halaman depan kelas, para murid yang masih duduk di bangku MI, Mts, dan MA, semuanya melaksanakan upacara bendera.“Kalo liat yang kayak gitu, rasanya pengen balik ke Jakarta dan sekolah lagi. Seru kali, ya?” Ingatan Ameera kembali beralih ke masalalu, di mana ia dapat merasakan kebahagiaan bersama teman-teman sekolahnya. Namun, itu hanya tinggal kenangan. Kemauan Om Roni terlalu besar. Ameera merasa sangat benci kepada pamannya. “Gue nggak nyangka, Om Roni setega ini ke gue!”“Tega gimana?” Pertanyaan darri seseorang membuyarkan lamunan Ameera. Rupanya sudah sejak tadi Rumi sudah berada di belakangnya.“Eh, lo, Rum?”“Ka
Para santri semua telah berada di posisinya masing-masing mengantri di dapur umum untuk mengambil jatah sarapan mereka. Sudah biasa hingar bingar terjadi tatkala semua telah merasa lapar. Tak jarang dari beberapa santriwan yang memilih mengambil makanan dengan menggunakan naman besar. Bude Darmi akan mengisi wadah mereka dengan porsi yang cukup dimakan untuk 5 hingga 7 orang. Kemudian para santriwan akan membawa nampan mereka ke kamar dan menyantap bersama di sana.Ameera yang tak terbiasa makan beramai-ramai seperti itu merasa kikuk menyantap makanannya. Sejenak ia sempat hanya menatap piringnya lalu menoleh ke sekitarnya. Semua teman-temannya makan dengan lahap, padahal hanya dengan sayur dan lauk ala kadarnya yaitu sayur santan terung yang dicampur cabai hijau ditambah lauk tempe goreng tanpa tepung.“Kenapa kamu Ndak makan, Ra?” tegur Rumi yang duduk tepat di sisi kirinya.“Nggak n
Kehidupan Ameera di pesantren cukup membawa ke arah yang positive. Seminggu pertama berada di tempat yang teramat asing baginya, membuatnya sedikit mulai memahami jika menjadi santriwati itu memiliki aturan-aturan khusus yang harus ia patuhi. Salah satunya adalah ia harus terbiasa mengenakan pakaian muslimah.Bagi Ameera, ini adalah hal yang cukup rumit dan sangat menguji sifat sabar dan nilai keikhlasannya. Bagaimana tidak? Sebelumnya ia hanya gadis kota yang tak pernah berjilbab, dan selalu tampil casual dengan celana jeans atau kulot ¾ dilengkapi kaos, sama seperti teman-temannya.Om Roni sudah menyiapkan semua kebutuhannya. Termasuk pakaian muslimah. Siang yang terik cukup membuat Ameera merasa gerah. Selepas melaksanakan salat Dzuhur berjamaah, gadis bertubuh langsing itu segera berlari dari masjid menuju kamarnya. Tanpa menutup pintu, ia segera menghidupkan kipas angin dan melepas mukenanya dengan cepat. Ameera merebahkan tubuh
“Peh ...” Ameera melepeh buah sawo yang sudah digigitnya. “Uh, gue pikir buah sawo dari pohonnya langsung bakalan enak dimakan. Ternyata, nggak ada enak-enaknya sama sekali!”Ameera membuang buah sawo yang masih berada di tangannya lalu bertepuk tangan pelan membersihkan kotoran yang tersisa. Ia kembali duduk di kursi bambu. “Oh ya ampun, mau sampe kapan gue terpenjara di tempat ini?” Ia mulai kembali menggerutu. Lagi-lagi dirinya mengingat perbuatan Om Roni yang menurutnya sudah keterlaluan. “Kalo aja waktu itu gue tahu Om Roni bakalan bawa gue ke sini, pasti gue bakalan kabur duluan.”***“Sebenernya kita mau ke mana, sih, Om?” tanya Ameera yang sejak pagi sudah berada di dalam kendaraan pribadi milik Om Roni. Gadis itu mencoba untuk menerka tujuan pamannya. Namun, ia sama sekali tidak dapat memastikannya. Om Roni sendiri sama sekali tak memberitahunya. Lelaki berusia 38 tahun itu lebih ba
“Pokoknya kita mesti sabar menghadapi sikap Ameera. Kita Ndak boleh kalah sama dia,” ujar Ayu menguatkan kedua sahabatnya.Sikap angkuh Ameera terhadap mereka, sedikitnya membuat Rumy menjadi sedikit kesal. Terlebih setelah apa yang diperbuat Ameera kepadanya, mencubit tangannya hingga sakit. Rasanya kalau bukan karena Ayu yang memintanya, ingin ia pergi mengadu kepada Bu Nyai agar Ameera bisa mendapat hukuman yang setimpal atas perbuatannya.“Tapi dia itu keterlaluan. Sama sekali Ndak dengar omongan kita!” Rumy masih terus mengelus tangannya yang merah.“Iya ... tapi itu pasti karena dia masih baru. Aku yakin, cepat atau lambat Ameera bisa jadi lebih baik,” ujar Ayu meyakinkan. “Coba kamu liat Kendis!” Ayu bangkit dari duduknya dan merapatkan diri ke Kendis yang duduk di kursi belajar, seraya merangkul bahu gadis yang sedikit lemot itu. “Dulu ... kamu sering merasa risih sama kekurangannya. Tapi sekarang Nda
“Kapan kalian mau menikah? Ummi sudah Ndak sabar pengin menimang cucu dari kalian.”Ahmad dan Samsul saling melempar pandang. Sempat sekejap Samsul menyeringai manja kepada Bu Nyai. Sedangkan Ahmad, pemuda bertubuh sedikit kurus itu hanya mengerjap saja tanpa menjawab. Suasana makan malam yang semula tenang dan damai, kini berubah sedikit mencekam. Kiyai Husein dan Bu Nyai menatap dalam wajah kedua putranya.“Ditanya kok malah diam saja!” gumam Bu Nyai.“Nyuwon pangapunten, Ummi. Kita, kan, lagi makan, apa Ndak sebaiknya kita Ndak membahas persoalan itu?” ujar Ahmad kemudian.“Memangnya kalo kita membahas tentang pernikahan kalian di meja makan, salah, ya?” tanya Bu Nyai lagi.“Bukan begitu maksud Ahmad, Ummi!” tegas pemuda bersongkok hitam yang sejak tadi duduk sejajar dengan Samsul.“Wes to, Ummi tenang saja! Sebentar lagi InsyaaAllah Ahmad bakalan menikah,” timp
Seperti yang Ahmad katakan kepada Ameera, malam berikutnya ia menunggu gadis kota itu di masjid. Sedangkan Ameera masih terus merasa ragu hendak menemuinya. Ameera sibuk memilin ujung jilbabnya hingga nyaris kusut membentuk pola garis tidak beraturan lagi. Ia berdiri di sudut serambi seraya terus memfokuskan iris ke arah Ahmad yang masih membaca kitab di dekat mihrab.“Udah ... sana buruan temuin. Jangan sampai beliau menunggu lama!” titah Rumy sambil terus mendorong siku Ameera.“Masa gue, sih, yang mesti nemuin dia duluan? Kan, dia yang mau. Bukan gue!”“Kamu itu santri di sini, Ra. Dan beliau gurumu!” tegas Rumy.Ameera berdecih kesal. Ucapan Rumy seolah ingin memaksanya untuk patuh pada aturan yang dibuat oleh Ahmad secara sepihak. Padahal, perdebatan yang terjadi kemarin malam antara dirinya dan Ahmad sama sekali tidak ada hubungannya dengan pesantren. Kenapa gue mesti patuh? Rumy mer
Mampus, deh, gue! Kok bisa salah ngira gini, sih! Gue pikir dia suaminya Ayu. Emangnya Abah punya anak selain dia, ya?Wajah Ameera mengerut. Rasa tidak enak hati seketika langsung menghinggapinya. Ahmad yang masih terus menatapnya di dalam remang cahaya, seakan mampu menangkap ekspresi yang ia tampilkan."Udah! Aku Ndak apa-apa, kok. Aku juga Ndak marah. Tapi lain kali jangan asal menuduh kalo Ndak paham masalah yang sebenarnya, ya!""Gue tekankan kalo gue bukan menuduh. Tapi gue cuma salah ngira aja! Lagian ... Yang gue denger anak Abah itu cuma satu.""Anak Abah banyak," kata Ahmad sembari mempersilakan Ameera melanjutkan langkahnya."Sebentar! Lo bilang anak Abah banyak, anak yang mana? Atau ... Abah punya anak dari istri yang lain, ya?" selidik Ameera.Ahmad mendengkus. Pertanyaan Ameera kali ini dirasa cukup keterlaluan. Menurutnya. Jika tadi ia sama sekali tidak marah, tetapi kali ini hatinya merasa tidak terima. Ameera meman
"Hus! Kalo ngomong, tuh, mbok jangan sembaranga tho, Ra!" protes Rumy sambil mendelik. "Mana mungkin suami Ayu tega ninggalin Ayu pas malam pertama begini," imbuhnya. "Ya ampun, Rum! Siapa juga, sih, yang ngomong sembarangan!" Ameera merasa tdak terima. "Orang barusan gue ketemu sama suaminya, kok!" akunya tak mau kalah dari Arumi. Mendengar tentang yang terjadi di antara kedua teman sekamarnya, membuat Kendis merasa tidak tenang. Gadis ya
Sepuluh hari kemudian.“Saya terima nikahnya Ayu Chumaira binti Zainudin dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” Ucapan sang pengantin pria terdengar sangat lugas, menggema ke seantero penjuru desa.Malam yang selama sekian hari dinantikan oleh segenap penduduk pesantren. Sebuah hajat besar telah terlaksana dengan khidmat. Seorang pemuda mengenakan galabiyya berwarna putih duduk bersimpuh di hadapan sang ayah, tepat di belakang mimbar masjid pesantren.Doa pernikahan memenuhi ruang masjid. Sementara di serambi, Ayu tampak anggun mengenakan pakaian pengantin berwarna putih. Di sisi kanan dan kirinya diapit oleh Bu Nyai dan Bude Darmi. Rasa haru menyelinap masuk ke benaknya. Ia tak mengira statusnya akan berubah secepat ini. Impiannya mendapatkan sosok imam yang soleh telah terkabul.Ayu menggenggam erat jemari Bu Nyai dan Bude Darmi secara bersamaan. Kaca-kaca di pelupuk mata seolah akan pecah dengan segera. Se
Rasa cinta tak akan mampu mengubah takdir seseorang. Namun, rasa cinta mampu membawa seseorang menggapai asa yang tak pernah terduga. Begitulah kiranya seorang gadis bernama Ayu Chumaira mendefinisikan rasa cintanya.Seumur hidupnya ia tak pernah mencintai lain daripada Tuhan. Bahkan, ia bukanlah orang yang selalu memikirkan dirinya sendiri. Cintanya kepada Rabb melebihi apa pun di benaknya. Sampai tiba sebuah lamaran dari ibu pengasuh pesantren tempatnya menimba ilmu agama, ia masih enggan untuk membicarakan perihal cinta.“Kamu benar sudah mantep, Nduk?” selidik Bude Darmi.Sejak pagi Ayu masih belum keluar dari dapur umum. Seperti biasa, ia tidak akan meninggalkan Bude Darmi dengan segudang piring kotor bekas sarapan para santri.“Insyaa Allah, Bude!” jawab Ayu yang tengah mengumpulkan makanan sisa.“Seberapa yakin?”“Insyaa Allah ... seyakin Bu Nyai memilih aku m
Suasana kediaman Kiyai Husein cukup tenang. Wajar saja, di rumah itu hanya hidup empat orang dewasa yang sudah memiliki kesibukan masing-masing. Hanya Bu Nyai saja yang terbilang nyaris tidak memiliki kegiatan. Beliau hanya seorang ibu rumah tangga biasa, yang sehari-harinya diisi dengan berbagai kegiatan keagaamaan.Seperti yang dikatakan oleh Ahmad, umminya ingin bertemu dengan juru masak pesantren. Maka, Bude Darmi bergegas menemui Bu Nyai. Kebetulan wanita paruh baya itu tengah mengaji di gazebo yang ada di halaman belakang rumah.Keduanya memilih untuk berbincang di sana. Selain tempatnya enak, di sana mereka juga dapat menikmati ikan hias peliharaan Kiyai Husein.“Kenapa mesti saya, tho, Bu? Kenapa Bu Nyai Ndak menyewa jasa catering saja?” tanya Bude Darmi seraya memilin ujung jilbabnya yang menjuntai di depan dada.“Ini bukan Cuma hajat kami, tapi ini juga hajat pesantren. Kami ingin Yu Darmi dan para santriwati yang mengolah semu
“Nduk, kamu cuci sayurannya, yo!” titah Bude Darmi kepada Ameera. Sejak siang Ameera berada di dapur umum. Ia merasa jenuh terus bersama teman-temannya di asrama. Padahal kegiatan di pesantren cukup padat. Ahmad meminta para santri untuk menghafal kitab yang sudah ia ajarkan sebelumnya. “Bude udah lama kerja di sini?” tanya Ameera yang mulai sibuk mencuci sawi. “Walah, sampe lupa berapa lamanya. Yang pasti sejak Gus Ahmad dan Ustadz Samsul masih kecil-kecil.” Perempuan paruh baya itu sibuk mengulek bumbu. Ameera menghentikan aktivitasnya. Ada yang terdengar aneh baginya. “Ustadz Samsul? Dia siapa, Bude?” Ameera dibuat penasaran. Bude Darmi beralih kepada Ameera. “Dia anak angkatnya Kiyai Husein.” “Oh ...” Ameera manggut-manggut. “Memangnya kamu Ndak pernah tahu sama Ustadz Samsul?” Ameera mencebik seraya menggeleng. “Wah, sayang banget kalo kamu Ndak tahu.” “Kenapa?” Bude Darmi melanjutkan pekerj
Seminggu sudah Ameera tak berada di rumah. Rasanya sungguh aneh. Biasanya rumah akan berantakan dengan segala kejorokan gadis berusia 18 tahun itu. Tapi kini justru tampak rapi.Seperti pagi ini, Om Roni menikmati sarapannya sendirian. Biasanya Ameera akan banyak berbincang dengannya di meja makan. Terutama membicarakan izin keluar dengan teman-temannya.“Assalamu’alaikum,” suara seseorang memecah keheningan meja makan.Om Roni menoleh dan mendapati wanita berjilbab bernama Nana, sekretaris sekaligus calon istrinya. “Wa’alaikumussalam!”“Wah, aku telat, ya?”“Telat?”“Iya. Kamu pasti udah sarapan. Padahal, niat aku mau ajakin kamu sarapan bareng. Tadi aku bikin nasi goreng buat kita berdua.”Om Roni menghela napas sembari tersenyum. Ia beranjak, kemudian menarik salah saatu kursi makan dari bawah meja dan mempersilakan Nana untuk duduk bersamanya.&ld
Obrolan yang terjadi antara Ayu dan Bu Nyai cukup mengambil alih isi otak Ameera. Seharian sudah ia memikirkan perkara serius ini. Padahal, Ayu yang jelas-jelas berkaitan erat dengan permasalahan itu justru terlihat santai.“Ay, lo nggak risih tuh, sama omongan Bu Nyai tadi pagi?” selidik Ameera seraya mempersiapkan mukenanya. Malam ini selepas salat Isya mereka akan mengikuti kegiatan rutin malam hari yaitu pengajian Al Qur’an.“Risih gimana?” tanya Ayu heran.“Ya ... lo, kan, masih muda. Masak lo mau, sih, dinikahin sama anaknya Bu Nyai!” cetus Ameera lantang.Rumy dan Kendis, pun terkejut. Mereka segera mendekat kepada Ayu yang sedang memilah Al Qur’an di lemari kecil dekat meja belajar. “Hah! Seng tenane, Ay?” Rumy belum percaya. “Kamu mau dijodohin sama Gus Ahmad?”“Wah ... selamat, yo, Ay!” Kendis mengangsurkan tangannya kepada Ayu. Sementara Ayu lekas m