Share

Ameera

Author: Dwi Kurnialis
last update Last Updated: 2021-06-27 22:59:34

Cakrawala membentang luas serasi dengan perpaduan warna biru diselimuti awan putih yang secara perlahan diembuskan angin dan berpindah tempat. Cerah, seperti itulah sebutan cuaca untuk hari ini. Riuh suara pekikan-pekikan kecil yang menggema di seluruh penjuru area pesantren. Puluhan santriwan berlari berebut bola di halaman yang tak seluas tanah lapang sungguhan. Para santriwati bersuka cita dengan nyanyian gambus di aula. MasyaaAllah, riang tak terkira suasana Jum’at pagi yang penuh berkah.

Sepasang kaki beralaskan flat shoes melangkah dengan sedikit limpung. Sudah pasti itu kaki seorang perempuan. Tak terdengar suara apa pun dari gerakkannya, tapi cukup jelas dari keluhannya. Di bahu kirinya, sebuah tas jinjing melingkar di antara lengan dan ketiak. Sementara di tangannya, membawa tas ransel dengan ukuran jumbo, berat sekali. “Ya ampun, akhirnya sampe juga gue di sini!” ucapnya setelah sampai di pintu gerbang utama pesantren.

Untuk sesaat si gadis manis berjilbab merah muda itu melongok ke dalam dari celah gerbang besi. “Rame,” desisnya.

“Ayo masuk! Tunggu apa lagi?” ujar seseorang dari arah belakangnya.

Sang gadis menggigit bibir bawahnya. “Om duluan, ya! Aku nyusul belakangan.”

Lelaki bertubuh tegap tinggi itu lekas masuk ke dalam pesantren. Sementara si kemenakannya mengekor dari belakang dengan limbungnya membawa tas ransel.

***

Dua cangkir teh hangat serta sepiring bolu pisang telah tersuguh di meja tamu. Si tuan rumah begitu hangat menyambut kedatangan Om Roni dan keponakannya. Sesekali sepasang suami istri itu memperhatikan wajah si gadis berkerudung merah jambu. Sementara si pemilik wajah hanya mampu menekuri ubin berwarna abu-abu.

“Nama kamu siapa, Nduk?” tanya Bu Nyai.

“Nama saya ... Ameera, Bu.”

Ada rasa canggung di benak Ameera. Tentu saja itu adalah hal yang wajar. Ini kan, pertama kalinya Ameera bertemu dengan keduanya.

“Ameera ini keponakan saya, Pak Kiyai. Dia baru saja lulus SMA,” ungkap Om Roni.

Om Roni merupakan satu-satunya keluarga Ameera. Selain daripadanya, Ameera tidak memiliki siapa-siapa lagi. Kedua orang tuanya meninggal beberapa tahun lalu lantaran insiden kecelakaan di Tol Jagorawi. Ameera yang kala itu masih duduk di bangku SMP, terpaksa harus tinggal dengan Om Roni yang merupakan adik kandung dari mamanya. Sementara keluarga dari papanya sama sekali tidak ada satu pun yang ia ketahui.

“Saya harap Nduk Ameera nantinya bisa betah nyantri di sini!” ujar  Kiyai Husein, suami dari Bu Nyai sekaligus pimpinan pondok pesantren.

Ameera hanya mengulum senyum. Sementara Om Roni justru terasa lebih bersemangat. Bahkan, ia mampu meyakinkan Kiyai Husein jika keponakannya itu sangat tertarik untuk nyantri di pesantren beliau.

***

“Ini kamar kamu, Ameera!” ucap Bu Nyai setelah memasuki sebuah ruangan yang ukurannya tidak besar, tapi juga tidak terlalu kecil.

Lagi-lagi Ameera hanya mengulum senyum. Netranya menyapu ke seluruh penjuru ruangan. Dua susun ranjang tingkat berada di hadapannya. Tiga bagian ranjang agaknya sudah ada pemiliknya. Dari mana Ameera tahu akan hal itu? Tentu saja, lantaran di atas ke tiga ranjang itu terdapat tumpukan bantal serta selimut. Sementara satu bagian ranjang di atas lainnya masih kosong. Hanya kasur busa tipis yang terpasang di sana dan belum dilapisi kain seprei. Di sudut ruangan nyaris sejajar dengan pintu, terdapat sebuah meja belajar.

“Semoga kamu betah ya, Nduk!”

Ada sesuatu yang sedang Ameera cari. “Kamar mandinya di mana, Bu?”

Bu Nyai tersenyum simpul. “Kamar mandinya ada di belakang asrama. Kalo kamu kepengin lihat-lihat, nanti kamu bisa minta diantar sama temen-temen sekamarmu!”

Ameera tak banyak bicara. Tubuhnya merasa sangat tepar setelah semalaman penuh berada di jalan. Jakarta – Solo memang bukanlah dekat. Baginya, ini pengalaman pertama yang cukup melelahkan. Masih untung Om Roni mengajaknya jalan malam hari, sehingga ia masih menemukan udara segar ketika sampai di pesantren. “Bu, apa saya bisa istirahat sebentar?”

“Tentu saja boleh. Kan, ini hari Jum’at. Hari liburnya para santri!”

“O ya, Bu, nanti kalo Om Roni mau pulang dan nyariin saya, tolong Bu Nyai bilang aja kalo saya lagi nggak mau diganggu ya, Bu!”

Kali ini Bu Nyai merasa heran atas permintaan Ameera. Seperti apa hubungan Ameera dengan pamannya. Perempuan paruh baya itu mencoba menerawang dari gerak-gerik si gadis cantik. Raut wajahnya benar-benar datar. Tidak ada kesedihan maupun kebahagiaan layaknya anak-anak lain yang akan berpisah dari orang tua ataupun walinya ketika akan ditinggal di pesantren. Ameera justru sibuk menata tempat tidurnya.  

“Ameera, Ibu tinggal ya, Nduk!”

Sejenak Ameera menoleh dan menganguk sambil mengembangkan senyum tipisnya, dan lagi-lagi itu dilakukannya tanpa berkata apa-apa. Rasa penasaran Bu Nyai semakin tinggi. Istri dari Kiyai Husein itu lekas pergi meninggalkan Ameera. Di benaknya tumbuh banyak pertanyaan. Gadis seperti apa santriwati barunya itu? Mengapa Ameera seakan tidak peduli terhadap pamannya? Lalu, mengapa Ameera lebih banyak diam ketimbang menanggapi setiap ucapannya? Sungguh, tanda tanya besar menyelimuti otak Bu Nyai. Mungkin ada baiknya jika ia bertanya langsung kepada Om Roni. Om Roni pasti tahu banyak mengenai kepribadian Ameera. Lagi pula ia berhak mengetahui kondisi psikis setiap santrinya.

Related chapters

  • Dua Sisi   Handphone

    “Maaf, Pak Roni. Ada yang mau saya tanyakan sama Pak Roni!” ucap Bu Nyai setelah ia kembali dari kamar Ameera. Rasa penasarannya akan sosok Ameera yang cenderung diam mendorongnya untuk berupaya mencari tahu mengenai kondisi santriwati barunya.“Iya, Bu Nyai, silakan saja!”“Kalau saya perhatikan, sepertinya Ameera cenderung diam. Apa dia benar-benar anak yang pendiam?” selidik Bu Nyai.Kiyai Husein justru merasa terpancing penasaran atas pertanyaan yang diutarakan oleh istrinya. “Ada apa to, Ummi? Kok tanyanya sampai segitunya?”“Bukan apa-apa, Bah! Ummi hanya merasa heran, kenapa setiap kali Ummi ajak bicara, Ameera itu seperti Ndak fokus untuk menjawab pertanyaan Ummi!”“Apa yang dikatakan oleh Bu Nyai memang benar. Akhir-akhir ini Ameera banyak diam. Itu sebabnya saya mau dia nyantri di sini, biar dapat ilmu agama sekaligus teman-teman yang baik.”Kiyai Husein dan Bu

    Last Updated : 2021-06-29
  • Dua Sisi   Cita-cita

    “Sayang, kamu di sini baik-baik, ya. Om mau waktu kamu pulang ke Jakarta nanti, kamu udah bawa bekal ilmu agama yang banyak!” ujar Om Roni.Padahal sebelumnya Ameera sudah berpesan kepada Bu Nyai, kalau pamannya hendak pulang, beliau tidak perlu menemui Ameera terebih dahulu. Hal itupun telah disampaikan. Namun, sepertinya Om Roni merasa belum puas jika tidak melihat Ameera sekali lagi sebelum dirinya benar-benar meninggalkan keponakannya di pesantren.“Om juga baik-baik, ya. Jaga kesehatannya.”“Tentu. O ya, tadi Om juga udah bilang ke Pak Kiyai Husein dan Bu Nyai, kalo Om Cuma akan nengokin kamu tiga bulan sekali. Terus ... soal keuangan Om titipkan ke rekening pesantren. Jadi, kalo kamu butuh apa pun yang harus dibeli, kamu tinggal bilang aja sama Bu Nyai.”Sungguh, ini benar-benar di luar dugaan Ameera. Dirinya pikir, Om Roni akan memberinya kartu ATM atau kredit card yang sama seperti sebelumnya. Ameera mencebik ke

    Last Updated : 2021-07-02
  • Dua Sisi   Adaptasi

    Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00, tetapi Ameera belum dapat memejamkan mata. Ia terbaring di atas ranjang dengan perasaan gelisah. Ayu yang berada di ranjang bawahnya dapat merasakan gerakan Ameera yang seolah tidak nyaman berada di tempat tidurnya. “Kamu kenapa sih, Ra?” Kali ini sapaan untuk Ameera dari Ayu berubah lagi. “Gue nggak bisa tidur nih, Ay!” “Kenapa? Besok kita mesti bangun pagi, loh! Kalo kamu Ndak tidur dari sekarang, bisa-bisa kamu bangun kesiangan.” “Emangnya, kita harus bangun jam berapa?” “Jam 3 biar kita bisa salat malam, witir, sekaligus salat fajar.” Ameera tercekat hingga setengah bangkit, kepalanya menghadap ke bawah tepat di sisi ranjang. “Apa? Sebelum Subuh?” ucapnya sedikit berseru. “Iyo. Kenapa kaget gitu, tho? Memangnya kamu Ndak pernah salat malam?” Ameera hanya menyeringai. Gadis kota itu memang sama sekali belum pernah melaksanakan semua salat yang disebutkan oleh Ayu. “Lah, te

    Last Updated : 2021-07-02
  • Dua Sisi   Dapur

    Senin pagi merupakan awal pekan bagi setiap orang menyusun rencana satu minggu ke depan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Ameera. Gadis itu terlihat tak bersemangat. Kegiatan paginya diisi dengan bersih-bersih kamar dan teras depan. Sementara dari jarak yang lumayan jauh, tepatnya di halaman depan kelas, para murid yang masih duduk di bangku MI, Mts, dan MA, semuanya melaksanakan upacara bendera.“Kalo liat yang kayak gitu, rasanya pengen balik ke Jakarta dan sekolah lagi. Seru kali, ya?” Ingatan Ameera kembali beralih ke masalalu, di mana ia dapat merasakan kebahagiaan bersama teman-teman sekolahnya. Namun, itu hanya tinggal kenangan. Kemauan Om Roni terlalu besar. Ameera merasa sangat benci kepada pamannya. “Gue nggak nyangka, Om Roni setega ini ke gue!”“Tega gimana?” Pertanyaan darri seseorang membuyarkan lamunan Ameera. Rupanya sudah sejak tadi Rumi sudah berada di belakangnya.“Eh, lo, Rum?”“Ka

    Last Updated : 2021-07-09
  • Dua Sisi   Sial

    Para santri semua telah berada di posisinya masing-masing mengantri di dapur umum untuk mengambil jatah sarapan mereka. Sudah biasa hingar bingar terjadi tatkala semua telah merasa lapar. Tak jarang dari beberapa santriwan yang memilih mengambil makanan dengan menggunakan naman besar. Bude Darmi akan mengisi wadah mereka dengan porsi yang cukup dimakan untuk 5 hingga 7 orang. Kemudian para santriwan akan membawa nampan mereka ke kamar dan menyantap bersama di sana.Ameera yang tak terbiasa makan beramai-ramai seperti itu merasa kikuk menyantap makanannya. Sejenak ia sempat hanya menatap piringnya lalu menoleh ke sekitarnya. Semua teman-temannya makan dengan lahap, padahal hanya dengan sayur dan lauk ala kadarnya yaitu sayur santan terung yang dicampur cabai hijau ditambah lauk tempe goreng tanpa tepung.“Kenapa kamu Ndak makan, Ra?” tegur Rumi yang duduk tepat di sisi kirinya.“Nggak n

    Last Updated : 2021-07-15
  • Dua Sisi   Bidadari Pesantren

    Kehidupan Ameera di pesantren cukup membawa ke arah yang positive. Seminggu pertama berada di tempat yang teramat asing baginya, membuatnya sedikit mulai memahami jika menjadi santriwati itu memiliki aturan-aturan khusus yang harus ia patuhi. Salah satunya adalah ia harus terbiasa mengenakan pakaian muslimah.Bagi Ameera, ini adalah hal yang cukup rumit dan sangat menguji sifat sabar dan nilai keikhlasannya. Bagaimana tidak? Sebelumnya ia hanya gadis kota yang tak pernah berjilbab, dan selalu tampil casual dengan celana jeans atau kulot ¾ dilengkapi kaos, sama seperti teman-temannya.Om Roni sudah menyiapkan semua kebutuhannya. Termasuk pakaian muslimah. Siang yang terik cukup membuat Ameera merasa gerah. Selepas melaksanakan salat Dzuhur berjamaah, gadis bertubuh langsing itu segera berlari dari masjid menuju kamarnya. Tanpa menutup pintu, ia segera menghidupkan kipas angin dan melepas mukenanya dengan cepat. Ameera merebahkan tubuh

    Last Updated : 2021-08-01
  • Dua Sisi   Calon yang soleh

    “Peh ...” Ameera melepeh buah sawo yang sudah digigitnya. “Uh, gue pikir buah sawo dari pohonnya langsung bakalan enak dimakan. Ternyata, nggak ada enak-enaknya sama sekali!”Ameera membuang buah sawo yang masih berada di tangannya lalu bertepuk tangan pelan membersihkan kotoran yang tersisa. Ia kembali duduk di kursi bambu. “Oh ya ampun, mau sampe kapan gue terpenjara di tempat ini?” Ia mulai kembali menggerutu. Lagi-lagi dirinya mengingat perbuatan Om Roni yang menurutnya sudah keterlaluan. “Kalo aja waktu itu gue tahu Om Roni bakalan bawa gue ke sini, pasti gue bakalan kabur duluan.”***“Sebenernya kita mau ke mana, sih, Om?” tanya Ameera yang sejak pagi sudah berada di dalam kendaraan pribadi milik Om Roni. Gadis itu mencoba untuk menerka tujuan pamannya. Namun, ia sama sekali tidak dapat memastikannya. Om Roni sendiri sama sekali tak memberitahunya. Lelaki berusia 38 tahun itu lebih ba

    Last Updated : 2021-08-03
  • Dua Sisi   Gus Ahmad

    “Pokoknya kita mesti sabar menghadapi sikap Ameera. Kita Ndak boleh kalah sama dia,” ujar Ayu menguatkan kedua sahabatnya.Sikap angkuh Ameera terhadap mereka, sedikitnya membuat Rumy menjadi sedikit kesal. Terlebih setelah apa yang diperbuat Ameera kepadanya, mencubit tangannya hingga sakit. Rasanya kalau bukan karena Ayu yang memintanya, ingin ia pergi mengadu kepada Bu Nyai agar Ameera bisa mendapat hukuman yang setimpal atas perbuatannya.“Tapi dia itu keterlaluan. Sama sekali Ndak dengar omongan kita!” Rumy masih terus mengelus tangannya yang merah.“Iya ... tapi itu pasti karena dia masih baru. Aku yakin, cepat atau lambat Ameera bisa jadi lebih baik,” ujar Ayu meyakinkan. “Coba kamu liat Kendis!” Ayu bangkit dari duduknya dan merapatkan diri ke Kendis yang duduk di kursi belajar, seraya merangkul bahu gadis yang sedikit lemot itu. “Dulu ... kamu sering merasa risih sama kekurangannya. Tapi sekarang Nda

    Last Updated : 2021-08-14

Latest chapter

  • Dua Sisi   Surga Untuk Orang tua

    Seperti yang Ahmad katakan kepada Ameera, malam berikutnya ia menunggu gadis kota itu di masjid. Sedangkan Ameera masih terus merasa ragu hendak menemuinya. Ameera sibuk memilin ujung jilbabnya hingga nyaris kusut membentuk pola garis tidak beraturan lagi. Ia berdiri di sudut serambi seraya terus memfokuskan iris ke arah Ahmad yang masih membaca kitab di dekat mihrab.“Udah ... sana buruan temuin. Jangan sampai beliau menunggu lama!” titah Rumy sambil terus mendorong siku Ameera.“Masa gue, sih, yang mesti nemuin dia duluan? Kan, dia yang mau. Bukan gue!”“Kamu itu santri di sini, Ra. Dan beliau gurumu!” tegas Rumy.Ameera berdecih kesal. Ucapan Rumy seolah ingin memaksanya untuk patuh pada aturan yang dibuat oleh Ahmad secara sepihak. Padahal, perdebatan yang terjadi kemarin malam antara dirinya dan Ahmad sama sekali tidak ada hubungannya dengan pesantren. Kenapa gue mesti patuh? Rumy mer

  • Dua Sisi   Tertunda

    Mampus, deh, gue! Kok bisa salah ngira gini, sih! Gue pikir dia suaminya Ayu. Emangnya Abah punya anak selain dia, ya?Wajah Ameera mengerut. Rasa tidak enak hati seketika langsung menghinggapinya. Ahmad yang masih terus menatapnya di dalam remang cahaya, seakan mampu menangkap ekspresi yang ia tampilkan."Udah! Aku Ndak apa-apa, kok. Aku juga Ndak marah. Tapi lain kali jangan asal menuduh kalo Ndak paham masalah yang sebenarnya, ya!""Gue tekankan kalo gue bukan menuduh. Tapi gue cuma salah ngira aja! Lagian ... Yang gue denger anak Abah itu cuma satu.""Anak Abah banyak," kata Ahmad sembari mempersilakan Ameera melanjutkan langkahnya."Sebentar! Lo bilang anak Abah banyak, anak yang mana? Atau ... Abah punya anak dari istri yang lain, ya?" selidik Ameera.Ahmad mendengkus. Pertanyaan Ameera kali ini dirasa cukup keterlaluan. Menurutnya. Jika tadi ia sama sekali tidak marah, tetapi kali ini hatinya merasa tidak terima. Ameera meman

  • Dua Sisi   Salah Duga

    "Hus! Kalo ngomong, tuh, mbok jangan sembaranga tho, Ra!" protes Rumy sambil mendelik. "Mana mungkin suami Ayu tega ninggalin Ayu pas malam pertama begini," imbuhnya. "Ya ampun, Rum! Siapa juga, sih, yang ngomong sembarangan!" Ameera merasa tdak terima. "Orang barusan gue ketemu sama suaminya, kok!" akunya tak mau kalah dari Arumi. Mendengar tentang yang terjadi di antara kedua teman sekamarnya, membuat Kendis merasa tidak tenang. Gadis ya

  • Dua Sisi   Malam pertama

    Sepuluh hari kemudian.“Saya terima nikahnya Ayu Chumaira binti Zainudin dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” Ucapan sang pengantin pria terdengar sangat lugas, menggema ke seantero penjuru desa.Malam yang selama sekian hari dinantikan oleh segenap penduduk pesantren. Sebuah hajat besar telah terlaksana dengan khidmat. Seorang pemuda mengenakan galabiyya berwarna putih duduk bersimpuh di hadapan sang ayah, tepat di belakang mimbar masjid pesantren.Doa pernikahan memenuhi ruang masjid. Sementara di serambi, Ayu tampak anggun mengenakan pakaian pengantin berwarna putih. Di sisi kanan dan kirinya diapit oleh Bu Nyai dan Bude Darmi. Rasa haru menyelinap masuk ke benaknya. Ia tak mengira statusnya akan berubah secepat ini. Impiannya mendapatkan sosok imam yang soleh telah terkabul.Ayu menggenggam erat jemari Bu Nyai dan Bude Darmi secara bersamaan. Kaca-kaca di pelupuk mata seolah akan pecah dengan segera. Se

  • Dua Sisi   Ayu Chumaira

    Rasa cinta tak akan mampu mengubah takdir seseorang. Namun, rasa cinta mampu membawa seseorang menggapai asa yang tak pernah terduga. Begitulah kiranya seorang gadis bernama Ayu Chumaira mendefinisikan rasa cintanya.Seumur hidupnya ia tak pernah mencintai lain daripada Tuhan. Bahkan, ia bukanlah orang yang selalu memikirkan dirinya sendiri. Cintanya kepada Rabb melebihi apa pun di benaknya. Sampai tiba sebuah lamaran dari ibu pengasuh pesantren tempatnya menimba ilmu agama, ia masih enggan untuk membicarakan perihal cinta.“Kamu benar sudah mantep, Nduk?” selidik Bude Darmi.Sejak pagi Ayu masih belum keluar dari dapur umum. Seperti biasa, ia tidak akan meninggalkan Bude Darmi dengan segudang piring kotor bekas sarapan para santri.“Insyaa Allah, Bude!” jawab Ayu yang tengah mengumpulkan makanan sisa.“Seberapa yakin?”“Insyaa Allah ... seyakin Bu Nyai memilih aku m

  • Dua Sisi   Gadis kota masuk desa

    Suasana kediaman Kiyai Husein cukup tenang. Wajar saja, di rumah itu hanya hidup empat orang dewasa yang sudah memiliki kesibukan masing-masing. Hanya Bu Nyai saja yang terbilang nyaris tidak memiliki kegiatan. Beliau hanya seorang ibu rumah tangga biasa, yang sehari-harinya diisi dengan berbagai kegiatan keagaamaan.Seperti yang dikatakan oleh Ahmad, umminya ingin bertemu dengan juru masak pesantren. Maka, Bude Darmi bergegas menemui Bu Nyai. Kebetulan wanita paruh baya itu tengah mengaji di gazebo yang ada di halaman belakang rumah.Keduanya memilih untuk berbincang di sana. Selain tempatnya enak, di sana mereka juga dapat menikmati ikan hias peliharaan Kiyai Husein.“Kenapa mesti saya, tho, Bu? Kenapa Bu Nyai Ndak menyewa jasa catering saja?” tanya Bude Darmi seraya memilin ujung jilbabnya yang menjuntai di depan dada.“Ini bukan Cuma hajat kami, tapi ini juga hajat pesantren. Kami ingin Yu Darmi dan para santriwati yang mengolah semu

  • Dua Sisi   Mulai Baik

    “Nduk, kamu cuci sayurannya, yo!” titah Bude Darmi kepada Ameera. Sejak siang Ameera berada di dapur umum. Ia merasa jenuh terus bersama teman-temannya di asrama. Padahal kegiatan di pesantren cukup padat. Ahmad meminta para santri untuk menghafal kitab yang sudah ia ajarkan sebelumnya. “Bude udah lama kerja di sini?” tanya Ameera yang mulai sibuk mencuci sawi. “Walah, sampe lupa berapa lamanya. Yang pasti sejak Gus Ahmad dan Ustadz Samsul masih kecil-kecil.” Perempuan paruh baya itu sibuk mengulek bumbu. Ameera menghentikan aktivitasnya. Ada yang terdengar aneh baginya. “Ustadz Samsul? Dia siapa, Bude?” Ameera dibuat penasaran. Bude Darmi beralih kepada Ameera. “Dia anak angkatnya Kiyai Husein.” “Oh ...” Ameera manggut-manggut. “Memangnya kamu Ndak pernah tahu sama Ustadz Samsul?” Ameera mencebik seraya menggeleng. “Wah, sayang banget kalo kamu Ndak tahu.” “Kenapa?” Bude Darmi melanjutkan pekerj

  • Dua Sisi   Alasan Om Roni

    Seminggu sudah Ameera tak berada di rumah. Rasanya sungguh aneh. Biasanya rumah akan berantakan dengan segala kejorokan gadis berusia 18 tahun itu. Tapi kini justru tampak rapi.Seperti pagi ini, Om Roni menikmati sarapannya sendirian. Biasanya Ameera akan banyak berbincang dengannya di meja makan. Terutama membicarakan izin keluar dengan teman-temannya.“Assalamu’alaikum,” suara seseorang memecah keheningan meja makan.Om Roni menoleh dan mendapati wanita berjilbab bernama Nana, sekretaris sekaligus calon istrinya. “Wa’alaikumussalam!”“Wah, aku telat, ya?”“Telat?”“Iya. Kamu pasti udah sarapan. Padahal, niat aku mau ajakin kamu sarapan bareng. Tadi aku bikin nasi goreng buat kita berdua.”Om Roni menghela napas sembari tersenyum. Ia beranjak, kemudian menarik salah saatu kursi makan dari bawah meja dan mempersilakan Nana untuk duduk bersamanya.&ld

  • Dua Sisi   Menikah muda

    Obrolan yang terjadi antara Ayu dan Bu Nyai cukup mengambil alih isi otak Ameera. Seharian sudah ia memikirkan perkara serius ini. Padahal, Ayu yang jelas-jelas berkaitan erat dengan permasalahan itu justru terlihat santai.“Ay, lo nggak risih tuh, sama omongan Bu Nyai tadi pagi?” selidik Ameera seraya mempersiapkan mukenanya. Malam ini selepas salat Isya mereka akan mengikuti kegiatan rutin malam hari yaitu pengajian Al Qur’an.“Risih gimana?” tanya Ayu heran.“Ya ... lo, kan, masih muda. Masak lo mau, sih, dinikahin sama anaknya Bu Nyai!” cetus Ameera lantang.Rumy dan Kendis, pun terkejut. Mereka segera mendekat kepada Ayu yang sedang memilah Al Qur’an di lemari kecil dekat meja belajar. “Hah! Seng tenane, Ay?” Rumy belum percaya. “Kamu mau dijodohin sama Gus Ahmad?”“Wah ... selamat, yo, Ay!” Kendis mengangsurkan tangannya kepada Ayu. Sementara Ayu lekas m

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status